Gambaran Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Pengobatan Sendiri Pada Masyarakat Di Lingkungan II Kelurahan Babura Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi (Undang – Undang No. 23 tahun 1992). Obat pada
dasarnya merupakan bahan yang hanya dengan takaran tertentu dan dengan
penggunaan yang tepat dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosa, mencegah
penyakit, menyembuhkan, atau memelihara kesehatan (Depkes RI, 2008).

2.1.1. Penggolongan Obat
Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu (Depkes RI, 2006):
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah
lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: Parasetamol
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: CTM
3. Obat Keras dan Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah
dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: Asam Mefenamat

6

Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku.
Contoh: Diazepam, Phenobarbital
4. Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
Contoh: Morfin, Petidin
Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus
diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman.
Informasi tersebut dapat diperbolehkan dari etiket atau brosur pada kemasan obat
bebas dan bebas terbatas (Depkes RI, 2006).

Obat Bebas

Obat Bebas Terbatas

Obat Keras

Obat Narkotika


Gambar 2.1 Tanda khusus penggolongan obat
(Sumber: Depkes RI, 2006)

Tidak semua obat keras memerlukan resep dokter untuk diserahkan kepada
pasien. Sebagian obat keras dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di
apotek tanpa resep dokter, obat-obat ini disebut Obat Wajib Apotek (OWA). Dalam
keadaan di mana penggunaan obat bebas terasa kurang atau tidak efektif,
masyarakat dapat berkonsultasi dengan Apoteker di apotek untuk mengetahui
apakah ia sebaiknya mendapatkan obat-obat keras yang masuk dalam OWA
ataukah harus periksa ke dokter terlebih dahulu (Widodo, 2004).

7

Berdasarkan keamanan penggunaannya pada kehamilan, obat menurut FDA
dibagi dalam kategori (Setiawati, Suyatna, dan Gunawan, 2011):
a. Kategori A: Tidak ada risiko.
Studi berpembanding yang cukup pada wanita hamil menunjukkan tidak
adanya risiko terhadap fetus pada trimester pertama, kedua, maupun ketiga.
b. Kategori B: Tidak ada bukti risiko pada manusia.

Studi berpembanding yang cukup pada wanita hamil menunjukkan tidak
adanya peningkatan risiko kelainan fetus meskipun ditemukan adanya kelainan
pada hewan, atau tidak ada studi yang cukup pada manusia, sedangkan studi
pada hewan menunjukkan tidak ada risiko terhadap fetus. Efek merugikan
terhadap fetus, kemungkinannya kecil, tetapi tetap ada.
c. Kategori C: Risiko tidak dapat disingkirkan.
Studi yang berpembanding yang cukup pada manusia tidak ada, dan pada
hewan juga tidak ada atau telah menunjukkan adanya risiko terhadap fetus.
Ada kemungkinan terjadi efek merugikan pada fetus apabila obat diberikan
selama kehamilan, tetapi potensial keuntungannya melebihi potensial
kerugiannya.
d. Kategori D: Bukti risikonya positif.
Studi menunjukkan adanya risiko terhadap fetus. Meskipun demikian,
potensial keuntungan dari penggunaan obat melebihi potensial risikonya.
Misalnya, jika di saat situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius, obat
demikian mungkin dapat diterima, di mana obat yang lebih aman tidak dapat
digunakan atau tidak efektif.
e. Kategori X: Kontraindikasi pada kehamilan.
Studi menunjukkan bukti positif adanya risiko pada fetus atau kelainan pada
fetus, yang jelas melebihi keuntungannya bagi pasien.


2.1.2.

Informasi Kemasan, Etiket, dan Brosur
Setiap sebelum menggunakan obat, baca sifat dan cara pemakaiannya pada

etiket, brosur atau kemasan obat, sehingga penggunaannya tepat dan aman. Pada
setiap brosur atau kemasan obat selalu dicantumkan (Depkes RI, 2006):

8

1. Nama obat
2. Komposisi
3. Indikasi
4. Informasi cara kerja obat
5. Aturan pakai
6. Peringatan (khusus untuk obat bebas terbatas)
7. Perhatian
8. Nama produsen
9. Nomor batch/lot

10. Nomor registrasi, sebagai tanda ijin edar sah yang diberikan oleh
pemerintah pada setiap kemasan obat
11. Tanggal kadaluarsa
2.1.3. Tanda Peringatan
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, yang
berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm,
dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:

Gambar 2.2 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas
(Sumber: Depkes RI, 2006)

9

2.1.4. Cara Pemilihan Obat
Yang perlu diperhatikan dalam menetapkan jenis obat yang dibutuhkan
adalah (Depkes RI, 2006):
a. Gejala atau keluhan penyakit
b. Kondisi khusus, misalnya: hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes
melitus, dan lain-lain.
c. Riwayat alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.

d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping,
dan interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
e. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi
obat dengan obat yang sedang diminum.
f. Tanyakan kepada apoteker untuk pemilihan obat yang tepat dan
informasi yang lengkap.

2.1.5. Efek Obat
Tidak ada obat yang menyebabkan efek spesifik tunggal saja. Suatu molekul
obat tidak mungkin berikatan hanya dengan satu jenis reseptor molekul, karena
jumlah reseptor potensial dalam setiap pasien sangat banyak. Sehingga, pasien dan
dokter mungkin menjumpai lebih dari satu efek obat. Obat lebih bersifat selektif,
dibanding spesifik, dalam bekerja, karena obat akan berikatan dengan satu atau
beberapa jenis reseptor dengan lebih kuat dibanding reseptor lainnya, sehingga
menghasilkan efek yang khusus (Bourne dan Zastrow, 2012).
Selain efek terapi yang diinginkan, obat dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Efek yang tidak diinginkan tersebut dikenal dengan istilah efek samping
obat, yang merupakan setiap respons obat yang merugikan dan tidak diharapkan
serta terjadi pada manusia karena penggunaan obat dengan dosis atau takaran
normal (Depkes RI, 1997).

Selektivitas obat biasanya dipisahkan berdasarkan efeknya menjadi dua
kategori yaitu: efek menguntungkan atau efek terapeutik dan efek toksik. Iklan
farmasi maupun dokter kadangkala menggunakan istilah efek samping, yang
menyatakan bahwa efek tersebut tidak bermakna atau terjadi melalui suatu jalur

10

yang berlawanan dengan prinsip kerja obat. Pengertian yang demikian sering
menjadi keliru (Bourne dan Zastrow, 2012).
Respons individu-individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi.
Seorang individu dapat memberikan respons yang berlainan terhadap obat yang
sama pada waktu yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang kala, penderita
menunjukkan respons tidak lazim atau idiosinkrasi, yaitu respons yang jarang
terlihat pada kebanyakan penderita. Respons idiosinkrasi biasanya disebabkan oleh
perbedaan genetik metabolisme obat atau mekanisme imunologik, termasuk reaksi
alergi (Bourne dan Zastrow, 2012).
Variasi kuantitatif respons obat biasanya lebih sering dan secara klinis lebih
penting. Respons alergi terhadap suatu obat juga bisa terjadi pada setiap individu,
yang disebut reaksi hipersensitivitas. Seorang individu disebut hiporeaktif atau
hiperreaktif terhadap suatu obat jika intensitas efek suatu obat dalam dosis tertentu


menjadi berkurang atau bertambah bila dibandingkan dengan efeknya pada
kebanyakan individu. Dengan beberapa obat, intensitas respons akibat pemberian
obat bisa berubah selama masa terapi. Respons biasanya menurun akibat pemberian
obat yang terus-menerus, menghasilkan suatu keadaan toleransi relatif efek obat.
Apabila respons menghilang dengan cepat setelah pemberian suatu obat, respons
demikian disebut sebagai takifilaksis (Bourne dan Zastrow, 2012).
Kebanyakan toksisitas serius obat dalam praktik klinis merupakan perluasan
farmakologik langsung kerja terapeutik suatu obat. Dalam beberapa kasus (mis,
perdarahan disebabkan oleh terapi antikoagulan; koma hipoglikemik akibat
insulin), toksisitas bisa dihindari dengan mengatur dosis obat yang diberikan secara
bijaksana disertai pemantauan efek dengan seksama (pengukuran koagulasi darah
atau glukosa serum) dan ditambah oleh tindakan-tindakan tambahan (menghindari
trauma jaringan yang bisa menjurus ke perdarahan; pengaturan asupan
karbohidrat). Pada keadaan lainnya, toksisitas bisa dihindari sama sekali tidak
memberi obat jika indikasi terapeutiknya lemah, atau jika tersedia obat lain (Bourne
dan Zastrow, 2012)
Banyak obat juga menghasilkan baik efek menguntungkan maupun efek
toksik melalui ikatan dengan satu jenis reseptor yang terdapat di berbagai jaringan.


11

Tiga strategi terapeutik yang digunakan untuk menghindari atau mengurangi
toksisitas suatu obat yaitu (Bourne dan Zastrow, 2012):
a. Obat harus selalu diberikan dalam dosis terkecil yang dapat menghasilkan efek
menguntungkan yang dapat diterima.
b. Jika obat-obat tambahan yang bekerja melalui mekanisme reseptor dan
menghasilkan beragam toksisitas, sebaiknya dosis obat yang pertama dikurangi
sehingga

toksisitasnya

juga

berkurang.

Misalnya

penggunaan


obat

imunosupresif lain sebagai tambahan glukokortikoid dalam pengobatan
gangguan inflamasi.
c. Selektivitas kerja obat dapat ditingkatkan dengan memanipulasi konsentrasi
obat di berbagai reseptor tubuh, misalnya, dengan pemberian glukokortikoid
aerosol ke dalam bronchi pada asma.
Faktor utama yang menentukan dosis dan efek obat, antara lain (Jas, 2007):
a. Umur dan berat badan
b. Luas permukaan tubuh (body surface area )
c. Jenis kelamin
d. Waktu dan faktor tempat
e. Faktor fisiologik
f. Faktor patologik
g. Faktor farmakogenetik (idiosinkrasi)
h. Faktor imunologik (alergi terhadap obat)
i. Faktor psikologik dan lingkungan

2.1.6. Dosis
Dosis merupakan aturan pemakaian yang menunjukkan jumlah gram atau
volume dan frekuensi pemberian obat untuk dicatat sesuai dengan umur dan berat
badan pasien (Depkes RI, 2006). Pengertian lain yaitu, jumlah/takaran obat yang
memberikan efek terapeutik pada pasien maupun anak-anak juga berlaku pada
hewan (Jas, 2007).
Macam-macam dosis antara lain (Jas, 2007):
a. Dosis minimal: dosis yang paling kecil yang masih memberikan efek terapeutik.

12

b. Dosis maksimal: dosis yang tertinggi yang masih dapat diberikan tanpa efek
toksis.
c. Dosis permulaan: dosis yang diberikan pada permulaan menggunakan obat
untuk mencapai kadar tertentu dalam darah, misalnya pemberian antibiotika.
d. Dosis pemeliharaan: dosis untuk menjaga agar penyakitnya tidak kambuh lagi.
Hanya untuk penyakit tertentu, misalnya: asma, alergi, jantung, dll.
e. Dosis terapeutik (dosis lazim, dosis medicinalis): dosis optimal atau yang paling
baik.
f. Dosis toksik: penggunaan obat melebihi dosis maksimal.
g. Dosis letalis: dosis yang menimbulkan kematian.
h. Dosis letal 50: artinya dosis yang membunuh 50% dari binatang percobaan.
i. Interval waktu: masa/waktu yang diperlukan antara pemberian suatu dosis
dengan dosis berikutnya, disebut juga dosage interval.
j. Dosage regimen: pengaturan dosis serta jarak antara dosis terapi dengan obat,
memberikan efek secara klinik, mempertahankan konsentrasi terapeutik obat
dalam tubuh.
k. Dosis ganda: pemberian dosis tunggal yang berulang, disebut juga multiple dose
administration, mengakibatkan akumulasi obat dalam tubuh, supaya MEC

(minimal effect concentration) tercapai.
Penggunaan obat harus tepat waktu dan sesuai dengan aturan pemakaian,
contoh (Depkes RI, 2006):
a. Tiga kali sehari berarti obat diminum setiap 8 jam sekali
b. Obat diminum sebelum atau sesudah makan
c. Jika menggunakan obat-obat bebas, ikuti petunjuk pada kemasan atau
brosur/leaflet
Apabila terlupa meminum obat (Depkes RI, 2006):
a. Minumlah dosis yang terlupa segera setelah ingat, tetapi jika hampir mendekati
dosis berikutnya, maka abaikan dosis yang terlupa dan kembali ke jadwal
selanjutnya sesuai aturan.
b. Jangan menggunakan dua dosis sekaligus atau dalam waktu yang berdekatan.

13

Pemberian dosis dan frekuensi yang diperlukan untuk mencapai kadar obat
yang efektif dalam darah dan jaringan bervariasi untuk pasien yang berlainan
karena adanya perbedaan individual dalam distribusi obat serta kecepatan
metabolisme dan eliminasi obat. Perbedaan ini ditentukan oleh faktor-faktor
genetik dan variabel non-genetik seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi
hati, ritme circadian, suhu tubuh, dan faktor-faktor nutrisi serta lingkungan seperti
pemaparan bersamaan terhadap induser atau inhibitor metabolisme obat (Bourne
dan Zastrow, 2012).

2.2.

Pengobatan Sendiri
Pengobatan sendiri adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan oleh

seseorang untuk mengobati penyakit atau gejala yang dialaminya (WHO, 1998).
Pengertian lain dari pengobatan sendiri yaitu pengobatan yang dilakukan secara
sendiri tanpa bantuan dokter atau petugas kesehatan yang lain yang dilakukan oleh
masyarakat terutama untuk penyakit-penyakit ringan yang bisa diobati dengan jenis
obat-obat bebas, misalnya pengobatan sakit kepala, batuk, pilek, panu, dan lain
sebagainya (Widodo, 2004). Menurut WSMI ( World Self-Medication Industry),
pengobatan sendiri adalah pengobatan masalah kesehatan yang umum dengan obatobatan yang didesain khusus dan diberi label untuk dapat digunakan tanpa
pengawasan dari tenaga medis, yang disetujui sebagai cara yang aman dan efektif
untuk digunakan sendiri (World Self-Medication Industry, n.d.).
Pengobatan sendiri merupakan bagian dari cakupan self-care (perawatan
diri). Self-care dan pengobatan sendiri, memunculkan isu tentang tanggung jawab
seseorang untuk memastikan bahwa perawatan atau pengobatan yang mereka pilih
adalah sesuai dengan kebutuhan mereka, aman, dan efektif (WHO, 1998).
Self-care merupakan tindakan seseorang untuk membangun dan menjaga

kesehatan dirinya, mencegah dan mengatasi penyakit. Ini merupakan konsep yang
luas, meliputi (WHO, 1998):
a. Kebersihan (umum dan pribadi)
b. Nutrisi (jenis dan kualitas makanan yang dimakan)
c. Gaya hidup (kegiatan olahraga, rekreasi, dll)

14

d. Faktor lingkungan (kondisi kehidupan, kebiasaan masyarakat, dll)
e. Faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan, keyakinan, dll)
f. Self-medication (pengobatan sendiri)
Menurut Holt (1986), keuntungan pengobatan sendiri adalah aman apabila
digunakan sesuai dengan petunjuk (efek samping dapat diperkirakan), efektif untuk
menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self-limiting, yaitu sembuh
sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat relatif lebih murah
daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu mengunjungi
fasilitas/profesi kesehatan, kepuasan karena ikut berperan aktif dalam pengambilan
keputusan terapi, berperan serta dalam sistem pelayanan kesehatan, menghindari
rasa malu atau stress apabila harus menampakkan bagian tubuh tertentu di hadapan
tenaga kesehatan, dan membantu pemerintah untuk mengatasi keterbatasan jumlah
tenaga kesehatan pada masyarakat (Supardi dan Notosiswoyo, 2005).
Holt juga mengutarakan, adapun kekurangan pengobatan sendiri adalah
obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan,
pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil
dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitivitas, efek samping
atau resistensi, penggunaan obat yang salah akibat informasi yang kurang lengkap
dari iklan obat, tidak efektif akibat salah diagnosis dan pemilihan obat, dan sulit
bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman
menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi dan
Notosiswoyo, 2005).
Berkaitan dengan pengobatan sendiri, telah dikeluarkan berbagai peraturan
perundangan. Pengobatan sendiri hanya boleh menggunakan obat yang termasuk
golongan obat bebas dan obat bebas terbatas (Kemenkes RI, 1983). Semua obat
yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan
keterangan pada setiap kemasannya tentang kandungan zat berkhasiat, kegunaan,
aturan pakai, dan pernyataan lain yang diperlukan (Kemenkes RI, 1993). Semua
kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda peringatan “apabila sakit
berlanjut segera hubungi dokter ” (Kemenkes RI, 1994).

15

Kemanjuran dan keamanan obat bebas akan baik hanya jika digunakan
dengan tepat sesuai petunjuk penggunaan dan peringatan untuk obat tersebut dan
bukan berarti bebas digunakan tanpa aturan. Penggunaan yang tidak tepat pada obat
bebas pun tetap dapat membahayakan penggunanya, minimal akan mengakibatkan
tidak efektifnya pengobatan.
Pengetahuan tentang keuntungan, kerugian dan konsekuensi dari
pengobatan sendiri adalah penting untuk meningkatkan kesadaran tentang betapa
seriusnya pembelian obat dengan resep dokter. Beberapa faktor juga mempengaruhi
perilaku pengobatan sendiri, seperti jenis kelamin, pengetahuan tentang
pengobatan, dan juga keberadaan apotek di sekitar rumah (Silva, Soares, dan
Muccillo-Baisch, 2012).

2.2.1. Golongan Obat dalam Pengobatan Sendiri
Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan sendiri sering disebut
‘nonprescription’ atau ‘over the counter ’ (OTC) dan dapat diperoleh melalui apotek
tanpa resep dokter. Di beberapa negara, produk OTC juga tersedia di supermarket
dan toko lainnya (World Self-Medication Industry, n.d.).
Dalam Permenkes/No.919/Menkes/Per/X/1993 pasal 2, menyebutkan
bahwa obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah
usia 2 tahun, dan orang tua di atas 65 tahun
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia
e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter yaitu obat bebas dan obat
bebas terbatas, yang kemasannya tertera tanda khusus berupa lingkaran hijau

16

dengan lingkaran biru. Sedangkan obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep
dokter, mempunyai tanda khusus berupa lingkaran bulat merah, yaitu obat keras
(Depkes RI, 1997).
Obat-obat yang digolongkan sebagai obat bebas dengan tanda bulatan hijau
(golongan obat bebas) atau biru (golongan obat bebas terbatas) dalam garis
lingkaran hitam, bukan merupakan obat kelas rendahan bila dibandingkan dengan
jenis obat keras. Suatu obat dimasukkan dalam golongan obat bebas bukan karena
khasiatnya rendah, tetapi karena memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Menteri
Kesehatan untuk digolongkan menjadi obat bebas (Widodo, 2004).
Dalam melaksanakan

pengobatan sendiri,

harus diwaspadai

saat

menggunakan obat bebas terbatas, karena khusus untuk obat bebas terbatas selain
terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan
pakai obat. Karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu obat ini aman
digunakan untuk pengobatan sendiri (Depkes RI, 2008).

2.3.

Pemilihan Pengobatan
Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan, menurut Young

(1980) yaitu: pengetahuan tentang sakit dan obatnya, keyakinan efektivitas
pengobatan, biaya yang dikaitkan dengan ketersediaan dana dan waktu, serta
keparahan sakit. Sedangkan menurut Kalangie (1984), yaitu: pengetahuan tentang
sakit dan obatnya, biaya yang berkaitan dengan pengobatan, keparahan sakit, serta
nasihat keluarga. Proses pengambilan keputusan dimulai dengan penerimaan
informasi, memproses berbagai informasi dan kemungkinan dampaknya, kemudian
mengambil keputusan dengan berbagai dampaknya (Supardi, Muktiningsih, dan
Handayani, 1997).
Masalah kesehatan masyarakat, termasuk penyakit, ditentukan oleh 2 faktor
utama, meliputi faktor perilaku dan non-perilaku (fisik, sosial, ekonomi, politik,
dan sebagainya). Oleh sebab itu, upaya penanggulangan masalah kesehatan
masyarakat juga dapat ditujukan pada kedua faktor utama tersebut. Upaya
intervensi terhadap faktor fisik (non-perilaku) meliputi upaya pemberantasan
penyakit menular, penyediaan sarana air bersih dan pembuangan tinja, serta

17

penyediaan pelayanan kesehatan. Sedangkan upaya intervensi terhadap faktor
perilaku dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni (Notoatmodjo, 2010):
a. Pendidikan (education)
Pendidikan merupakan upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat
agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatannya. Melalui proses pembelajaran ini terjadi
perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang
dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini. Sehingga, perilaku tersebut
diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan juga menetap karena
didasarkan oleh kesadaran dan pengetahuan yang diperolehnya melalui proses
pembelajaran tersebut.
b. Paksaan atau tekanan (coercion)
Dilakukannya paksaan atau tekanan kepada masyarakat agar mereka melakukan
tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka
sendiri. Hasil dari paksaan atau tekanan ini memang cepat, akan tetapi, tindakan
atau perilaku yang sebagai hasil tekanan ini tidak akan berlangsung lama. Ini
disebabkan karena perilaku ini tidak didasari oleh pemahaman dan kesadaran
untuk apa mereka berperilaku seperti itu.
Jadi, berdasarkan keuntungan dan kerugian dua pendekatan tersebut, pendekatan
pendidikanlah yang paling cocok sebagai upaya pemecahan masalah kesehatan
masyarakat, melalui faktor perilaku (Notoatmodjo, 2010).
Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan.
Maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku itu
sendiri. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010), 3 faktor
tersebut yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempengaruhi terjadinya
perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, adalah pengetahuan dan sikap
seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan.
b. Faktor pemungkin (enabling factors)

18

Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana,
atau prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya perilaku
seseorang atau masyarakat.
c. Faktor penguat (reinforcing factors)
Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia terkadang belum menjamin
terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Sehingga diperlukan faktor
penguat untuk menjaminnya. Faktor-faktor penguat tersebut antara lain tokoh
masyarakat, peraturan, undang-undang, surat-surat keputusan dari para pejabat
pemerintahan pusat atau daerah.

2.4.

Konsep Perilaku Kesehatan
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), seorang ahli psikologi,

merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Jadi, perilaku manusia terjadi melalui proses:

Stimulus  Organisme  Respons, sehingga disebut juga teori “S-O-R” (stimulusorganisme-respons). Ada dua jenis respons, yaitu:
a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh
stimulus tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan responsrespons yang relatif tetap. Misalnya: cahaya terang akan menimbulkan reaksi
mata tertutup, makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makanan,
mendengar musibah akan menimbulkan rasa sedih, dan sebagainya.
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain.
Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer , karena
berfungsi untuk memperkuat respons. Misalnya, apabila seorang petugas
kesehatan melakukan tugasnya dengan baik merupakan respons terhadap gaji
yang cukup, misalnya (stimulus). Kemudian karena kerja baik tersebut, menjadi
stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan. Jadi, kerja baik tersebut sebagai
reinforcer untuk memperoleh promosi pekerjaan.

Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

19

a. Perilaku tertutup (Covert behaviour )
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum
dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap
terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behaviour ” atau
”covert behaviour ” yang dapat diukur dari pengetahuan dan sikap. Contoh: Ibu
hamil tahu pentingnya periksa hamil untuk kesehatan bayi dan dirinya sendiri
(pengetahuan), kemudian ibu tersebut bertanya kepada tetangganya dimana
tempat periksa hamil yang dekat (sikap).
b. Perilaku terbuka (Overt behaviour )
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa
tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable
behaviour ”. Contoh, seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke

Puskesmas atau ke bidan praktik, seorang penderita TB Paru minum obat anti
TB secara teratur, seorang anak menggosok gigi setelah makan, dan sebagainya.
Ini merupakan bentuk tindakan nyata, dalam bentuk kegiatan, atau dalam
bentuk praktik (practice).
Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner tersebut, maka perilaku
kesehatan (health behaviour ) adalah respons seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan,
minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan
merupakan semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati
(observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan
dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Pemeliharaan kesehatan mencakup mencegah atau melindungi diri dari
penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari
penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Oleh sebab itu, pada
garis

besarnya

perilaku

kesehatan

dikelompokkan

menjadi

dua,

yaitu

(Notoatmodjo, 2010):
1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat, yang disebut dengan
perilaku sehat (healthy behaviour ), yang mencakup perilaku-perilaku (overt dan

20

covert behaviour ) dalam mencegah atau menghindar dari penyakit dan

penyebab penyakit/masalah, atau penyebab masalah kesehatan (perilaku
preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan

(perilaku promotif).
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, yang disebut
dengan perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behaviour ).
Perilaku ini dilakukan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan
masalah kesehatannya, yang mencakup tindakan-tindakan yang diambil
seseorang untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan
yang dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas
pelayanan kesehatan, baik fasilitas atau pelayanan kesehatan tradisional (dukun,
sinshe, paranormal), maupun pengobatan modern atau profesional (rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, dan sebagainya).
Menurut Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan
dibedakan menjadi tiga, yakni:
1. Perilaku sehat (healthy behaviour )
Perilaku sehat merupakan perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, yang diantaranya:
a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet).
b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup.
c. Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba.
d. Istirahat yang cukup.
e. Pengendalian atau manajemen stres.
f. Perilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk dapat terhindar dari
berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan, termasuk perilaku untuk
meningkatkan kesehatan.
2. Perilaku sakit (illness behaviour )
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang
sakit dan/atau terkena masalah kesehatan pada dirinya atau keluarganya, untuk
mencari penyembuhan, atau untuk mengatasi masalah yang lainnya. Tindakan
tersebut diantaranya:

21

a. Didiamkan saja (no action), artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap
menjalankan kegiatan sehari-hari.
b. Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri (self treatment
atau self medication). Pengobatan sendiri ini ada 2 cara, yaitu: cara
tradisional (kerokan, minum jamu, obat gosok, dan sebagainya), dan cara
modern, misalnya minum obat yang dibeli dari warung, toko obat, atau
apotek.
c. Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar, yaitu dari fasilitas
pelayanan kesehatan, yang dibedakan menjadi dua, yakni: fasilitas
pelayanan kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan paranormal), dan
fasilitas atau pelayanan kesehatan modern atau profesional (puskesmas,
poliklinik, dokter atau bidan praktik swasta, rumah sakit, dan sebagainya).
3. Perilaku peran orang sakit (the sick role behaviour )
Menurut Becker, hak dan kewajiban orang yang sedang sakit merupakan
perilaku peran orang sakit (the sick role behaviour ), yang diantaranya:
a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b. Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat
untuk memperoleh kesembuhan.
c. Melakukan kewajibannya sebagai pasien, yaitu mematuhi nasihat-nasihat
dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya.
d. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan proses penyembuhannya.
e. Melakukan kewajiban agar tidak kambuh penyakitnya, dan sebagainya.

2.4.1. Domain Perilaku
Perilaku adalah keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang
yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal, meskipun
perilaku telah dibedakan antara covert behaviour dan overt behaviour. Menurut
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010), domain perilaku ini
dibedakan atas 3, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.

22

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dengan perkembangan
selanjutnya, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010):
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Intensitas atau tingkat
pengetahuan seseorang terhadap objek secara garis besar dibagi dalam 6 tingkat
pengetahuan, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall memori yang telah ada sebelumnya saat
mengamati sesuatu.
b. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek tidak hanya sekedar tahu objek tersebut dan dapat
menyebutkan, tetapi juga harus dapat menginterpretasikan secara benar
tentang objek yang diketahui tersebut.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila seseorang yang memahami suatu objek, dapat
menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada
situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk memisahkan dan
menjabarkan, kemudian mencari hubungan antar komponen yang terdapat
dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

e. Sintesis (synthesis)
Sintesis diartikan apabila seseorang mampu merangkum atau meletakkan
dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan
yang dimiliki, atau dengan kata lain mampu untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)

23

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
penilaian terhadap suatu objek tertentu, yang didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sikap (attitude)
Sikap juga merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senangtidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell
(1950) dalam Notoatmodjo (2010), mendefinisikan sikap dengan sederhana,
yakni: “An individual’s attitude is syndrome of response consistency with
regard to object”. Jadi dengan jelas dikatakan bahwa sikap merupakan suatu

sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga
sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain.
Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010), ada 3 komponen pokok
sikap. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude), yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Seperti halnya dengan pengetahuan sikap terdiri dari berbagai tingkatan,
yaitu:
a. Menerima (receiving)
Menerima, diartikan bahwa seseorang (subjek) mau menerima stimulus yang
diberikan (objek).
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi diartikan apabila seseorang memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan (objek) yang dihadapi.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif
terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan
bahkan mengajak atau menganjurkan orang lain merespons.

24

d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi tingkatannya.
Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia
harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau
adanya risiko lain.

3. Tindakan atau Praktik (Practice)
Faktor-faktor misalnya adanya fasilitas atau sarana dan prasarana perlu supaya
sikap meningkat menjadi tindakan. Praktik atau tindakan dapat dikelompokkan
menjadi 3 tingkatan mengikut kualitasnya, yaitu:
a. Praktik terpimpin (guide response).
Subjek telah melakukan sesuatu tetapi masih bergantung pada tuntunan atau
menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism).
Subjek telah melakukan sesuatu hal secara otomatis tanpa harus menunggu
perintah dari kader atau petugas kesehatan.
c. Adopsi (adoption).
Tindakan yang sudah berkembang, dimana tindakan tersebut tidak sekadar
rutinitas tetapi sudah merupakan perilaku yang berkualitas.