07 Jeratan Pangan (a)
BAHASAN UTAMA
JERATAN PANGAN GLOBAL
Tri Hadiyanto Sasongko
1
Abstract
The continuous agricultural practice has been very much carried out either by
peasants, NGOs, government, or academicians. The continuous agriculture is
one of the alternative ways to achieve food sovereignty. Food sovereignty is
strategic tool in order to guarantee the continuous future of agriculture. Nevertheless, the continuous agricultural practice initiated by NGOs tends to focus the
activities on the production and distribution aspects only, whereas the food aspect still lacks attention. Food is human's unchangeable need. Therefore, it is
normal if food and the consumption pattern accompanied get attention, time
shared, balance energy, with other aspects (production and distribution). As a
matter of fact, in daily lives, the three aspects (production, distribution,
consumption) are not only strongly related to one another, but also overlapped
with one another so that it is hard to separate them firmly.
Homogenitas Pangan: Kolonialis-
dan Kartika (1999), Setiawan (2003),
me Kontemporer
Baudrillard (2004), Saliem, Suhartini,
Purwoto,
dan
Hardono
(2004),
dan
(2004),
Telah banyak studi dan kajian yang
Schlosser
Jatmiko
menunjukkan bahwa kapitalisme dan
(peny.) (2005) memaparkan bahwa
komersialisasi pangan 2 telah meram-
telah terjadi proses kapitalisme dan
bah ke ranah konsumsi. Sebagai con-
komersialiasi komoditi 3 pangan yang
toh, Ritzer (1996), Muhtaman, Aliadi,
1 Staf Peneliti Divisi Agraria di Yayasan AKATIGA.
2 Ketika pangan diperjualbelikan untuk menumpuk keuntungan sebesar-besarnya.
3 Komoditi dapat diartikan sebagai benda-benda yang memiliki nilai ekonomi (Appadurai 1986).
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
57
JERATAN PANGAN GLOBAL
dimotori oleh berbagai perusahaan
saha pangan kecil dan mikro hampir
multinasional (MNC).
tidak sempat memikirkan mutu pangan dari sisi kesehatan karena yang
Seiring dengan makin berkembang-
penting adalah uang. 4 Penggunaan
nya kapitalisme pertanian menjadi
formalin merupakan salah satu siasat
industri setara manufaktur, terjadi
mereka menekan biaya produksi se-
pula perkembangan industri pangan
minimal mungkin sekaligus memper-
(food industry). Salah satunya de-
besar rentang (margin) keuntungan
ngan tumbuhnya industri pemrosesan
yang akan diraih. Perilaku tersebut
pangan
industry)
dapat dilihat sebagai salah satu prak-
serta gerai pangan skala besar (large-
tik “kapitalisme kecil” yang dilakukan
(Setiawan
oleh para pengusaha pangan skala
2003:45). Salah satu contoh paling
kecil dan mikro. Namun demikian hal
nyata adalah menjamurnya berbagai
tersebut juga dapat dimaknai sebagai
restoran siap saji di seluruh penjuru
suatu strategi bertahan hidup (sub-
dunia. Saat ini hampir tidak ada kota
sistensi) bila ternyata keuntungan
besar di berbagai negara yang tidak
yang diraih hanya sebatas memenuhi
disinggahi oleh McDonald's, Kentucky
kebutuhan pokok mereka semata dan
Fried Chicken, dan sebagainya. Con-
tidak dapat diakumulasikan. Dengan
toh lainnya adalah semakin memban-
demikian, terdapat “daerah abu-abu”
jirnya produk pangan instan (mi, kopi,
antara perilaku “kapitalisme kecil”
sup, nasi goreng, dan sebagainya) di
dan strategi subsistensi pada pengu-
berbagai pelosok, mulai dari toko
saha kecil and mikro.
scale
(food-processing
food
retailers)
swalayan hingga pasar tradisional.
Salah satu kunci sukses kapitalisme
Meskipun tak banyak gerai makanan
dan komersialisasi pangan adalah ho-
siap saji di perdesaan, namun bukan
mogenitas atau keseragaman. Bagi
berarti praktik kapitalisme pangan ti-
restoran siap saji, homogenitas dalam
dak menembus kawasan tersebut.
konteks ini berarti mereka membe-
Maraknya
mengenai
rikan produk dan layanan yang sama
penggunaan formalin sebagai bahan
persis pada lokasi-lokasi yang bera-
pengawet pangan seperti pada tahu,
neka macam (Schlosser 2004:6—7).
ikan asin, dan mi basah, merupakan
Dengan demikian, seseorang akan
salah satu buktinya. Beberapa pengu-
mendapatkan rasa pangan yang sa-
pemberitaan
4 Pikiran Rakyat, 16 Januari 2006.
58
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
ma, kualitas pangan (gizi) yang sama,
(Khudori 2005:85). Kapitalis industri
pelayanan yang sama, hingga sua-
makanan memang sangat lihai. Mere-
sana yang sama di gerai mana pun ia
ka tidak hanya berhasil menciptakan
makan, entah itu di Bandung, Mesir,
berbagai jenis pangan siap saji, tetapi
India, bahkan hingga ke Kutub Utara
juga “menciptakan kebudayaan”. Ma-
sekalipun. Homogenitas ini, menurut
kan bukan hanya urusan perut, me-
Ritzer, menyebabkan orang susah se-
lainkan juga gaya hidup (Redana
kali mendapatkan pangan asli yang
1997). Dengan menyantap pangan
benar-benar berbeda yang masih me-
siap saji atau produk instan, konsu-
miliki karakter aslinya (Ritzer 1996:
men tidak hanya akan terasa ke-
136—137). Bagi produk pangan ins-
nyang, tetapi juga akan terdongkrak
tan, homogenitas juga menjadi sen-
kelas sosialnya (karena mampu me-
jata utama kaum kapitalis. Produk
nyantap “pangan elite”).
pangan instan biasanya dilengkapi
dengan berbagai bumbu yang telah
Pola makan di kota-kota besar ber-
ditakar ukurannya serta petunjuk cara
ubah dari pola tradisional yang ba-
memasaknya. Hal ini meminimalkan
nyak mengandung karbohidrat dan
terjadinya perbedaan pemasakan dan
serat ke arah pola makan dengan kan-
penyajian yang biasa terjadi pada
dungan protein, lemak, dan garam
pangan tradisional.
yang tinggi tetapi miskin serat. Melalui promosi (pencitraan) besar-besar-
Proses homogenisasi tersebut juga di-
an di berbagai media massa, pola
dukung oleh kuatnya pencitraan ko-
konsumsi didikte (baca: dijajah) oleh
moditi yang ditawarkan melalui ber-
kapitalisme. Kredonya adalah keprak-
bagai iklan di media massa. Salah sa-
tisan. Tidaklah mengherankan bila ki-
tu citra yang ditawarkan adalah citra
ni produk-produk cepat saji atau in-
modern dan gaya hidup baru di ber-
stan menjamur di mana-mana, dari
bagai pelosok negeri. Ada penciptaan
kota-kota besar hingga ke desa-desa
“norma baru” di masyarakat seolah-
terpencil di pelosok nusantara. Pro-
olah orang menjadi begitu udik dan
duk mi instan misalnya, disinyalir oleh
ketinggalan zaman bila belum pernah
Eviandaru dkk. (2001), telah muncul
menyantap pizza, hamburger, serta
sebagai pangan alternatif pengganti
berbagai produk pangan instan lain-
nasi. Hal tersebut didasari pada suatu
nya. Pangan siap saji dan produk
kenyataan bahwa telah terjadi penu-
instan dianggap pangan elite oleh
runan konsumsi beras pada masyara-
sebagian
kat berpenghasilan relatif tinggi kare-
besar
masyarakat
kita
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
59
JERATAN PANGAN GLOBAL
na beras telah menjadi bahan inferior
nilai yang sangat tinggi di masyarakat
(Amang dan Sawit 2001). Bila kini kita
dan dianalogikan dengan rezeki.
masih mendengar istilah “belum makan jika belum makan nasi,” bukan ti-
Homogenisasi pola makan tersebut,
dak mungkin kelak kita akan mende-
terlebih pada produk pangan instan,
ngar istilah “belum makan jika belum
jelas merupakan suatu berita buruk
makan mi instan”.
bagi prakarsa membangun kedaulatan pangan.5 Kedaulatan pangan
Homogenisasi pangan tersebut pada
adalah suatu kondisi ketika rakyat
akhirnya menciptakan homogenisasi
miskin (termasuk petani) memiliki
pola makan. Hal ini terjadi pada era
akses dan kontrol terhadap sumber
Orde Baru dengan program pembe-
daya yang penting bagi mereka. Pro-
rasan nasional yang dimulai sejalan
duksi dan distribusi pangan instan
dengan dibentuknya Bulog (Badan
jelas merupakan sesuatu yang relatif
Urusan Logistik; sebelumnya Koman-
berada di luar akses dan kontrol peta-
do Logistik Nasional) pada tahun
ni. Hal ini tidak hanya membuat peta-
1966. Keanekaragaman pola makan
ni menjadi sangat tergantung pada
yang khas dari berbagai suku dan
sistem pasar yang tidak berpihak pa-
daerah di Indonesia secara perlahan
da petani, tetapi juga akan memati-
menghilang dan bergeser ke satu je-
kan produksi pangan dan industri pa-
nis pangan, yaitu beras. Seorang pa-
ngan di tingkat lokal. Yang paling me-
kar seperti Profesor Mubyarto bahkan
ngerikan, cengkeraman kuku kapital-
memandang, jika rakyat suatu daerah
isme pangan kini tidak datang melalui
tidak makan nasi, daerah itu disebut
tindakan yang represif dan todongan
miskin (Khudori 2005:48). Beras,
senjata, tetapi melalui bujuk rayu
yang kemudian diolah menjadi nasi,
yang manis (namun beracun) melalui
pada
pencitraan besar-besaran di media
perkembangannya
menjadi
“kultus”. Pepatah mencari sesuap na-
massa.
si menunjukkan bahwa nasi memiliki
5 Untuk keterangan lebih lanjut tentang kedaulatan pangan dapat merujuk pada beberapa literature,
diantaranya: Bonnie Setiawan (2003). Globalisasi Pertanian: Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa
dan Kesejahtraan Petani, Jakarta: The Institute for Global Justice; Anonim (2004), Violation of
Human Rights of Peasants - Report on Cases and on Pattern of Violation, FIAN-La Via Campesina,
Honduras; A. Ya'kub (2004), Pandangan dan Sikap Dasar Federasi Serikat Pekerja Indonesia
(FSPI), Jakarta; Khudori (2005), Lapar: Negeri Salah Urus!, Yogyakarta: Resist Book; serta Witoro
(2005), Kedaulatan Pangan: Sebuah Pengantar, Bogor: Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan:
Atau dapat juga diakses pada situs: www.viacampesina.org dan www.sovereignty.org.uk/features/
articles/root2.html.
60
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Boks 1
Dampak Globalisasi Pangan Pada Petani
Pada aspek produksi, petani dipaksa untuk lebih melayani kebutuhan pihak luar (baca: masyarakat kota) daripada kebutuhan komunitinya. Dengan demikian, apa yang diproduksi dan bagaimana cara memproduksinya
akan sangat ditentukan oleh kebutuhan konsumen (masyarakat kota). Dalam hal ini petani sudah mulai kehilangan kedaulatannya karena tidak dapat
menentukan sendiri apa saja yang ditanamnya dan bagaimana cara menanamnya. Salah satunya adalah dengan besarnya ketergantungan pada berbagai asupan mulai dari pupuk, pestisida, hingga benih pabrikan.
Pada aspek distribusi, petani juga akan dihadapkan pada mekanisme distribusi yang berorientasi pada mekanisme pasar. Salah satunya adalah adanya kecenderungan untuk mengekstraksi semua komoditi pangan yang laku di pasaran keluar dari kawasan perdesaan tersebut. Hal ini tentu saja
akan merugikan petani karena pada kenyataannya selama ini mekanisme
pasar tidak pernah berpihak pada petani. Pada tahapan ini pula rentang
harga di tingkat produksi dan konsumsi terjadi. Pihak yang mendapatkan
keuntungan terbesar adalah agen yang bermain pada tahapan distribusi ini.
Petani sebagai produsen dan konsumen pada umumnya tidak memiliki
akses dan kontrol pada proses distribusi tersebut.
Pada aspek konsumsi, ketika petani sudah memproduksi apa yang bukan
menjadi kebutuhannya dan dipengaruhi oleh besarnya intervensi pasar,
mereka akan banyak tergantung pada berbagai produk luar untuk memenuhi kebutuhan (pangan)nya yang tentunya didapat melalui sistem pasar.
Konsumen juga terpaksa mengakses pasar dengan harga yang sangat
tinggi bila dibandingkan harga produksi. Selain itu masyarakat perdesaan
juga relatif sudah mulai terkena homogenisasi panganan. Salah satu indikasinya adalah makin banyaknya panganan pabrikan yang masuk ke perdesaan dan makin langkanya makanan tradisional yang diproduksi di kawasan
tersebut.
Untuk menunjang usaha memenuhi kebutuhan masyarakat kota tersebut
dibuatlah berbagai mekanisme kebijakan (baik dalam aspek produksi,
distribusi, dan konsumsi), program,dan institusi untuk meningkatkan surplus produksi dan mengekstraknya keluar dari lingkaran masyarakat produsen di tingkat lokal perdesaan. Karena pihak yang berkepentingan
dengan surplus itu bukanlah masyarakat produsen itu sendiri, maka semua
mekanisme tersebut dibuat oleh dan untuk kepentingan pelaku pasar (distributor dan konsumen), bukan oleh dan untuk kepentingan petani selaku
produsen pangan. Dari sisi konsumsi, berbagai kebijakan yang mendorong
masuknya berbagai industri panganan pabrikan yang mengatasnamakan
pertumbuhan ekonomi desa juga kian gencar dijalankan.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
61
JERATAN PANGAN GLOBAL
Pertanian
Berkelanjutan,
Jalan
bagi masyarakat (IUF, UITA, dan UIL
2002:8 dalam Setiawan 2003:123—
Menuju Kedaulatan Pangan?
124). Kedaulatan pangan bukan haPraktik-praktik
pertanian
nya sekadar seperangkat hak, tetapi
berkelanjutan (sustainable agricul-
kegiatan
suatu kondisi ketika masyarakat (pe-
ture) 6
sebenarnya telah banyak dila-
tani) memiliki akses dan kontrol
kukan baik oleh petani, LSM, peme-
terhadap sumber-sumber agraria se-
rintah, maupun kalangan akademisi
hingga mereka mampu menentukan
di berbagai kawasan di dunia dan In-
sendiri apa yang harus diproduksi,
donesia. Pertanian berkelanjutan di-
bagaimana cara memproduksi, men-
percaya merupakan salah satu alter-
distribusikan, dan mengkonsumsi de-
natif jalan untuk mencapai kedau-
ngan cara dan mekanisme yang me-
latan pangan. Kedaulatan pangan
mang
merupakan suatu alat yang strategis
(Hadiyanto dan Sari 2005).
guna
menjamin
paling
tepat
bagi
mereka
keberlangsungan
masa depan pertanian.
Kedaulatan pangan merupakan suatu
kondisi ketika petani memiliki akses
Konsep kedaulatan pangan
7
adalah
dan kontrol pada sumber daya yang
suatu alat untuk menghapus kela-
penting bagi mereka, sehingga perta-
paran dan kekurangan gizi serta un-
nian berkelanjutan menjadi salah sa-
tuk
pangan
tu prasyarat tersedianya sumber daya
yang seterusnya dan berkelanjutan
tersebut bagi para petani. Tanpa ada-
bagi semua orang. Penulis mendefi-
nya pertanian yang berkelanjutan, ti-
nisikan kedaulatan pangan sebagai
daklah mungkin akan tersedia sum-
seperangkat hak rakyat untuk me-
ber daya yang cukup bagi petani un-
nentukan kebijakan dan strategi me-
tuk diakses dan dikontrol.
menjamin
ketahanan
reka sendiri atas produksi, distribusi,
dan konsumsi pangan yang berkelan-
Kata keberlanjutan sekarang ini digu-
jutan yang menjamin hak atas pangan
nakan secara meluas dalam banyak
6 Untuk keterangan tentang pertanian yang berkelanjutan dapat dilihat pada beberapa literatur,
diantaranya: Coen Reijntjes, Bertus Haverkot, dan Ann Water-Bayer (1999), Pertanian Masa Depan: Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius; Fernando Funes, Luis Garcia, Martin Bourque, Nilda Pérez, dan Peter Rosset (2002),
Sustainable Agriculture and Resistance: Transforming Food Production in Cuba, California, Food
First Books; Wangsit dan Supriyana (peny.) (2003), Belajar Dari Petani: Kumpulan Pengalaman
Bertani Organik, Yogyakarta, SPTN-HPS, Lesman, Mitra Tani; dan sebagainya.
7 Definisi ini diajukan dalam Deklarasi Final dari World Forum on Food Sovereignty di Havana, Kuba,
tanggal 7 September 2001
62
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
hal. Namun, apa arti sesungguhnya
menggunakan bahan-bahan kimia.
kata ini? Keberlanjutan dapat diar-
Hal ini memunculkan kebutuhan ada-
tikan sebagai 'menjaga sesuatu agar
nya perubahan besar pada sistem
terus berlangsung', atau 'kemampuan
pertanian modern agar lebih ramah
untuk bertahan dan menjaga agar ti-
lingkungan, bersifat sosial, dan eko-
dak merosot'. Dalam konteks perta-
nomis. Salah satu solusinya difokus-
nian, keberlanjutan berarti kemam-
kan pada mengurangi—atau bahkan
puan untuk terus mempertahankan
menghilangkan sama sekali—peng-
kehidupan
memanfaatkan
gunaaan bahan-bahan kimia seperti
dan menjaga sumber daya. Sumber
pupuk dan pestisida pabrikan. Hal ini
daya yang dimaksud mencakup sum-
dapat dilakukan melalui perubahan
ber daya alam, sumber daya sosial,
sistem dan manajemen pertanian se-
teknologi, aktor-aktor yang telibat da-
perti penggunan bahan-bahan orga-
lam sistem nafkah, tingkat keperma-
nik dan pengendalian hama terpadu
nenan (permanency), dan sebagai-
(Funes, Garcia, Bourque, Pérez, dan
nya. Sementara itu, Technical Adviso-
Rosset 2002).
dengan
ry Committe of the CGIAR
8
(TAC/
CGIAR 1988) mendefinisikan perta-
Meskipun pada awalnya pertanian
nian berkelanjutan (sustainable agri-
yang berkelanjutan lebih didasari oleh
culture) sebagai pengelolaan sumber
aspek-aspek ekologis, pada perkem-
daya
usaha
bangannya kegiatan pertanian berke-
pertanian guna membantu kebutuh-
lanjutan juga memiliki beberapa as-
an manusia yang berubah sekaligus
pek lain. 9 Secara umum aspek-aspek
mempertahankan atau meningkatkan
tersebut adalah:
kualitas lingkungan dan melestarikan
1. Aspek ekologi; yaitu penerapan
yang
berhasil
untuk
sumber daya alam (Reijntjes, Haver-
sistem
pertanian
berkelanjutan
kort, dan Water-Bayer 1999).
yang menekankan pada penggunaan berbagai asupan organik
Konsep pertanian yang berkelanjutan
seperti
muncul sebagai respons atas terjadi-
organik (nonkimia dan pabrikan)
pupuk
dan
pestisida
nya kemunduran kualitas sumber
diharapkan dapat mengembalikan
daya alam yang disebabkan oleh cara-
kesuburan agroekosistem secara
cara pertanian modern yang banyak
keseluruhan yang telah banyak
8 Consultative Group on International Agricultural Research.
9 Http://www.biocert.or.id/mitra-gitapertiwi.php.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
63
JERATAN PANGAN GLOBAL
tercemar oleh berbagai pestisida
dan pupuk kimia.
2. Aspek
ekonomi;
(bahkan
MNC). Salah satunya adalah dedikuranginya
batas
ngan meminimalkan tingkat keter-
tertentu
gantungan pada berbagai asupan
dihilangkan sama sekali) penggu-
kimia produksi perusahaan-peru-
naan asupan pabrikan diharapkan
sahaan tersebut sekaligus mem-
dapat mendatangkan penghasilan
berdayakan diri dengan kemam-
yang cukup untuk mengembalikan
puan untuk mengelola pertanian
tenaga dan biaya yang dikeluarkan
secara terpadu dan mandiri.
serta
pada
sional (Multinational Corporation/
10
meningkatkan
kesejah-
teraan rumah tangga petani. Ke-
Keempat aspek tersebut dapat dika-
berlanjutan ekonomi ini bukan ha-
takan merupakan prasyarat dari ter-
nya diukur dari produk usaha tani,
laksananya pertanian yang berke-
melainkan dari fungsi lain seperti
lanjutan. Keempat aspek itu tidak me-
melestarikan sumber daya alam
rupakan sesuatu yang terpisah satu
dan meminimalkan risiko.
11
sama lainnya, tetapi sebagai satu ke-
3. Aspek sosial budaya pertanian
satuan yang utuh yang sifatnya saling
berkelanjutan adalah adanya pe-
melengkapi dan menunjang. Mengin-
ningkatan
SDM
tegrasikan keempat aspek tersebut
ataupun institusi yang dilakukan
kapasitas
baik
dalam suatu program kerja memang
dengan cara belajar bersama un-
bukan pekerjaan yang mudah. Meski-
tuk membangun kelompok, mem-
pun demikian hal tersebut tidak me-
buat jaringan komunikasi antarke-
nyurutkan semangat beberapa pihak
lompok, dan menggalang kekuat-
untuk tetap berusaha melaksanakan
an bersama untuk melakukan ad-
kegiatan pertanian yang berkelan-
vokasi sesuai dengan kapasitas
jutan.
dan kebutuhan kelompok.
12
4. Aspek politik yang muncul dari
pertanian
berkelanjutan
adalah
Daulat Tani: Pejuang Pertanian
Berkelanjutan
adanya kesadaran dan perlawanan
Salah satu dari sekian banyak LSM pe-
untuk lepas dari derasnya laju ko-
juang pertanian berkelanjutan adalah
mersialisasi pertanian yang dila-
Yayasan Daulat Tani (bukan nama se-
kukan oleh perusahaan multina-
10 Http://www.lablink.or.id/Agro/agr-sust.htm.
11 Lihat Reijntjes, Haverkort dan Water-Bayer, 1999 hal 2.
12 http://www.biocert.or.id/mitra-gitapertiwi.php.
64
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
benarnya), yang berdomisili di Provinsi Jawa Tengah. Daulat Tani adalah se-
penggunaan asupan kimia.
2. Aspek ekonomi tampak pada ke-
buah lembaga independen nonpeme-
giatan:
rintah yang didirikan oleh Jaringan
(a) Sapi dan Kerbau Gaduan. Pin-
Kelompok Tani yang bercita-cita me-
jaman sapi pada kelompok tani
lestarikan kehidupan lingkungan per-
ini dilakukan atas suatu kesa-
tanian untuk mewujudkan kemandi-
daran bahwa ternak merupa-
rian keluarga tani laki-laki, perem-
kan salah satu elemen penting
puan secara adil terhadap sesama pe-
dalam kegiatan pertanian ber-
tani, lingkungan, serta pihak-pihak
kelanjutan. Selain tenaganya
yang terkait dengan petani dan per-
dapat digunakan untuk mem-
tanian. Daulat Tani memiliki visi untuk
bajak sawah, kotoran ternak
mewujudkan kelestarian lingkungan
yang bersangkutan juga meru-
pertanian untuk kemandirian petani
pakan bahan baku pembuatan
dan keluarganya dari segi sosial, bu-
pupuk organik yang ramah
daya, ekonomi, teknik, dan politik.
lingkungan.
Sementara itu, misi yang diembannya
(b) Pasar Tani Alami. Lembaga ini
adalah untuk memfasilitasi terben-
dibentuk dalam rangka me-
tuknya organisasi tani yang mampu
ningkatkan nilai jual hasil pro-
mengelola lingkungan sumber pa-
duk pertanian secara adil, de-
ngan dan ekonomi secara berke-
ngan cara:
lanjutan.
o
memfasilitasi petani dalam
melakukan pendataan hasil
Pada tataran teknis, Daulat Tani mengejawantahkan
pertanian
berke-
produksinya,
o
lanjutan dengan beberapa program
mempertahankan
sebagai berikut:
1. Aspek ekologis dilakukan dengan
petani
melakukan
dalam
bidang
budidaya
pendampingan
petani
memfasilitasi
pemasaran
hasil panen petani dengan
pendampingan
(dan pengelolaan hasil pertanian).
Kegiatan
kualitas
produk yang dijual,
o
cara
memfasilitasi petani untuk
harga yang adil, dan
o
memfungsikan
lumbung
lumbung-
kelompok
yang
masih ada
tersebut dilakukan dalam kerang-
Saat ini pasar tani tengah be-
ka pertanian alami yang ramah
kerjasama dengan sebuah pe-
lingkungan dengan meminimalkan
rusahaan distributor beras asal
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
65
JERATAN PANGAN GLOBAL
Jakarta yang memasarkan be-
Berdasarkan uraian kegiatan di atas,
ras (organik) petani ke Jakarta
tampak bahwa Daulat Tani masih me-
dengan harga lebih tinggi dari
nitik-beratkan kegiatannya pada as-
harga pasar.
pek produksi, distribusi, dan pengor-
(c) LKP (Lembaga Keuangan Peta-
ganisasian. Sejauh ini Daulat Tani me-
ni). Tujuan pembentukan lem-
mang telah menunjukkan dedikasi
baga ini adalah untuk memper-
yang luar biasa dalam melaksanakan
mudah petani dalam meng-
program-programnya.
akses keuangan. Kegiatan yang
yang dilakukan AKATIGA di Boyolali
dilakukan adalah dengan mem-
(2005) menunjukkan bahwa program
berikan pinjaman lunak tanpa
kerja Daulat Tani secara nyata telah
agunan pada petani.
memberikan manfaat bagi masya-
Hasil
riset
3. Aspek sosial budaya terdapat da-
rakat, baik yang secara langsung
lam kegiatan peningkatan kualitas
menjadi anggota dampingan maupun
SDM petani dan lembaga melalui
yang tidak.
proses belajar bersama dalam kelompok. Pengetahuan yang dipela-
“Tak ada gading yang tak retak” be-
jari bukan hanya mengenai teknis
gitu kata orang bijak. Saya melihat
pertanian seperti bagaimana cara
masih ada satu aspek yang belum ter-
pengendalian hama terpadu, me-
tangani yaitu aspek konsumsi. Daulat
lainkan juga manajemen kelom-
Tani sebetulnya telah menyadari pen-
pok.
tingnya pemahaman dan pengeta-
4. Aspek politis yang muncul dalam
huan mengenai aspek konsumsi ter-
kegiatan yang dilakukan oleh Dau-
sebut. Namun dengan segala keter-
lat Tani pada kegiatan pendidikan
batasan yang dimilikinya, hingga saat
kritis yang ada dalam setiap pen-
ini mereka memang belum dapat
dampingan kelompok tani. Salah
mengejawantahkannmya dalam sua-
satu materi yang diberikan adalah
tu kegiatan yang nyata. Pemahaman
pentingnya pengorganisasian pe-
masyarakat secara menyeluruh mulai
tani. Dalam kelompok tersebut
dari aspek produksi, distribusi, dan
ditanamkan nilai-nilai penting ko-
konsumsi disadari memang menjadi
lektivitas dan kebersamaan guna
modal yang sangat berharga guna
memecahkan masalah yang diha-
menjalankan
dapi sehari-hari, baik masalah da-
agriculture. Pertanian berkelanjutan,
lam pertanian maupun nonperta-
dipahami oleh Daulat Tani, bukan me-
nian.
lingkupi sektor pertanian (pertanian
program
sustainable
alami yang ramah lingkungan dengan
66
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
meminimalkan penggunaan asupan
portasi dan informasi turut menye-
kimia) semata, melainkan juga me-
babkan semakin berlimpahnya komo-
luas hingga ke sektor nonpertanian.
diti panganan pabrikan ke desa dan
makin tingginya tingkat konsumsi
Bagaimanapun, pada kenyataannya,
produk-produk tersebut. Kini banyak
aspek produksi, distribusi dan kon-
produk seperti mi instan, agar-agar,
sumsi, serta kebijakan yang meling-
dan biscuit, dapat dijumpai di mana-
kupinya merupakan suatu rantai yang
mana, mulai dari toko swalayan ter-
saling terkait. Saat ini laju globalisasi
kemuka di kota besar hingga ke wa-
dan komersialisasi pertanian sangat
rung-warung kecil di pelosok desa.
merugikan petani dan kini telah merambah hampir ke segala sektor mu-
Khusus untuk mi instan, produk ini
lai dari aspek produksi, distribusi dan
memang bukan hanya menjadi idola
konsumsi, serta berbagai kebijakan
bagi konsumen, namun juga menjadi
yang melingkupinya. 13 Sebagai alat
primadona bagi para produsen. Ala-
untuk mencapai kedaulatan pangan
sannya? Jelas karena besarnya keun-
tentunya sangat signifikan bagi perta-
tungan yang dijanjikan. Contohnya
nian berkelanjutan untuk memperha-
adalah PT Indofood Sukses Makmur.
tikan ketiga aspek tersebut secara
Per 31 Maret 2003, Indofood telah
menyeluruh.
meraih penjualan bersih sebesar Rp.
4,3 trilyun. 14 Tak mengherankan jika
dalam sepuluh tahun terakhir kon-
Komersialisasi Pangan di Perde-
sumsi bahan pangan dari terigu me-
saan
ningkat
sangat
pesat.
Indonesia
mengimpor gandum sekitar 4 ton seMi Instan: Konstruksi Modernitas
tahun. Konsumsi terigu itu dipakai un-
Meskipun tidak banyak restoran siap
tuk industri bahan pangan bakmi ba-
saji yang telah merambah hingga ke
sah (32%), mi instan (20%), biscuit
perdesaan, bukan berarti proses ho-
(20%), roti (15%), mi telor (8%) dan
mogenisasi dan komersialisasi pa-
sisanya 5% dikonsumsi langsung oleh
ngan tidak menyentuh kawasan ter-
masyarakat. Mi instan sebagai pa-
sebut. Semakin baiknya sarana trans-
nganan yang berbahan baku gandum
13 Lihat Ritzer (1996), Muhtaman, Aliadi, dan Kartika (1999), Sosialismanto (2001), Setiawan (2003),
Schlosser (2004), Saliem, Suhartini, Purwoto dan Hardono (2004), Jatmiko (Editor) (2005), serta
Hadiyanto dan Sari (2005).
14 Sinar Harapan, 30 April 2003.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
67
JERATAN PANGAN GLOBAL
pun menjadi laris-manis. Sepanjang
pangan di Dukuh Subur dan Dukuh
tahun 2000, dari 50-an brand names,
Makmur telah relatif tercukupi. Hal ini
sekitar 8,6 miliar bungkus ludes ter-
diperkuat oleh pengakuan beberapa
jual (Khudori 2005:160—161).
informan yang menyatakan bahwa
dukuh mereka tidak pernah menga-
Sukses besar bisnis mi instan terse-
lami masa paceklik atau kekurangan
but juga berdampak hingga ke kawa-
pangan. Adanya lumbung pangan di
san perdesaan. Salah satunya tam-
setiap rumah tangga merupakan sa-
pak pada studi yang dilakukan AKA-
lah satu jaring pengaman yang mam-
TIGA di Boyolali yang menunjukkan
pu menjamin ketersediaan pangan di
bahwa di kawasan penelitian telah
kawasan penelitian.
muncul kecenderungan bahwa mi
instan merupakan makanan alternatif
Namun, bukan berarti kawasan terse-
pengganti makanan pokok mereka
but sama sekali terbebas dari pe-
(nasi). Dukuh Subur dan Dukuh Mak-
ngaruh komersialisasi pangan. Data
mur (bukan nama sebenarnya) yang
lapangan menunjukkan bahwa pa-
menjadi kawasan penelitian merupa-
nganan alternatif pengganti nasi yang
kan suatu kawasan pertanian sawah
paling favorit adalah mi instan. Lebih
dengan irigasi teknis. Berlimpahnya
spesifik lagi, sebagian besar informan
pasokan air di kawasan tersebut
merujuk pada suatu merek mi instan
membuat petani mampu menanami
tertentu, yaitu Indomie. Populernya
sawahnya hingga tiga kali dalam
mi instan sebagai makanan pengganti
setahun. Adanya kebiasaan di tiap-
nasi disinyalir juga terjadi di banyak
tiap rumah tanggan15 menyisihkan se-
tempat. Studi AKATIGA di Klaten
bagian hasil panennya sebagai ca-
(2004) 16 juga menunjukkan gejala
dangan pangan hingga musim panen
yang sama (lihat studi kasus boks 2).
berikutnya
membuat
ketersediaan
15 Rata-rata penguasaan sawah di kawasan tersebut adalah 0.2 Ha untuk setiap rumah tangga.
16 Lihat Hadiyanto dan Sari (2005).
68
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Boks 2
Mi Instan Sang Idola Baru
Tingkat popularitas mi instan tersebut jauh melebihi makanan tradisional
seperti singkong rebus dan gaplek. Ibu W misalnya, mengatakan dirinya
dan keluarganya hampir tidak pernah memakan singkong rebus baik sebagai kudapan ataupun panganan pengganti nasi. Bagi mereka singkong merupakan makanan ternak, bukan makanan bagi manusia. Untuk alasan itu
pulalah Bu W membudidayakan tanaman singkong di halaman rumahnya.
Setiap hari Bu W memanen singkongnya untuk makanan kambing miliknya.
Bila keluarga Ibu W sedang bosan memakan nasi, maka biasanya beliau
memasakkan mi instan.Bu W mengatakan kedua anaknya bahkan telah
mempunyai rasa kesukaan tersendiri. Anak yang pertama lebih menyukai
rasa ayam bawang sementara yang bungsu favoritnya adalah mi goreng.
Apalagi bila ada pertandingan sepak bola Liga Inggris dan Italia yang disiarkan salah satu stasion TV swasta setiap minggunya, sambil menonton
sepak bola, mereka berdua biasanya membuat mi instan sebagai “teman
wajib” menonton.
Alasan yang diajukan oleh Bu W adalah memasak mie instant lebih praktis
dan cepat. Karena kepraktisannya itu maka anak bungsunya yang baru berumur 10 tahun sudah bisa memasak mi sendiri. Alasan lain yang diajukan
adalah karena di Dukuh Subur dan Dukuh Makmur tidak terdapat warung
atau rumah makan. Hal ini menyebabkan warga dukuh memang harus memasak di rumah masing-masing
Populernya mi instant di perdesaan
lengkap dengan kopiah dan sajadah di
disebabkan oleh banyak hal. Selain
pundaknya, anak-anak, wanita karier,
karena ditunjang oleh sarana dan
ibu rumah tangga, buruh bangunan,
prasarana yang memadai seperti ja-
mahasiswa, petani, dan sebagainya.
lan dan pasar yang semakin baik, ju-
Pencitraan tersebut merupakan upaya
ga karena gencarnya pencitraan pro-
untuk mengukuhkan produknya seba-
duk tersebut melalui iklan-iklan di
gai makanan yang “menembus batas
media massa. Lewat pencitraan vi-
kelas sosial”. Makanan yang tidak me-
sual, sebuah produk mi instan meng-
malukan dikonsumsi kelas atas, seka-
klaim dirinya sebagai makanan ke-
ligus terjangkau oleh kelas bawah.
luarga. Iklan tersebut menampilkan
sosok-sosok yang mewakili berbagai
Pengiklanan tersebut secara khusus
kalangan, mulai dari seorang kiai
mampu menanamkan beragam citra
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
69
JERATAN PANGAN GLOBAL
pada produk yang ditawarkan yang
tidak perlu banyak meluangkan wak-
memanipulasi konsumen untuk te-
tu untuk memasak di dapur.
rus-menerus menggunakan produk
mereka (Featherstone 2001:33—34).
Hal yang paling dahsyat adalah mun-
Sebuah iklan mi instan lainnya di tele-
culnya
visi sangat menekankan pada sisi ke-
pola makan dari beras ke gandum.
praktisan dan siap disantap tanpa
Amang dan Sawit (2001) menunjuk-
persiapan waktu yang lama. Mi instan
kan bahwa masyarakat berpengha-
juga mudah disajikan oleh siapa saja,
silan relatif tinggi telah mengurangi
termasuk oleh anak lelaki, sehingga
konsumsi beras karena beras telah
tidak mengharuskan perempuan un-
dianggap
tuk menghabiskan waktunya bekerja
(Amang dan Sawit 2001). Hal ini didu-
di dapur, sebagaimana dikonstruk-
kung oleh survei yang dilakukan oleh
sikan oleh budaya patriarki selama
Eviandaru, dkk. (2001) yang me-
ini. Perpendekan cost waktu ini mem-
nunjukkan bahwa telah terjadi per-
buat perempuan bisa mengaloka-
geseran pola makan dari nasi ke
sikan waktu dan tenaga untuk kegiat-
panganan non nasi. Sebanyak 24,9%
an lain guna memperbesar benefit.
responden menyatakan bahwa nasi
Bagi kaum miskin, efektivitas waktu
atau bukan nasi, bergizi atau tidak
ini
pertimbangan
bergizi, sudah tidak lagi menjadi per-
utama. Meskipun terkesan merupa-
timbangan utama. Para responden
kan suatu pemborosan (karena harus
mengakui bahwa kandungan gizi mi
membeli produk pangan pabrikan da-
instan masih kurang, sehingga 49,5%
ripada mengolah bahan pangan yang
responden masih perlu menambah-
ada), namun efektivitas waktu yang
kan telur atau daging dalam penya-
didapat (memasak pangan instan re-
jiannya. Bahkan setengah dari mere-
latif lebih cepat daripada mengolah
ka sadar bahwa mengkonsumsi mi in-
dan memasak pangan sendiri) mem-
stan berisiko terhadap kesehatan lan-
buat kaum miskin (terutama perem-
taran bahan pengawet di dalamnya.
puan) dapat mengalokasikan waktu-
Anehnya, mereka justru menjadikan-
nya untuk kegiatan lain yang meng-
nya sebagai makanan pokok sehari-
hasilkan uang. Adanya pangan instan
hari (Eviandaru, dkk. 2001). Dalam
yang relatif mudah dimasak (bahkan
konteks ini alasan yang paling menda-
oleh anak-anak sekalipun) bahkan
sar dalam mengkonsumsi mi instan
membuat kaum perempuan miskin
adalah keefisienan dan kenyang.
70
sering
menjadi
kecenderungan
sebagai
pergeseran
bahan
inferior
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Dari sisi daya saing, mi instan dipan-
mengarahkan pasaran mereka ke
dang mewakili produk pangan yang
anak-anak: Disney, McDonald's, per-
modern yang diolah dengan metode
usahaan pembuat permen, mainan,
yang modern pula. Lewat pencitraan
dan beberapa lainnya. Kini hampir se-
ini mi instan dianggap dan dikons-
mua perusahaan seperti perusahaan
truksikan memiliki nilai lebih diban-
mobil, telepon, dan pakaian, juga te-
dingkan makanan lokal (tradisional)
lah menyasar anak-anak sebagai la-
yang diolah secara sederhana. Daya
han promosinya. Biro-biro iklan kini
saing mi instan juga tercermin pada
punya divisi anak-anak, dan kelom-
minimalisasi risiko salah atau perbe-
pok ini cenderung punya nama yang
daan penyajian, seperti yang biasa
terdengar manis: Small Talk, Kid
terjadi pada masakan lokal (Khudori
Connection, Kid2Kid, dan lain lain.
2005:166). Homogenisasi ini bukan
Pertumbuhan pengiklanan pada anak-
hanya semakin mempertinggi tingkat
anak bukan hanya didorong oleh
ketergantungan desa pada produk-
upaya meningkatkan konsumsi masa
produk dari luar, melainkan juga telah
sekarang,
mematikan produksi panganan tradi-
depan. Banyak perusahaan yang telah
sional di kawasan tersebut.
menyadari bahwa “kesetiaan merek”
melainkan
juga
masa
bisa bermula sejak dini pada umur
Anak-Anak: Korban Iklan
dua
Satu hal yang perlu diwaspadai oleh
menemukan bahwa anak-anak kerap
semua pihak yang ingin mempra-
dapat mengenali logo sebuah merek
karsai pembentukan kedaulatan pa-
sebelum
ngan adalah bahwa cengkeraman
namanya sendiri (Schlosser 2002:
kuku kapitalisme dan komersialisasi
54—55). Atas dasar pertimbangan
pangan kini tidak masuk melalui
itulah Schlosser (2004) dan Ritzer
kekerasan dan todongan senjata,
(1996) mengatakan bahwa kini anak-
tetapi justru dengan bujuk rayu yang
anak telah menjadi “sasaran tembak“
manis
propaganda
dan
memabukkan
seperti
pencitraan di media massa. Cara ter-
tahun.
Sebuah
mereka
bisa
komoditi
riset
pasar
mengenali
(panganan)
pabrikan melalui iklan-iklan di televisi,
sebut terbukti jauh lebih efektif dari-
radio, hingga promosi ke sekolah-
pada menggunakan kekerasaan dan
sekolah dengan pembagian contoh
pemaksaan.
produk secara cuma-cuma. Hal ini
dapat dilihat dari gencarnya iklan
Duapuluh lima tahun yang lalu, hanya
berbagai produk anak-anak serta ik-
segelintir perusahaan (Amerika) yang
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
71
JERATAN PANGAN GLOBAL
lan yang menggunakan anak-anak
sebagai “media” pencitraan komoditi.
polog budaya ke rumah-rumah, tokotoko, dan restoran siap saji untuk
mengamati perilaku calon konsumen
Appadurai (1986) mendefinisikan ko-
itu. Mereka juga mempelajari kehi-
moditi sebagai 'benda-benda yang
dupan khayal anak-anak kecil, lantas
memiliki
(economic
menerapkannya ke dalam iklan-iklan
value)'. Nilai, bagi Simmel, tidak per-
nilai
ekonomi
dan desain komoditi yang ditawarkan
nah melekat (inheren) pada objek
(Schlosser 2002:57). Iklan-iklan ter-
(benda), namun merupakan sebuah
sebut
dirancang
sedemikian
rupa
penilaian yang diberikan oleh subjek.
membuat anak-anak—yang disebut
Dalam hal inilah pencitraan (baca:
oleh sosiolog Vance Packard sebagai
iklan) memiliki peran yang sangat
“wali salesman”—mempunyai alasan
penting dalam rangka menanamkan
untuk
nilai pada objek yang ditawarkan
orang tuanya untuk membelikan ko-
(Appadurai 1986). Karena itu berba-
moditi tersebut. Rengekan dan ta-
gai upaya dilakukan secara serius un-
ngisan anak-anak memang sering kali
tuk dapat menanamkan citra komoditi
menjadi “senjata” yang efektif untuk
(baca:
meluluhkan hati orangtua mereka.
mempengaruhi)
ke
benak
meminta
(merengek)
pada
anak-anak.
Hal yang sama juga terjadi dalam peSalah satu upaya tersebut adalah de-
nelitian AKATIGA di Boyolali (2005).
ngan mengadakan berbagai riset ten-
Rengekan
tang perilaku dan selera anak-anak.
membuat Ibu K, seorang warga Du-
Periset pasar zaman sekarang bukan
kuh Makmur,
hanya mensurvei anak-anak di mal,
kan uang lebih banyak untuk uang ja-
melainkan
juga
dan
permintaan
anak
“terpaksa” menyisih-
mengorganisasi
jan anaknya yang masih duduk di ke-
kelompok-kelompok studi khusus ba-
las 4 SD Inpres setempat (lihat boks
gi anak-anak berusia dua dan tiga ta-
3).
hun. Mereka juga mengirim antro-
72
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Boks 3
Jeratan Iklan Pada Anak-Anak
Ibu K adalah seorang ibu rumah tangga (29 thn) dengan satu orang
anak bernama Y, yang kini duduk di kelas 4 SD Inpres. Suaminya, Pak
R, bekerja sebagai buruh tani.
Dalam satu hari, Ibu K harus mengeluarkan uang jajan sebesar
Rp2.500,00 dan Rp2.000,00 untuk ongkos anaknya ke sekolah.
Pengeluaran sebesar Rp2.500,00 untuk jajan setiap harinya dirasakan
berat bagi Ibu K, namun beliau sering kali tidak kuasa menolak
rengekan anak bungsunya yang minta dibelikan jajanan (panganan)
yang banyak dijajakan di warung atau dari penjaja keliling di depan
sekolah. Pekerjaan suaminya yang sebagai buruh tani memang membuat Ibu K harus memeras otak untuk menghemat pengeluaran seefisien mungkin. Namun diakui oleh Ibu K, bagaimanapun anak tetap
menjadi prioritas, sehingga segala daya dan upaya sering dilakukan
untuk menyenangkan anak semata wayangnya itu.
Menu jajanan favorit Y adalah Chiki, Jelly, serta beberapa permen. Menurut Ibu K, anaknya selalu membeli makanan pabrikan dan sangat jarang mau membeli makanan tradisional seperti gaplek, getuk, dan
sebagainya. Biasanya Y selalu menuruti “selera jajan” teman-temannya atau karena terpengaruh iklan di televisi. Bila ada panganan
baru yang diiklankan secara besar-besaran di televisi, biasanya Y selalu
meminta panganan tersebut ke ibunya dan juga ke penjaja panganan di
sekolahnya. “Aku pengen tumbas permen seng koyo nang tivi” (aku
ingin beli makanan seperti yang di televisi) begitu Y meminta pada ibunya. Bila sang ibu menolak dengan berbagai alasan (biasanya dengan
mengatakan tidak punya uang), Y sering merujuk dengan gigih. Kegigihan anaknya inilah yang seringkali membuat Ibu K kehabisan
alasan untuk menolak keinginan anaknya membeli berbagai panganan
pabrikan tersebut.
Kasus yang ditampilkan dalam boks 3
Fenomena lebih populernya makanan
hanyalah suatu contoh kecil dari pro-
pabrikan daripada pangan lokal juga
ses komersialisasi pangan ke perde-
tampak pada warung-warung dan
saan. Kini anak-anak di perdesaan,
penjaja keliling yang biasa berjualan
setidaknya di kawasan penelitian, le-
di depan sekolah dasar dan sekolah
bih mengenal dan menyukai pangan-
menengah negeri yang ada di sekitar
an pabrikan seperti Chiki dan Jelly da-
kawasan penelitian. Penjaja keliling
ripada panganan lokal seperti gaplek.
dan warung tersebut lebih banyak
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
73
JERATAN PANGAN GLOBAL
menjajakan panganan pabrikan dari-
Schlosser (2004), dan Khudori (2005)
pada panganan lokal (tradisional), se-
yang juga menyatakan hal yang seru-
perti pisang goreng, bakwan, ubi re-
pa. Tidaklah mengherankan bila kaum
bus, dan kacang rebus. Panganan pa-
muda di perkotaan ada yang rela
brikan yang banyak dijajakan antara
membayar Rp35.000,00 hanya untuk
lain berbagai macam roti, kacang,
secangkir kopi di Starbucks atau di
agar-agar, permen, mi instant, dan
gerai kopi lainnya. Disinyalir banyak
beberapa jenis panganan lain. Menu-
dari
rut Pak M, seorang penjaja keliling di
“membeli kopi”, tetapi justru “mem-
depan SD Inpres Dukuh Subur, dirinya
beli suasana” atau untuk meningkat-
memilih untuk menjual pangan pa-
kan (atau menjaga) “gengsi sosial” di
brikan karena memang panganan je-
antara teman sepermainannya.
mereka
yang
tidak
(hanya)
nis itulah yang paling laku terjual bila
dibandingkan dengan panganan lokal.
Jangankan merogoh kocek dalam-da-
Dalam konteks kedaulatan pangan,
lam untuk membeli gengsi sosial dan
kondisi di atas dapat dimaknai se-
gaya hidup, sekadar mengganjal pe-
bagai wujud dari ketidakdaulatan pa-
rut pun sulit. Itulah makna pangan
ngan. Ketika kita sudah mulai sangat
bagi kaum miskin. Bagi kaum miskin
tergantung pada berbagai produk pa-
(termasuk di dalamnya petani gurem
ngan pabrikan (yang tidak dapat kita
dan tunakisma), pangan hanyalah se-
produksi sendiri), ketika lidah telah
kedar
cocok dengan berbagai selera dan ra-
memikirkan gengsi sosial, keamanan
sa dari panganan pabrikan dan eng-
dan kesehatan (gizi) pangan yang
gan untuk mencoba atau beralih pada
disantapnya pun sering diabaikan
pangan yang lain, ketika kita tidak pe-
kaum miskin. Dalam konteks ini kaum
duli dengan matinya berbagai industri
miskin selalu menjadi pihak yang
panganan tradisional, itulah yang di-
sangat
namakan sebagai “ketagihan”.
negatif kapitalisme dan komersialisasi
urusan
rentan
perut.
Jangankan
terhadap
dampak
pangan.
Pangan Bagi Si Miskin
Pangan, meski bentuknya serupa,
Kaum miskin adalah pihak yang relatif
memiliki makna yang berbeda bagi si
memiliki akses dan kontrol yang sa-
kaya dan si miskin. Makan bagi si kaya
ngat terbatas pada sumber daya yang
bukan hanya urusan perut, melainkan
penting baginya, termasuk pangan.
juga gaya hidup (Redana 1997). Hal
Keterbatasan tersebut membuat pilih-
ini diperkuat oleh Ritzer (1996),
an mereka terhadap pangan yang me-
74
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
menuhi standar gizi dan keamanan
pilihan, atau bahkan anak-anak kaum
yang baik juga sangat terbatas. Pa-
miskin, yang tidak hanya daya belinya
ngan yang relatif mampu didapatkan
rendah, tetapi juga awam terhadap
oleh kaum miskin adalah pangan
pentingnya keamanan pangan. Lalu
yang murah. Pangan murah yang me-
siapa yang diuntungkan? Para kapi-
rupakan hasil dari pasar yang kapi-
talis industri pangan, baik yang ber-
talis sering tidak mengindahkan asas
skala kecil ataupun besar, yang men-
kesehatan dan keamanan (bahkan
dapatkan keuntungan besar dari stra-
kemanusiaan). Dengan dalih mene-
tegi mereka menggunakan bahan-ba-
kan biaya produksi, agar terjangkau
han berbahaya hanya demi memang-
oleh masyarakat miskin, para kapi-
kas biaya produksi dan mereguk ke-
talis kecil menghalalkan penggunaan
untungan sebesar-besarnya
zat yang berbahaya bagi tubuh manusia dalam pembuatan dan pengolahan
pangan.
Penutup
Prasetyo (2004) memaparkan survei
Konsumsi: Bukan Lagi Anak Tiri
Badan Pengawasan Obat dan Makan-
Kegiatan pertanian yang berkelan-
an (BPOM) terhadap berbagai panga-
jutan dipercaya oleh banyak pihak
nan dan minuman yang dijual di ratu-
sebagai salah satu cara mewujudkan
san SD dari Nanggroe Aceh Darusa-
kedaulatan pangan, baik bagi petani
lam hingga Irian. Survei tersebut me-
sebagai produsen dan konsumen pa-
nunjukkan bahwa dari 550 jenis pa-
ngan maupun bagi kalangan nonpe-
nganan dan minuman yang dijajakan,
tani yang jelas merupakan konsumen
60% tidak memenuhi standar mutu
pangan. Kegiatan pertanian berkelan-
dan kemasan. Sejumlah 56% contoh
jutan bukan hanya sekadar menjaga
jajanan tersebut dicemari bakteri be-
keberlangsungan proses budidaya ta-
racun seperti Escheria Coli dan Sal-
naman (aspek produksi), tetapi juga
monella sp, 50% mengandung zat
menjaga keberlanjutan sistem nafkah
pewarna Rhodamin B yang hanya di-
rumah tangga (petani) secara kese-
izinkan sebagai pewarna tekstil, dan
luruhan. Berbicara soal sistem nafkah
33% mengandung bahan pengawet
rumah tangga otomatis akan terkait
berbahaya Boraks (Prasetyo 2004).
dengan bagaimana hasil pertanian
Dalam hal ini siapakah korbannya?
tersebut dipasarkan (aspek distribusi)
Masyarakat miskin yang daya belinya
serta bagaimana rumah tangga terse-
rendah, yang tidak memiliki banyak
but memenuhi kebutuhan lain yang
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
75
JERATAN PANGAN GLOBAL
tidak didapat dari pertanian (aspek
Sungguh ironis jika memang pada
konsumsi).
akhirnya keluarga petani sebagai produsen pangan ternyata menjadi pe-
Aspek konsumsi serta kebijakan yang
langgan setia berbagai panganan pa-
melingkupinya selama ini masih me-
brikan hanya untuk sekadar mengisi
rupakan aspek yang relatif belum ba-
perut. Makan kini bukan hanya urusan
nyak tersentuh oleh program per-
perut, melainkan juga gaya hidup.
tanian berkelanjutan. Padahal telah
Schlosser (2002), Ritzer (1996), dan
banyak hasil studi yang menunjukkan
Khudori (2005) nyata-nyata menu-
bahwa kini derasnya laju komer-
ding pencitraan sebagai salah satu
sialisasi dan globalisasi pangan telah
pintu masuk proses globalisasi pangan
merambah hingga ke ranah tersebut.
ke segala kalangan baik di kota-kota
Perubahan pola konsumsi pangan, be-
besar maupun kawasan perdesaan
sarnya ketergantungan pada berbagai
terpencil, baik orang tua maupun
panganan
menjamurnya
anak-anak. Iklan-iklan di televisi de-
pangan pabrikan, serta makin langka-
pabrikan,
ngan berbagai bujuk rayunya beru-
nya panganan tradisional merupakan
saha menanamkan citra bahwa pa-
beberapa indikasi betapa komersia-
nganan pabrikan adalah panganan “o-
lisasi dan globalisasi pangan telah ada
rang elite” dan panganan tradisional
di depan mata kita.
adalah makanan “orang udik.” Ada pula yang mencitrakan bahwa panganan
Celakanya, komersialisasi dan globali-
pabrikan adalah bersih, bergizi, dan
sasi pangan tersebut kini telah me-
aman sementara panganan tradisional
rambah hingga ke kawasan perdesa-
adalah kotor dan tidak aman. Siapa
an yang notabene merupakan kawa-
yang diuntungkan? Jelas para konglo-
san sentra penghasil pangan (teruta-
merat pemilik pabrik panganan pa-
ma beras). Hasil studi yang dilakukan
brikan tersebut. Siapa yang dirugi-
oleh AKATIGA di Klaten (2004) dan
kan? Jelas para pengusaha panganan
Boyolali (2005) mengindikasikan ke-
lokal yang bangkrut karena tidak
cenderungan tersebut. Salah satu te-
mampu bersaing serta keluarga peta-
muan lapangan AKATIGA adalah mun-
ni pada umumnya yang telah terjerat
culnya mi instan sebagai idola baru
menjadi “konsumen setia” panganan
makanan alternatif pengganti beras
pabrikan tersebut.
serta betapa anak-anak (petani) telah
menjadi pelanggan setia pangan pa-
Pangan adalah kebutuhan dasar ma-
brikan.
nusia yang tidak tergantikan. Seorang
76
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
antropolog terkenal yang bernama
Perlunya Pemberdayaan Pangan
Melville J. Herskovits menyatakan pa-
Dalam konteks pertanian berkelan-
ngan adalah the primary determi-
jutan yang banyak diinisiasi oleh LSM,
nants of survival bagi manusia. Kare-
apa yang perlu dilakukan? Meskipun
na itu pangan tidak boleh menjadi
masih sangat terbuka untuk diper-
suatu komoditi yang diperjualbelikan
debatkan, namun ada beberapa lang-
untuk menumpuk keuntungan seting-
kah yang mungkin perlu dilakukan.
gi-tingginya di atas penderitaan orang
Pertama, melakukan pemberdayaan
lain. Pangan bukanlah komoditas eko-
secara struktural, salah satunya de-
nomi semata, melainkan juga komo-
ngan melakukan advokasi terhadap
ditas politik. Kuat dan lemahnya suatu
kebijakan pangan atau kebijakan lain
negara turut dipengaruhi oleh keter-
yang berdampak pada pangan. Ke-
sediaan dan meratanya distribusi pa-
dua, melakukan pemberdayaan se-
ngan tersebut ke seluruh lapisan
cara kultural dangan menggalakkan
masyarakat. Runtuhnya Orde Lama
pendidikan pangan, terutama bagi
dan Orde Baru, misalnya, dipicu oleh
generasi muda.
guncangnya kondisi ekonomi bangsa
Indonesia.
Advokasi kebijakan perlu dilakukan
bukan hanya pada kebijakan pangan
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bi-
secara langsung, melainkan juga pa-
la pangan dan pola konsumsi yang
da kebijakan lain yang, meskipun bu-
menyertainya mendapatkan perha-
kan merupakan kebijakan pangan,
tian, curahan waktu, dan energi yang
memiliki dampak pada kondisi pa-
sama besarnya dengan aspek-aspek
ngan masyarakat miskin. Dalam hal
lainnya (produksi dan distribusi). Ti-
ini diperlukan adanya ”daya cium”
daklah pantas bila kita lebih mem-
yang tajam untuk melihat kebijakan
prioritaskan salah sat
JERATAN PANGAN GLOBAL
Tri Hadiyanto Sasongko
1
Abstract
The continuous agricultural practice has been very much carried out either by
peasants, NGOs, government, or academicians. The continuous agriculture is
one of the alternative ways to achieve food sovereignty. Food sovereignty is
strategic tool in order to guarantee the continuous future of agriculture. Nevertheless, the continuous agricultural practice initiated by NGOs tends to focus the
activities on the production and distribution aspects only, whereas the food aspect still lacks attention. Food is human's unchangeable need. Therefore, it is
normal if food and the consumption pattern accompanied get attention, time
shared, balance energy, with other aspects (production and distribution). As a
matter of fact, in daily lives, the three aspects (production, distribution,
consumption) are not only strongly related to one another, but also overlapped
with one another so that it is hard to separate them firmly.
Homogenitas Pangan: Kolonialis-
dan Kartika (1999), Setiawan (2003),
me Kontemporer
Baudrillard (2004), Saliem, Suhartini,
Purwoto,
dan
Hardono
(2004),
dan
(2004),
Telah banyak studi dan kajian yang
Schlosser
Jatmiko
menunjukkan bahwa kapitalisme dan
(peny.) (2005) memaparkan bahwa
komersialisasi pangan 2 telah meram-
telah terjadi proses kapitalisme dan
bah ke ranah konsumsi. Sebagai con-
komersialiasi komoditi 3 pangan yang
toh, Ritzer (1996), Muhtaman, Aliadi,
1 Staf Peneliti Divisi Agraria di Yayasan AKATIGA.
2 Ketika pangan diperjualbelikan untuk menumpuk keuntungan sebesar-besarnya.
3 Komoditi dapat diartikan sebagai benda-benda yang memiliki nilai ekonomi (Appadurai 1986).
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
57
JERATAN PANGAN GLOBAL
dimotori oleh berbagai perusahaan
saha pangan kecil dan mikro hampir
multinasional (MNC).
tidak sempat memikirkan mutu pangan dari sisi kesehatan karena yang
Seiring dengan makin berkembang-
penting adalah uang. 4 Penggunaan
nya kapitalisme pertanian menjadi
formalin merupakan salah satu siasat
industri setara manufaktur, terjadi
mereka menekan biaya produksi se-
pula perkembangan industri pangan
minimal mungkin sekaligus memper-
(food industry). Salah satunya de-
besar rentang (margin) keuntungan
ngan tumbuhnya industri pemrosesan
yang akan diraih. Perilaku tersebut
pangan
industry)
dapat dilihat sebagai salah satu prak-
serta gerai pangan skala besar (large-
tik “kapitalisme kecil” yang dilakukan
(Setiawan
oleh para pengusaha pangan skala
2003:45). Salah satu contoh paling
kecil dan mikro. Namun demikian hal
nyata adalah menjamurnya berbagai
tersebut juga dapat dimaknai sebagai
restoran siap saji di seluruh penjuru
suatu strategi bertahan hidup (sub-
dunia. Saat ini hampir tidak ada kota
sistensi) bila ternyata keuntungan
besar di berbagai negara yang tidak
yang diraih hanya sebatas memenuhi
disinggahi oleh McDonald's, Kentucky
kebutuhan pokok mereka semata dan
Fried Chicken, dan sebagainya. Con-
tidak dapat diakumulasikan. Dengan
toh lainnya adalah semakin memban-
demikian, terdapat “daerah abu-abu”
jirnya produk pangan instan (mi, kopi,
antara perilaku “kapitalisme kecil”
sup, nasi goreng, dan sebagainya) di
dan strategi subsistensi pada pengu-
berbagai pelosok, mulai dari toko
saha kecil and mikro.
scale
(food-processing
food
retailers)
swalayan hingga pasar tradisional.
Salah satu kunci sukses kapitalisme
Meskipun tak banyak gerai makanan
dan komersialisasi pangan adalah ho-
siap saji di perdesaan, namun bukan
mogenitas atau keseragaman. Bagi
berarti praktik kapitalisme pangan ti-
restoran siap saji, homogenitas dalam
dak menembus kawasan tersebut.
konteks ini berarti mereka membe-
Maraknya
mengenai
rikan produk dan layanan yang sama
penggunaan formalin sebagai bahan
persis pada lokasi-lokasi yang bera-
pengawet pangan seperti pada tahu,
neka macam (Schlosser 2004:6—7).
ikan asin, dan mi basah, merupakan
Dengan demikian, seseorang akan
salah satu buktinya. Beberapa pengu-
mendapatkan rasa pangan yang sa-
pemberitaan
4 Pikiran Rakyat, 16 Januari 2006.
58
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
ma, kualitas pangan (gizi) yang sama,
(Khudori 2005:85). Kapitalis industri
pelayanan yang sama, hingga sua-
makanan memang sangat lihai. Mere-
sana yang sama di gerai mana pun ia
ka tidak hanya berhasil menciptakan
makan, entah itu di Bandung, Mesir,
berbagai jenis pangan siap saji, tetapi
India, bahkan hingga ke Kutub Utara
juga “menciptakan kebudayaan”. Ma-
sekalipun. Homogenitas ini, menurut
kan bukan hanya urusan perut, me-
Ritzer, menyebabkan orang susah se-
lainkan juga gaya hidup (Redana
kali mendapatkan pangan asli yang
1997). Dengan menyantap pangan
benar-benar berbeda yang masih me-
siap saji atau produk instan, konsu-
miliki karakter aslinya (Ritzer 1996:
men tidak hanya akan terasa ke-
136—137). Bagi produk pangan ins-
nyang, tetapi juga akan terdongkrak
tan, homogenitas juga menjadi sen-
kelas sosialnya (karena mampu me-
jata utama kaum kapitalis. Produk
nyantap “pangan elite”).
pangan instan biasanya dilengkapi
dengan berbagai bumbu yang telah
Pola makan di kota-kota besar ber-
ditakar ukurannya serta petunjuk cara
ubah dari pola tradisional yang ba-
memasaknya. Hal ini meminimalkan
nyak mengandung karbohidrat dan
terjadinya perbedaan pemasakan dan
serat ke arah pola makan dengan kan-
penyajian yang biasa terjadi pada
dungan protein, lemak, dan garam
pangan tradisional.
yang tinggi tetapi miskin serat. Melalui promosi (pencitraan) besar-besar-
Proses homogenisasi tersebut juga di-
an di berbagai media massa, pola
dukung oleh kuatnya pencitraan ko-
konsumsi didikte (baca: dijajah) oleh
moditi yang ditawarkan melalui ber-
kapitalisme. Kredonya adalah keprak-
bagai iklan di media massa. Salah sa-
tisan. Tidaklah mengherankan bila ki-
tu citra yang ditawarkan adalah citra
ni produk-produk cepat saji atau in-
modern dan gaya hidup baru di ber-
stan menjamur di mana-mana, dari
bagai pelosok negeri. Ada penciptaan
kota-kota besar hingga ke desa-desa
“norma baru” di masyarakat seolah-
terpencil di pelosok nusantara. Pro-
olah orang menjadi begitu udik dan
duk mi instan misalnya, disinyalir oleh
ketinggalan zaman bila belum pernah
Eviandaru dkk. (2001), telah muncul
menyantap pizza, hamburger, serta
sebagai pangan alternatif pengganti
berbagai produk pangan instan lain-
nasi. Hal tersebut didasari pada suatu
nya. Pangan siap saji dan produk
kenyataan bahwa telah terjadi penu-
instan dianggap pangan elite oleh
runan konsumsi beras pada masyara-
sebagian
kat berpenghasilan relatif tinggi kare-
besar
masyarakat
kita
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
59
JERATAN PANGAN GLOBAL
na beras telah menjadi bahan inferior
nilai yang sangat tinggi di masyarakat
(Amang dan Sawit 2001). Bila kini kita
dan dianalogikan dengan rezeki.
masih mendengar istilah “belum makan jika belum makan nasi,” bukan ti-
Homogenisasi pola makan tersebut,
dak mungkin kelak kita akan mende-
terlebih pada produk pangan instan,
ngar istilah “belum makan jika belum
jelas merupakan suatu berita buruk
makan mi instan”.
bagi prakarsa membangun kedaulatan pangan.5 Kedaulatan pangan
Homogenisasi pangan tersebut pada
adalah suatu kondisi ketika rakyat
akhirnya menciptakan homogenisasi
miskin (termasuk petani) memiliki
pola makan. Hal ini terjadi pada era
akses dan kontrol terhadap sumber
Orde Baru dengan program pembe-
daya yang penting bagi mereka. Pro-
rasan nasional yang dimulai sejalan
duksi dan distribusi pangan instan
dengan dibentuknya Bulog (Badan
jelas merupakan sesuatu yang relatif
Urusan Logistik; sebelumnya Koman-
berada di luar akses dan kontrol peta-
do Logistik Nasional) pada tahun
ni. Hal ini tidak hanya membuat peta-
1966. Keanekaragaman pola makan
ni menjadi sangat tergantung pada
yang khas dari berbagai suku dan
sistem pasar yang tidak berpihak pa-
daerah di Indonesia secara perlahan
da petani, tetapi juga akan memati-
menghilang dan bergeser ke satu je-
kan produksi pangan dan industri pa-
nis pangan, yaitu beras. Seorang pa-
ngan di tingkat lokal. Yang paling me-
kar seperti Profesor Mubyarto bahkan
ngerikan, cengkeraman kuku kapital-
memandang, jika rakyat suatu daerah
isme pangan kini tidak datang melalui
tidak makan nasi, daerah itu disebut
tindakan yang represif dan todongan
miskin (Khudori 2005:48). Beras,
senjata, tetapi melalui bujuk rayu
yang kemudian diolah menjadi nasi,
yang manis (namun beracun) melalui
pada
pencitraan besar-besaran di media
perkembangannya
menjadi
“kultus”. Pepatah mencari sesuap na-
massa.
si menunjukkan bahwa nasi memiliki
5 Untuk keterangan lebih lanjut tentang kedaulatan pangan dapat merujuk pada beberapa literature,
diantaranya: Bonnie Setiawan (2003). Globalisasi Pertanian: Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa
dan Kesejahtraan Petani, Jakarta: The Institute for Global Justice; Anonim (2004), Violation of
Human Rights of Peasants - Report on Cases and on Pattern of Violation, FIAN-La Via Campesina,
Honduras; A. Ya'kub (2004), Pandangan dan Sikap Dasar Federasi Serikat Pekerja Indonesia
(FSPI), Jakarta; Khudori (2005), Lapar: Negeri Salah Urus!, Yogyakarta: Resist Book; serta Witoro
(2005), Kedaulatan Pangan: Sebuah Pengantar, Bogor: Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan:
Atau dapat juga diakses pada situs: www.viacampesina.org dan www.sovereignty.org.uk/features/
articles/root2.html.
60
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Boks 1
Dampak Globalisasi Pangan Pada Petani
Pada aspek produksi, petani dipaksa untuk lebih melayani kebutuhan pihak luar (baca: masyarakat kota) daripada kebutuhan komunitinya. Dengan demikian, apa yang diproduksi dan bagaimana cara memproduksinya
akan sangat ditentukan oleh kebutuhan konsumen (masyarakat kota). Dalam hal ini petani sudah mulai kehilangan kedaulatannya karena tidak dapat
menentukan sendiri apa saja yang ditanamnya dan bagaimana cara menanamnya. Salah satunya adalah dengan besarnya ketergantungan pada berbagai asupan mulai dari pupuk, pestisida, hingga benih pabrikan.
Pada aspek distribusi, petani juga akan dihadapkan pada mekanisme distribusi yang berorientasi pada mekanisme pasar. Salah satunya adalah adanya kecenderungan untuk mengekstraksi semua komoditi pangan yang laku di pasaran keluar dari kawasan perdesaan tersebut. Hal ini tentu saja
akan merugikan petani karena pada kenyataannya selama ini mekanisme
pasar tidak pernah berpihak pada petani. Pada tahapan ini pula rentang
harga di tingkat produksi dan konsumsi terjadi. Pihak yang mendapatkan
keuntungan terbesar adalah agen yang bermain pada tahapan distribusi ini.
Petani sebagai produsen dan konsumen pada umumnya tidak memiliki
akses dan kontrol pada proses distribusi tersebut.
Pada aspek konsumsi, ketika petani sudah memproduksi apa yang bukan
menjadi kebutuhannya dan dipengaruhi oleh besarnya intervensi pasar,
mereka akan banyak tergantung pada berbagai produk luar untuk memenuhi kebutuhan (pangan)nya yang tentunya didapat melalui sistem pasar.
Konsumen juga terpaksa mengakses pasar dengan harga yang sangat
tinggi bila dibandingkan harga produksi. Selain itu masyarakat perdesaan
juga relatif sudah mulai terkena homogenisasi panganan. Salah satu indikasinya adalah makin banyaknya panganan pabrikan yang masuk ke perdesaan dan makin langkanya makanan tradisional yang diproduksi di kawasan
tersebut.
Untuk menunjang usaha memenuhi kebutuhan masyarakat kota tersebut
dibuatlah berbagai mekanisme kebijakan (baik dalam aspek produksi,
distribusi, dan konsumsi), program,dan institusi untuk meningkatkan surplus produksi dan mengekstraknya keluar dari lingkaran masyarakat produsen di tingkat lokal perdesaan. Karena pihak yang berkepentingan
dengan surplus itu bukanlah masyarakat produsen itu sendiri, maka semua
mekanisme tersebut dibuat oleh dan untuk kepentingan pelaku pasar (distributor dan konsumen), bukan oleh dan untuk kepentingan petani selaku
produsen pangan. Dari sisi konsumsi, berbagai kebijakan yang mendorong
masuknya berbagai industri panganan pabrikan yang mengatasnamakan
pertumbuhan ekonomi desa juga kian gencar dijalankan.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
61
JERATAN PANGAN GLOBAL
Pertanian
Berkelanjutan,
Jalan
bagi masyarakat (IUF, UITA, dan UIL
2002:8 dalam Setiawan 2003:123—
Menuju Kedaulatan Pangan?
124). Kedaulatan pangan bukan haPraktik-praktik
pertanian
nya sekadar seperangkat hak, tetapi
berkelanjutan (sustainable agricul-
kegiatan
suatu kondisi ketika masyarakat (pe-
ture) 6
sebenarnya telah banyak dila-
tani) memiliki akses dan kontrol
kukan baik oleh petani, LSM, peme-
terhadap sumber-sumber agraria se-
rintah, maupun kalangan akademisi
hingga mereka mampu menentukan
di berbagai kawasan di dunia dan In-
sendiri apa yang harus diproduksi,
donesia. Pertanian berkelanjutan di-
bagaimana cara memproduksi, men-
percaya merupakan salah satu alter-
distribusikan, dan mengkonsumsi de-
natif jalan untuk mencapai kedau-
ngan cara dan mekanisme yang me-
latan pangan. Kedaulatan pangan
mang
merupakan suatu alat yang strategis
(Hadiyanto dan Sari 2005).
guna
menjamin
paling
tepat
bagi
mereka
keberlangsungan
masa depan pertanian.
Kedaulatan pangan merupakan suatu
kondisi ketika petani memiliki akses
Konsep kedaulatan pangan
7
adalah
dan kontrol pada sumber daya yang
suatu alat untuk menghapus kela-
penting bagi mereka, sehingga perta-
paran dan kekurangan gizi serta un-
nian berkelanjutan menjadi salah sa-
tuk
pangan
tu prasyarat tersedianya sumber daya
yang seterusnya dan berkelanjutan
tersebut bagi para petani. Tanpa ada-
bagi semua orang. Penulis mendefi-
nya pertanian yang berkelanjutan, ti-
nisikan kedaulatan pangan sebagai
daklah mungkin akan tersedia sum-
seperangkat hak rakyat untuk me-
ber daya yang cukup bagi petani un-
nentukan kebijakan dan strategi me-
tuk diakses dan dikontrol.
menjamin
ketahanan
reka sendiri atas produksi, distribusi,
dan konsumsi pangan yang berkelan-
Kata keberlanjutan sekarang ini digu-
jutan yang menjamin hak atas pangan
nakan secara meluas dalam banyak
6 Untuk keterangan tentang pertanian yang berkelanjutan dapat dilihat pada beberapa literatur,
diantaranya: Coen Reijntjes, Bertus Haverkot, dan Ann Water-Bayer (1999), Pertanian Masa Depan: Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius; Fernando Funes, Luis Garcia, Martin Bourque, Nilda Pérez, dan Peter Rosset (2002),
Sustainable Agriculture and Resistance: Transforming Food Production in Cuba, California, Food
First Books; Wangsit dan Supriyana (peny.) (2003), Belajar Dari Petani: Kumpulan Pengalaman
Bertani Organik, Yogyakarta, SPTN-HPS, Lesman, Mitra Tani; dan sebagainya.
7 Definisi ini diajukan dalam Deklarasi Final dari World Forum on Food Sovereignty di Havana, Kuba,
tanggal 7 September 2001
62
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
hal. Namun, apa arti sesungguhnya
menggunakan bahan-bahan kimia.
kata ini? Keberlanjutan dapat diar-
Hal ini memunculkan kebutuhan ada-
tikan sebagai 'menjaga sesuatu agar
nya perubahan besar pada sistem
terus berlangsung', atau 'kemampuan
pertanian modern agar lebih ramah
untuk bertahan dan menjaga agar ti-
lingkungan, bersifat sosial, dan eko-
dak merosot'. Dalam konteks perta-
nomis. Salah satu solusinya difokus-
nian, keberlanjutan berarti kemam-
kan pada mengurangi—atau bahkan
puan untuk terus mempertahankan
menghilangkan sama sekali—peng-
kehidupan
memanfaatkan
gunaaan bahan-bahan kimia seperti
dan menjaga sumber daya. Sumber
pupuk dan pestisida pabrikan. Hal ini
daya yang dimaksud mencakup sum-
dapat dilakukan melalui perubahan
ber daya alam, sumber daya sosial,
sistem dan manajemen pertanian se-
teknologi, aktor-aktor yang telibat da-
perti penggunan bahan-bahan orga-
lam sistem nafkah, tingkat keperma-
nik dan pengendalian hama terpadu
nenan (permanency), dan sebagai-
(Funes, Garcia, Bourque, Pérez, dan
nya. Sementara itu, Technical Adviso-
Rosset 2002).
dengan
ry Committe of the CGIAR
8
(TAC/
CGIAR 1988) mendefinisikan perta-
Meskipun pada awalnya pertanian
nian berkelanjutan (sustainable agri-
yang berkelanjutan lebih didasari oleh
culture) sebagai pengelolaan sumber
aspek-aspek ekologis, pada perkem-
daya
usaha
bangannya kegiatan pertanian berke-
pertanian guna membantu kebutuh-
lanjutan juga memiliki beberapa as-
an manusia yang berubah sekaligus
pek lain. 9 Secara umum aspek-aspek
mempertahankan atau meningkatkan
tersebut adalah:
kualitas lingkungan dan melestarikan
1. Aspek ekologi; yaitu penerapan
yang
berhasil
untuk
sumber daya alam (Reijntjes, Haver-
sistem
pertanian
berkelanjutan
kort, dan Water-Bayer 1999).
yang menekankan pada penggunaan berbagai asupan organik
Konsep pertanian yang berkelanjutan
seperti
muncul sebagai respons atas terjadi-
organik (nonkimia dan pabrikan)
pupuk
dan
pestisida
nya kemunduran kualitas sumber
diharapkan dapat mengembalikan
daya alam yang disebabkan oleh cara-
kesuburan agroekosistem secara
cara pertanian modern yang banyak
keseluruhan yang telah banyak
8 Consultative Group on International Agricultural Research.
9 Http://www.biocert.or.id/mitra-gitapertiwi.php.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
63
JERATAN PANGAN GLOBAL
tercemar oleh berbagai pestisida
dan pupuk kimia.
2. Aspek
ekonomi;
(bahkan
MNC). Salah satunya adalah dedikuranginya
batas
ngan meminimalkan tingkat keter-
tertentu
gantungan pada berbagai asupan
dihilangkan sama sekali) penggu-
kimia produksi perusahaan-peru-
naan asupan pabrikan diharapkan
sahaan tersebut sekaligus mem-
dapat mendatangkan penghasilan
berdayakan diri dengan kemam-
yang cukup untuk mengembalikan
puan untuk mengelola pertanian
tenaga dan biaya yang dikeluarkan
secara terpadu dan mandiri.
serta
pada
sional (Multinational Corporation/
10
meningkatkan
kesejah-
teraan rumah tangga petani. Ke-
Keempat aspek tersebut dapat dika-
berlanjutan ekonomi ini bukan ha-
takan merupakan prasyarat dari ter-
nya diukur dari produk usaha tani,
laksananya pertanian yang berke-
melainkan dari fungsi lain seperti
lanjutan. Keempat aspek itu tidak me-
melestarikan sumber daya alam
rupakan sesuatu yang terpisah satu
dan meminimalkan risiko.
11
sama lainnya, tetapi sebagai satu ke-
3. Aspek sosial budaya pertanian
satuan yang utuh yang sifatnya saling
berkelanjutan adalah adanya pe-
melengkapi dan menunjang. Mengin-
ningkatan
SDM
tegrasikan keempat aspek tersebut
ataupun institusi yang dilakukan
kapasitas
baik
dalam suatu program kerja memang
dengan cara belajar bersama un-
bukan pekerjaan yang mudah. Meski-
tuk membangun kelompok, mem-
pun demikian hal tersebut tidak me-
buat jaringan komunikasi antarke-
nyurutkan semangat beberapa pihak
lompok, dan menggalang kekuat-
untuk tetap berusaha melaksanakan
an bersama untuk melakukan ad-
kegiatan pertanian yang berkelan-
vokasi sesuai dengan kapasitas
jutan.
dan kebutuhan kelompok.
12
4. Aspek politik yang muncul dari
pertanian
berkelanjutan
adalah
Daulat Tani: Pejuang Pertanian
Berkelanjutan
adanya kesadaran dan perlawanan
Salah satu dari sekian banyak LSM pe-
untuk lepas dari derasnya laju ko-
juang pertanian berkelanjutan adalah
mersialisasi pertanian yang dila-
Yayasan Daulat Tani (bukan nama se-
kukan oleh perusahaan multina-
10 Http://www.lablink.or.id/Agro/agr-sust.htm.
11 Lihat Reijntjes, Haverkort dan Water-Bayer, 1999 hal 2.
12 http://www.biocert.or.id/mitra-gitapertiwi.php.
64
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
benarnya), yang berdomisili di Provinsi Jawa Tengah. Daulat Tani adalah se-
penggunaan asupan kimia.
2. Aspek ekonomi tampak pada ke-
buah lembaga independen nonpeme-
giatan:
rintah yang didirikan oleh Jaringan
(a) Sapi dan Kerbau Gaduan. Pin-
Kelompok Tani yang bercita-cita me-
jaman sapi pada kelompok tani
lestarikan kehidupan lingkungan per-
ini dilakukan atas suatu kesa-
tanian untuk mewujudkan kemandi-
daran bahwa ternak merupa-
rian keluarga tani laki-laki, perem-
kan salah satu elemen penting
puan secara adil terhadap sesama pe-
dalam kegiatan pertanian ber-
tani, lingkungan, serta pihak-pihak
kelanjutan. Selain tenaganya
yang terkait dengan petani dan per-
dapat digunakan untuk mem-
tanian. Daulat Tani memiliki visi untuk
bajak sawah, kotoran ternak
mewujudkan kelestarian lingkungan
yang bersangkutan juga meru-
pertanian untuk kemandirian petani
pakan bahan baku pembuatan
dan keluarganya dari segi sosial, bu-
pupuk organik yang ramah
daya, ekonomi, teknik, dan politik.
lingkungan.
Sementara itu, misi yang diembannya
(b) Pasar Tani Alami. Lembaga ini
adalah untuk memfasilitasi terben-
dibentuk dalam rangka me-
tuknya organisasi tani yang mampu
ningkatkan nilai jual hasil pro-
mengelola lingkungan sumber pa-
duk pertanian secara adil, de-
ngan dan ekonomi secara berke-
ngan cara:
lanjutan.
o
memfasilitasi petani dalam
melakukan pendataan hasil
Pada tataran teknis, Daulat Tani mengejawantahkan
pertanian
berke-
produksinya,
o
lanjutan dengan beberapa program
mempertahankan
sebagai berikut:
1. Aspek ekologis dilakukan dengan
petani
melakukan
dalam
bidang
budidaya
pendampingan
petani
memfasilitasi
pemasaran
hasil panen petani dengan
pendampingan
(dan pengelolaan hasil pertanian).
Kegiatan
kualitas
produk yang dijual,
o
cara
memfasilitasi petani untuk
harga yang adil, dan
o
memfungsikan
lumbung
lumbung-
kelompok
yang
masih ada
tersebut dilakukan dalam kerang-
Saat ini pasar tani tengah be-
ka pertanian alami yang ramah
kerjasama dengan sebuah pe-
lingkungan dengan meminimalkan
rusahaan distributor beras asal
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
65
JERATAN PANGAN GLOBAL
Jakarta yang memasarkan be-
Berdasarkan uraian kegiatan di atas,
ras (organik) petani ke Jakarta
tampak bahwa Daulat Tani masih me-
dengan harga lebih tinggi dari
nitik-beratkan kegiatannya pada as-
harga pasar.
pek produksi, distribusi, dan pengor-
(c) LKP (Lembaga Keuangan Peta-
ganisasian. Sejauh ini Daulat Tani me-
ni). Tujuan pembentukan lem-
mang telah menunjukkan dedikasi
baga ini adalah untuk memper-
yang luar biasa dalam melaksanakan
mudah petani dalam meng-
program-programnya.
akses keuangan. Kegiatan yang
yang dilakukan AKATIGA di Boyolali
dilakukan adalah dengan mem-
(2005) menunjukkan bahwa program
berikan pinjaman lunak tanpa
kerja Daulat Tani secara nyata telah
agunan pada petani.
memberikan manfaat bagi masya-
Hasil
riset
3. Aspek sosial budaya terdapat da-
rakat, baik yang secara langsung
lam kegiatan peningkatan kualitas
menjadi anggota dampingan maupun
SDM petani dan lembaga melalui
yang tidak.
proses belajar bersama dalam kelompok. Pengetahuan yang dipela-
“Tak ada gading yang tak retak” be-
jari bukan hanya mengenai teknis
gitu kata orang bijak. Saya melihat
pertanian seperti bagaimana cara
masih ada satu aspek yang belum ter-
pengendalian hama terpadu, me-
tangani yaitu aspek konsumsi. Daulat
lainkan juga manajemen kelom-
Tani sebetulnya telah menyadari pen-
pok.
tingnya pemahaman dan pengeta-
4. Aspek politis yang muncul dalam
huan mengenai aspek konsumsi ter-
kegiatan yang dilakukan oleh Dau-
sebut. Namun dengan segala keter-
lat Tani pada kegiatan pendidikan
batasan yang dimilikinya, hingga saat
kritis yang ada dalam setiap pen-
ini mereka memang belum dapat
dampingan kelompok tani. Salah
mengejawantahkannmya dalam sua-
satu materi yang diberikan adalah
tu kegiatan yang nyata. Pemahaman
pentingnya pengorganisasian pe-
masyarakat secara menyeluruh mulai
tani. Dalam kelompok tersebut
dari aspek produksi, distribusi, dan
ditanamkan nilai-nilai penting ko-
konsumsi disadari memang menjadi
lektivitas dan kebersamaan guna
modal yang sangat berharga guna
memecahkan masalah yang diha-
menjalankan
dapi sehari-hari, baik masalah da-
agriculture. Pertanian berkelanjutan,
lam pertanian maupun nonperta-
dipahami oleh Daulat Tani, bukan me-
nian.
lingkupi sektor pertanian (pertanian
program
sustainable
alami yang ramah lingkungan dengan
66
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
meminimalkan penggunaan asupan
portasi dan informasi turut menye-
kimia) semata, melainkan juga me-
babkan semakin berlimpahnya komo-
luas hingga ke sektor nonpertanian.
diti panganan pabrikan ke desa dan
makin tingginya tingkat konsumsi
Bagaimanapun, pada kenyataannya,
produk-produk tersebut. Kini banyak
aspek produksi, distribusi dan kon-
produk seperti mi instan, agar-agar,
sumsi, serta kebijakan yang meling-
dan biscuit, dapat dijumpai di mana-
kupinya merupakan suatu rantai yang
mana, mulai dari toko swalayan ter-
saling terkait. Saat ini laju globalisasi
kemuka di kota besar hingga ke wa-
dan komersialisasi pertanian sangat
rung-warung kecil di pelosok desa.
merugikan petani dan kini telah merambah hampir ke segala sektor mu-
Khusus untuk mi instan, produk ini
lai dari aspek produksi, distribusi dan
memang bukan hanya menjadi idola
konsumsi, serta berbagai kebijakan
bagi konsumen, namun juga menjadi
yang melingkupinya. 13 Sebagai alat
primadona bagi para produsen. Ala-
untuk mencapai kedaulatan pangan
sannya? Jelas karena besarnya keun-
tentunya sangat signifikan bagi perta-
tungan yang dijanjikan. Contohnya
nian berkelanjutan untuk memperha-
adalah PT Indofood Sukses Makmur.
tikan ketiga aspek tersebut secara
Per 31 Maret 2003, Indofood telah
menyeluruh.
meraih penjualan bersih sebesar Rp.
4,3 trilyun. 14 Tak mengherankan jika
dalam sepuluh tahun terakhir kon-
Komersialisasi Pangan di Perde-
sumsi bahan pangan dari terigu me-
saan
ningkat
sangat
pesat.
Indonesia
mengimpor gandum sekitar 4 ton seMi Instan: Konstruksi Modernitas
tahun. Konsumsi terigu itu dipakai un-
Meskipun tidak banyak restoran siap
tuk industri bahan pangan bakmi ba-
saji yang telah merambah hingga ke
sah (32%), mi instan (20%), biscuit
perdesaan, bukan berarti proses ho-
(20%), roti (15%), mi telor (8%) dan
mogenisasi dan komersialisasi pa-
sisanya 5% dikonsumsi langsung oleh
ngan tidak menyentuh kawasan ter-
masyarakat. Mi instan sebagai pa-
sebut. Semakin baiknya sarana trans-
nganan yang berbahan baku gandum
13 Lihat Ritzer (1996), Muhtaman, Aliadi, dan Kartika (1999), Sosialismanto (2001), Setiawan (2003),
Schlosser (2004), Saliem, Suhartini, Purwoto dan Hardono (2004), Jatmiko (Editor) (2005), serta
Hadiyanto dan Sari (2005).
14 Sinar Harapan, 30 April 2003.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
67
JERATAN PANGAN GLOBAL
pun menjadi laris-manis. Sepanjang
pangan di Dukuh Subur dan Dukuh
tahun 2000, dari 50-an brand names,
Makmur telah relatif tercukupi. Hal ini
sekitar 8,6 miliar bungkus ludes ter-
diperkuat oleh pengakuan beberapa
jual (Khudori 2005:160—161).
informan yang menyatakan bahwa
dukuh mereka tidak pernah menga-
Sukses besar bisnis mi instan terse-
lami masa paceklik atau kekurangan
but juga berdampak hingga ke kawa-
pangan. Adanya lumbung pangan di
san perdesaan. Salah satunya tam-
setiap rumah tangga merupakan sa-
pak pada studi yang dilakukan AKA-
lah satu jaring pengaman yang mam-
TIGA di Boyolali yang menunjukkan
pu menjamin ketersediaan pangan di
bahwa di kawasan penelitian telah
kawasan penelitian.
muncul kecenderungan bahwa mi
instan merupakan makanan alternatif
Namun, bukan berarti kawasan terse-
pengganti makanan pokok mereka
but sama sekali terbebas dari pe-
(nasi). Dukuh Subur dan Dukuh Mak-
ngaruh komersialisasi pangan. Data
mur (bukan nama sebenarnya) yang
lapangan menunjukkan bahwa pa-
menjadi kawasan penelitian merupa-
nganan alternatif pengganti nasi yang
kan suatu kawasan pertanian sawah
paling favorit adalah mi instan. Lebih
dengan irigasi teknis. Berlimpahnya
spesifik lagi, sebagian besar informan
pasokan air di kawasan tersebut
merujuk pada suatu merek mi instan
membuat petani mampu menanami
tertentu, yaitu Indomie. Populernya
sawahnya hingga tiga kali dalam
mi instan sebagai makanan pengganti
setahun. Adanya kebiasaan di tiap-
nasi disinyalir juga terjadi di banyak
tiap rumah tanggan15 menyisihkan se-
tempat. Studi AKATIGA di Klaten
bagian hasil panennya sebagai ca-
(2004) 16 juga menunjukkan gejala
dangan pangan hingga musim panen
yang sama (lihat studi kasus boks 2).
berikutnya
membuat
ketersediaan
15 Rata-rata penguasaan sawah di kawasan tersebut adalah 0.2 Ha untuk setiap rumah tangga.
16 Lihat Hadiyanto dan Sari (2005).
68
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Boks 2
Mi Instan Sang Idola Baru
Tingkat popularitas mi instan tersebut jauh melebihi makanan tradisional
seperti singkong rebus dan gaplek. Ibu W misalnya, mengatakan dirinya
dan keluarganya hampir tidak pernah memakan singkong rebus baik sebagai kudapan ataupun panganan pengganti nasi. Bagi mereka singkong merupakan makanan ternak, bukan makanan bagi manusia. Untuk alasan itu
pulalah Bu W membudidayakan tanaman singkong di halaman rumahnya.
Setiap hari Bu W memanen singkongnya untuk makanan kambing miliknya.
Bila keluarga Ibu W sedang bosan memakan nasi, maka biasanya beliau
memasakkan mi instan.Bu W mengatakan kedua anaknya bahkan telah
mempunyai rasa kesukaan tersendiri. Anak yang pertama lebih menyukai
rasa ayam bawang sementara yang bungsu favoritnya adalah mi goreng.
Apalagi bila ada pertandingan sepak bola Liga Inggris dan Italia yang disiarkan salah satu stasion TV swasta setiap minggunya, sambil menonton
sepak bola, mereka berdua biasanya membuat mi instan sebagai “teman
wajib” menonton.
Alasan yang diajukan oleh Bu W adalah memasak mie instant lebih praktis
dan cepat. Karena kepraktisannya itu maka anak bungsunya yang baru berumur 10 tahun sudah bisa memasak mi sendiri. Alasan lain yang diajukan
adalah karena di Dukuh Subur dan Dukuh Makmur tidak terdapat warung
atau rumah makan. Hal ini menyebabkan warga dukuh memang harus memasak di rumah masing-masing
Populernya mi instant di perdesaan
lengkap dengan kopiah dan sajadah di
disebabkan oleh banyak hal. Selain
pundaknya, anak-anak, wanita karier,
karena ditunjang oleh sarana dan
ibu rumah tangga, buruh bangunan,
prasarana yang memadai seperti ja-
mahasiswa, petani, dan sebagainya.
lan dan pasar yang semakin baik, ju-
Pencitraan tersebut merupakan upaya
ga karena gencarnya pencitraan pro-
untuk mengukuhkan produknya seba-
duk tersebut melalui iklan-iklan di
gai makanan yang “menembus batas
media massa. Lewat pencitraan vi-
kelas sosial”. Makanan yang tidak me-
sual, sebuah produk mi instan meng-
malukan dikonsumsi kelas atas, seka-
klaim dirinya sebagai makanan ke-
ligus terjangkau oleh kelas bawah.
luarga. Iklan tersebut menampilkan
sosok-sosok yang mewakili berbagai
Pengiklanan tersebut secara khusus
kalangan, mulai dari seorang kiai
mampu menanamkan beragam citra
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
69
JERATAN PANGAN GLOBAL
pada produk yang ditawarkan yang
tidak perlu banyak meluangkan wak-
memanipulasi konsumen untuk te-
tu untuk memasak di dapur.
rus-menerus menggunakan produk
mereka (Featherstone 2001:33—34).
Hal yang paling dahsyat adalah mun-
Sebuah iklan mi instan lainnya di tele-
culnya
visi sangat menekankan pada sisi ke-
pola makan dari beras ke gandum.
praktisan dan siap disantap tanpa
Amang dan Sawit (2001) menunjuk-
persiapan waktu yang lama. Mi instan
kan bahwa masyarakat berpengha-
juga mudah disajikan oleh siapa saja,
silan relatif tinggi telah mengurangi
termasuk oleh anak lelaki, sehingga
konsumsi beras karena beras telah
tidak mengharuskan perempuan un-
dianggap
tuk menghabiskan waktunya bekerja
(Amang dan Sawit 2001). Hal ini didu-
di dapur, sebagaimana dikonstruk-
kung oleh survei yang dilakukan oleh
sikan oleh budaya patriarki selama
Eviandaru, dkk. (2001) yang me-
ini. Perpendekan cost waktu ini mem-
nunjukkan bahwa telah terjadi per-
buat perempuan bisa mengaloka-
geseran pola makan dari nasi ke
sikan waktu dan tenaga untuk kegiat-
panganan non nasi. Sebanyak 24,9%
an lain guna memperbesar benefit.
responden menyatakan bahwa nasi
Bagi kaum miskin, efektivitas waktu
atau bukan nasi, bergizi atau tidak
ini
pertimbangan
bergizi, sudah tidak lagi menjadi per-
utama. Meskipun terkesan merupa-
timbangan utama. Para responden
kan suatu pemborosan (karena harus
mengakui bahwa kandungan gizi mi
membeli produk pangan pabrikan da-
instan masih kurang, sehingga 49,5%
ripada mengolah bahan pangan yang
responden masih perlu menambah-
ada), namun efektivitas waktu yang
kan telur atau daging dalam penya-
didapat (memasak pangan instan re-
jiannya. Bahkan setengah dari mere-
latif lebih cepat daripada mengolah
ka sadar bahwa mengkonsumsi mi in-
dan memasak pangan sendiri) mem-
stan berisiko terhadap kesehatan lan-
buat kaum miskin (terutama perem-
taran bahan pengawet di dalamnya.
puan) dapat mengalokasikan waktu-
Anehnya, mereka justru menjadikan-
nya untuk kegiatan lain yang meng-
nya sebagai makanan pokok sehari-
hasilkan uang. Adanya pangan instan
hari (Eviandaru, dkk. 2001). Dalam
yang relatif mudah dimasak (bahkan
konteks ini alasan yang paling menda-
oleh anak-anak sekalipun) bahkan
sar dalam mengkonsumsi mi instan
membuat kaum perempuan miskin
adalah keefisienan dan kenyang.
70
sering
menjadi
kecenderungan
sebagai
pergeseran
bahan
inferior
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Dari sisi daya saing, mi instan dipan-
mengarahkan pasaran mereka ke
dang mewakili produk pangan yang
anak-anak: Disney, McDonald's, per-
modern yang diolah dengan metode
usahaan pembuat permen, mainan,
yang modern pula. Lewat pencitraan
dan beberapa lainnya. Kini hampir se-
ini mi instan dianggap dan dikons-
mua perusahaan seperti perusahaan
truksikan memiliki nilai lebih diban-
mobil, telepon, dan pakaian, juga te-
dingkan makanan lokal (tradisional)
lah menyasar anak-anak sebagai la-
yang diolah secara sederhana. Daya
han promosinya. Biro-biro iklan kini
saing mi instan juga tercermin pada
punya divisi anak-anak, dan kelom-
minimalisasi risiko salah atau perbe-
pok ini cenderung punya nama yang
daan penyajian, seperti yang biasa
terdengar manis: Small Talk, Kid
terjadi pada masakan lokal (Khudori
Connection, Kid2Kid, dan lain lain.
2005:166). Homogenisasi ini bukan
Pertumbuhan pengiklanan pada anak-
hanya semakin mempertinggi tingkat
anak bukan hanya didorong oleh
ketergantungan desa pada produk-
upaya meningkatkan konsumsi masa
produk dari luar, melainkan juga telah
sekarang,
mematikan produksi panganan tradi-
depan. Banyak perusahaan yang telah
sional di kawasan tersebut.
menyadari bahwa “kesetiaan merek”
melainkan
juga
masa
bisa bermula sejak dini pada umur
Anak-Anak: Korban Iklan
dua
Satu hal yang perlu diwaspadai oleh
menemukan bahwa anak-anak kerap
semua pihak yang ingin mempra-
dapat mengenali logo sebuah merek
karsai pembentukan kedaulatan pa-
sebelum
ngan adalah bahwa cengkeraman
namanya sendiri (Schlosser 2002:
kuku kapitalisme dan komersialisasi
54—55). Atas dasar pertimbangan
pangan kini tidak masuk melalui
itulah Schlosser (2004) dan Ritzer
kekerasan dan todongan senjata,
(1996) mengatakan bahwa kini anak-
tetapi justru dengan bujuk rayu yang
anak telah menjadi “sasaran tembak“
manis
propaganda
dan
memabukkan
seperti
pencitraan di media massa. Cara ter-
tahun.
Sebuah
mereka
bisa
komoditi
riset
pasar
mengenali
(panganan)
pabrikan melalui iklan-iklan di televisi,
sebut terbukti jauh lebih efektif dari-
radio, hingga promosi ke sekolah-
pada menggunakan kekerasaan dan
sekolah dengan pembagian contoh
pemaksaan.
produk secara cuma-cuma. Hal ini
dapat dilihat dari gencarnya iklan
Duapuluh lima tahun yang lalu, hanya
berbagai produk anak-anak serta ik-
segelintir perusahaan (Amerika) yang
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
71
JERATAN PANGAN GLOBAL
lan yang menggunakan anak-anak
sebagai “media” pencitraan komoditi.
polog budaya ke rumah-rumah, tokotoko, dan restoran siap saji untuk
mengamati perilaku calon konsumen
Appadurai (1986) mendefinisikan ko-
itu. Mereka juga mempelajari kehi-
moditi sebagai 'benda-benda yang
dupan khayal anak-anak kecil, lantas
memiliki
(economic
menerapkannya ke dalam iklan-iklan
value)'. Nilai, bagi Simmel, tidak per-
nilai
ekonomi
dan desain komoditi yang ditawarkan
nah melekat (inheren) pada objek
(Schlosser 2002:57). Iklan-iklan ter-
(benda), namun merupakan sebuah
sebut
dirancang
sedemikian
rupa
penilaian yang diberikan oleh subjek.
membuat anak-anak—yang disebut
Dalam hal inilah pencitraan (baca:
oleh sosiolog Vance Packard sebagai
iklan) memiliki peran yang sangat
“wali salesman”—mempunyai alasan
penting dalam rangka menanamkan
untuk
nilai pada objek yang ditawarkan
orang tuanya untuk membelikan ko-
(Appadurai 1986). Karena itu berba-
moditi tersebut. Rengekan dan ta-
gai upaya dilakukan secara serius un-
ngisan anak-anak memang sering kali
tuk dapat menanamkan citra komoditi
menjadi “senjata” yang efektif untuk
(baca:
meluluhkan hati orangtua mereka.
mempengaruhi)
ke
benak
meminta
(merengek)
pada
anak-anak.
Hal yang sama juga terjadi dalam peSalah satu upaya tersebut adalah de-
nelitian AKATIGA di Boyolali (2005).
ngan mengadakan berbagai riset ten-
Rengekan
tang perilaku dan selera anak-anak.
membuat Ibu K, seorang warga Du-
Periset pasar zaman sekarang bukan
kuh Makmur,
hanya mensurvei anak-anak di mal,
kan uang lebih banyak untuk uang ja-
melainkan
juga
dan
permintaan
anak
“terpaksa” menyisih-
mengorganisasi
jan anaknya yang masih duduk di ke-
kelompok-kelompok studi khusus ba-
las 4 SD Inpres setempat (lihat boks
gi anak-anak berusia dua dan tiga ta-
3).
hun. Mereka juga mengirim antro-
72
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
Boks 3
Jeratan Iklan Pada Anak-Anak
Ibu K adalah seorang ibu rumah tangga (29 thn) dengan satu orang
anak bernama Y, yang kini duduk di kelas 4 SD Inpres. Suaminya, Pak
R, bekerja sebagai buruh tani.
Dalam satu hari, Ibu K harus mengeluarkan uang jajan sebesar
Rp2.500,00 dan Rp2.000,00 untuk ongkos anaknya ke sekolah.
Pengeluaran sebesar Rp2.500,00 untuk jajan setiap harinya dirasakan
berat bagi Ibu K, namun beliau sering kali tidak kuasa menolak
rengekan anak bungsunya yang minta dibelikan jajanan (panganan)
yang banyak dijajakan di warung atau dari penjaja keliling di depan
sekolah. Pekerjaan suaminya yang sebagai buruh tani memang membuat Ibu K harus memeras otak untuk menghemat pengeluaran seefisien mungkin. Namun diakui oleh Ibu K, bagaimanapun anak tetap
menjadi prioritas, sehingga segala daya dan upaya sering dilakukan
untuk menyenangkan anak semata wayangnya itu.
Menu jajanan favorit Y adalah Chiki, Jelly, serta beberapa permen. Menurut Ibu K, anaknya selalu membeli makanan pabrikan dan sangat jarang mau membeli makanan tradisional seperti gaplek, getuk, dan
sebagainya. Biasanya Y selalu menuruti “selera jajan” teman-temannya atau karena terpengaruh iklan di televisi. Bila ada panganan
baru yang diiklankan secara besar-besaran di televisi, biasanya Y selalu
meminta panganan tersebut ke ibunya dan juga ke penjaja panganan di
sekolahnya. “Aku pengen tumbas permen seng koyo nang tivi” (aku
ingin beli makanan seperti yang di televisi) begitu Y meminta pada ibunya. Bila sang ibu menolak dengan berbagai alasan (biasanya dengan
mengatakan tidak punya uang), Y sering merujuk dengan gigih. Kegigihan anaknya inilah yang seringkali membuat Ibu K kehabisan
alasan untuk menolak keinginan anaknya membeli berbagai panganan
pabrikan tersebut.
Kasus yang ditampilkan dalam boks 3
Fenomena lebih populernya makanan
hanyalah suatu contoh kecil dari pro-
pabrikan daripada pangan lokal juga
ses komersialisasi pangan ke perde-
tampak pada warung-warung dan
saan. Kini anak-anak di perdesaan,
penjaja keliling yang biasa berjualan
setidaknya di kawasan penelitian, le-
di depan sekolah dasar dan sekolah
bih mengenal dan menyukai pangan-
menengah negeri yang ada di sekitar
an pabrikan seperti Chiki dan Jelly da-
kawasan penelitian. Penjaja keliling
ripada panganan lokal seperti gaplek.
dan warung tersebut lebih banyak
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
73
JERATAN PANGAN GLOBAL
menjajakan panganan pabrikan dari-
Schlosser (2004), dan Khudori (2005)
pada panganan lokal (tradisional), se-
yang juga menyatakan hal yang seru-
perti pisang goreng, bakwan, ubi re-
pa. Tidaklah mengherankan bila kaum
bus, dan kacang rebus. Panganan pa-
muda di perkotaan ada yang rela
brikan yang banyak dijajakan antara
membayar Rp35.000,00 hanya untuk
lain berbagai macam roti, kacang,
secangkir kopi di Starbucks atau di
agar-agar, permen, mi instant, dan
gerai kopi lainnya. Disinyalir banyak
beberapa jenis panganan lain. Menu-
dari
rut Pak M, seorang penjaja keliling di
“membeli kopi”, tetapi justru “mem-
depan SD Inpres Dukuh Subur, dirinya
beli suasana” atau untuk meningkat-
memilih untuk menjual pangan pa-
kan (atau menjaga) “gengsi sosial” di
brikan karena memang panganan je-
antara teman sepermainannya.
mereka
yang
tidak
(hanya)
nis itulah yang paling laku terjual bila
dibandingkan dengan panganan lokal.
Jangankan merogoh kocek dalam-da-
Dalam konteks kedaulatan pangan,
lam untuk membeli gengsi sosial dan
kondisi di atas dapat dimaknai se-
gaya hidup, sekadar mengganjal pe-
bagai wujud dari ketidakdaulatan pa-
rut pun sulit. Itulah makna pangan
ngan. Ketika kita sudah mulai sangat
bagi kaum miskin. Bagi kaum miskin
tergantung pada berbagai produk pa-
(termasuk di dalamnya petani gurem
ngan pabrikan (yang tidak dapat kita
dan tunakisma), pangan hanyalah se-
produksi sendiri), ketika lidah telah
kedar
cocok dengan berbagai selera dan ra-
memikirkan gengsi sosial, keamanan
sa dari panganan pabrikan dan eng-
dan kesehatan (gizi) pangan yang
gan untuk mencoba atau beralih pada
disantapnya pun sering diabaikan
pangan yang lain, ketika kita tidak pe-
kaum miskin. Dalam konteks ini kaum
duli dengan matinya berbagai industri
miskin selalu menjadi pihak yang
panganan tradisional, itulah yang di-
sangat
namakan sebagai “ketagihan”.
negatif kapitalisme dan komersialisasi
urusan
rentan
perut.
Jangankan
terhadap
dampak
pangan.
Pangan Bagi Si Miskin
Pangan, meski bentuknya serupa,
Kaum miskin adalah pihak yang relatif
memiliki makna yang berbeda bagi si
memiliki akses dan kontrol yang sa-
kaya dan si miskin. Makan bagi si kaya
ngat terbatas pada sumber daya yang
bukan hanya urusan perut, melainkan
penting baginya, termasuk pangan.
juga gaya hidup (Redana 1997). Hal
Keterbatasan tersebut membuat pilih-
ini diperkuat oleh Ritzer (1996),
an mereka terhadap pangan yang me-
74
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
menuhi standar gizi dan keamanan
pilihan, atau bahkan anak-anak kaum
yang baik juga sangat terbatas. Pa-
miskin, yang tidak hanya daya belinya
ngan yang relatif mampu didapatkan
rendah, tetapi juga awam terhadap
oleh kaum miskin adalah pangan
pentingnya keamanan pangan. Lalu
yang murah. Pangan murah yang me-
siapa yang diuntungkan? Para kapi-
rupakan hasil dari pasar yang kapi-
talis industri pangan, baik yang ber-
talis sering tidak mengindahkan asas
skala kecil ataupun besar, yang men-
kesehatan dan keamanan (bahkan
dapatkan keuntungan besar dari stra-
kemanusiaan). Dengan dalih mene-
tegi mereka menggunakan bahan-ba-
kan biaya produksi, agar terjangkau
han berbahaya hanya demi memang-
oleh masyarakat miskin, para kapi-
kas biaya produksi dan mereguk ke-
talis kecil menghalalkan penggunaan
untungan sebesar-besarnya
zat yang berbahaya bagi tubuh manusia dalam pembuatan dan pengolahan
pangan.
Penutup
Prasetyo (2004) memaparkan survei
Konsumsi: Bukan Lagi Anak Tiri
Badan Pengawasan Obat dan Makan-
Kegiatan pertanian yang berkelan-
an (BPOM) terhadap berbagai panga-
jutan dipercaya oleh banyak pihak
nan dan minuman yang dijual di ratu-
sebagai salah satu cara mewujudkan
san SD dari Nanggroe Aceh Darusa-
kedaulatan pangan, baik bagi petani
lam hingga Irian. Survei tersebut me-
sebagai produsen dan konsumen pa-
nunjukkan bahwa dari 550 jenis pa-
ngan maupun bagi kalangan nonpe-
nganan dan minuman yang dijajakan,
tani yang jelas merupakan konsumen
60% tidak memenuhi standar mutu
pangan. Kegiatan pertanian berkelan-
dan kemasan. Sejumlah 56% contoh
jutan bukan hanya sekadar menjaga
jajanan tersebut dicemari bakteri be-
keberlangsungan proses budidaya ta-
racun seperti Escheria Coli dan Sal-
naman (aspek produksi), tetapi juga
monella sp, 50% mengandung zat
menjaga keberlanjutan sistem nafkah
pewarna Rhodamin B yang hanya di-
rumah tangga (petani) secara kese-
izinkan sebagai pewarna tekstil, dan
luruhan. Berbicara soal sistem nafkah
33% mengandung bahan pengawet
rumah tangga otomatis akan terkait
berbahaya Boraks (Prasetyo 2004).
dengan bagaimana hasil pertanian
Dalam hal ini siapakah korbannya?
tersebut dipasarkan (aspek distribusi)
Masyarakat miskin yang daya belinya
serta bagaimana rumah tangga terse-
rendah, yang tidak memiliki banyak
but memenuhi kebutuhan lain yang
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
75
JERATAN PANGAN GLOBAL
tidak didapat dari pertanian (aspek
Sungguh ironis jika memang pada
konsumsi).
akhirnya keluarga petani sebagai produsen pangan ternyata menjadi pe-
Aspek konsumsi serta kebijakan yang
langgan setia berbagai panganan pa-
melingkupinya selama ini masih me-
brikan hanya untuk sekadar mengisi
rupakan aspek yang relatif belum ba-
perut. Makan kini bukan hanya urusan
nyak tersentuh oleh program per-
perut, melainkan juga gaya hidup.
tanian berkelanjutan. Padahal telah
Schlosser (2002), Ritzer (1996), dan
banyak hasil studi yang menunjukkan
Khudori (2005) nyata-nyata menu-
bahwa kini derasnya laju komer-
ding pencitraan sebagai salah satu
sialisasi dan globalisasi pangan telah
pintu masuk proses globalisasi pangan
merambah hingga ke ranah tersebut.
ke segala kalangan baik di kota-kota
Perubahan pola konsumsi pangan, be-
besar maupun kawasan perdesaan
sarnya ketergantungan pada berbagai
terpencil, baik orang tua maupun
panganan
menjamurnya
anak-anak. Iklan-iklan di televisi de-
pangan pabrikan, serta makin langka-
pabrikan,
ngan berbagai bujuk rayunya beru-
nya panganan tradisional merupakan
saha menanamkan citra bahwa pa-
beberapa indikasi betapa komersia-
nganan pabrikan adalah panganan “o-
lisasi dan globalisasi pangan telah ada
rang elite” dan panganan tradisional
di depan mata kita.
adalah makanan “orang udik.” Ada pula yang mencitrakan bahwa panganan
Celakanya, komersialisasi dan globali-
pabrikan adalah bersih, bergizi, dan
sasi pangan tersebut kini telah me-
aman sementara panganan tradisional
rambah hingga ke kawasan perdesa-
adalah kotor dan tidak aman. Siapa
an yang notabene merupakan kawa-
yang diuntungkan? Jelas para konglo-
san sentra penghasil pangan (teruta-
merat pemilik pabrik panganan pa-
ma beras). Hasil studi yang dilakukan
brikan tersebut. Siapa yang dirugi-
oleh AKATIGA di Klaten (2004) dan
kan? Jelas para pengusaha panganan
Boyolali (2005) mengindikasikan ke-
lokal yang bangkrut karena tidak
cenderungan tersebut. Salah satu te-
mampu bersaing serta keluarga peta-
muan lapangan AKATIGA adalah mun-
ni pada umumnya yang telah terjerat
culnya mi instan sebagai idola baru
menjadi “konsumen setia” panganan
makanan alternatif pengganti beras
pabrikan tersebut.
serta betapa anak-anak (petani) telah
menjadi pelanggan setia pangan pa-
Pangan adalah kebutuhan dasar ma-
brikan.
nusia yang tidak tergantikan. Seorang
76
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006
BAHASAN UTAMA
antropolog terkenal yang bernama
Perlunya Pemberdayaan Pangan
Melville J. Herskovits menyatakan pa-
Dalam konteks pertanian berkelan-
ngan adalah the primary determi-
jutan yang banyak diinisiasi oleh LSM,
nants of survival bagi manusia. Kare-
apa yang perlu dilakukan? Meskipun
na itu pangan tidak boleh menjadi
masih sangat terbuka untuk diper-
suatu komoditi yang diperjualbelikan
debatkan, namun ada beberapa lang-
untuk menumpuk keuntungan seting-
kah yang mungkin perlu dilakukan.
gi-tingginya di atas penderitaan orang
Pertama, melakukan pemberdayaan
lain. Pangan bukanlah komoditas eko-
secara struktural, salah satunya de-
nomi semata, melainkan juga komo-
ngan melakukan advokasi terhadap
ditas politik. Kuat dan lemahnya suatu
kebijakan pangan atau kebijakan lain
negara turut dipengaruhi oleh keter-
yang berdampak pada pangan. Ke-
sediaan dan meratanya distribusi pa-
dua, melakukan pemberdayaan se-
ngan tersebut ke seluruh lapisan
cara kultural dangan menggalakkan
masyarakat. Runtuhnya Orde Lama
pendidikan pangan, terutama bagi
dan Orde Baru, misalnya, dipicu oleh
generasi muda.
guncangnya kondisi ekonomi bangsa
Indonesia.
Advokasi kebijakan perlu dilakukan
bukan hanya pada kebijakan pangan
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bi-
secara langsung, melainkan juga pa-
la pangan dan pola konsumsi yang
da kebijakan lain yang, meskipun bu-
menyertainya mendapatkan perha-
kan merupakan kebijakan pangan,
tian, curahan waktu, dan energi yang
memiliki dampak pada kondisi pa-
sama besarnya dengan aspek-aspek
ngan masyarakat miskin. Dalam hal
lainnya (produksi dan distribusi). Ti-
ini diperlukan adanya ”daya cium”
daklah pantas bila kita lebih mem-
yang tajam untuk melihat kebijakan
prioritaskan salah sat