TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI.

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Indi Hanim Amaliyah

NIM C03212042

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam

SURABAYA


(2)

Pelaku Tindak Pidana Korupsi”

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah

Oleh

:

Indi Hanim Amaliyah NIM: C03212042

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah hasil penelitian Library Research untuk menjawab pertanyaan yaitu bagaimana sistem pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan keppres no. 174 tahun 1999 serta tinjauan hukum Islam terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi .

Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik bedah Undang-undang, dokumentasi serta kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan metode deskripstif analisis dan pola pikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang umum menurut keppres No. 174 tahun 1999 tentang remisi.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa dalam Keppres No. 174 tahun 1999 tentang remisi pemebrian remisi kepada tindak pidana korupsi diberikan pada saat pelaku tindak pidana korupsi adalah harus menjalani masa pidana 6 bulan, dan selama 6 menjalani masa 6 bulan tersebut narapidana korupsi harus berkelakuan baik, dalam hal berkelakuan baik semua warga binaan pemasyarakatan diawasi oleh petugas dan juga sesama temannya. Pada hukum Islam pemberian remisi dapat diberikan kepada jari>mah ta’zi>r karena jari>mah ta’zi>r merupakan jari>mah yang ketentuannya tidak diatur dalam al-Quran dan sudah menjadi nash. Saran yang dapat disampaikan adalah diharapkan para pemerintah dapat menerapkan segala sesuatu berdasarkan UU yang berlaku, serta hendaknya lebih mengutamakan kemaslahatan umum dengan mendasarkan segala keputusannya kepada UU yang mengatur segala ketentuan, karena negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut asas legalitas, sewajarnya para hakim memutus segala perkara sesuai dengan UU yang mengaturnya.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM………. I

PERNYATAAN KEASLIAN………....... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING………...… iii

PENGESAHAN………... iv

ABSTRAK………. v

PERSEMBAHAN……….... vi

KATA PENGANTAR………..……… vii

DATAR ISI………..………. ix

DAFTAR TRANSLITERASI……….………… xi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah………... 8

C. Rumusan Masalah………... 9

D. Kajian Pustaka………. 9

E. Tujuan Penelitian……… 10

F. Kegunaan Penelitian……….... 11

G. Definisi Operasional………...………. 11

H. Metode Penelitian………... 12

I. Sistematika Pembahasan………. 15

BAB II PENGAMPUNAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM……… 16

A. Pengertian Remisi menurut HPI...……….. 16

B. Dasar Hukum Remisi...………... 17

C. Jari>mah Ta’zi>r……..………... 21

D. Pengampunan dalam jari>mah ta’zi>r………. 25

BAB III REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI…... 29

A.Remisi dalam KEPPRES RI No. 174 tahun 1999 ……… 29

B. Remisi dalam UU lembaga Pemasyarakatn………..….……… 40

C. Syarat dan tata cara pemberian remisi (PP No 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No 32 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan…… 50


(11)

BAB IV Analisis Hukum Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana

Korupsi……….. 52

A. Analisis Pemberian Remisi terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ………..……….. 52

A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemberian Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi……….………... 56

BAB V PENUTUP……….. 61

A. Kesimpulan ………... 61

B. Saran….………...….. 62 DAFTAR PUSTAKA


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, masalah menjaga amanat masih perlu diperhatikan oleh banyak pihak, lebih-lebih masalah besar yaitu korupsi yang kini hampir terjadi disemua lingkungan, baik dikalangan eksekutif maupun legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Masalah korupsi di negeri ini sudah memasuki seluruh bidang kehidupan sosial dan pemerintahan serta sudah bersifat mengakar dalam budaya hidup, perilaku, dan cara berpikir.1 Tidak berhenti sampai disitu, korupsi pun menjadi virus yang merambah kesektor swasta sampai ketingkat RT yang jelas eksitensi korupsi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugiaan.Ini menunjukan bahwasanya kewenangan dalam menerapkan Undang-Undang tidak konsisten dan kurangnya ketegasan dalam menerapkan isi kandungan Undang-Undang.

Indonesia merupakan Negara hukum yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tahun 1945 untuk mewujudkan tujuan Negara yaitu good governance dan good government, maka diaturlah tatanan pemidanaan narapidana dalam satu aturan dan petunjuk pelaksana sehingga terciptanya pelayanan pemerintah yang baik. Seperti kasus Gayus Tambunan, kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri, diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes

1M. Nurul Irfan “


(13)

Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga pasal

berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. “Karena Gayus

seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Seiring hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya, terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp. 25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus.

Penolakan oleh MA terhadap upaya PK Gayus ini tetap menguatkan putusan upaya kasasi sebelumnya sehingga Gayus Tambunan harus menjalani hukuman penjara selama 30 tahun. Hukuman selama itu merupakan akumulasi dari 12 tahun penjara untuk kasus keberatan pajak yang diajukan oleh PT Surya Alam Tunggal, 8 tahun penjara dalam kasus penggelapan pajak PT Megah Citra Raya, 2 tahun penjara

dalam kasus pemalsuan paspor

dan 8 tahun penjara dalam kasus pencucian uang dan penyuapan penjaga tahanan. Keputusan yang diambil oleh MA setahap demi setahap memberikan keyakinan bahwa ada keadilan di negeri ini.

Terpidana kasus mafia pajak Gayus Halomuan Tambunan yang mendekam di Lapas Klas 1 A Sukamiskin Bandung mendapat remisi khusus Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah selama satu bulan 15 hari.


(14)

Hal ini merupakan suatu yang berlebihan dalam memberikan keputusan pengurangan hukuman (Remisi) yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Mereka sudah mengeruk uang Negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Justru koruptor harusnya dimiskinkan. Dan kalau perlu diberi sanksi sosial. Memang penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan termasuk mendapat Remisi. Menghukum seseorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga menjadi pelajaran bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang Negara.

Pemberantasan korupsi harus bebas dari praktik menyimpang pemberian Remisi. Kita telah bersepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka harus ada upaya luar biasa.Perubahan aturan mengenai Remisi harus dilakukan. Jihad aparat penegak hukum juga harus diimbangi dengan memperkecil Remisi koruptor. Jangan samakan besaran Remisi Narapidana kasus korupsi dengan Narapidana biasa. Penyimpangan yang telah terjadi harus ditindak tegas. Pejabat pemberi Remisi yang menyimpang pun harus mendapat sanksi.

Kalau kita meninjau kembali kebijakan Remisi dalam Undang-Undang, maka seorang narapidana harus mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu intinya menaati peraturan yang ada di Lembaga Permasyarakatan.

Sesuai dengan pasal 14 ayat (1) huruf I Undang-Undang No.12 tahun 1999 tentang pemasyarakatan bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa hukuman (remisi). Dalam memperoleh remisi harus memenuhi beberapa persyaratan yang di tentukan oleh Undang-Undang yang berkaitan dengan


(15)

remisi. Dengan adanya pemberian remisi menjadikan narapidana berusaha tetap menjaga kelakuannya agar kembali memperoleh remisi selama dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang No.12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan dalam pasal 1 ayat (1) “permasyarakatan adalah

kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Permasyarakatan berdasarkan system, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir darinsistem

pembinaan dalam tata peradilan”. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Pemasyarakatan dalam pasal 1 ayat

(1) “Warga binaan pemasyarakatan, Terpidana, Narapida, Anak Didik

Permasyarakatan Klien Permasyarakatan, LAPAS, BAPAS adalah warga binaan permasyarakatan, Terpidana, Narapidana, Anak Dididk Permasyarakatan, Klien Pemasyarakatan, LAPAS, BAPAS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan”. Keputusan Presiden RI No. 174

tahun 1999 tentang remisi dalam pasal 1 ayat (1) “Remisi adalah pengurangan masa

pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah bekelakuan

baik selama menjalani pidana”. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang -undangan, keputusan menteri kehakiman dan HAM RI No. M.04-HN.02.01 tahun 2000 tentang remisi tambahan bagi narapidana dan Anak Pidana, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No. M.03-PS.01.04 tentang Tata Cara Pengajuan Pemohonan Remisi Bagi narapidana yang Menjalani Pidana Semur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Dengan peraturan Perundang-Undangan tersebut diharapkan pemerintah benar-benar memperhatikan dalam memutuskan untuk memberikan Remisi sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang,


(16)

disamping juga memperhatikan tolak ukur yang menjadi sebuah pertimbangan sebelum memutuskan pemberian Remisi.

Dalam pemberian Remisi, pihak yang berwenang tentunya mengetahui perilaku atau perbuatan para Narapidana korupsi selama menjalani pidana sebagai acuan pemberian Remisi yang sesuai dengan perilaku dan tindakan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan itu sendiri. Namun kenyataannya peraturan pemerintah tentang pemberian Remisi tidak berjalan dengan stabil dan kurang ditegakkannya peraturan dalam menjalankannya.

Di Indonesia, memerlukan aturan-aturan hukum yang majemuk sehingga dapat terciptanya sebuah keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. Karena pada hakekatnya tujuan yang dicapai bangsa Indonesia itu masyarakat yang adil, makmur, tertib, dan damai untuk bisa hidup tentram berdampingan bersama masyarakat lainnya.

Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini masuk dalam kategori

jarimah ta’zir. Tindak Pidana Korupsi tidak dapat dianalogikan dengan tindak pidana pencurian atau perampokan. Sebab kedua tindak pidana tersebut masuk ke dalam wilayah jarimah hudud yang sanksinya telah disebutkan dalam Alquran. Di samping itu tindak pidana korupsi berbeda dengan jarimah pencurian. Dalam tindak pidana korupsi terdapat kekuasaan pelaku atas harta yang dikorupsinya, sedangkan pencurian tidak ada hubungan dengan kekuasaan pencuri atas harta yang dicurinya.2

Walaupun tindak pidana korupsi hanya masuk ke dalam jenis jarimah ta’zir,

namun karena bahaya dan pengaruh negatifnya bias jadi lebih besar dari pencurian

dan perampokan, bentuk hukuman ta’zir dapat berupa pemecatan, hukuman penjara,

atau hukuman mati. Selanjutnya saya akan menjelaskan dari sisi Fiqh Jinayahnya

2M. Nurul Irfan dan masyrofah “


(17)

yang biasa disebut dengan istilah Pemaafan. Dalam hokum islam pengampunan lebih diutamakan daripada pelaksanaan kisas. 3

Pengampunan adalah salah satu sebab hapusnya sanksi ta’zir meskipun tidak

menghapuskan seluruhnya. Para fuqaha membolehkan dalil tentang kebolehan

pemaafan dalam kasus ta’zir . Rasulullah Saw bersabda:

“Terimahlah kebaikannya dan maafkanlah kejelekannya (HR.Muslim ) Dalil diatas meskipun dijadikan dalil oleh fuqaha,4 akan tetapi tampaknya untuk pengampunan ini perlu dibedaka antara jarimah yang berkaitan dengan Allah atau hak masyarakat dan jarimah yang berkaitan dengan perorangan. Dalam ta’zir yang

berkaitan dengan hak perorangan pengampunan itu dapat menghapuskan hukuman, bahkan bila pengampunan itu diberikan sebelum mengajukan penggugatan, maka pengampunan itu juga menghapuskan gugatan. Sedangkan dalam ta’zir yang

berkaitan dengan Allah sangat tergantung terhadap kemaslahatan, artinya bila Ulil Amri melihat adanya kemaslahatan yang lebih besar dalam memberikan maaf daripada pelaku dijatuhi hukuman maka Ulil Amri dapat memberikan kemaafannya. Al-Mawardi berpendapat sehubungan dengan pengampunan ini sebagai berikut :5

a. Bila hak adami diberikan sebelum pengajuan gugatan kepada hakim, maka

Ulil Amri bisa memilih antara menjatuhkan sanksi ta’zir atau memaafkannya.

b. Bila pemaafan diberikan sesudah pengajuan gugatan kepada hakim oleh korban, maka fuqaha berbeda pendapat tentang hapusnya hak Ulil Amri untuk menjatuhkan hukuman yang berkaitan dengan hak masyarakat. Ada

3Abdul Azis Dahlan, et.al., (eds), “Eksiklopedi Hukum Islam” Jilid 4 hal 30 4Djazuli “Fiqh Anti Korupsi” hal.224

5A. Djazuli “


(18)

yang berpendapat bahwa Ulil Amri itu menjadi hapus dengan pengajuan gugatan oleh korban. pendapat ini dipegang oleh Abu Abdillah Al-Zubair. Demikian pula pendapat Ahmad Ibn Hanbal. Sedangkan menurut pendapat

ulama’ lain hak Ulil Amri untuk menjatuhkan hukuman yang berkaitan dengan hak jama’ah, baik sebelum maupun sesudah gugatan oleh korban maka tidak dapat dihapus.

Tampaknya pendapat kedua inilah yang lebih tepat dalam jarimah ta’zir yang merupakan gabungan anatara hak jama’ah dan hak perorangan. Lain halnya bila

dalam jarimah yang murni berkaitan dengan hak Allah atau jama’ah. Dalam kasus

jarimah macam pertama harus perorangan yang dapat memaafkannya, sedangkan untuk kasus jarimah macam kedua hanya Ulil Amri yang dapat memaafkannya. Serta taubat juga dapat menghapus sanksi ta’zir apabila jarimah yang dilakukan

oleh si pelaku itu adalah jarimah yang berhubungan hak Allah / hak jama’ah6, taubat menunjukkan hanya penyesalan terhadap perbuatan jarimah yang telah dilakukan, menjauhkan diri darinya, dan adanya niat yang kuat untuk tidak kembali melakukannya sedangkan bila berkaitan dengan hak Adami harus ditambah dengan satu indicator lagi, yaitu melepaskan kedzaliman yang dalam hal ini adala meminta maaf kepada korban.

Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik ingin mengadakan penelitian dan ingin mengetahui lebih jauh permasalahan diatas, kemudian akan dituangkan

dalam sebuah skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada

Pelaku Tindak Pidana Korupsi”.


(19)

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari paparan Latar Belakang di atas maka pokok yang akan dikaji dalam pembahasan ini adalah:

1. Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999.

2. Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi ditinjau dari hukum pidana Islam.

Adapun batasan masalah dalam pembahasan ini adalah:

1. Aturan pemberian Remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999.

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana aturan pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam prespektif hukum positif ?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi?

D. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas


(20)

bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.7 Berkaitan dengan pembahasan skripsi ini adalah:

1. Skripsi karya Inayatur Rahman mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Remisi Bagi Pelaku Tindak Pidana ( Analisis Yuridis

Keppres RI No 174 tahun 1999 )” skirpsi ini memberikan gambaran

pemberian remisi menurut filsafat hukum islam sehingga memberikan perbedaan dengan skripsi yang penulis buat karena berbeda dilihat dari sudut pandangnya.

2. Skripsi Zainal Arifin (05370026) oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana”. Skripsi ini membahas tentang pemberian Remisi pada

narapidana dari tinjauan hukum Islam. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemberian Remisi terhadap koruptor di Indonesia ditinjau dari segi hukum pidana Islam

3. Skripsi Muhammad Hariri (CO3205021) oleh mahasiswa IAIN Sunan Ampel

Surabaya “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pelaksanaan KEPRES

No. 174/Tahun 1999 Tentang Remisi Dalam Kasus Pembunuhan. Sedangakan penelitian yang penulis lakukan adalah bertujuan untuk mengetahui tentang pemberian Remisi terhadap koruptor di Indonesia dari sudut pandang hukum pidana Islam.

7


(21)

E. Tujuan Penelitian

Setiap penulisan ilmiah tentu memiliki tujuan pokok yang akan dicapai atas pembahasan materi tersebut. Oleh karena itu, penulis merumuskan tujuan penelitian skripsi sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dasar hukum dan sistem pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam prespektif hukum positif.

b. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap sistem pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan ada nilai guna pada dua aspek:

1. Aspek keilmuan, dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiranatau pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya bila ada kesamaan masalah serta dapat bermanfaat memperluas khasanah ilmu pengetahuan tentang pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang di tinjau dari hukum pidana islam.

2. Dari segi praktis, dapat digunakan sebagai lahan pertimbangan dalam pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Serta bermanfaat pula bagi Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya untuk pengembangan ilmu khususnya dalam bidang Hukum Pidana Islam.


(22)

Agar tidak terjadi salah pengertian terhadap judul skripsi ini, maka penulis merasa perlu mendifinisikan istilah-istilah yang berkenaan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Remisi berasal dari kata remissio yang berasal dari bahasa latin yang berarti potongan/pengurangan hukuman. Sedangkan menurut istilah, Remisi adalah pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman seumur hidup menjadi hukumana terbatas. Dalam keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Di Indonesia Remisi secara umum biasanya diberikan pada saat-saat hari besar atau peringatan, yaitu pada setiap peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.

2. Korup adalah suka menerima uang sogok atau dapat disogok (menguasai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Sedangkan koruptor orang yang melakukan korupsi atau orang yang menggelapkan uang Negara bisa juga di perusahaan ditempat kerjanya.

3. Hukum Pidana Islam Adalah ilmu tentang ketentuan-ketentuan hukum syara yang digali nash-nash keagamaan, baik Al-Qur’an maupun hadis, tentang

kriminalitas, baik berkaitan dengan keamanan jiwa maupun anggota badan atau menyangkut seluruh aspek pancajiwa syariat yang terdiri dari agama, jiwa, akal kehormatan atau nasab dan harta kekayaan, maupun diluar pancajiwa syariat tersebut. Dengan demikian istilah hukum pidana Islam sama dengan fiqh Jinayah.


(23)

H. Metode Penelitian

1) Data Yang Dikumpulkan

a. Undang-undang mengenai remisi serta KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999.

b. Ketentuan tentang pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi menurut hokum pidana Islam yang dapat diperoleh dari literasi-literasi.

2) Sumber Data

a. Sumber primer

Sumber data primer dalam penelitian ini diambil dari dokumen-dokumen yaitu UU No.12 tahun 1995 serta PP No. 32 tahun 1999 sebagai pokok yang dianalisis dari skripsi ini.

b. Sumber sekunder

Bahan sekunder merupakan data yang bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi dan memperkuat serta memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, seperti dokumentasi, buku-buku serta apapun yang berkaitan dengan obyek penelitian,.

1) Teknik pengumpulan data

Jenis penelitian ini adalah Library Research atau studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisah dari suatu penelitian. Teoro-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Melalui studi


(24)

kepustakaan juga dapat diperoleh informasi tentang penelitian sejenis atau yang ada kaitannya dengan penelitian, ataupun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sehingga dapat memangfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relavan dengan penelitian yang akan dilakukan.

2) Teknik pengolahan data

Penulis akan memaparkan dan mendeskrisipkan semua data yang penulis dapatkandengan tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali data yang diperoleh terutama kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan antara yang satu dengan yang lain.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data yang telah diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan

c. Analyzing, yaitu menganalisa data yang telah dideskripsikan dan kemudian ditarik kesimpulan.

3) Teknis analisis data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunaakn teknik deskriptif analisis verivikatif yaitu membuat deskripsi, gambaran, atau menjelaskan secara sistematis atas data yang berhasil dihimpun terkait dengan pembahasan. Metode yang digunakan dalam menganalisis data dalam skripsi ini menggunakan metode deduktif yaitu data-data yang diperoleh secara umum yang kemudian dianalisis untuk dikumpulkan secara khusus.


(25)

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pemahaman tentang isi penulisan skripsi ini, serta memperoleh penyajian yang serius, terarah dan sistematik, maka penulis menyajikan pembahasan skripsi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar umum pada isi tulisan. Meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, pada bab ini merupakan landasan teori hukum Islam terhadap korupsi yang meliputi, definisi, macam-macam, jenis-jenisnya, dan sanksi hukumannya. Bab III, dalam bab ini diuraikan tentang ketentuan Remisi menurut undang-undang dan KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999.

Bab IV, merupakan bab yang memuat hasil analisis pemberian Remisi terhadap koruptor dalam hukum positif, dan dan pemberian remisi terhadap koruptor menurut hokum islam.

Bab V terakhir sebagai penutup. Bab ini sebagai akhir dari penilaian yang meliputi kesimpulan dari bebagai permasalahan yang sudah dibahas sebelumnya dan akan disertakan saran-saran yang berkaitan dengan masalah tersebut.


(26)

BAB II

PENGAMPUNAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk tindak pidana pencurina uang negara, penggelapan serta penerimaan suap yang dilakukan oleh penajabat negara. Dalam hukum pidana Islam tindak pidana korupsi ini dapat dijatuhi hukuman hudud atau ta’zi>r dilihat dari

aspek tindak pidana yang dilakukan.

Dalam hukuman dikenal dengan gugurnya suatu hukuman, maksudnya adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh hakim, berhubung tempat (badan atau bagiannya) untuk melaksanakan hukuman sudah tidak ada lagi, atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat. Dan dalam gugurnya hukuman terdapat beberapa sebab yang salah satunya adalah pengampunan.

A.Pengertian Remisi Menurut Hukum Pidana Islam

Kata remisi berasal dari bahasa Inggris yaitu remission. Re yang berarti kembali dan mission yang berarti mengirim, mengutus. Remisi diartikan pengampunan atau pengurangan hukuman. Dari pengertian tersebut, Remisi merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa asing yang kemudian digunakan dalam pengistilahan hukum di Indonesia. Sebagaimana Remisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum. Selain itu menurut kamus hukum karya Soedarsono, remisi mempunyai arti pengampunan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.

Dalam istilah Arab memang tidak dijumpai pengertian yang pasti mengenai kata remisi, tetapi ada beberapa istilah yang hampir sepadan dengan makna remisi itu sendiri, yaitu


(27)

Afu’ (maaf, ampunan), ghafar (ampunan), rukhsah (keringanan), syafa’at (pertolongan),

tahfif (pengurangan). Selain itu menurut Sayid Sabiq memaafkan disebut juga dengan

Al-Qawdu’“menggiring” atau memaafkan yang ada halnya dengan diyat atau rekonsiliasi tanpa

diyat walau melebihinya. Dalam hukum pidana Islam istilah yang sering digunakan dan memiliki makna hampir menyerupai istilah remisi adalah tahfiful uqubah (peringanan hukuman). Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam peringanan atau pengampunan hukuman merupakan salah satu sebab pengurungan (pembatalan) hukuman, baik diberikan oleh korban, walinya, maupun penguasa.

B. Dasar Hukum Remisi Menurut Hukum Pidana Islam

Dasar pengampunan hukuman yang menjadi hak korban/walinya terdapat dalam

Al-Qur’an dan Hadis. Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT dalam surat Al Baqaarah

ayat 178 yaitu:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas


(28)

Adapun sebab diturunkannya ayat ini adalah riwayat yang berasal dari Qatadah yang menceritakan bahwa penduduk jahiliyah suka melakukan penganiayaan dan tunduk kepada setan. Jika terjadi permusuhan di antara mereka maka budak mereka

akan membunuh budak orang yang dimusuhinya. Mereka juga sering mengatakan , “ kami hanya akan membunuh orang merdeka sebaga ganti dari budak itu.” Sebagai

ungkapan bahwa mereka lebih mulia dari suku lain. Seandainya seorang wanita dari

mereka membunuh wanita lainnya, merekapun berkata, “ kami hanya akan membunuh seorang lelaki sebagai ganti wanita tersebut”, maka Allah menurunkan

firman-Nya yang berbunyi ”Orang merdeka dengan orang merdeka , hamba dengan

hamba, dan wanita dengan wanita.”

Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair rahimahullah bahwa sesaat sebelum Islam datang, bangsa Arab Jahiliyah terbiasa membunuh. Terjadi pembunuhan dan saling melukai diantara mereka hingga merekapun membunuh budak dan kaum wanita. Mereka tidak menerapkan qishas dalam pembunuhan tersebut hingga mereka masuk Islam, bahkan salah seorang dari mereka melampaui batas dengan melakukan permusuhan dan mengambil harta orang lain. Mereka juga bersumpah untuk tidak merelakan sampai dapat membunuh orang yang merdeka sebagai ganti budak yang terbunuh, dan membunuh seorang laki-laki sebagai ganti dari wanita yang terbunuh, maka Allah menurunkan firman-Nya, ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibbkan atas kamu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”

Selain mewajibkan Qishash, Islam juga lebih menganjurkan pemberian maaf, dan mengatur tata cara ( hududnya ), sehingga sikap pemberian maaf ini terasa sangat adil dan muncul setelah penetapan Qishash. Anjuran pemberian maaf ini bertujuan untuk mencapai kemuliaan, bukan suatu keharusan, sehingga bertentangan dengan


(29)

naluri manusia dan membebani manusia dengan hal-hal di luar kemampuan mereka. Allah SWT berfirman, dalam surat Al-Maidah Ayat 45:

Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al

-Ma’idah: 45)

Ayat ini menekankan bahwa ketetapan hukum diyat tersebut ditetapkan kepada

mereka mereka Bani Isra’il di dalam kitab Taurat. Penekanan ini disamping

bertujuan membuktikan betapa mereka melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam kitab suci mereka, juga untuk menekankan bahwa prinsip prinsip yang

ditetapkan oleh Al Qur’an ini pada hakekatnya serupa dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah terhadap umat-umat yang lalu. Dengan demikian diharapkan ketentuan hukum tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua umat termasuk umat Islam.


(30)

Penafsiran dalam penutupan ayat ini, ” Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang orang yang

zalim” mengesankan bahwa anjuran memberi maaf bukan berarti melecehkan hukum Qishas karena hukum ini mengandung tujuan yang sangat agung, antara lain menghalangi siapapun melakukan penganiayaan, mengobati hati yang teraniaya atau keluarganya, menghalangi adanya balas dendam dan lain-lain. Sehingga jika hukum ini dilecehkan maka kemaslahatan itu tidak akan tercapai dan ketika itu dapat terjadi kedzaliman. Oleh sebab itu putuskanlah perkara sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, memberi maaf atau melaksanakan qishash. Karena barang siapa yang tidak melaksanakan hal tersebut yakni tidak memberi maaf atau tidak menegakkan pembalasan yang seimbang, maka dia termasuk orang yang zalim.

Disamping dasar pengampunan dari Al Qu‘ran Selain itu terdapat pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra dan HR Ahmad, Abu Daud, An Nasa-Ydan Ibnu Majah; Al Muntaqa yaitu :

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin bakr bin Abdullah Al Muzani dari Atha bin Abu Maimunah dari Anas bin Malik ia berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat pengaduan yang padanya ada Qishas, kecuali beliau menganjurkan untuk memaafkan." ( HR.Ahmad Abu Daud 4497 )

C. Jarimah Ta’zi>r


(31)

Menurut bahasa lafaz ta’zir berasal dari kata ‘azzara yang mempunyai sinonim kata yaitu mencegah atau menolak (mana’a wa radda), mendidik (‘addaba). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili, ta’zi>r diartikan mencegah dan menolak, karena ta’zi>r dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Ta’zi>r diartikan mendidik, karena ta’zi>r dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Jadi, menurut bahasa ta’zi>r adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.1

Pendapat Wahbah Zuhaili memberikan definisi ta’zir yang mirip dengan definisi Al-Mawardi, ta’zirmenurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman h}ad dan tidak pula kafarat.2 Ibrahim Unais juga memberikan definisi ta’zir menurut syara’ yaitu hukuman pendidikan yang tidak mencapai hukuman h}ad syar’i.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum

ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. jadi, istilah ta’ziri

bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).

Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman h}ad tidak pula kafarat. Dengan demikian, inti dari jarimah ta’zi>r adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan.

1 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: SInar Grafika, 2005), 248. 2 Ibid., 249.


(32)

Makna ta’zir bisa juga diartikan mengagungkan dan membantu, seperti yang telah difirmankan Allah dalam surah al-Fath ayat 9 yang berbunyi:

او مؤتل

َّاب

هلوسرو

ورزعتو

ورقوتو

ح ستو

و

ركب

ايصأو

Agar kamu semua beriman kepada Allah dan rasulnya, menguatkan (agama) nya, membesarkannya, dan bertasbih kepadanya pagi dan petang.3

Maksud dari kata tu’azziru>hu dalam ayat ini adalah mengagungkannya dan menolongnya. Adapun yang dimaksud dengan ta’zir mnurut terminologi fikih Islam adalah tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi h}ad dan kafarat. 4 Atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim atas pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ada. Mengingat persyaratan dilaksanakannya hukuman masih belum terpenuhi dalam tindakan-tindakan tersebut.

Dari uraian tersebut, dapat diambil intisari bahwa jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

a. ta’zir karena berbuat maksiat;

b. ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum; c. ta’zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah)

Disamping itu, dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta’zi>r dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

a. jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah

b. jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu)

3 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Pustaka), 738. 4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, 10(Bandung: PT Alma’arif, 2004), 159.


(33)

Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya mebuat kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita lain yang bukan istrinya, penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah

ta’zir yang menyinggung hak perorangan adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang-orang tertentu, bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan dan lain sebagainya.

2. Macam-macam hukuman ta’zir

Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman ta’zir adalah

hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri untuk

menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu:5

a. hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid. b. hukuman ta’zir yang berkaitan dengen kemerdekaan seseorang, seperti

hukuman penjara dan pengasingan.

c. hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/ perampasan harta, dan penghancuran barang.

d. hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh amri demi kemaslahatan umum seperti, peringatan keras, digadirkan di hadapan sidang, nasihat, celaan dan lain sebagainya.

3. Maksud sanksi ta’zi>r


(34)

Maksud utama sanksi ta’zi>r adalah sebagai preventive dan represif serta kuratif dan edukatif. Atas dasar ini ta’zir tidak boleh membawa kehancuran.6

Yang dimaksud dengan fungsi preventive adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman

ta’zi>r), sehingga orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama dengan perbuatan terhukum.

Yang dimaksud dengan fungsi represif adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi si terhukum, sehingga ia tidak lagi melakukan perbuatan yang menyebabkan dirinya dijatuhi hukuman ta’zi>r.

Oleh karena itu, sanksi ta’zi>r itu baik dalam fungsinya sebagai usaha preventif maupun represif, harus sesuai dengan keperluan, baik lebih dan tidak kurang dengan menerapkan prinsip keadilan.

Yang dimaksud dengan fungsi kuratif (islah) adalah bahwa sanksi ta’zi>r itu harus mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terhukum dikemudian hari. Yang dimaksud fungsi edukatif adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus mampu menumpuhkan hasrat terhukum untuk mengubah pola hidupnya sehingga ia akan menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukuman melainkan semata-mata karena tidak senang terhadap kejahatan. Sudah tentu sangat penting dalam hal ini pendidikan agama sebagai sarana memperkuat keimanan dan ketakwaannya, sehingga ia menjauhi segala macam maksiat untuk mencari keridhaan Allah swt. Oleh karena itu, maka tidak mengherankan bila para ulama dalam hal sanksi

ta’zir yang berupa penjara tidak memberikan batas waktu bagi lamanya penjara,


(35)

melainkan batas yang mereka tentukan adalah sampai si terhukum bertaubat sebagai pembersih dari dosa.

Untuk menjaga kepastian hukum, perlu batas waktu hukuman penjara. Hanya saja pembinaan di lembaga pemasyarakatan harus efektif sehingga si terhukum waktu keluar telah taubat.

D. Pengampunan dalam Jarimah Ta’zi>r

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Pengampunan berasal dari kata ampun yang berarti pembebasan dari hukuman atau tuntutan.7 Sedangkan dalam bahasa hukum pidana umum pengampunan disebut sebagai remisi yang berarti pengurangan masa hukuman yang diberikan kepada orang terpidana.8

Dalam jarimah ta’zir terdapat pengampunan yang dapat meringankan hukuman pelaku namun antara keduanya ada yang dapat diampuni ada pula yang tidak dapat diampuni atau diberikan keringanan hukuman seperti penjelasan berikut:

1. Pengampunan terhadap tindak pidana yang tidak dapat diampuni

Pengampunan tidak memiliki pengaruh apapun bagi tindak pidana yang wajib dijatuhi hukuman h}udud, baik diberikan oleh korban, walinya, maupun penguasa.Ini karena hukuman terhadap tindak pidana h}udud bersifat wajib dan harus dilaksanakan. Para ulama menyebut tindak pidana hudud sebagai hak Allah. Karena tindak pidana hudud adalah hak Allah, hukumannya tidak boleh diampuni atau dibatalkan.

7Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 38. 8M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 533.


(36)

Ketetapan tidak adanya pengampunan dan pembatalan hukuman atas tindak pidana h}udud ini mengakibatkan pelaku tindak pidana yang harus dijatuhi h}udud itu berstatus sebagai orang yang kehilangan gak jaminan keselamatan jiwa dan anggota badannya.

2. Pengampunan terhadap tindak pidana ta’zir

Sudah disepakati oleh para fukaha bahwa pebguasa memiliki hak pengampunan yang sempurna pada tindak pidana ta’zir. Karena itu,9 penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana ta’zir dan hukumannya, baik sebagiannya maupun keseluruhannya. Meskipun demikian, para fukaha berbeda pendapat tentang bisa tidaknya penguasa memberikan pengampunan terhadap semua tindak pidana ta’zir atau terbatas pada sebagiannya saja.

Sebagian ulama (kelompok pertama) berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki hak pengampunan pada tindak pidana kisas dan hudud yang sempurna yang tidak boleh dijatuhi hukuman kis}as dan h}udud, tetapi ia harus dijatuhi hukuman ta’zir yang sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, penguasa boleh mengampuni tindak pidana dan hukumannya jika ia melihat ada kemaslahatan umum di dalamnya dan setelah menghilangkan dorongan hawa nafsu.10

Sementara itu, sebagaian ulama yang lain (kelompok kedua) berpendapat bahwa penguasa memiliki hak untuk memberikan pengampunan atas seluruh

9Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Pidana Islam ,(Ahsin Sakho Muhammad dkk),

Jilid III. Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008), 171.


(37)

tindak pidana yang diancam dengan hukuman ta’zir dan juga hak mengampuni hukumannya jika di dalamnya terdapat kemaslahatan umum. Dari kedua pendapat ulama tersebut, dapat kita lihat bahwa kelompok pertama lebih dekat dengan logika hukum Islam yang berkaitan dengan tindak pidana h}udud dan qis}as.

Kekuasaan korban dalam memberikan pengampunan terhadap tindak pidana

ta’zir hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan haknya (dirinya), seperti pemukulan dan pencacian. Kerana itu, pengampunan korban tidak berpengaruh pada hak masyarakat, yaitu mendidik pelaku dan memperbaikinya, sehingga jika korban mengampuni pelaku, pengampunannya itu tertuju pada hak pribadi korban saja. Sebaliknya, pengampunan penguasa atas tindak pidana atau hukuman tidak berpengaruh pada hak-hak korban.11


(38)

BAB III

PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Remisi Dalam Keppres RI No 174 Tahun 1999

Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana.1Adapun yang dimaksud dengan berkelakuan baik dan segala syarat-syarat untuk mendapat Remisi akan penulis jelaskan dalam keterangan selanjutnya. Pengurangan masa tahanan bagi seorang narapidana selama ini dianggap sebagai hal yang wajar, Akan tetapi tidak bagi penulis. Pengurangan masa tahanan yang dikarenakan atau disebabkan adanya perayaan hari besar agama dan hari besar negara memang dianggap hal yang wajar, Akan tetapi jika pengurangan masa tahanan tersebut sampai berkisar beberapa bulan dan persyaratan yang mudah maka akan tentu menjadi sesuatu hal yang lain.

Banyak kalangan yang menganggap bahwa syarat dalam mendapatkan Remisi tidaklah sulit, sehingga banyak oknum-oknum yang menyalah gunakannya. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah biasanya para anggota penguasa negara dan mereka yang kaya. Karena sering dikatakan bahwa hukum di Indonesia dikuasai oleh pemegang kekuasaan serta yang memiliki kekuasaan secara material. Maka tak heran jika sering dan kerap kali kita lihat dan kita dengar begitu cepat dan mudahnya seorang narapidana yang baru masuk ternyatakeluar dan dinyatakan telah bebas dari lapas, jika seorang narapidana tersebut adalah pemegang kekuasaan, atau orang yang mempunyai meteri yang banyak. Sehingga hukuman yang telah diputuskan dianggap tidak memberatkan dan bahkan tidak memberikan rasa jera, dan sehingga kejahatan kerap kali dilakukan berulang kali tanpa rasa takut. Jika demikian maka dari itu

1


(39)

pemberian Remisi atau pengurangan masa pidana perlu kiranya mendapat tinjauan kembali.

Segala hal yang berkaitan tentang Remisi telah diatur dalam Kepres No.174 tahun 1999. Hal-hal yang mendukung di dalam keluarnya Kepres No 174 tahun 1999 adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yang menjelaskan bahwa pada hakekatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Kemudian didukung juga oleh Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan yang kemudian direvisi oleh Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006, Yang menjelaskan bahwa ketentuan mengenai pemberian Remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat perlu ditinjau ulang guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat yang banyak menimbulkan rasa kecemasan, kepanikan, atau ketakutan yang luar biasa pada masyarakat.2

Presiden Republik Indonesia di dalam mengeluarkan Keputusan Presiden No.174 tahun 1999 ini menimbang bahwa Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. mengingat Undang - Undang Republik Indonesia No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan bahwa sebagai pelaksanaan dari peraturan pemerintah No.32 tahun 1999 yang diubah menjadi peraturan pemerintah No. 28 tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, yang selanjutnya pengaturan Remisi ditetapkan dengan keputusan presiden.3

2Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan

Hak warga Binaan

3


(40)

Perlu diketahui juga bahwa negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap - tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, termasuk narapidana.

Ketentuan mengenai Remisi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden sebelumnya No.69 tahun 1999 tentang pengurangan masa pidana (Remisi) dirasa perlu disesuaikan dengan hak dan kewajiban setiap narapidana sebagai pemeluk agama, karena agama merupakan sendi utama di dalam kehidupan masyarakat, oleh karena itu Kepres ini direvisi. Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana yang diatur dalam Keppres No.174 tahun 1999, yang dilanjutkan dengan keluarnya Kepmen Hukum dan Perundang-Undangan No.M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden No.174 tahun 1999, Serta Surat edaran Dirjen pemasyarakatan tentang pelaksanaan Remisi No. E.PS.01.01-10 tanggal 28 Feb 2005, Dan Kepmen hukum dan Perundang-Undangan No. M.10.HN.02.01.tahun 1999 tentang pelimpahan wewenang pemberian Remisi khusus pada hari natal tahun 1999 dan hari raya idul fitri 1 Syawal 1420 H tahun 2000 , Mempunyai syarat dan tata cara dalam pemberiannya kepada narapidana, dan anak pidana. Menurut Keppres dijelaskan bahwa Remisi tidak diberikan kepada narapidana atau anak pidana yang:

1. Dipidana kurang dari 6 (bulan).

2. Dikenakan hukuman disiplin dan didaftar pada buku pelanggaran tata tertib lembaga pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada pemberian Remisi.

3. Sedang menjalani cuti menjelang bebas.

4. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.4

Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana yang diberikan oleh Menteri Hukum Dan HAM melalui kepala Kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM adalah hak

4


(41)

setiap orang yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, atau cabang rumah tahanan. Pemberian Remisi bagi narapidana, anak pidana, dalam pelaksanaannya mempunyai syarat – syarat yang harus dipenuhi.

1. Syarat – Syarat Pemberian Remisi. a. Berkelakuan baik.

Adapun yang dimaksud dengan narapidana yang berkelakuan baik adalah narapidana yang mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang diberikan untuk pemberian remisi.5Berkelakuan baik yang dimaksud tidak hanya berkelakuan baik dalam sekilas atau dalam satu hal saja, akan tetapi perilaku yang baik tersebut harus dapat ditunjukkan dalam beberapa hal. Dalam perilaku keseharian dengan sesama narapidana, dalam beribadah, dalam memberi contoh yang baik bagi narapidana lainnya, dalam membantu kelancaran tata tertib dalam lapas, rutan yang bersangkutan. Berkelakuan baik tersebut untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab pihak lapas, rutan dalam mengawasi dan menilai setiap tingkah laku anak pidana, penilaian tersebut hendaknya dilakukan dengan sangat cermat agar menghasilkan penilaian yang benarbenar adil tanpa rekayasa.

Kecermatan dan ketelitian sangat diperlukan dalam penilaian hal ini, karena perilaku seseorang bisa saja menipu. Seseorang yang berperilaku baik bisa saja dibuat-buat jika berada dalam pengawasan kepala atau petugas Lapas. Maka diperlukan juga penilaian dari beberapa rekan

5Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN. 02.01 Tahun


(42)

narapidana dalam menilai perilaku seorang narapidana yang akanmendapat sebutan berperilaku baik.

b. Telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan

Sebagaimana syarat yang pertama yakni tentang berkelakuan baik, untuk selanjutnya seorang narapidana yang berhak mendapat Remisi adalah yang telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Dan selama itu seorang narapidana harus dapat mempertahankan dirinya untuk berkelakuan baik.

Masa enam bulan ini dianggap sebagai masa transisi dan adaptasi bagi seorang narapidana dalam menjalani hukuman. Akan dalam masamasa ini narapidana masih dalam keadaan resah dengan dunianya yang baru, sehingga belum bisa terlihat bagaimana perkembangan seorang narapidana tersebut. Akan tetapi setelah menjalani masa enam bulan tahanan maka dapat dilihat dan dinilai juga perilaku dan segala kegiatan seorang narapidana dalam menjalani segala peraturan dan ketentuanketentuan dalam sebuah lapas, rutan.

c. Berbuat jasa bagi Negara

Yang dimaksud dengan berbuat jasa bagi negara adalah jasa yang diberikan dalam perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara. Kelangsungan hidup negara dalam hal ini tentunya dalam lingkungan lapas, rutan sebagaimana keadaan seorang narapidana yang berada dalam lapas, rutan. Tidak mungkin dia melakukan perjuangan diluar lapas, rutan. Perbuatan yang dianggap bermanfaat bagi negara atau


(43)

kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan antara lain adalah:6

a) Menghasilkan karya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk pembangunan dan kemanusiaan.

b) Ikut menanggulangi bencana alam.

c) Mencegah pelarian dan gangguan keamanan serta ketertiban di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara atau cabang rumah tahanan negara.

d) Menjadi donor organ tubuh dan sebagainya.

e) Melakukan pendidikan dan pengajaran kepada narapidana dan anak pidana atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Segala syarat yang telah ditentukan di atas harus dipenuhi oleh seorang narapidan yang ingin mendapatkan Remisi.Jadi di dalam sebuah lapas atau rutan tidak menutup kemungkinan bagi seorang narapidana untuk lebih maju dan mengembangkan dirinya, baik dalam bidang ilmiah, pendidikan, keamanan dan kesehatan.Maka jika seorang narapidana menginginkan untuk mendapat Remisi maka harus benarbenar dapat memacu diri untuk menjadi manusia yang lebih baik dan lebih berguna. Dari persyaratan sebagaimana di atas tentunya akanbanyak kalangan yang akan mengatakan bahwa Remisi bisa diperoleh dengan mudah. Maka bagi seorang narapidana yang telah berhasil mengajukan dan mendapat Remisi tentunya harus dikaji ulang dan dengan teliti apakah sudah menjalani beberapa persyaratan di atas dan pemberian Remisi atau pengurangan masa tahanan tersebut apakah sudahbenar-benar diputuskan dengan seadil-adilnya baik dari sisi seorang narapidana dan bagi korban.

6


(44)

Sehingga tidak mempengaruhi psikis dari pihak korban, seperti ketakutan dan kekhawatiran akan terulangnya lagi suatu tindak kejahatan karena hukuman yang diberikan belum memenuhi unsur jera. Persyaratan berbuat baik bagi negara ini dikhususkan sebagai persyaratan untuk mendapatkan Remisi tambahan.7

Beberapa persyaratan di atas adalah persyaratan Remisi secara umum. Akan tetapi jika ditinjau dari macam-macam Remisi maka persyaratan tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Remisi Umum

Di dalam pemberian Remisi umum ditentukan persyaratan sebagai berikut:

 Berkelakuan baik

 Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

Penghitungan pemberian Remisi sejak adanya putusan tetap pengadilan atas perkara yang bersangkutan.

2) Remisi Khusus

Untuk pemberian Remisi khusus ditetapkan persyaratan sebagai berikut:

 Berkelakuan baik

 Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

Namun dalam hal pemberian Remisi khusus ini menteri hukum dan ham mengeluarkan keputusan No.M.01.HN.02.01 tahun 2001 tentang Remisi khusus yang tertunda dan Remisi khusus bersyarat serta Remisi tambahan. Maka agar lebih jelas dalam pelaksanaannya sehingga dihindari adanya perbedaan persepsi

7KEPMEN Hukum Dan Perundang-Undangan No.M.09.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan


(45)

dan penafsiran yang idak mustahil dapat menimbulkan permasalahan, dan perlu kiranya diberi penjelasan.

Remisi khusus hari raya keagamaan hakikatnya diberikan kepada semua warga binaan pemasyarakatan yang berstatus narapidana dan telah memenuhi persyaratan subtantif, namun kenyataannya pada hari H keagamaan tersebut tidaklah semua warga binaan pemasyarakatan memperoleh Remisi khusus tersebut karena masih berstatus tahanan, padahal masa tahanannya sudah lebih dari enam bulan, dan mereka yang tergolong seperti ini sangat banyak.

Mengingat bahwa penghitungan menjalani masa pidana dihitung sejak mulai seseorang ditahan dimana seharusnya mereka ini memperoleh kesempatan yang sama (prinsip perlakuan yang sama) untuk mendapatkan Remisi khusus. Untuk itu menteri hukum dan ham memberikan solusi dengan adanya Remisi khusus yang tertunda dan Remisi khusus bersyarat, serta Remisi tambahan.

Dengan ditetapkannya dua bentuk Remisi khusus di atas maka hampir semua warga binaan akanmendapatkan Remisi khusus pada hari raya keagamaan, namun perbedaannya hanyalah waktu pelaksanaannya saja.

a) Remisi khusus yang tertunda

Remisi khusus yang tertunda adalah Remisi khusus yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi narapidana dan besarnya maksimal 1 (satu) bulan.

Contoh: Seorang Warga Binaan Pemasyarakatan ditahan pada tanggal 19 November 2014, diputus oleh pengadilan negeri setelah tanggal 25 November 2014 dan status narapidana diperoleh


(46)

tanggal 15 Desember 2014, dan warga binaan pemasyarakatan ini

akan mendapat Remisi khusus yang tertunda yang diberikan pada tanggal 14 November 2014 sebesar (satu) bulan

b) Remisi khusus bersyarat

Remisi khusus ini diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang pada hari raya keagamaannya belum cukup enam bulan menjalani pidananya, narapidana tersebut tetap dapatdiusulkan untuk mendapat Remisi khusus bersyarat apabila selama menjalani masa bersyarat genap 6 (enam) bulan yang bersangkutan senantiasa berkelakuan baik selanjutnya Remisi khusus bersyarat tersebut diperhitungkan dalam exspirasinya. Namun apabila selama menjalani masa bersyarat tersebut yang bersangkutan melakukan pelanggaran disiplin maka Remisinya dicabut /dibatalkan.

Contoh: seorang narapidana beragama Katolik pada tanggal 20 Desember 2015 dijatuhi hukuman pidana 1 satu tahun 4 empat bulan, pada tanggal 25 Desember 2015 tetap diusulkan Remisi khusus sebesar 15 hari, yang langsung diperhitungkan tanggal bebasnya, namun apabila antara tanggal 25 Desember 2015 sampai dengan 23 juni 2016 yang bersangkutan melakukan pelanggaran maka Remisi khusus bersyaratnya dicabut.

c) Remisi tambahan

 Berkelakuan baik

 Melakukan jasa kepada Negara atau lembaga


(47)

Remisi tambahan bagi narapidana dan anak pidana dapat diberikan yang karena kemampuannya dan atau keterampilan yang dimilikinya telah melakukan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana dan anak pidana. Kemampuan atauketerampilan tersebut harus bermanfaat bagi masa depan yang dididik, dan untuk kegiatan tersebut kepada narapidana yang bersangkutan diberikan sertifikat penghargaan oleh kepala kantor

wilayah departemen hukum dan ham atas usul dari tim pengamat pemasyarakatan (TPP) lapas/rutan yang diketahui oleh kalapas/karutan. Atau juga narapidana/anak pidana yang berbuat jasa kepada negara melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lapas.

Contoh: narapidana atau anak pidana yang memulai dharma bhaktinya berdasarkan keputusan TPP, selanjutnya mendapat persetujuan dan sertifikat dari kepala Kantor wilayah pada 19 mei 2015, maka pada HUT RI 17 Agustus 2015 ia berhak mendapat Remisi tambahan sebesar 1/3 dari Remisi yang diperolehnya. Ditengah-tengah kehidupan masyarakat dewasa ini telah berkembang berbagai jenis kejahatan serius dan luar biasa serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau menimbulkan korban jiwa yang banyak dan harta benda serta menimbulkan kepanikan, kecemasan, ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Pemberian Remisi, asimilasi cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang dipidanakarena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, perlu disesuaikan dengan


(48)

dinamika dan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu pemberian Remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat kepada pelaku tindak pidana tersebut perlu diberi batasan khusus.

a. Untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika, ketentuan pemerintah ini hanya berlaku pada produsen dan bandar saja. b. Untuk tindak pidana korupsi ketentuan pemerintah ini hanya

berlaku bagi korupsi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

 Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

 Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau

menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1000.000.000,00 (satu milyar rupiah).8

Maka berdasarkan pertimbangan tersebut Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan warga binaan pemasyarakatan perlu diubah.Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan

Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 Berkelakuan baik

 Telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana.9

8

Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan


(49)

B. Lembaga Pemasyarakatan

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan adalah perubahan dari nama penjara yang biasa kita kenal dalam masyarakat hingga kini, walaupun perubahan nama itu berlaku sejak perubahan sistem perlakuan terhadap pelanggar hukum yang mengacu pada upaya perbaikan sosial para pelanggar hukum atau dengan kata lain bahwa pelaksanaan pemasyarakatan bagi warga binaan masyarakat adalah sejalan dengan tujuan hukum, perubahan tersebut dan kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang diproklamirkan oleh Saharjo selaku Menteri Kehakiman saat itu.

Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang sering disingkat dengan LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik yang selanjutnya disebut warga binaan masyarakat (WBP). Lembaga pemasyarakatan adalah unitpelaksanaan teknis di jajaran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan bimbingan kepada warga binaan pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut diatas melalui pendidikan, rehabilitasi, reintegrasi. Sejalan dengan tujuan dan peran tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan dam bimbingan serta pengamanan warga binaan pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum. Sidik Sunaryoberpendapat bahwa :10

10


(50)

“Lembaga pemasyarakatan merupakan bagian paling akhir dalam proses peradilan pidana dan sebagai sebuah tahapan pemidanaan terakhir sudah semestinya dalam tingkatan ini harus terdapat bermacam harapan dan tujuan dari sistem peradilan terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan mulai dari lembaga kepolisisan, kejaksaan, dan pengadilan. Harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek pembinaan kepada warga binaan pemasyarakatan.”

Dari ungkapan tersebut jelaslah bahwa lembaga pemasyarakatan mempunyai peran yang stategis dalam proses peradilan pidana terpadu dalam hal pembinaan terhadap pelanggar hukum yang mencapai tujuan pemidanaan, menurut Muladi, tujuan pemidanaan Pencegahan (umum dan khusus) masyarakat, memlihara solidaritas, adalah untukmemperbaiki kerusakan individual dan social yang diakibatkan oleh tindak pidana, hal ini terdiri atas seperangkat tujuan yang merupakan titik berat harus dipenuhi, dengan catatan tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas pengimbalan/perimbangan.11

2. Sistem Pemsyarakatan Indonesia

Penerapan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan telah dilaksanakan di Indonesia sejak konsepsi perbaharuan diluangkan didalam piagam pemasyarakatan Indonesia pada tanggal 27 april 1964 di Jakarta yang merupakan amanat dari presiden, yang dalam point satu menyebutkan, bahwa apa yang dulu dimaksudkan kepenjaraan telah di re tool dan diperbaharui menjadi pemasyarakatan selaras dengan perubahan filosofinya yaitu pembinaan. Tetapi peraturan yang digunakan adalah reglement penjara 1917 warisan kolonial dengan sistem kepenjaraan yang masih berasaskan pada pembalasan, padahalperlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan pada sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11


(51)

Pelaksanaan pidana penjara dalam arti perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Indonesia saat ini menganut suatu sistem yang lebih dikenal dengan sebutan pemasyarakatan.Konsep tentang pemasyarakatan sebagai suatu sistem yang lebih dikenal dengan sebutan pemasyarakatan.Konsep tentang pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Suhardjo (Menteri Kehakiman pada saat itu). Haltersebut terungkap dalam orasinya yang berjudul Pohon Beringin Pengayoman, yang diucapkan pada upacara penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum oleh Universitas Indonesia, tanggal Juli 1963. Dalam orasinya itu, Suhardjo, antara lain mengemukakan konsep tentang hukum nasional dan konsep tentang perlakuan terhadap narapidana. Menyangkut perlakuan terhadap narapidana, Suhardjo menyatakan:12

Dibawah pohon beringin pengayoman ditetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan narapidana maka tujuan pidana penjara dirumuskan : disamping menimbulkan derita bagi terpidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan singkat, tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan.”

Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh keputusan Konfrensi Dinas para pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan ini disamping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.

Amanat Presiden RI dalam konferensi dinas menyampaikan arti penting terhadap pembaharuan pidana di Indonesia. Yaitu perubahan namakepenjaraan menjadi pemasyarakatan.Berdasarkan pertimbangan amanat Presiden tersebut disusunlah suatu

12


(52)

pernyataan tentang hari lahirnya pemasyarakatan RI pada hari senin tanggal 27 April 1964 dan piagam pemasyarakatan Indonesia.

Selanjutnya sambutan Menteri Kehakiman RI dalam pembukaan rapat kerja terbatas Direktorat Jederal Bina Tuna Warga tahun 1976 menandaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah rumuskan dalam konfrensi lembaga tahun 1964 yang terdiri dari sepuluh rumusan, terdiri dari:13

1. Orang yang tersesat terus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Penjatuhan pidana adalah buikan tindakan balas dendam dari negara

3. Rasa tobat tindaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan denga membimbing

4. Negara tidak berhak seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat,

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukkan untuk membangun negara

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa itu itu penjahat

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaaan


(53)

10. Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan hambatan sistem pemasyarakatan.

Dwidja Priyatno, mengemukakan bahwa Sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaanya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi untuk mengenal pemidanaan.14Seiring dengan berubahnya sistem penjara menjadi sitem pemasyarakatan yang berorientasi pada pembinaan, dan bertujuan untuk mempersiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab, maka pada tahun 1990 Departemen Kehakiman mengeluarkan aturan dalam bentuk pola pembinaan bagi narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan yang intinya menetapkan antara lain :

1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara Pembina dan yang dibina

2. Pembinaan bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan

3. Pembinaan berencana terus menerus dan sistematis

4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama berbangsa dan bernegara, intelektual kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan dan mental spiritual.

Sedangkan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan berperang teguh pada asas berlaku, sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatandiantaranya :

1. Pengayoman

14


(54)

2. Persamaan perlakuan dan Pelayanan 3. Pendidikan

4. Pembimbingan

5. Penghormatan harkat dan martabat manusia

6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan

7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Konsep pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap narapidana, kini telah mendapatkan pengaturannya dalam bentuk undangundang, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 77 dan Tambahan Lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor 3614. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan:Pasal 1 angka 1

“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan

pidana.”

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa yang dimaksud dengan warga binaan pemasyarakatan adalah meliputi narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Anak pemasyarakatan terdiri atas anak pidana, anak negara dan anak sipil, sedangkan klien pemasyarakatan adalah mereka yang berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) (Vide Pasal 1 angka 5, angka 8, Pasal 42 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam tulisan ini, lebih diarahkan pada pemenuhan hak-hak warga


(55)

binaan pemasyarakatan pada LAPAS Klas IIA Kota Sungguminasa Kabupaten Gowa. LAPAS sebagai ujung tombak pelaksanaan tempat untuk mencapai tujuan tersebut diatas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi sehingga petugas pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan warga binaan pemasyarakatan benar-benar berkualitas dan mampu mengemban tugas tersebut karena dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, mereka disebut dengan nama Pejabat Fungsional Penegak Hukum.

Dwidja Priyatno, mengemukakan bahwa Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakatterhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-niai yang terkandung dalam Pancasila.15

Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, abik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.Tujuan diselenggarakannya sistem Pemasyarakatan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalah memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.16

Yang dimaksud dengan “agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya untuk memulihkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya manusia dengan kepribadiannya, amnesia

15Ibid.,,104


(56)

dengan sesame, dan manusia dengan lingkungan.Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawabYang dimaksud dengan “berintegrasi secara sehat” adalah pemulihankesatuan hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.17

Berdasarkan uraian diatas maka terpenting dalam sistem pemasyarakatan ini adalah pola pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.18

Pembinaan di LAPAS dilakukan melalui 3 Tahap yakni : (1) tahap awal; (2) tahap lanjutan; (3) tahap akhir yang dapat diuraikan sebagai berikut :19

1. Pembinaan tahap awal narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus narapidana sampai dengan dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana

2. Pembinaan tahap lanjutan meliputi : 20

a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal samapai dengan ½ (satu per dua) dari amsa pidana.

b. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

3. Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhir tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.

Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud meliputi:

17Ibid., Pasal 3.

18

Ibid.,, Pasal 1

19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, pasal 9


(57)

a. Masa Pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama satu (1) bulan;

b. Perancangan programpembinaan kepribadian dan kemandirian c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal

Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud meliputi:

a. Perencanaan program pembinaan lanjutan Pelaksanaan program pembinaan lanjutan

b. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan c. Perancangan dan pelaksanaan program assimilasi.

Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud meliputi: a. Perencanaan program integrasi

b. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir

Dalam tahap-tahap pembinaan seperti diuraikan diatas selalu ditetapkan melalui siding Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan masa pidana Warga binaan pemasyarakatan yang disesuaikan dengan tahap-tahap pembinaan yang ada.

Dalam tahap pembinaan yang dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan di LAPAS merupakan hak-hak yang warga binaan yangwajib diperoleh agar kelak pada masa integrasi warga binaan pemasyarakatan dapat beradaptasi dalam pembangunan serta tidak mengulangi perbuatan tindak pidana.Clemens Bartolas menyatakan ada tiga asumsi dasar diperlukannya model reintegrasi, pertama : bahwa permasalahan menyangkut pelaku kejahatan harus dipecahkan bersama dengan masyarakat dimana mereka berasal, kedua : masyarakat mempunyai tanggung jawab terhadap masalah yang terjadi menyangkut pelaku kejahatan dan


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

b. Bila pemaafan diberikan sesudah mengajukan gugatan kepada hakim oleh korban, maka ada perbedaan diantara fuqaha berkaitan hapusnya hak Ulil Amri dalam penjatuhan hukuman yang berkaitan dengan hak masyarakat.

Ada yang berpendapat bahwa Ulil Amri itu menjadi hapus dengan pengajuan gugatan oleh korban. Pendapat ini dipegang oleh Abu Abdillah al-Zubair dan demikian pula pendapat Ahmad ibn Hanbal. Sedangkan menurut pendapat para ulama yang lain hak tersebut tetap saja tidak dapat dihapus, baik sebelum atau sesudah pengajuan gugatan yang berhubungan dengan jamaah.

Dalam penerapan sanksi yang terdapat pada jarimah ta’zi>r, ada hubungannya dengan Remisi yaitu sanksi ta’zi>r yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang dan sanksi yang terpenting terbagi menjadi dua macam yaitu hukum penjara dan hukum buang. Sedangkan penerapan hukuman penjara menurut para ulama berbeda pendapat Hukuman penjara menurut para ulama itu terbagi menjadi dua yaitu: penjara yang dibatasi waktunya dan penjara yang tidak dibatasi waktunya. Dalam kenyataannya para ulama berbeda pendapat tentang batasan-batasan yang dipakai dalam pemenjaraan, maka demi kemaslahatan dan kepastian hukum Ulil Amri perlu menentukan batasan batasan tertinggi dan terendah bagi sanksi ta’zi>r yang berupa pemenjaraan.Penjara yang tidak dibatasi waktunya bisa berupa pemenjaraan seumur hidup, bisa juga dibatasi sampai terhukum bertaubat. Sedangkan hukuman penjara yang dibatasi sampai terhukum bertubat sesungguhnya mengandung pendidikan, mirip dengan Lembaga Pemasyarakatan sekarang, yang menerapkan adanya Remisi bagi terhukum yang terbukti ada tanda-tanda telah bertaubat.


(2)


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

61 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Remisi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi sangat beragam, yaitu remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan dan juga remisi dasawarsa. Remisi umum diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi pada hari kemerdekaan Indonesia, remisi khusus diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi pada hari keagamaan narapidana korupsi, remisi tambahan diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang telah menjadi pemuka dan selalu membantu kegiatan Lembaga Pemasyarakatan, dan remisi dasawarsa diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi selama 10 tahun sekali.

2. Korupsi banyak disebut dengan jarimah h}udud dikarenakan mempunyai kesamaan illat dengan Syariqah, namun menurut penulis tindak pidana korupsi merupakan jarimah ta’zi>r di karenakan korupsi mempunyai efek yang lebih berbahaya dan lebih banyak madharatnya, dampak koruspsi sanat merugikan perekonomian negara yang nantinya akan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat Indonesia khuhsnya masyarakat yang kurang mampu, oleh karena itu sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi termasuk jarimah ta’zi>r. Ta’zi>r bisa berat atau ringan tergantung kepada proses pengadilan (otoritas hakim), dan bentuk sanksinya juga beragam. Jadi korupsi bila ia dikatakan jarimah h}udud maka narapidana tidak dapat diberikan pemaafan atau remisi, namun bila korupsi adalah jarimah ta’zir maka narapidana bisa mendapatkan pemaafan atau remisi. Dan remisi diberikan kepada narapidana merupakan haknya ketika ia telah memenuhi syaratnya.


(4)

B. Saran

Pemerintah perlu merumuskan suatu peraturan perundang-undangan tentang sistem pembinaan narapidana tindak pidana khusus yang harus dipisahkan dari sistem pembinaan narapidana secara umum. Mulai dari pola pembinaan sikap dan perilaku, program pembinaan keterampilan, pendekatan secara persuasif, agar pembinaan tersebut dapat benar-benar bermanfaat bagi narapidana tindak pidana khusus dan pemerintah perlu mengkaji ulang pengetatan pemberian remisi bagi para pelaku tindak pidana khusus.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

61

DAFTAR PUSTAKA

Al Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Ahsin Sakho Muhammad dkk, Jilid III. Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008.

Al-Quran dan terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan, 2006

Djazuli H. A., Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Dwidja Priyatno. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.

2006.

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Surabaya: 2014

Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam (fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000. Irfan, Nurul dan Masyarofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Pena Grafika, 2013.

Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

KEPMEN Hukum Dan Perundang-Undangan No.M.09.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No.174 Tahun 1999

Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap Harta Kekayaan (Jakarta: Sinar Grafika,

2009).

Marwan M dan P Jimmy, Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, 2009 Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1992

Munajat Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004. Nurul, M. Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah. Jakarta: Raja Grafindo, 2013.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak warga Binaan

Peraturan pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No 32 Tahhun 1999 Tentang Syarat dan tata cara pelaksanaan Hak warga binaan pemasyarakata


(6)

Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Soleh Syeikh bin Abdul Aziz Muhammad, Kutubu as-Sittah, Saudi Arabiyah: Darussalam, 2008

Taufik, Makarao Muhammad dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010.

Undang-undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000

Wardi, Ahmad Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.