Humor sebagai alat komunikasi politik Gus Dur.

(1)

HUMOR SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI

POLITIK GUS DUR

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata satu (S1) dalam Filsafat Politik Islam

Oleh :

Ahmad Syafi’i Karim E84208036

PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Karim. Ahmad Syafi’i. E84208036, 2014. Humor Sebagai Alat Komunikasi Politik Gus Dur. Prodi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

ini adalah sebuah penelitian yang akan menjawab permasalahan: Bagaimana humor menjadi alat komunikasi politik Gus Dur? Dan Bagaimana implikasi penggunaan humor sebagai alat komunikasi politik Gus Dur bagi para politisi?

Jenis penelitian ini merupakan library research (penelitian pustaka), yaitu suatu uasaha untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan serta menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber kepustakaan. Pada penelitian ini penulis akan mengkaji pola komunikasi politik Gus Dur yang sudah dituangkan dalam sebuah teks tertulis. Kemudian melakukan analisa terhadap pemikirannya tersebut. Sehingga metode yang akan digunakan pada kajian ini adalah metode penelitian deskriptif. Pada penelitian ini digunakan tekhnik analisa data content analysis. Pada penelitian ini content analysis digunakan untuk membedah humor sebagai sarana komunikasi politik Gus Dur yang sudah dituangkan dalam sebuah teks tertulis.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Humor bagi Gus Dur merupakan alat komunikasi politik yang sangat efektif sekali. Faktanya banyak masyarakat Indonesia terpengaruh oleh humor Gus Dur. Sehingga sampailah Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia yang ke empat. Hal ini merupakan contoh keberhasilan dari humor Gus Dur sebagai alat komunikasi politik. Pandangan dari para politisi mengenai humor Gus Dur sangat beragam. Secara umum pandangan mereka tentang humor Gus Dur adalah sebagai berikut: Humor beliau sebagai peredam emosi lawan bicara, Humor beliau mengandung pesan dakwah, Humor beliau menyadarkan masyakat untuk membangun negeri menjadi lebih mandiri, Humor beliau mengandung pesan, bahwa sesuatu yang serius apapun harus dihadapi dengan santai tapi pasti dan Humor beliau mengandung pesan untuk berfikir logis.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Definisi Konsep ... 6

F. Tinjauan Pustaka ... 7

G. Kerangka Teoritik ... 9

H. Metode Penelitian... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II TEORI KOMUNIKASI POLITIK A. Pengertian Komunikasi Politik ... 20

B. Unsur-unsur Komunikasi Politik ... 27

C. Komunikator Politik ... 34

D. Fungsi Komunikasi Politik ... 38

BAB III HUMORISASI POLITIK GUS DUR A. Biografi Gus Dur ... 40

B. Perjalanan Intelektual ... 42


(8)

D. Pemikiran Gus Dur ... 50 E. Humorisasi Politik Gus Dur ... 53 F. Wafatnya Gus Dur ... 59

BAB IV HUMOR SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI POLITIK GUS DUR

A. Humor Politik Gus Dur ... 61 B. Implikasi Humor Gus Dur ... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77


(9)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Komunikasi merupakan alat dalam menyampaikan pesan antar manusia satu pada manusia lainnya. Dalam komunikasi biasanya penerima pesan mencoba untuk menafsirkan apa yang disampaikan oleh penyampai pesan. Adakalanya pesan itu disampaikan melalui kata-kata atau bahasa tubuh hingga akhirnya pesan itu bisa mempengaruhi sikap dan tindakan sang penerima pesan.

Komunikasi bisa masuk ke dalam ranah manapun, termasuk dalam bidang politik sekalipun. Sejumlah ilmuwan komunikasi menyebutkan bahwa komunikasi juga mencakupi politik. Maka begitupun sebaliknya, ilmuwan politik memandang bahwa sesungguhnya politik meliputi komunikasi. Hal ini dikarenakan banyak definisi komunikasi yang telah ternoda oleh politik atau mengandung makna politik.1 Hal ini bisa dipahami karena politik dan komunikasi mempunyai sifat yang sama yaitu bersifat serba hadir,multimakna dan multidefinisi.

Maka dari itu, komunikasi politik merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai bidang. Dalam aktivitas politik, komunikasi memainkan peran yang dominan. Mengutip pendapat Redi Panuju, apabila politik diartikan sebagai gejala manusia dalam rangka mengatur hidup bersama, maka esensi politik sebenarnya juga komunikasi2. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual

1

Anwar Ibrahim, Komunikasi Politik : Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia (Yogjakarta : Graha Ilmu,2011), 6.

2


(10)

2

understanding). Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya, kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat.

Melihat hal tersebut maka komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Keenam fungsi tersebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.

Secara harfiah, komunikasi (communication) berasal dari bahasa latin communicatio yang berarti pemberitahuan, pemberi bagian, pertukaran pendapat dan ikut mengambil bagian. Kata sifatnya communis artinya bersifat umum atau bersama-sama. Kata kerjanya communicare artinya berdialog, berunding atau bermusyawarah. Definisi komunikasi secara sederhana mengacu pada pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan atau saling berbagi informasi, gagasan dan sikap3. Sementara definisi politik mengacu pada pendapat Deliar Noer, sebagai aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.4

3

Anwar Ibrahim, Komunikasi Politik, 6

4


(11)

3

Untuk memperjelas konsep komunikasi politik, menarik kiranya mengkaji komunikasi politik dari Maswadi Rauf. Menurutnya, komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Telaah atas substansi komunikasi politik, selalu menempatkan rumusan komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh, baik dilevel orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai dan mempertahankan kekuasaan.5

Jadi, komunikasi politik pada hakikatnya bertemu pada dua titik yaitu, pembicaraan dan pengaruh atau mempengaruhi. Politik adalah komunikasi karena sebagian besar kegiatan politik dilakukan dengan pembicaraan sebagai salah satu bentuk komunikasi. Begitupula sebaliknya, komunikasi adalah politik, karena hampir semua bentuk komunikasi bertujuan untuk mempengaruhi sebagai salah satu dimensi politik.

Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengkaji model dan gaya komunikasi politik yang diterapkan oleh mantan Presiden ke empat Republik Indonesia, Alm. KH.Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil dengan nama Gus Dur. Sebagai salah satu tokoh sekaligus aktor politik yang sangat berpengaruh pada level politik kontemporer, Gus Dur mempunyai gaya komunikasi politik yang unik dan berbeda dengan politisi kebanyakan di Indonesia. Model komunikasi politik Gus Dur ibarat oase di tengah gersanganya komunikasi para elit negeri ini. Di saat kebanyakan elit politik kita nyaris seragam didominasi oleh budaya high context culture yang ditandai dengan politik harmoni, Gus Dur justru kerapkali hadir

5

Maswadi Ra’uf dan Mappan Nasrun (ed.), Indonesia dan Komunikasi Politik, (Jakarta : PT. Gramedia, 1993), 32.


(12)

4

dengan gayanya yang di luar mainstream. Banyak pesan yang diproduksi Gus Dur, menghadirkan kedalaman wacana dan mengundang minat untuk menjadi perbincangan publik. Komunikasi penuh warna ala Gus Dur tidak sekedar memenuhi formalitas kehadiran sang tokoh di ranah publik, melainkan juga kaya dengan bahan diskursus mulai dari warung kopi hingga kajian ilmiah di berbagai kampus maupun pusat-pusat studi.

Mencermati pola komunikasi politik yang digunakan oleh Gus Dur, tampak jelas bahwa kekuasaan, dalam hal ini politik, tidak selalu menggunakan pakem-pakem yang mutlak dan kaku, tapi bagaimana membuat manuver dan meraih dukungan rakyat atau massa. Karena itu, visi, tekad dan keyakinan saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan akomodasi dan trik-trik politik, termasuk dalam hal ini penyampaian pesan-pesan politik.6

Pemilihan humor sebagai penyampaian pesan oleh Gus Dur menunjukkan kemampuannya dalam memahami kondisi psikologis masyarakat awam yang tidak suka dengan bahasa yang rumit dan nasehat yang terlalu kaku.7 Dalam penyampaian pesan-pesan politik yang terkesan berat, kadangkala hal itu dilakukan oleh Gus Dur melalui humor atau lelucon yang ringan, sehingga pesan politik itu mudah diterima dan dipahami. Hal itu bisa dilihat dalam dalam tulisan Gus Dur yang berjudul “Melawan Melalui Lelucon”.8 Menurut Franz Magnis Suseno, kebiasaan Gus Dur menyampaikan pesan politik melalui guyonan atau humor menunjukkan kecerdasannya dalam memahami emosi orang yang

6

Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian : Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gus Dur ( Malang : UIN MalikI Press, 2010), 9.

7

Nur Kholisoh, Demokrasi Aja Kok Repot : Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses Demokrasi di Indonesia (Yogjakarta : Pohon Cahaya, 2012), 95

8


(13)

5

diajaknya bicara. Menurut Gus Dur sendiri, pesan politik yang berat sekalipun, kalau disampaikan dengan humor, akan lebih mudah dipahami dan diterima, meskipun itu merupakan teguran atau sindiran bagi orang yang diajaknya bicara.

Bahkan di negara yang sangat otoriter sekalipun, seorang politikus boleh saja memanipulasi pemilihan umum, membungkam pendapat, melumpuhkan gerakan demokrasi demi alasan stabilitas, subversi, kiri, dan lain-lain. Akan tetapi terhadap yang namanya humor politik, jelas mereka tidak berdaya. Paling banter mereka hanya bisa membunuh si tukang cerita, akan tetapi humor itu sendiri menyelusup jauh di sela jeruji penjara dan lolos dari segenap pengejaran.

Maka dari itu penyusunan skripsi ini berusaha untuk mengupas humor sebagai sebuah alat komunikasi politik oleh Gus Dur. Humor yang menjadi sarana mengantarkan Gus Dur pada pergulatan politik tertinggi di negeri ini dengan menjadi presiden yang diusung oleh faksi Poros Tengah.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana humor menjadi alat komunikasi politik Gus Dur?

2. Bagaimana implikasi penggunaan humor sebagai alat komunikasi politik Gus Dur bagi para politisi?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui motif penggunaan humor sebagai alat

komunikasi politik oleh Gus Dur.

2. Untuk mengetahui konsekuensi penggunaan humor sebagai alat komunikasi politik itu bagi para politisi.


(14)

6

D.Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian dibagi menjadi dua, yaitu dari segi teoritik dan praktis. Dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah khazanah dalam disiplin ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu politik dan sub disiplin ilmu komunikasi politik. Di sisi lain, bermanfaat untuk mengetahui dan memahami teori, konsep, maupun metode yang berkembang dalam bidang ilmu komunikasi politik.

2) Manfaat Praktis

Studi tentang komunikasi politik ini tidak akan bisa ditinggalkan dalam dinamika pesta politik di tanah air, selain karena penelitian ini akan memberi manfaat bagi para politisi ataupun sebagian kalangan yang ingin bergelut dalam dunia politik praktis. Didalamnya politisi dan akademisi juga akan mengetahui varian-varian serta model-model komunikasi politik terutama pemilihan humor sebagai sarana komunikasi politik oleh Gus Dur.

E.Definisi Konsep

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami penelitian ini, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu definisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: humor, komunikasi politik dan Gus Dur adalah sebagai berikut:


(15)

7

Humor : Kemampuan merasai sesuatu yang lucu dan

menyenangkan, keadaan, serta yang menggelikan hati.9

Komunikasi : Proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber

kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.10

Politik : Usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang

dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersam yang harmonis.11

Komunikasi politik : Pembicaraan untuk memengaruhi dalam kehidupan bernegara.12

F. Tinjauan Pustaka

1. Tesis dari Zainal Ilmi yang berjudul ”Pesan Komunikasi politik

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Gerakan Demokrasi di Indonesia dan

Pengaruhnya terhadap kalangan Nahdliyin di Samarinda”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : pesan komunikasi politik Gus Dur dalam gerakan demokrasi di Indonesia dan pengaruhnya terhadap kalangan nahdliyin Samarinda

Metode yang digunakan adalah diskriptif kualitatif dan kuantitatif. Populasi dan sampel dengan penggunaan quesioner sebagai instrumen utama adalah 317 responden dari kalangan Nahdliyin Samarinda, terdiri dari

9

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Semarang : Widya Karya, 2010), 171.

10

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), 20.

11

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010), 15.

12


(16)

8

218 responden dari warga pesantren dan 99 responden lainnya dari anggota Nahdliyin di Samarinda.

Hasil analisa ditemukan bahwa: (1) Pesan komunikasi politik Gus Dur dikelompokkan dalam empat kategori yaitu pesan kemanusiaan, pesan keadilan dalam pluralitas masyarakat, pesan kebudayaan dalam pluralitas masyarakat, dan pesan progrevitas pemikiran ke-Islam-an. (2)Sikap Nahdliyin Samarinda dalam menerima pesan komunikasi Gus Dur sangat baik karena disampaikan dengan nuansa keagamaan. (3) Hasil analisis pengaruh pesan komunikasi politik Gus Dur terhadap perilaku kalangan Nahdliyin Samarinda menghasilkan variabel pesan komunikasi yang bersifat kemanusiaan (X1) berpengaruh positif terhadap perilaku kalangan Nahdliyin Samarinda (Y) sebesar ( 0,5158), variabel pesan komunikasi yang bersifat keadilan dalam pluralitas masyarakat (X2) berpengaruh positif terhadap perilaku kalangan Nahdliyin Samarinda (Y) sebesar ( 0,4993), variabel pesan komunikasi yang bersifat kebudayaan dalam pluralitas masyarakat (X3) berpengaruh positif terhadap perilaku kalangan Nahdliyin Samarinda (Y) sebesar ( 0,4157), dan variabel pesan komunikasi yang bersifat progresivitas pemikiran ke-Islam-an (X4) berpengaruh positif terhadap perilaku kalangan Nahdliyin Samarinda (Y) sebesar ( 0,4157) . Dengan demikian variabel pesan politik Gus Dur yang bersifat kemanusiaan paling berpengaruh terhadap perilaku kalangan Nahdliyin Kota Samarinda.

Tesis Ilmi ini membicarakan pesan komunikasi politik Abdurrahman Wahid, bukan spesifik membicarakan humor bliau sebagai bentuk komunikasi politik. Tentunya, hal ini mempertegas distingsi dengan apa yang akan penulis lakukan dalam penelitian.

2. Humor Politik Sebagai Sarana Demokratisasi Indonesia. Tulisan Adi Bayu Mahadiyan ini mencoba menelaah perkembangan humor politik di Indonesia memanfaatkan nuansa budaya demokrasi Indonesia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa humor politik mampu menjadi sarana unjuk rasa dan pendapat, yang dapat dilakukan dalam berbagai derajat demokrasi suatu


(17)

9

bangsa. Humor politik yang berkembang di suatu negara, mampu menunjukkan derajat demokrasi suatu negara. Bila humor politik dapat berkembang dengan baik dalam nuansa kebebasan, maka negara tersebut dapat dikatakan negara yang demokratis pula.

Dari dua kajian terdahulu diatas, jelas bahwa penelitian yang akan dilakukan penulis memiliki perspektif yang berbeda dengan yang sudah ada.

G.Kerangka Teoritik 1. Humor

Humor adalah sarana paling baik untuk melepaskan segala “unek-unek.” Orang-orang yang cerdas biasanya melepaskan diri dari himpitan hidup dengan cara membuat lelucon. Ladang paling subur bagi lelucon adalah negara yang masyarakatnya sakit dan penguasanya otoriter, korup, dan kejam. Hebatnya pernah ada suatu masa, orang-orang menjadikan Nasruddin sebagai figur sentral bagi lelucon mereka. Nasruddin seperti tokoh tidak bersalah yang bisa seenaknya saja melontarkan kritik, nasihat, sindiran, bahkan ejekan kepada siapa saja termasuk kepada penguasa yang zalim. Tak jarang juga dia mengejek dirinya sendiri.13

Humor merupakan aktivitas kehidupan yang sangat digemari. Di sini humor menjadi bagian hidup sehari-hari. Humor tidak mengenal kelas sosial dan dapat bersumber dari berbagai aspek kehidupan. Humor adalah cara melahirkan suatu pikiran, baik dengan kata-kata (verbal) atau dengan jalan lain yang melukiskan suatu ajakan yang menimbulkan simpati dan hiburan. Dengan demikian, humor membutuhkan suatu profesi berpikir. Seorang pakar budaya Jawa, Poerbatjaraka (dalam Vivin, 2003) mengatakan dengan humor orang dibuat

13


(18)

10

tertawa, sesudah itu orang tersebut disuruh pula berpikir merenungkan isi kandungan humor itu, kemudian disusul dengan berbagai pertanyaan yang relevan dan akhirnya disuruh bermawas diri. Humor bukan hanya berwujud hiburan, humor juga suatu ajakan berpikir sekaligus merenungkan isi humor itu.

Humor dapat tercipta melalui berbagai media, yaitu dapat berupa gerakan tubuh, misalnya pantomim, berupa gambar, contohnya karikatur, komik, berupa permainan kata-kata seperti tertuang dalam tulisan humor di buku, majalah, tabloid, maupun sendau gurau di sela-sela percakapan sehari-hari.

Seperti yang telah disebutkan di depan, istilah humor berasal dari bahasa Latin yang berarti „cairan dalam tubuh’. Cairan itu terdiri atas darah, lendir, cairan empedu kuning, dan cairan empedu hitam. Seseorang akan sehat jika cairan itu dalam proposisi seimbang. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid ke-6 melalui Rozak (2003:10) dikatakan; Keempat cairan dalam tubuh tersebut dianggap menentukan temperamen seseorang. Temperamen seseorang akan seimbang apabila keempat cairan tersebut berada dalam proposisi seimbang. Jika jumlah salah satu cairan berlebih, timbullah ketidakseimbangan temperamen.

Orang yang mempunyai kelebihan salah satu cairan (humor) disebut „humoris’,

dan ia menjadi objek ketawaan orang lain. Tertawa dianggap dapat menyembuhkan kelebihan tersebut. Kemudian humoris juga berarti orang yang dapat membuat orang tertawa, yaitu seseorang yang terampil mengungkapkan humor.

Teori tentang humor banyak dibicarakan dalam ilmu psikologi. Wilson melalui Lestari mengemukakan tiga teori yang membicarakan humor, yaitu (1)


(19)

11

teori pembebasan, (2) teori konflik, (3) teori ketidakselarasan. Dalam teori pembebasan humor dipandang sebagai bentuk tipu daya emosional yang tampak seolah-olah mengancam tetapi pada akhirnya tidak membuktikan apa-apa. Lihatlah contoh berikut ini.

“Fenomena 'Gila' Gus Dur”

Konon, guyonan mantan Presiden Abdurrahman Wahid selalu ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan, termasuk presiden dari berbagai negara. Pernah suatu ketika, Gus Dur membuat tertawa Raja Saudi yang dikenal sangat serius dan hampir tidak pernah tertawa.

Oleh Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), momentum tersebut dinilai sangat bersejarah bagi rakyat Negeri Kaya Minyak. "Kenapa?" tanya Gus Dur. "Sebab sampeyan sudah membuat Raja ketawa sampai giginya kelihatan. Baru kali ini rakyat Saudi melihat gigi rajanya," jelas Gus Mus, yang disambut gelak tawa Gus Dur.

Melekatnya predikat humoris pada Presiden RI yang keempat itu pun sempat membuat Presiden Kuba Fidel Alejandro Castro Ruz penasaran. Suatu ketika, keduanya berkesempatan bertemu. Seperti yang diceritakan oleh mantan Kepala Protokol Istana Presiden Wahyu Muryadi pada tayangan televisi, Fidel Castro bertanya kepada Gus Dur mengenai joke teranyarnya.

Dijawablah oleh Gus Dur, "Di Indonesia itu terkenal dengan fenomena 'gila',". Fidel Castro pun menyimak pernyataan mengagetkan tersebut.

"Presiden pertama dikenal dengan gila wanita. Presiden kedua dikenal dengan gila harta. Lalu, presiden ketiga dikenal gila teknologi," tutur Gus Dur


(20)

12

yang kemudian terdiam sejenak. Fidel Castro pun semakin serius mendengarkan lanjutan cerita.

"Kemudian, kalau presiden yang keempat, ya yang milih itu yang gila," celetuk Gus Dur. Fidel Castro pun diceritakan terpingkalpingkal mendengar dagelan tersebut.14

Kelucuan dalam humor di atas terbentuk karena adanya tipu daya emosional yang dimainkan oleh penutur. Hal yang ada dalam benak lawan tutur adalah tenggorokan yang sakit atau hilang nafsu makan, tetapi ternyata tidak ada yang menawarkan makanan pada Nasruddin. Dia adalah seorang ulama miskin yang kadang susah sekali untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Teori konflik memberikan tekanan pada implikasi perilaku humor, yaitu konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan. Pertentangan yang terjadi dapat berupa pertentangan antara keramahan dan kebengisan, antara main-main dan keseriusan, atau antara antusiasme dan depresi. Pertentangan itu merupakan teka-teki bagi para penikmatnya. Setelah mengetahui maksud percakapan (serius) yang dideskripsikan secara main-main, barulah lawan tutur atau penikmat humor merasakan kelucuan humor itu.

14


(21)

13

2. Teori Komunikasi

Dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan hal terpenting untuk mencapai tujuan. Kegiatan manusia tidak akan bisa berjalan tanpa adanya komunikasi sebagai alat penyampaian informasi, termasuk dalam kegiatan pemasaran politik (marketing politic).

Dalam melakukan komunikasi terdapat unsur - unsur sebagai berikut : Sumber (komunikator)

1. Pesan (message)

2. Sasaran, Penerima, khalayak (komunikan) 3. Alat penyalur (Media)

4. Umpan balik, akibat (Efek)

Masing-masing komponen diatas saling mempengaruhi terhadap kelancaran proses komunikasi.

Ahli komunikasi menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Schramm, Wilbur dalam Cangara (2004 : 2) menyebutnya bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, mengembangkan komunikasi. sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi.

Selain itu komunikasi dapat juga diartikan sebagai proses menghubungi atau mengadakan perhubungan dengan menggunakan bahasa, gerak-gerik, badan, system isyarat, kode dan lain-lain. Definisi yang menekankan persamaan arti, ditemukan antara

lain dari rumusan Gode (1969:5) yaitu “komunikasi adalah suatu proses yang membuat

adanya kebersamaan bagi dua atau lebih orang yang semula dimonopoli oleh satu atau


(22)

14

adalah komunikasi yang mampu menciptakan kebersamaan arti bagi orang-orang yang terlibat. Tanpa persamaan arti, sukar dipikirkan adanya komunikasi.

Shannon dan Weaver (1949:8) menyatakan bahwa komunikasi menyangkut semua prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi orang lain,

sedangkan Shachter menulis : “komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan

kekuasaan. Penggunaan informasi secara bersama atau penggunaan bersama yang dikemukakan oleh Lawrence Kincaid dan Wilbur Schramm (1977:6) menulis bahwa komunikasi adalah proses saling membagi atau menggunakan informasi secara bersama dan bertalian antara para peserta dalam proses informasi.

Proses komunikasi merupakan bagian integral dari proses perkembangan kepribadian manusia secara individual. Proses komunikasi adalah juga bagian yang utuh dan menyatu dengan proses perkembangan masyarakatnya. Proses komunikasi berkembang dalam tahapan-tahapan sebagaimana terjadi dalam laju perkembangan masyarakatnya. Dalam proses komunikasi terdapat lima unsur dimana kaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya dapat dilihat seperti pada gambar berikut :

Gambar 1. Unsur-unsur dalam Proses Komunikasi

Sumber Pesan Media Penerima Efek


(23)

15

Dari gambar diatas dijelaskan bahwa :

1. Sumber, adalah yang mengeluarkan lambang atau sumber sering juga disebut pengirim.

2. Pesan, adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima atau lambang-lambang yang dioperkan.

3. Media, adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima.

4. Penerima, adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. 5. Efek, adalah pengaruh atau perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan

dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.

6 Umpan balik, adalah pengaruh yang berasal dari penerima.

Peristiwa komunikasi dipandang sebagai suatu kejadian dari dua proses yang dapat dibedakan, yaitu : proses komunikasi yang dimulai dari pengirim dan proses informasi yang dimulai dari penerima. Dengan proses informasi dimaksudkan adalah setiap situasi dimana orang atau penerima mendapat informasi.

Ciri pokok proses komunikasi adalah adanya maksud untuk memberitahukan tersebut dan oleh sebab itu proses ini menciptakan pesan untuk dapat mengirim pemberitahuan dimaksud yang dari pihak penerima dipandang sebagai (salah satu) sumber informasi (pesan) dan adanya sesuatu yang datang pada pengetahuan (pemberian tahu).


(24)

16

H.Metodelogi Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini penulis akan mengkaji pola komunikasi politik Gus Dur yang sudah dituangkan dalam sebuah teks tertulis. Kemudian melakukan analisa terhadap pemikirannya tersebut. Sehingga metode yang akan digunakan pada kajian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif sendiri adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu peristiwa di masa sekarang.15

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (field research). Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomina tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.16

Disamping itu, penelitian kajian ini, merupakan study kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang menjadikan bahan atau atau data pustaka sebagai sebagai sumber data utama pada penelitian.17 Artinya studi kepustakaan pada penelitian ini adalah penulis melakukan pengkajian terhadap seluruh gaya dan pola komunikasi politik Gus Dur yang sudah

15

Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta ; Ghalia Indonesia,2003), 54.

16

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 6.

17


(25)

17

dituangkan dalam sebuah bentuk tulisan,baik dalam bentuk buku, media massa, dan jurnal.

2. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian ini digolongkan menjadi dua bagian berdasar kebutuhan, sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber data utama dalam sebuah penelitian.18 Dalam penelitian ini sumber primer merupakan informasi data yang didapatkan secara langsung berupa literatur kepustakaan yang berupa karya ilmiah, skripsi, buku, majalah, koran, artikel baik berupa tulisan ataupun pernyataan Gus Dur.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah data penunjang sumber utama untuk melengkapi sumber data primer.19 Sumber primer merupakan sumber informasi data yang telah dikumpulkan pihak lain, peneliti tidak langsung memperoleh data dari sumbernya, dalam hal ini peneliti bertindak sebagai pemakai data.20 Pada penelitian ini sumber sekunder merupakan sumber penunjang yang diperoleh dari literature para intelektual berupa buku, artikel yang berkaitan dengan humor sebagai alat komunikasi politik Gus Dur.

18

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 129.

19

Ibid.

20

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek (Yogjakarta : Rineka Cipta,1988), 141


(26)

18

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah menentukan cara bagaimana dapat diperoleh data mengenai variabel-variabel tersebut.21 Sesuai dengan penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan maka tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca dokumentasi data-data yang sudah dikumpulkan. Kemudian tahap selanjutnya dilakukan beberapa tahapan pengumpulan data, yaitu tahap editing. Tahap ini digunakan untuk memeriksa kembali semua data yang telah diperoleh terutama dari segi kelengkapan, keterbatasan, dan kejelasan makna, serta kesesuaian dan keselarasan satu sama lainnya. Kemudian tahap organizing, yaitu tahap untuk melakukan analisa lanjutan terhadap pengorganisasian data-data yang telah dikumpulkan.

4. Metode Analisis Data

Tekhnik analisa data adalah tekhnik dimana data tersebut diberi makna dan arti yang berguna untuk memecahkan persoalan penelitian.22 Pada penelitian ini digunakan tekhnik analisa data content analysis. Content analysis adalah tekhnik analisa data yang dilakukan dengan cara mengkaji isi atau materi suatu data atau teks tertulis dengan menggunakan kerangka berpikir deduktif-verifikatif.23 Pada penelitian ini content analysis digunakan untuk membedah humor sebagai sarana komunikasi politik Gus Dur yang sudah dituangkan dalam sebuah teks tertulis.

21

Ibid, 137

22

Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta ; Ghalia Indonesia,2003), 346

23

Kerangka berpikir deduktif –verifikatif adalah kerangka berpikir dimana peneliti bertolak dari konsep-konsep tertentu. Lihat, Sanapiah Faisol, Penelitian Kualitatif ; Dasar-dasar dan Aplikasi ( Jakarta ; Rajawali,1995), 89.


(27)

19

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi, maka dibuat dengan sistematika per-bab yang masing-masing bab mengandung sub bab yang mana satu dan yang lain memiliki hubungan yang erat. Adapun struktur pembahasan tersebut sebagai berikut:

BAB I: Memuat pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi konsep, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II: Bab ini membahas tentang teori komunikasi politik.

BAB III: Pada Bab ini akan secara khusus mendeskripsikan biografi serta humor Gus Dur

BAB IV: Pada bab ini akan diuraikan tentang analisa humor sebagai sarana komunikasi politik Gus Dur.

BAB V: Sebagai penutup, pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran


(28)

BAB II

KOMUNIKASI POLITIK

A.Pengertian Komunikasi Politik

Mendefinisikan komunikasi politik memang tidak cukup hanya dengan

menggabungkan dua definisi, “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep

tersendiri, meskipun secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut. Komunikasi dan politik dalam wacana ilmu pengetahuan manusia merupakan dua wilayah pencarian yang masing-masing dapat dikatakan relatif berdiri sendiri. Namun keduanya memiliki kesamaan-kesamaan sebab memiliki objek material yang sama yaitu manusia. Kesamaan objek material ini membuat kedua disiplin ilmu itu tidak dapat menghindari adanya pertemuan bidang kajian. Hal ini disebabkan karena masing-masing memiliki sifat interdisipliner, yakni sifat yang memungkinkan setiap disiplin ilmu membuka isolasinya dan mengembangkan kajian kontekstualnya. Komunikasi mengembangkan bidang kajiannya yang beririsan dengan disiplin ilmu lain, seperti sosiologi dan psikologi, dan hal yang sama berlaku pula pada ilmu politik.1

Komunikasi politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan dimensi-dimensi politik serta dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan dalam mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari. Kalaupun komunikasi dipahami secara sederhana sebagai

1

Nina Winangsih Syam, Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi. (Bandung: Unpad, 2002), 18


(29)

21

“proses penyampaian pesan”, tetap saja akan muncul pertanyaan, apakah dengan demikian komunikasi politik berarti “proses penyampaian pesan-pesan politik.” Lalu apa yang disebut pesan-pesan politik itu?

Berkenaan dengan hal ini, sebelum memahami konsep dasar komunikasi politik, perlu terlebih dahulu ditelurusi pengertian politik paling tidak dalam konteks yang menjadi masalah penelitian ini.

Politics, dalam bahasa Inggris, adalah sinonim dari kata politik atau ilmu politik dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Yunani pun mengenal beberapa istilah yang terkait dengan kata politik, seperti politics (menyangkut warga negara), polities (seorang warga negara), polis (kota negara), dan politeia (kewargaan).

Pengertian leksikal seperti ini mendorong lahirnya penafsiran politik sebagai tindakan-tindakan, termasuk tindakan komunikasi, atau relasi sosial dalam konteks bernegara atau dalam urusan publik. Penafsiran seperti ini selaras dengan konsepsi seorang antropolog semisal Smith yang menyatakan bahwa politik adalah serangkaian tindakan yang mengaarahkan dan menata urusan-urusan publik.2

Selain terdapat fungsi administratif pemerintahan, dalam sistem politik juga terjadi penggunaan kekuasaan (power) dan perebutan sumber-sumber kekuasaan. Smith sendiri memahami kekuasaan sebagai pengaruh atas pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang berlangsung secara terus menerus. Konsep lain yang berkaitan dengan politik adalah otoritas (authority), yaitu kekuasaan (formal) yang terlegitimasi.

2

Nie dan Verb, Political Participation, Handbook of Political Sciences. FredI. Greenstein & Nelson W,P. (eds), (Addison: Wesley Publishing Company, 1975), 486.


(30)

22

Politik berasal dari kata “polis” yang berarti negara, kota, yaitu secara totalitas merupakan kesatuan antara negara (kota) dan masyarakatnya. Kata

polis” ini berkembang menjadi “politicos” yang artinya kewarganegaraan. Dari

kata “politicos” menjadi ”politera” yang berarti hak-hak kewarganegaraan.3

Secara definitif, ada beberapa pendapat sarjana politik, diantaranya Nimmo mengartikan politik sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. Dalam berbagai hal orang berbeda satu sama lain – jasmani, bakat, emosi, kebutuhan, cita-cita, inisiatif, perilaku, dan sebagainya. Lebih lanjut Nimmo menjelaskan, kadang-kadang perbedaan ini merangsang argumen, perselisihan, dan percekcokan. Jika mereka menganggap perselisihan itu serius, perhatian mereka dengan memperkenalkan masalah yang bertentangan itu, dan selesaikan; inilah kegiatan politik.

Bagi Lasswell, ilmu politik adalah ilmu tentang kekuasaan.4 Berbeda dengan David Easton dalam mendefinisikan politik sebagai berikut:

“Political as a process those developmental processes through which person acquire political orientation and patterns of behavior”5

Dalam definisi ini David Easton menitikberatkan bahwa politik itu sebagai suatu proses di mana dalam perkembangan proses tersebut seseorang menerima orientasi politik tertentu dan pola tingkah laku.

Dalam pandangan Surbakti, politik didefinisikan sebagai “the management of conflict.” Definisi ini didasarkan pada satu anggapan bahwa salah satu tujuan

3

Sumarno AP, Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), 8

4

Varma, S.P. Teori Politik Modern, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 258.

5


(31)

23

pokok pemerintahan adalah untuk mengatur konflik.6 Jadi pemerintahan sendiri pada dasarnya diperlukan untuk memberikan jaminan kehidupan yang tentram bagi masayrakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik diantara individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Pengertian ini memang didasarkan pada realitas politik di negara-negara bagian di Amerika.

Untuk bisa mengatur konflik tentu tidak bisa menghindari pentingnya kekuasaan dan otoritas formal. Penguasa yang tidak memiliki kekuasaan tidak akan pernah mampu mengatasi masalah-masalah yang sewaktu-waktu muncul di masyarakat. Konsekuensinya, ia dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi dan dianggap tidak berfungsi.

Apabila definisi komunikasi dan definisi politik itu kita kaitkan dengan komunikasi politik, maka akan terdapat suatu rumusan sebagai berikut: Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.7

Mengenai komunikasi politik ini (political communication) Kantaprawira memfokuskan pada kegunaanya, yaitu untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah.8

Dengan demikian segala pola pemikiran, ide atau upaya untuk mencapai pengaruh, hanya dengan komunikasi dapat tercapainya segala sesuatu yang

6

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), 31.

7

S. Soesanto Astrid. Komunikasi Sosial di Indonesia. (Jakarta: Bina Cipta, 1980), 2.

8


(32)

24

diharapkan, karena pada hakikatnya segala pikiran atau ide dan kebijakan (policy) harus ada yang menyampaikan dan ada yang menerimanya, proses tersebut adalah proses komunikasi.

Dilihat dari tujuan politik “an sich”, maka hakikat komunikasi politik adalah upaya kelompok manusia yang mempunyai orientasi pemikiran politik atau ideology tertentu dalam rangka menguasai dan atau memperoleh kekuasaan, dengan kekuatan mana tujuan pemikiran politik dan ideology tersebut dapat diwujudkan.

Lasswell memandang orientasi komunikasi politik telah menjadikan dua hal sangat jelas: pertama, bahwa komunikasi politik selalu berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan; nilai-nilai dan tujuan itu sendiri dibentuk di dalam dan oleh proses perilaku yang sesungguhnya merupakan suatu bagian; dan kedua, bahwa komunikai politik bertujuan menjangkau masa depan dan bersifat mengantisipasi serta berhubungan dengan masa lampau dan senantiasa memperhatikan kejadian masa lalu.9

Dalam hal ini, R.S. Sigel memberikan pandangan sebagai berikut:10 “Political socialization refers to the learning process, by which the political norms and behavior acceptable to an ongoing political system are transmitted from generation to generation.”

Dari batasan Sigel ini menunjukkan bahwa sosialisasi politik bukan hanya menitikberatkan pada penerimaan norma-norma politik dan tingkah laku pada sistem politik yang sedang berlangsung, tapi juga bagaimana merwariskan atau mengalihkan nilai-nilai dari suatu generasi kenegaraan berikutnya.

9

Varma, S.P. Teori Politik Modern, 258.

10


(33)

25

Dalam proses politik, terlihat kemudian posisi penting komunikasi politik terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan. Proses ini berlangsung di semua tingkat masyarakat di setiap tempat yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya. Sebab dalam kehidupan bernegara, setiap individu memerlukan informasi terutama mengenai kegiatan masing-masing pihak menurut fungsinya. Jadi dalam kerangka fungsi seperti ini, Rush dan Althoff mendefinisikan komunikasi politik sebagai: Proses di mana informasi politik yang relevan diteruskan dari suatu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.11

Karena itu, kata Budiardjo, sistem politik demokrasi selalu mensyaratkan adanya kebebasan pers (freedom of the press) dan kebebasan berbicara (freedom of the speech). Dan fungsi-fungsi ini semua secara timbal balik dimainkan oleh komunikasi politik.12 Itulah sebabnya, Susanto mendefinisikan komunikasi politik sebagai: komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama.13

Kerangka yang diberikan ilmu komunikasi bagi komunikasi politik adalah sebagaimana digambarkan dalam paradigma Laswell: siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa dan dengan akibat apa. Paradigma ini mengklaim bahwa unsur-unsur komunikasi tersebut berlaku dalam setiap proses komunikasi, dan berlaku inheren dalam komunikasi politik. Walaupun dipandang

11

Rush dan Althoff, 1997, Pengantar Sosial Politik. Raja Grafindo, Jakarta), 24.

12

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1956), 38.

13


(34)

26

sangat “berbau” mekanistik, dan karenanya berimplikasi simplistik dan linier,

penghampiran ini berjasa untuk menelaah komunikasi politik lebih lanjut.

Nimmo melukiskan dengan singkat bahwa politik adalah pembicaraan, atau kegiatan politik adalah berbicara. Politik pada hakekatnya kegiatan orang secara kolektif sangat mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial.14 Bila orang mengamati konflik, mereka menurunkan makna perselisihan melalui komunikasi. Bila orang menyelesaikan perselisihan mereka, penyelesaian itu adalah hal-hal yang diamati, diinterpretasikan dan dipertukarkan melalui komunikasi.

Pendapat ini diperkuat oleh Almond dan Powell yang menempatkan komunikasi politik sebagai suatu fungsi politik, bersama-sama dengan fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekrutmen yang terdapat dalam suatu sistem politik. Komunikasi politik merupakan prasyarat yang diperlukan bagi berlangsungya fungsi-fungsi yang lain. Sedangkan Galnoor menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan infrastruktur politik, yakni suatu kombinasi dari berbagai interaksi sosial di mana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran.15

Dari deskripsi di atas, komunikasi politik memusatkan kajiannya kepada materi atau pesan yang berbobot politik yang mencakup di dalamnya masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatf). Hal ini bisa diperkuat oleh pendapat Sumarno yang mengajukan formulasi

14

Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media). Terjemahan: Tjun Surjaman. Cetakan III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 8.

15

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma-Teori-Aplikasi-Strategi Komunikasi Politik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 9.


(35)

27

komunikasi politik sebagai suatu proses, prosedur dan kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi dalam suatu sistem politik.16 Dalam ungkapan yang lebih terbuka komunikasi politik menyangkut hal-hal sebagai berikut: (1) disampaikan oleh komunikator politik, (2) pesannya berbobot politik yang menyangkut kekuasaan dan negara, (3) terintegrasi dalam sistem politik.

B.Unsur-Unsur Komunikasi Politik

unsur yang ada dalam komunikasi politik tidaklah berbeda dengan unsur-unsur komunikasi pada umumnya. Dimana secara pokok terdiri dari komunikator (penyampai pesan), message (pesan), komunikan (penerima pesan). Dan Nimmo dalam mengkaji komunikasi politik melibatkan unsur- unsur komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak politik, serta akibat- akibat komunikasi politik. Komunikasi politik merupakan pembicaraan politik yang melibatkan unsur-unsur komunikasi dengan akibat-akibat politik tertentu.17

a. Komunikator

Komunikator dalam proses Komunikasi politik memainkan peran sebagai pembentuk opini publik. Sedangkan pesan adalah pembicaraan-pembicaraan sebagai proses negosiasi yang bertujaun membentuk pengertian bersama antara berbagai pihak tentang bagaimana sikap seharusnya yang harus diperankan setiap pihak dan bagaimana bertindak terhadap sesamanya. Dari sini, isi komunikasi politik seharusnya tidak hanya berkaitan dengan kekuasaan tetapi juga kemungkinan terjadinya konflik. Hal itu mengandung pengertian bahwa pesan politik dimungkinkan mengandung paradoks sebagai bentuk penyelesaian konflik.

16

Sumarno AP, Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, 3.

17

Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator Pesan Media, terj. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 8-9


(36)

28

Sedangkan media politik dalam proses komunikasi politik dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang tidak hanya berhubungan dengan kepantingan juga mampu dimanfaatkan untuk berbicara kepada publik dengan sasaran tertentu. Menurut Novel Ali hal mendasar menjadi pembahasan dalam komunikasi politik adalah akibat yang ditimbulkan oleh komunikasi politik. Akibat tersebut dapat berbentuk simpati, partisipasi tetapi juga dapat berwujud sinisme, antipati serta perlawanan politik Dengan demikian komunikasi politik harus mampu menghasilkan pembentukan dan perubahan sikap positif tetapi dapat juga bermakna negatif bagi komunikator politiknya.18

Sebagai opinion leader, komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Sosiolog Halloran, menempatkan komunikator politik dalam posisi utama dalam kegiatan komunikasi. Menurutnya proses komunikasi ditentukan oleh situasi sosial tempat dimana komuniakasi bermula, berkembang dan berlangsung terus. Situasi ini mengharuskan keharmonisan hubungan antara komunikator dan komunikan dan menjadikan hubungan diantara keduanya sebagai bagian integral dari sistem sosial yang ada.

Selanjutnya, Dan Nimmo, mengidentifikasi terhadap tiga kelompok yang dapat berperan sebagaai komunikator politik. Ketiga kelompok itu adalah politikus, profesional dan aktivis. Sebagai komunikator politik, politikus dapat berperan sebagai wakil dari suatu kelompok, dengan sendirinya pesan-pesan politikus diarahkan untuk mencapai tujuan politik dari suatu kelompok. Di

18

Novel Ali, Peradaban Komunikasi Indonesia Potret Manusia Indonesia (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999), 132


(37)

29

samping itu politikus juga dapat berperan sebagai ideologi dalam kegiatan komunikasi politik. Sebagai komunikator politik yang berkecenderungan sebagai ideolog, politikus mengusahakan tercapainya kebijakan yang berdampak luas, mengusahakan reformasi dan bahkan mendukung perubahan revolusioner.19

Komunikator profesional dapat berfungsi sebagai manipulator dan makelar simbol yang menghubungkan pemimpin satu sama lain dengan para pengikut. Sebagai makelar simbol, profesional bertugas untuk menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa yang lain yang berbeda tetapi dapat dimengerti. Komunikator politik dari unsur profesional terdiri atas jurnalis dan promotor. Yang termasuk dalam kategori promotor diantaranya adalah makelar-makelar simbol.

Terdapat dua komunikator politik dari kalangan aktivis. Yang pertama adalah juru bicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Komunikator dari kalangan ini tidak menjadikan komunikasi politik sebagai lapangnan kerja. Tetapi komunikator cukup baik dalam komunikasi dan politik, dengan demikian dapat dikatakan sebagai semi profesional. Komunikator ini berbicara untuk kepentingan terorganisasi, juga mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi serta melakukan tawar menawar politik. Sedangkan yang kedua adalah pemuka pendapat. Komunikator ini mempunyai peran untuk mempengaruhi keputusan orang lain dengan meyakinkan komunikan politik untuk mengikuti pilihannya atau sering dikatakan memberikan petunjuk kepada komunikan untuk membuat

19


(38)

30

keputusan yang sama dengannya. Di samping itu pemuka pendapat juga berperan meneruskan informasi politik dari media berita kepada masyarakat umum.

b.Pesan

Teknik berkomunikasi adalah cara atau “seni” panyampaian suatu pesan

yang dilakuakan oleh komunikator sedemiakian rupa sehingga menimbulkan dampak tertentu bagi komunikan. Pesan yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai panduan pemikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, himbauan anjuran dan sebagainya.Sedangkan pesan dalam komunikasi politik dimaksudkan untuk mempengaruhi orang lain.20

Pesan dalam kegiatan komunikasi politik diklasifikasikan Nimmo menjadi tiga hal. Pertama adalah pembicaraan tentang kekuasaan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi orang lain dengan janji dan ancaman. Pembicaraan kekuasaan adalah suatau usaha untuk mendapatkan kekuasaan dengan jalan menyampaiakan pesan-pesan politik yang berisi janji-janji atau ancaman dalam suatu kegiatan komunikasi politik. Kedua, pembicaraan pengaruh. Pesan dalam komunikasi politik dimaksudakan untuk mempengaruhi khalayak dengan berbagai cara antara lain: nasehat, dorongan, permintaan, dan peringatan. Tujuan dari pembicaraan pengaruh adalah berusaha memanipulasi persepsi atau pengharapan orang lain terhadap kemungkinan mendapat untung atau rugi. Dan ke tiga, pembicaraan autoritas. Pesan dari pembicaraan autoritas adalah memberi perintah. Pembicaraan ini mengharuskan munculnya rasa kepatuhan khalayak kepada para pemimpinnya. Dengan demikian sumber-sumber autoritas sangat berbeda-beda apabila khalayak

20

Onong Uchyana Effendi, Dinamika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 6


(39)

31

mempunyai kapabilitas yang tinggi maka pesan akan lebih mudah diterima apabila disampaikan oleh komunikator yang mempunyai latar belakang sosial yang sejenis.21

c. Media

Komunikator mempunyai bentuk-bentuk simbolik dan kombinasinya dengan berbagai teknik dan media: secara lisan melalui perbincangan profesional, melalui catatan seperti koran dan majalah, dan teknik elektronik seperti radio atau televisi. Dilihat secara luas, saluran komunikasi terdiri atas lambang-lambang, kombinasinya, dan berbagai teknik secara media yang digunakan untuk berbicara dengan khalayak. Dengan demikian maka saluran komunikasi adalah saran yang memudahkan penyampaian pesan. Maka saluran komunikasi lebih dari sekedar titik sambungan, tetapi terdiri atas pengertian bersama tentang siapa berbicara kepada siapa, dalam keadaan bagaiman serta sejauh mana dapat dipercaya.22

Dan Nimmo mengajukan tiga jenis media komunikasi yang digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Ketiga jenis media tersebut adalah: media massa, media komunikasi inter personal dan media komunikasi organisasi.Ada dua bentuk saluran komuniaksi massa, masing-masing berdasarkan tingkat langsungnya komunikasi satu kepada banyak. Bentuk yang pertama terdiri atas komunikasi tatap muka seperti bila seorang kandidat politik berbicara di depan rapat umum atau ketika seseorang berbicara di depan khalayak besar atau konferensi pers. Bentuk yang kedua terjadi jika ada perantara ditempatkan di antara komunikator dan khlayak. Di sini media, teknologi, sarana komunikasi

21

Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator Pesan Media. 75

22


(40)

32

lainnya turut serta. Batas media massa dari penjelasan bersifat longgar tidak hanya berhenti pada media elektronik dan cetak, tetapi juga media-media komunikasi yang berbentuk rapat-rapat besar dan pertemuan-pertemuan.23

Sedangakan media komunikasi inter personal merupakan bentuk hubungan satu kepada satu. Media (saluran) ini dapat berbentuk tatap muka maupun perantara. Sedangkan media komunikasi ketiga adalah komunikasi organisasi yang menggabungkan penyampaian satu kepada satu dan satu kepada banyak. Akan tetapi komunikasi politik satu kepada satu yang melibatkan organisasi jarang dilakukan. Oleh sebab itu saluran komunikasi satu kepada banyak dengan melalui perantara dijadikan alternatif sebagai media komunikasi organisasi. Bentuk dari komunikasi perantara ini adalah penyebaran pamflet dan tidak jarang yang sering terjadi di Indonesia adalah penyampaian pesan komunikasi politik melaui pembagian atribut seperti kaos-kaos maupun sembako kepada khalayak.24

d.Khalayak

Jalaluddin Rakhmat menjelaskan pengertian khalayak dengan sejumlah orang yang heterogen. Mereka menjadi khalayak komunikasi politik segera

setelah mereka “mengkristal” menjadi opini publik.25

Arthur F. Bentey dalam

bukunya The Process of Government sebagaimana dikutip Dan Nimmo

memberikan pengertian yang mengarah pada pemahaman tentang khalayak sebagai bagian tertentu dari orang-orang dalam masyarakat yang diperlakukan

23

Ibid, 168

24

Ibid.

25

Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Politik Hubungan Antara Khalayak dan Efek, sebuah pengantar dalam Dan Nimmo, Komunikasi Khalayak dan Efek, terj. Jalauddin Rakhmat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. vi


(41)

33

tidak sebagai massa fisik yang terpisah dari masa yang lain, tetapi sebagai

“kegiatan massa yang tidak menghalangi orang yang berpartisipasi di dalamnya

untuk berpartisipasi juga dalam banyak kegiatan kelompok yang lain”.26 Sedangkan Nimmo memberikan pengertian khlayak dengan sejumlah orang yang bertindak atau cenderung bertindak yaitu, dalam berbagai tahap tindakan. Bila didefinisikan sebagai suatu kegiatan, suatu kelompok terdiri atas orang-orang yang melakukan kegiatan yang dipersatukan tanpa menghiraukan apakah yang mendasari kegiatan itu berupa organisasi formal atau tidak formal. Artinya orang bergabung untuk bertindak dalam proses opini meskipun tidak diorganisasi secara formal membentuk kelompok atau opini publik.27

Khalayak dibagi atas khalayak yang terorganisir, tidak terorganisir dan khalayak umum (khalayak banyak) serta publik kepemimpinan. Khalayak terorganisasi terbagi dalam tiga kelompok, publik atentif, publik berpikiran isu dan publik ideologis.Publik atentif merupakan kumpulan warga negara yang dibedakan berdasarkan tingkatnya dalam keterlibatan politik, informasi, perhatian dan berpikiran kewarganegaraan. Publik atentif sering bermain sebagai pemuka pendapat, yakni orang-orang yang sering dimintai pendapatnya oleh warga negara lain yang kurang informasi dan kurang keterlibatannya dalam politik. Publik atentif menempati posisi penting dalam proses opini karena mereka bertindak sebagai saluran komunikasi interpersonal dalam aliran pesan timbal balik antara pemimpin politik dan publik umum. Publik atentif juga bergabung dengan

26

Ibid. 42

27


(42)

34

pemimpin politik sebagai pembawa konsensus dan sebagai perantara antara khalayak umum dengan pimpinan politik.28

Publik berpikiran isu adalah sekumpulan khalayak yang memusatkan perhatian pada suatu isu tertentu. Sekumpulan khalayak yang memusatkan perhatian pada isu yang sama kemudian membentuk publik khusus, publik yang pada akhirnya bisa–tetapi tidak perlu–mengatur diri menjadi kelompok formal. Sedangkan khalayak (public) ideologis adalah orang yang memiliki kepercayaan yang relatif tertutup, yang nilai-nilainya adalah suka dan tidak suka dipegang erat-erat. Sistem kepercayaan yang terdapat dalam publik ideologis konsisten secara internal. Mereka menganut kepercayaan dan atau nilai yang secara logis melekat, tidak berkontradiksi satu sama lain.29

e.Efek

Efek adalah dampak sebagai pengaruh dari pesan. Dalam komunikasi pemilihan umum dan pilkada, efek yang diharapkan dari kegiatan komunikasi politik adalah pemberian suara kepada partai atau calon yang diusungnya.30

C.Komunikator Politik

Menurut Nimmo, salah satu ciri komunikasi ialah bahwa orang jarang dapat menghindari dan keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator, begitu pula siapa pun yang dalam setting politik adalah

28

Ibid, 49

29

Ibid.

30


(43)

35

komunikator politik.31 Meskipun mengakui bahwa setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya serta tetap dan sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik; mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat.

Sebagai pendukung pengertian yang lebih besar terhadap peran komunikator politik dalam proses opini, Leonard W. Dood menyarankan

jenis-jenis hal yang patut diketahui mengenai mereka: ”Komunikator dapat dianalisis

sebagai dirinya sendiri. Sikapnya terhadap khalayak potensialnya, martabat yang diberikannya kepada mereka sebagai manusia, dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya; jadi jika ia mengira mereka itu bodoh, ia akan menyesuaikan nada pesannya dengan tingkat yang sama rendahnya. Ia sendiri memiki kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dikonseptualkan sesuai dengan kemampuan akalnya, pengalamannya sebagai komunikator dengan khalayak yang serupa atau yang tak serupa, dan peran yang dimainkan di dalam kepribadiannya oleh motif untuk berkomukasi.32

Berdasar pada anjuran Dood, jelas bahwa komukator atau para komunikator harus diidentifikasi dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus ditetapkan. Untuk keperluan ini dapat diidentifikasi tiga kategori politikus,

31

Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media), 28.

32Ibid


(44)

36

yaitu yang bertindak sebagai komunikator pilitik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (part time).33

a. Politikus sebagai komunikator Politik

Kelompok pertama ini adalah orang yang bercita-cita untuk memegang jabatan pemerintah dan memegang pemerintah yang harus berkomunikasi tentang politik dan disebut dengan politikus, tak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau jabatan karier, baik jabatan eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Pekerjaan mereka adalah aspek aspek utama dalam kegiatan ini. Meskipun politikus melayani beraneka tujuan dengan berkomunkasi, ada dua hal yang menonjol. Daniel katz menunjukkan bahwa pemimpin politik mengarahkan pengaruhnya ke dua arah, yaitu mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian.34

Dalam kewenangannya yang pertama politikus itu

berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok; pesan-pesan politikus itu mengajukan dan melindungi tujuan kepentingan politik, artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompoknya. Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideologi tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan kelompoknya, ia lebih menyibukkan diri untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas,

33Ibid

.

34Ibid


(45)

37

mengusahakan reformasi dan bahkan mendukung perubahan revolusioner.

Termasuk dalam kelompok ini, politikus yang tidak memegang jabatan dalam pemerintah, mereka juga komunikator politik mengenai masalah yang lingkupnya nasional dan internasional, masalah yang jangkauannya berganda dan sempit.

Jadi banyak jenis politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, namun untuk mudahnya kita klasifikasikan mereka sebagai politikus (1) berada di dalam atau di luar jabatan pemerintah, (2) berpandangan nasional atau sub nasional, dan (3) berurusan dengan masalah berganda atau masalah tunggal.

b. Profesional sebagai komunikator politik

Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah, dan kelas untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional; dan perkembangan serta-merta media khusus yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan.35

Seorang komunikator profesional, menurut James Carey adalah seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam

35

Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Khalayak dan Efek). Terjemahan: Tjun Surjaman. Cetakan III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 33.


(46)

38

istilah komunitas bahasa yang lain dan berbeda tetapi menarik dan

dapat dimengerti.36 Komunikator profesional menghubungkan

golongan elit dalam organisasi atau kominitas mana pun dengan khalayak umum; secara horizontal ia menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada tingkat struktur sosial yang sama.

Bagaimanapun, karena menjadi komunikator profesional, bukan politikus, profesional yang berkomunikasi menempatkan dirinya terpisah dari tipe-tipe komunikator politik yang lain, terutama aktivis politik.

D.Fungsi Komunikasi Politik

Fungsi komunikasi politik dapat dibedakan kepada dua bagian. Pertama, fungsi komunikasi politik yang berada pada struktur pemerintah (suprastruktur politik) atau disebut pula dengan istilah the governmental political sphere, berisikan informasi yang menyangkut kepada seluruh kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Isi komunikasi ditujukan kepada upaya untuk mewujudkan loyalitas dan integritas nasional untuk mencapai tujuan negara yang lebih luas.

Kedua, fungsi yang berada pada struktur masyarakat (infrastruktur politik) yang disebut pula dengan istilah the socio political sphere, yaitu sebagai agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan, dimana kedua fungsi tersebut sebagai proses komunikasi yang berlangsung di antara kelompok asosiasi dan proses

36


(47)

39

penyampaian atau penyaluran isi komunikasi terhadap pemerintah dari hasil agregasi dan artikulasi tersebut.37

Apabila dilihat secara umum, maka fungsi komuniksi politik pada hakekatnya sebagai jembatan penghubung antara suprastruktur dan infrastruktur yang bersifat interdependensi dalam ruang lingkup negara. Komunikasi ini bersifat timbal balik atau dalam pengertian lain saling merespons sehingga mencapai saling pengertian dan diorientasikan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

37


(48)

BAB III

HUMORISASI POLITIK GUS DUR A.Biografi Gus Dur

Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, pada tanggal 4 Agustus 1940.

Akan tetapi, hari lahir yang sebenarnya adalah tanggal 4 Sya’ban 1359 H

bertepatan dengan tanggal 7 September 1940.1 Ini terjadi karena kesalahan administrasi saat mendaftar di sekolah dasar, Gus Dur memberi keterangan dalam kalender Islam tetapi dipahami dalam kalender masehi oleh pihak sekolah. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil -yang diambil dari nama salah seorang pahlawan Dinasti Umayyah yang berhasil membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban di sana- yang secara harfiah berarti “Sang Penakluk”.2 Ia kemudian lebih dikenal masyarakat dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren untuk anak laki-laki kyai.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara keturunan KH. Wahid Hasyim107 yang merupakan putra KH. Hasyim Asy'ari108, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926 dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Adapun ibundanya, Hj. Sholihah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang, KH. Bisri Syansuri.109 Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, beliau juga pernah menjadi Rais 'Am PBNU. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa

1

Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,

(Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, 25.

2

Nama Abdurrahman Ad-Dakhil diberikan oleh Wahid Hasyim karena optimisme yang tinggi kepada anak pertamanya yang baru lahir. Meski nama yang berat bagi seorang anak, tetapi Wahid Hasyim yakin dengan masa depan anaknya. Lihat Ibid, 35.


(49)

41

Indonesia. Bahkan jika dirunut lebih jauh ia merupakan keturunan Brawijaya IV yaitu Lembu Peteng, dengan melalui dua jalur Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir.3

Pada tahun 1944 Gus Dur pindah dari Jombang ke Jakarta dimana ayahnya menjadi ketua pertama Partai Masyumi. Setelah proklamasi kemerdekaaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, ia kembali lagi ke Jombang. Baru pada tahun 1949 ketika ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama dalam pemerintahan Soekarno, Wahid Hasyim dan Gus Dur kecil pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi menteri agama. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kawan ayahnya yang sering berkunjung dan berdiskusi di rumahnya.

Dalam menjalankan tugasnya, Wahid Hasyim senang mengajak putranya menghadiri pertemuan-pertemuan karena hal ini dianggapnya sebagai bagian terpenting bagi pendidikan anak sulungnya.4 Maka pada hari Sabtu 18 April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya untuk suatu pertemuan ke daerah Sumedang, Jawa Barat. Di perjalanan antara Cimahi dan Bandung, hujan turun sehingga jalan menjadi licin. Chevrolet putih yang ditumpangi mereka selip dan bagian belakang mobil menabrak truk.

Gus Dur tidak terluka parah, akan tetapi ayahnya luka serius di bagian kepala dan kening. Mereka dibawa ke rumah sakit, Gus Dur bersama ibunya

3Muhammad Rifa’i, Gus Dur Biografi Singkat 1940-2009

, (Yogyakarta: Garasi House of Book, 2010), 25.

4


(50)

42

menunggui Wahid Hasyim hingga akhirnya pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid Hasyim meninggal dunia. Ketika jenazahnya dibawa pulang, Gus Dur menyaksikan penghormatan yang besar dari masyarakat sepanjang perjalanan yang dilewati iring-iringan menuju Jombang.5

Kematian sang ayah tersebut membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya. Kecelakaan itu sangat mempengaruhi kebiasaan dan sikapnya yang tidak menentu dan lebih suka mengambil kesimpulan setelah memilih-milih dari berbagai sumber.6 Sifatnya yang ekletis ini sangat mempengaruhi pola pikirnya yang tidak pernah murni satu aliran pemikiran, akan tetapi merupakan hasil dialektika dan sintesa pemikiran yang rumit.

B.Perjalanan Intelektual

Gus Dur kecil belajar pertama kali dari sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari

ketika masih serumah. Ia diajari mengaji dan pada usia lima tahun telah lancar membaca Al-Qur’an.7 Jenjang pendidikan yang ia lalui dimulai dari Sekolah Rakyat di Jombang, kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar KRIS di Jakarta karena mengikuti ayahnya. Ia dikenal sebagai siswa yang aktif dan bandel dan pernah dihukum di bawah tiang bendera. Pada kelas empat ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari.8 Kemudian ia melanjutkan ke SMEP Gowongan9 Yogyakarta sambil belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak tiga kali seminggu di

5Ibid,

45-46

6

Azyumardi Azra, Islam Substantif, (Jakarta: Mizan, 2000), 399

7

M. Hamid, Gus Gerr; Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), 30

8Muhammad Rifa’i, Gus Dur Biografi Singkat,

31

9

Sekolah ini merupakan sekolah yang dikelola oleh Gereja Katholik Roma namun sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Lihat M. Hamid, Gus Gerr., 31


(51)

43

bawah asuhan KH. Ali Ma’shum. Di Yogyakarta Gus Dur tinggal di rumah Kiai

Junaidi –salah seorang teman ayahnya- yang pada saat itu merupakan tokoh Muhammadiyah.

Di Jakarta, kemampuan Bahasa Arab Gus Dur masih pasif tetapi telah menguasai Bahasa Inggris dengan baik dan mampu membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda. Dan di kota Yogyakartalah kemampuan membacanya melesat jauh. Ia aktif mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London. Seorang guru SMEP, Rubiah - juga anggota partai komunis- yang mengetahui kemampuan Gus Dur bahkan memberikan buku karya Lenin

What is To Be Done”. Dan pada saat yang sama ia juga telah mengenal Das Kapital karya Karl Marx, filsafatnya Plato dan sebagainya.10 Dari sini dapat dipahami bagaimana luasnya wawasan Gus Dur sejak masih remaja.

Setelah lulus SMP pada 1957, ia melanjutkan studi di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah di bawah asuhan Kyai Khudhori. Pada saat yang sama juga belajar paroh waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya, Kiai Bisri Syansuri.11 Di Yogyakarta dan Magelang, ia memperlihatkan ketertarikannya pada dunia seni –selain kesukaannya menonton sepakbola-, yakni menonton bioskop, wayang kulit dan cerita silat. Ia juga gemar membaca biografi presiden-presiden Amerika, dan presiden Amerika yang disukainya adalah Franklin D. Roosevelt karena visi sosial dan dorongan hidupnya.12

10Ibid

, 32

11

Greg Barton, Biografi Gus Dur, 52

12Ibid,


(52)

44

Setelah dua tahun, ia kembali ke Jombang dan belajar penuh kepada Kiai Wahab Hasbullah di Pesantren Tambakberas. Ia kemudian mengajar di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren bahkan menjadi kepala sekolahnya. Dari pesantren inilah minat Gus Dur semakin bertambah, tidak hanya pada studi keislaman tetapi juga tertarik pada tradisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional.13

Rasa haus yang besar akan ilmu pengetahuan membuat Gus Dur melanjutkan studinya ke luar negeri. Pada tahun 1963 ia mendapat beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Akan tetapi sebelum ia masuk Universitas Al Azhar, ia harus menempuh semacam pendidikan kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan bahasa Arab. Karena merasa bosan dengan kelas khusus yang materinya sudah ia tempuh dengan baik di Indonesia, maka sepanjang tahun 1964 ia hampir tidak pernah mengikuti kelas tersebut. Sebaliknya ia menghabiskan waktu untuk menonton sepak bola, film-film Prancis, membaca di perpustakaan Kairo, dan ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai kopi. Gus Dur bahkan terpilih menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia sehingga ia dipekerjakan di kedutaan besar. Praktis, studinya di Al-Azhar ini tidak pernah selesai, namun pengalamannya di Kairo memberikan wawasan yang lebih luas. Baginya, Al-Azhar sangat mengecewakan dengan studi formalnya, tetapi Kairo memberi manfaat besar dalam lingkungan sosial dan intelektualnya.14

13Muhammad Rifa’i, Gus Dur Biografi Singkat,

34.

14


(53)

45

Reputasinya sebagai anggota keluarga ulama terkemuka, ketua PPI Kairo dan ketika bekerja di kedutaan besar membantunya mengobati kekecewaan di Al-Azhar karena mendapatkan beasiswa ke Universitas Baghdad. Pada tahun 1966 ia pindah ke Irak dan masuk pada Departement of Religion di Universitas Bagdad sampai tahun 1970. Pada saat itu Universitas Baghdad telah mapan sebagai universitas Islam yang bergaya Eropa.

Di Baghdad Gus Dur juga banyak belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi. Dalam belajar hal ini ia bersahabat dengan Ramin, seorang pemikir liberal dan terbuka dari komunitas kecil Yahudi Irak di Baghdad. Mereka banyak membicarakan tentang agama, filsafat dan politik. Salah satu tempat yang paling sering mereka kunjungi adalah pasar di samping Taman Bergantung. Di sini terdapat tempat sepi yang tepat untuk bertukar pikiran tanpa gangguan dan pengawasan.15

Setelah lulus ia menetap di Belanda dan berharap dapat kesempatan melanjutkan studi pasca sarjananya di bidang perbandingan agama. Namun kekecewaanlah yang diperoleh Gus Dur karena seluruh Eropa tidak mengakui lembaga studi Universitas Baghdad.16 Universitas di Eropa menetapkan prasayarat yang mengharuskan Gus Dur mengulang studi tingkat sarjana. Selama hampir setahun di Eropa akhirnya ia kembali ke tanah air pada tahun 1971 dengan tangan kosong. Ia tidak mendapatkan kualifikasi formal dari studinya di Eropa.17

15Ibid,

109

16Muhammad Rifa’i, Gus Dur Biografi Singkat,

36

17


(54)

46

C.Keluarga dan Pekerjaan

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah, seorang wanita yang ia kenal ketika mengajar di Tambakberas. Nuriyah adalah salah satu muridnya yang begitu menarik, cerdas dan berpikir bebas sehingga menjadi perhatian para pemuda di lingkunganya. Oleh karena itu cukup mengherankan bila Nuriyah bisa tertarik dengan guru yang kutu buku, agak gemuk, serta menggunakan kacamata tebal.18 Awalnya hubungan mereka tidak mulus karena Nuriyah belum bisa menerima Gus Dur. Sampai akhirnya Gus Dur berangkat ke Kairo tetapi tetap berkomunikasi dengan Nuriyah melalui surat.

Melalui surat-menyurat tersebut, hubungan mereka semakin dalam dari sekedar persahabatan ketika di Jombang. Kala itu Nuriyah sering menolak pemberian buku dari Gus Dur.19 Pada pertengahan tahun 1966 Gus Dur menulis

surat kepada Nuriyah dan bertanya “siapkah ia menjadi istrinya?” kemudian Nuriyah membalas, “mendapatkan teman hidup bagaikan hidup dan mati, hanya Tuhan yang tahu”. Setelah menerima hasil ujian yang berakhir kegagalan

kemudian, ia menumpahkan segala kesedihannya kepada Nuriyah melalui surat. Nuriyah segera membalas dengan kata-kata yang menghiburnya, “mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi, tetapi paling tidak

anda berhasil dalam kisah cinta”. Gus Dur segera mengirim surat kepada ibunya

dan meminta untuk meminang Nuriyah.20

Dari hasil pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat anak perempuan, Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus dan Inayah

18Ibid,

58

19Ibid,

101

20Ibid,


(55)

47

Wulandari. Gus Dur memiliki konsep dalam rumah tangganya seperti yang selalu

diungkapkannya, “istri yang terbaik itu kalau ga ikut campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah yang ga tahu urusan istri. Yang penting saling menghormati hak masing-masing”.21 Sedangkan dalam mendidik anaknya Gus Dur melakukan praktik demokrasi, ia tidak pernah otoriter kepada anak-anaknya. Gus Dur hanya memberikan arahan dan saran-saran.22

Sementara dalam urusan pekerjaan, bisa dilihat dari sekembalinya mencari ilmu di luar negeri. Ketika sampai di Jakarta, sebenarnya Gus Dur masih berharap bisa meneruskan belajar di Universitas McGill di Kanada. Koneksi dari keluarganya memberikan peluang untuk mewujudkan keinginan tersebut. Sambil menunggu proses itu, ia banyak menghabiskan waktu berkeliling pesantren di Jawa. Setelah beberapa bulan di Jakarta, ia diundang oleh LSM untuk ikut serta dalam kegiatan Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Pada mulanya LP3ES didanai oleh German Neumann Institute dan kemudian mendapat bantuan dana dari Yayasan Ford. Lembaga ini menarik bagi para intelektual terutama yang berasal dari kalangan Islam Progresif dan sosial demokrat seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Aswab Mahasin dan Abdurrahman Wahid. Salah satu prestasi penting lembaga ini adalah menerbitkan

21

M. Hamid, Gus Gerr, 20

22Mohammad Rifa’i, Gus Dur Biografi Singkat,


(1)

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

1. Humor bagi Gus Dur merupakan alat komunikasi politik yang sangat efektif sekali. Faktanya banyak masyarakat Indonesia terpengaruh oleh humor Gus Dur. Sehingga sampailah Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia yang ke empat. Hal ini merupakan contoh keberhasilan dari humor Gus Dur sebagai alat komunikasi politik.

2. Pandangan dari para politisi mengenai humor Gus Dur sangat beragam. Secara umum pandangan mereka tentang humor Gus Dur adalah sebagai berikut;

a. Humor beliau sebagai peredam emosi lawan bicara. b. Humor beliau mengandung pesan dakwah.

c. Humor beliau menyadarkan masyakat untuk membangun negeri menjadi lebih mandiri.

d. Humor beliau mengandung pesan, bahwa sesuatu yang serius apapun harus dihadapi dengan santai tapi pasti.


(2)

77

B.Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagi lembaga

Untuk lembaga UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai lembaga

pendidikan tinggi Islam, diharapkan menjadi pelopor dalam

pengembangan pemikiran para tokoh, seperti Gus Dur dan beberapa tokoh lain.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian tentang Gus Dur, masih banyak lagi pemikiran Gus Dur yang dapat diteliti. Karena Gus Dur merupakan tokoh yang mempunyai banyak pemikiran, baik dalam hal politik maupun keislaman.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007 Alexander Gode, What is Communication? Journal of Communication, 9, 1969. Anwar Arifin, Komunikasi Politik Indonesia, Jakarta ; Pustaka Indonesia, 2011

___________, Komunikasi Politik: Paradigma-Teori-Aplikasi-Strategi

Komunikasi Politik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Anwar Ibrahim, Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Yogjakarta: Graha Ilmu, 2011.

As’at Said Ali, “Bukan?-nya Seorang Gus Dur”, pengantar dalam Abdurrahman

Wahid, Gus Dur Bertutur, Jakarta: Harian Proaksi bekerjasama dengan Gus Dur Foundation, 2005

Astrid Susanto, Komunikasi Sosial di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1985. Azyumardi Azra, Islam Substantif, Jakarta: Mizan, 2000.

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press, 2001.

Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Khalayak dan Efek). Terjemahan: Tjun Surjaman. Cetakan III, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

___________, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media).

Terjemahan: Tjun Surjaman. Cetakan III, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, 1983.

Dedi Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2001.

Endah Lestari, Implikatur Wacana Kartun Berbahasa Inggris Berdasarkan Makna dan Jenis Tindak Tuturnya. Skripsi (Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro 2003).

Greg Barton, “Memahami Gus Dur”, dalam Abdurrahman Wahid, Prisma

Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II

___________, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2008, cet. VIII.


(4)

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011.

Hidayati, Analisis Pragmatik Humor Nasruddin Hoja, Skripsi, Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, 2009.

Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Politik Hubungan Antara Khalayak dan Efek, sebuah pengantar dalam Dan Nimmo, Komunikasi Khalayak dan Efek, terj. Jalauddin Rakhmat, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Lawrence Kincaid, dan Wilbur Schram. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia,

terj. Agus setiadi, Jakarta: LP3ES-EWCI, 1977.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar Ruzz, 2004

M. Hamid, Gus Gerr; Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010

Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Maswadi Ra’uf dan Mappan Nasrun (ed.), Indonesia dan Komunikasi Politik,

Jakarta : PT. Gramedia, 1993.

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Moh Nazir, Metode Penelitian, Jakarta ; Ghalia Indonesia, 2003.

Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian : Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gus Dur, Malang: UIN MalikI Press, 2010.

Muhammad Rifa’i, Gus Dur Biografi Singkat 1940-2009, Yogyakarta: Garasi House of Book, 2010.

Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.

Nie dan Verb, Political Participation, Handbook of Political Sciences. FredI. Greenstein & Nelson W,P. (eds), Addison: Wesley Publishing Company, 1975.

Nina Winangsih Syam, Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi. Bandung: Unpad, 2002.


(5)

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.

Novel Ali, Peradaban Komunikasi Indonesia Potret Manusia Indonesia: Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999

Nur Khalik Ridwan, Gus Dur dan Negara Pancasila, Yogyakarta: Tanah Air, 2010.

Nur Kholisoh, Demokrasi Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses Demokrasi di Indonesia, Yogjakarta: Pohon Cahaya, 2012.

O. Uchana Effendy, Kamus Komunikasi. Bandung; Mandar maju, 2004. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1999.

Redi Panuju, Sistem Komunikasi Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997. Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik di Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1983. Rush dan Althoff, Pengantar Sosial Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. S. Soesanto Astrid. Komunikasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1980. Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofifset,

2004.

Sanapiah Faisol, Penelitian Kualitatif; Dasar-dasar dan Aplikasi, Jakarta; Rajawali, 1995.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Yogjakarta: Rineka Cipta, 1988.

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang: Widya Karya, 2010.

Sumarno AP, Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.

Sutrisno Hadi, Metodologi research I, Yogyakarta : Andi Ofset, 1997. Varma, S.P. Teori Politik Modern, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Weaver Shannon,. The Mathematical Theory of Communication. Urbana:

University Illonois, 1949.


(6)

Sumber Internet:

Erfanda Hadi Prasetyo, Pengaruh Kalimat ”Gitu Saja Kok Repot” Abdurrahman

Wahid, dalam: http://fandanaksaleh18.blogspot.com/2013/06/pengaruh-kalimat-gitu-saja-kok-repot.html, diakses tanggal 29 Desember 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/Politik