b. Bagian Gingiva - EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI Porphyromonas gingivalis PENYEBAB GINGIVITIS SECARA in vitro - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Gingiva a. Definisi Gingiva merupakan bagian dari mukosa yang memiliki hubungan erat dengan elemen-elemen gigi, ruang interdental dan tulang alveolar. Secara topografi, gingiva dibagi dalam tiga kategori klasik yaitu

  gingiva bebas, gingiva cekat dan gingiva interdental. Gingiva yang sehat berwarna merah muda, tepinya seperti pisau, menutupi susunan gigi geligi dengan mengikuti konturnya (Maruanaya, 2015).

  Gingiva adalah jaringan lunak yang menutupi gigi. Gingiva yang sehat berwarna merah muda dengan tepi yang tajam menyerupai krah baju, konsistensi kenyal dengan adanya stipling. Pertambahan ukuran gingiva adalah hal yang umum pada penyakit gingiva. Terminologi kondisi tersebut adalah: gingival enlargement. Gambaran klinisnya disebut hipertropi gingivitis atau hiperplasi gingiva dengan warna merah, konsistensi lunak, tepi tumpul dan tidak adanya stipling atau halus (Ika Andriani, 2009).

b. Bagian Gingiva

  Menurut (Riva Irlinda, 2011) bagian gingiva terdiri dari:

  1) Epitel cekat adalah gingiva yang menutupi tulang alveolar dan melekat pada permukaan email dibawah leher gigi.

2) Gingiva bebas Perluasan dari sulkus gingiva hingga tepi gingiva.

  Melekat pada permukaan gigi. 3)

  Sulkus gingiva adalah ruangan antara gingiva bebas dan gigi. Sulkus gingiva yang sehat kedalamanya kurang lebih 2 mm.

  4) Tepi gingiva adalah tepi atas dari gingiva, bentuknya mengikuti kurva dari garis servikal gigi.

  5) Gingiva cekat adalah gingiva yang melekat dari dasar sulkus hingga mucogingival junction.

  6) Mucogingival junction adalah garis yang memisahkan gingiva cekat dari mukosa alveolar.

Gambar 2.1 Bagian Gingiva (sumber: Carranza dan Newman, 2002)

  c. Gambaran Klinis

  Gambaran klinis gingiva sebagai dasar untuk mengetahui perubahan patologis yang terjadi pada gingiva yang terjangkit suatu penyakit. Menurut (Herijulianti, 2009) gambaran klinis gingiva normal terdiri dari: 1)

  Warna Gingiva Warna gingiva normal umumnya berwarna merah jambu (coral

  pink ) yang diakibatkan oleh adanya suplai darah dan derajat lapisan

  keratin epitelium serta sel-sel pigmen. Warna ini bervariasi pada setiap orang dan erat hubungannya dengan pigmentasi kutaneous.

  Pigmentasi pada gingiva biasanya terjadi pada individu yang memiliki warna kulit gelap. Pigmentasi pada attached gingiva mulai dari coklat sampai hitam. Warna pada alveolar mukosa lebih merah disebabkan oleh mukosa alveolar tidak mempunyai lapisan keratin dan epitelnya tipis . 2)

  Ukuran Gingiva Ukuran gingiva ditentukan oleh jumlah elemen seluler, interseluler dan suplai darah. Perubahan ukuran gingiva merupakan gambaran yang paling sering dijumpai pada penyakit periodontal. 3)

  Kontur Gingiva Kontur dan ukuran gingiva sangat bervariasi. Keadaan ini dipengaruhi oleh bentuk dan susunan gigi geligi pada lengkungnya, lokalisasi dan luas area kontak proksimal dan dimensi embrasur

  (interdental) gingiva oral maupun vestibular. Interdental papil menutupi bagian interdental gingiva sehingga tampak lancip.

  4) Konsistensi Gingiva

  Gingiva melekat erat ke struktur dibawahnya dan tidak mempunyai lapisan submukosa sehingga gingiva tidak dapat digerakkan dan kenyal. 5)

  Tekstur Gingiva Permukaan attached gingiva berbintik-bintik seperti kulit jeruk.

  Bintik- bintik ini biasanya disebut stippling. Stippling akan terlihat jelas apabila permukaan gingiva dikeringkan.

2. Gingivitis a. Definisi

  Inflamasi atau peradangan yang mengenai jaringan lunak di sekitar gigi atau jaringan gingiva disebut gingivitis (Nevil, 2002).

  Gingivitis adalah akibat proses peradangan gingiva yang disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer gingivitis adalah plak, sedangkan faktor sekunder dibagi menjadi 2, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal diantaranya: kebersihan mulut yang buruk, sisa-sisa makanan, akumulasi plak dan mikroorganisme, sedangkan faktor sistemik, seperti: faktor genetik, nutrisional, hormonal dan hematologi (Manson & Eley, 1993).

b. Karakteristik

  Karakteristik gingivitis menurut (Manson & Eley, 1993) adalah sebagai berikut: 1)

  Perubahan Warna Tanda klinis dari peradangan gingiva adalah perubahan warna.

  Warna gingiva ditentukan oleh beberapa faktor termasuk jumlah dan ukuran pembuluh darah, ketebalan epitel, keratinisasi dan pigmen di dalam epitel. Gingiva menjadi memerah ketika vaskularisasi meningkat atau derajat keratinisasi epitel mengalami reduksi atau menghilang.

  Warna merah atau merah kebiruan akibat proliferasi dan keratinisasi disebabkan adanya peradangan gingiva kronis.

  Pembuluh darah vena akan memberikan kontribusi menjadi warna kebiruan. Perubahan warna gingiva akan memberikan kontribusi pada proses peradangan. Perubahan warna terjadi pada papila interdental dan margin gingiva yang menyebar pada attached

  gingiva .

  2) Perubahan Konsistensi

  Kondisi kronis maupun akut dapat menghasilkan perubahan pada konsistensi gingiva normal yang kaku dan tegas. Pada kondisi gingivitis kronis terjadi perubahan destruktif atau edema dan reparatif atau fibrous secara bersamaan serta konsistensi gingiva ditentukan berdasarkan kondisi yang dominan.

  3) Perubahan Klinis dan Histopatologis

  Gingivitis terjadi perubahan histopatologis yang menyebabkan perdarahan gingiva akibat vasodilatasi, pelebaran kapiler dan penipisan atau ulserasi epitel. Kondisi tersebut disebabkan karena kapiler melebar yang menjadi lebih dekat ke permukaan, menipis dan epitelium kurang protektif sehingga dapat menyebabkan ruptur pada kapiler dan perdarahan gingiva.

  4) Perubahan Tekstur Jaringan Gingiva

  Tekstur permukaan gingiva normal seperti kulit jeruk yang biasa disebut sebagai stippling. Stippling terdapat pada daerah subpapila dan terbatas pada attached gingiva secara dominan, tetapi meluas sampai ke papila interdental.

  Tekstur permukaan gingiva ketika terjadi peradangan kronis adalah halus, mengkilap dan kaku yang dihasilkan oleh atropi epitel tergantung pada perubahan eksudatif atau fibrotik. Pertumbuhan gingiva secara berlebih akibat obat dan hiperkeratosis dengan tekstur kasar akan menghasilkan permukaan yang berbentuk nodular pada gingiva.

  5) Perubahan Posisi Gingiva

  Adanya lesi pada gingiva merupakan salah satu gambaran pada gingivitis. Lesi yang paling umum pada mulut merupakan lesi traumatik seperti lesi akibat kimia, fisik dan termal. Lesi akibat kimia termasuk karena aspirin, hidrogen peroksida, perak nitrat, fenol dan bahan endodontik. Lesi karena fisik termasuk tergigit, tindik pada lidah dan cara menggosok gigi yang salah yang dapat menyebabkan resesi gingiva. Lesi karena termal dapat berasal dari makanan dan minuman yang panas.

  Gambaran umum pada kasus gingivitis akut adalah epitelium yang nekrotik, erosi atau ulserasi dan eritema, sedangkan pada kasus gingivitis kronis terjadi dalam bentuk resesi gingiva. 6)

  Perubahan Kontur Gingiva Perubahan pada kontur gingiva berhubungan dengan peradangan gingiva atau gingivitis tetapi perubahan tersebut dapat juga terjadi pada kondisi yang lain.

  Peradangan gingiva terjadi resesi ke apikal menyebabkan celah menjadi lebih lebar dan meluas ke permukaan akar. Penebalan pada gingiva yang diamati pada gigi kaninus ketika resesi telah mencapai mucogingival junction disebut sebagai istilah McCall

  festoon.

c. Klasifikasi

  Menurut Rosad (2008) klasifikasi gingivitis berdasarkan keparahannya dibedakan menjadi 2: 1)

  Gingivitis Akut Gambaran klinis pada gingivitis akut adalah pembengkakan yang berasal dari peradangan akut dan gingiva yang lunak. Debris yang berwarna keabu-abuan dengan pembentukan membran yang terdiri dari bakteri, leukosit polimorfonuklear dan degenarasi epitel fibrous.

  Pada gingivitis akut terjadi pembentukan vesikel dengan edema interseluler dan intraseluler dengan degenarasi nukleus dan sitoplasma serta rupture dinding sel. 2)

  Gingivitis Kronis Gambaran gingivitis kronis adalah pembengkakan lunak yang dapat membentuk cekungan sewaktu ditekan yang terlihat infiltrasi cairan dan eksudat pada peradangan. Pada saat dilakukan probing terjadi perdarahan dan permukaan gingiva tampak kemerahan.

  Degenerasi jaringan konektif dan epitel dapat memicu peradangan dan perubahan pada jaringan tersebut. Jaringan konektif yang mengalami pembengkakan dan peradangan sehingga meluas sampai ke permukaan jaringan epitel. Penebalan epitel, edema dan invasi leukosit dipisahkan oleh daerah yang mengalami elongasi terhadap jaringan konektif.

  Konsistensi kaku dan kasar dalam mikroskopis nampak fibrosis dan proliferasi epitel adalah akibat dari peradangan kronis yang berkepanjangan.

d. Faktor Etiologi

  Menurut Manson & Eley (1993) gingivitis disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer dari gingivitis adalah plak.

  Plak gigi adalah deposit lunak yang membentuk biofilm yang menumpuk kepermukaan gigi atau permukaan jaringan keras di rongga mulut (Daliemunthe, 2008).

  Gingivitis adalah peradangan pada gingiva yang disebabkan oleh penumpukan plak, kalkulus, hormon, konsumsi obat-obatan tertentu serta infeksi bakteri seperti bakteri Fussobacterium nucleatum, Prevotella intermedia dan Porphyromonas gingivalis (Moree et al., 1982). Porphyromonas gingivalis selalu dikaitkan dengan kerusakan pada jaringan periodontal terutama gingivitis (Samaranayake, 2012).

  Bakteri ini menghasilkan collagenase, endotoxin, fibrinolysin, phospholipase yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada imunoglobulin dan gingipain yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun pada gingiva (Samaranayake,2012).

  Porphyromonas gingivalis termasuk bakteri coccobacillus gram negatif anaerob obligat yang terdapat di dalam rongga mulut manusia dan biasanya ditemukan di daerah subgingiva (Samaranayake, 2012). Porphyromonas gingivalis kadang ditemukan pada permukaan mukosa seperti pada lidah dan tonsila tetapi jarang ditemukan pada plak manusia yang sehat (Samaranayake, 2012).

  Plak gigi mengalami perkembangan pada permukaan gigi dan membentuk bagian pertahanan bakteri di dalam rongga mulut.

  Penggunaan antibiotik yang berspektrum luas secara berkepanjangan adalah salah satu contohnya. Kondisi tersebut dapat terjadi pertumbuhan mikroorganisme secara berlebihan khususnya jamur dan bakteri (Daliemunthe, 2008).

  Plak gigi tidak dapat dibersihkan hanya dengan berkumur ataupun semprotan air, tetapi dapat dibersihkan secara sempurna dengan cara mekanis. Plak gigi tidak dapat terlihat jika jumlahnya sedikit kecuali diberi dengan larutan disklosing atau sudah mengalami diskolorisasi oleh pigmen-pigmen yang berada dalam rongga mulut. Plak gigi akan terlihat berwarna abu-abu, abu-abu kekuningan dan kuning jika terjadi penumpukan (Daliemunthe, 2008).

  Lapisan plak pada peradangan gingiva memiliki ketebalan 400 μm. Peradangan gingiva berhubungan dengan akumulasi plak di sekitar marginal gingiva. Kondisi ini menyebabkan perubahan komposisi plak dari mikroflora streptococci menjadi Actinomyces spp. Selama perkembangan gingivitis, mikroflora mengalami peningkatan pada jumlah spesies. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terjadi peningkatan mikroba Fusobacterium nucleatum, P. intermedia,

  

Capnocytophaga spp., Eubacterium spp. dan spirochete pada gingiva

yang mengalami peradangan (Daliemunthe, 2008).

  Menurut Manson & Eley (1993) faktor sekunder dibagi menjadi 2, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal pada lingkungan gingiva merupakan predisposisi dari akumulasi deposit plak yang menghalangi pembersihan plak. Faktor-faktor tersebut adalah restorasi gagal, kavitas karies, tumpukan sisa makanan, gigi tiruan sebagian lepasan yang desainnya tidak baik, pesawat orthodonti, susunan gigi- geligi yang tidak teratur, merokok tembakau dan mikroorganisme.

  Faktor lokal tersebut merupakan proses mulainya peradangan gingiva.

  Lang. et al., (2008) menyatakan bahwa apabila gigi geligi dibersihkan dengan interval 48 jam tidak akan terjadi gingivitis, tetapi apabila pembersihan gigi geligi ditunda sampai 72 jam akan terjadi inflamasi gingiva.

  Faktor sekunder gingivitis yang kedua adalah faktor sistemik. Faktor sistemik dapat memodifikasi respons gingiva terhadap iritasi lokal (Manson & Eley, 1993).

e. Mekanisme Gingivitis

  Patogenesis gingivitis menurut (Daliemunthe, 2008) terdapat empat tipe lesi yang berbeda. Keempatnya adalah lesi awal, lesi dini, lesi mapan, dan lesi lanjut. Lesi dini dan mapan dapat tetap stabil untuk waktu yang lama. Selain itu, dapat terjadi pemulihan secara spontan atau disebabkan oleh karena perawatan. 1)

  Lesi Insisal Pada tahap ini plak mulai berakumulasi ketika kebersihan rongga mulut tidak terjaga. Untuk beberapa hari pertama, plak ini terdiri dari bakteri cocci dan batang gram positif, lalu hari berikutnya organisme filamen, dan terakhir Spirochetes atau bakteri gram negatif. Gingivitis ringan mulai terjadi pada tahap ini.

  2) Lesi Dini Pada tahap ini sudah mulai terlihat tanda klinis eritema.

  Eritema terjadi karena proliferasi kapiler dan meningkatnya pembentukan kapiler. Epitel sulkus menipis atau terbentuk ulserasi.

  Pada tahap ini mulai terjadi perdarahan pada probing. Ditemukan 70% jaringan kolagen sudah rusak terutama di sekitar sel

  • – sel infiltrat. Neutrofil keluar dari pembuluh darah sebagai respons terhadap stimulus kemotaktik dari komponen plak, menembus lamina dasar ke arah epitelium dan masuk ke sulkus. Dalam tahap ini fibroblast jelas terlihat menunjukkan perubahan sitotoksik sehingga kapasitas produksi kolagen menurun.

  3) Lesi Mapan

  Pada tahap ini disebut sebagai gingivitis kronis karena seluruh pembuluh darah membengkak dan padat, sedangkan pembuluh balik terganggu atau rusak sehingga aliran darah menjadi lambat. Terlihat perubahan warna kebiruan pada gingiva. Sel

  • – sel darah merah keluar ke jaringan ikat, sebagian pecah sehingga hemoglobin menyebabkan warna daerah peradangan menjadi gelap. Lesi ini dapat disebut sebagai peradangan gingiva moderat hingga berat. Aktivitas kolagenolitik sangat meningkat karena kolagenase banyak terdapat di jaringan gingiva yang diproduksi oleh sejumlah bakteri oral maupun neutrofil.

  4) Lesi Lanjut

  Perluasan lesi ke dalam tulang alveolar menunjukkan karakteristik tahap keempat yang disebut sebagai lesi advanced atau fase kerusakan periodontal. Secara mikroskopis, terdapat fibrosis pada gingiva dan kerusakan jaringan akibat peradangan dan imunopatologis. Secara umum pada tahap advanced, sel plasma berlanjut pada jaringan konektif, dan neutrofil pada epitel junctional dan gingiva. Dan pada tahap ini gingivitis akan berlanjut pada pada individu yang rentan.

3. Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) a. Klasifikasi

  Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu jenis ubi jalar yang banyak ditemui di Indonesia selain berwarna putih, kuning dan merah. Ubi jalar ungu jenis Ipomoea batatas L. Poir memiliki warna yang ungu yang cukup pekat pada daging ubinya sehingga banyak menarik perhatian. Dalam sistematika (taksonami) tumbuhan yang dikutip dari Iriyanti (2012), tanaman ubi jalar dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

  a. : Plantea Kingdom

  b. : Spermatophyta Devisi

  c. : Angiospermae Subdivisi

  d. : Dicotylodonnae Kelas

  e. : Convolvulales Ordo f. : Convolvulaceae Famili

  g. : Ipomoea Genus

  h. : Ipomoea batatas Spesies

Gambar 2.2 Ubi Jalar Ungu (sumber : M.S dan Purnamawati, 2007)

b. Manfaat Ubi Jalar Ungu

  Kandungan antosianin (zat warna pada tanaman) dari ubi jalar ungu berkisar antara 14,68

  • – 210 mg/100 gram bahan. Besar kandungan antosianin dalam ubi jalar ungu tergantung pada intensitas warna pada umbi tersebut. Semakin ungu warna umbinya, maka kandungan antosianinnya semakin tinggi. Antosianin ini merupakan antioksidan alami yang dapat mencegah penyakit kanker, jantung, tekanan darah tinggi, katarak, dan bahkan dapat menghaluskan kulit serta mencegah pertumbuhan bakteri. Namun demikian, jangan berlebihan dalam mengkonsumsi antosianin ini karena dapat menyebabkan keracunan. Berdasarkan ADI (Acceptable Daily Intake), konsumsi maksimum antosianin yang diperbolehkan per hari sebesar 0,25 mg/kg berat badan kita (Jaya, 2010).

c. Kandungan Antosianin Ubi Jalar Ungu sebagai Antibakteri Di dalam ubi jalar ungu terkandung zat yang disebut antosianin.

  Antosianin ubi jalar ungu memiliki fungsi fisiologis seperti antioksidan, antikanker, antibakteri, perlindungan terhadap kerusakan hati, penyakit jantung dan stroke. Ubi jalar ungu bisa menjadi antikanker karena didalamnya ada zat aktif yang dinamakan selenium dan iodin dan dua puluh kali lebih tinggi dari jenis ubi yang lainnya (Ripiu, 2010).

  Kandungan senyawa ekstrak ubi jalar ungu pada uji fitokimia penelitian (Riansyah, 2015) mengandung flavonoid, fenolik, terpenoid, tanin, polifenolat, seskuiterpen. Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) tanaman yang memiliki kandungan senyawa antibakteri yang terkandung dalam zat yang disebut antosianin memiliki senyawa aktif diantaranya polifenol, tannin, alkoid, dan flavonoid dengan kandungan mencapai 519/100g berat bersih (Yang, 2008). Ubi jalar ungu (Ipomoea

  

batatas L) memiliki 5 senyawa fenolik yaitu asam klogrenat, asam

  kafeat, asam 4,5-dikafeoilkuinat, asam 3,5-dikafeoilkuinat, asam 3,4- dikafeoilkuinat (Padda, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Sulastri, 2013) disimpulkan bahwa ekstrak EtOH : HCl ubi jalar ungu positif mengandung komponen metabolit sekunder golongan flavonoid dan tanin serta memiliki aktivitas antioksidan yang relatif lebih tinggi berbanding dengan alfa tokoferol yang merupakan senyawa populer antioksidan.

  Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan. Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri diantaranya yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Dwidjoseputro, 1980).

  Menurut (Pakorny, 2011) dan (Timberlake, 1982) warna ungu pada ubi jalar disebabkan oleh adanya pigmen ungu antosianin yang menyebar dari bagian kulit sampai dengan dagingnya. Antosianin pada ubi jalar ungu mempunyai aktifitas sebagai antioksidan. Selanjutnya (Shadi, 1995) senyawa antioksidan alami mampu memperlambat, menunda, ataupun mencegah proses oksidasi. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu cukup tinggi seperti pernyataan (Kumalaningsih, 2008) kandunganya mencapai 519 mg/100g berat basah, sehingga berpotensi besar sebagai sumber antioksidan untuk kesehatan manusia, dan dalam antioksidan terkandung antosianin yang terdapat kandungan antibakteri, anti inflamasi dan anti kanker.

4. Flavonoid

  Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan yang disintesis dari fenilalanin. Persiapan medis dengan komponen herbal dan serangga, flavonoid berperan fungsional penting untuk terapi obat dalam berbagai jenis penyakit. Flavonoid menghambat enzim tertentu untuk merangsang beberapa hormon dan neurotransmiter. Ada tujuh kelas dari flavonoid alami yaitu flavanon, flavon, flavonol, isoflavon, chacones, aurones, dan proanthocyanidins.

Gambar 2.3 Struktur Umum Flavonoid (sumber: Sosa dkk, 2017)

  Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dimiliki oleh sebagian besar tumbuhan hijau dan biasanya terkonsentrasi pada biji, buah, kulit buah, kulit kayu, daun, dan bunga. Flavonoid memiliki kontribusi yang penting dalam kesehatan manusia. Flavonoid diketahui berfungsi sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik, selain itu memiliki sifat sebagai antioksidan, dan antiinflamasi (Achsan et al., 2015).

  Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri karena flavonoid mempunyai kemampuan berinteraksi dengan DNA bakteri dan menghambat fungsi membran sitoplasma bakteri dengan mengurangi fluiditas dari membran dalam dan membrane luar sel bakteri. Akhirnya terjadi kerusakan permeabilitas dinding membran sel bakteri dan membran tidak berfungsi sebagaimana mestinya, termasuk untuk melakukan perlekatan dengan substrat. Hasil interaksi tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom. Ion hidroksil secara kimia menyebabkan perubahan komponen organik dan transport nutrisi sehingga menimbulkan efek toksik terhadap sel bakteri (Sumono & Sd, 2008).

  Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri yaitu dengan menghambat fungsi membran sel dan metabolisme energi bakteri. Saat flavonoid menghambat fungsi membran sel, flavonoid membentuk senyawa komplek dengan protein ekstraseluler yang dapat merusak membran sel bakteri, lalu diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler bakteri tersebut. Flavonoid dapat menghambat penggunaan oksigen oleh bakteri. Energi dibutuhkan bakteri untuk biosintesis makromolekul, sehingga jika metabolismenya terhambat maka molekul bakteri tersebut tidak berkembang menjadi molekul yang kompleks (Sapara dan Waworuntu, 2016). Flavonoid memiliki fungsi anti mikroba seperti aktivitas bakteri langsung yang bekerja secara sinergis dengan antibiotik untuk memerangi infeksi bakteri (Sosa dkk., 2017).

5. Tanin

  Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri, dan antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat kompleks terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal, mendapatkan protein dari larutanya dan bersenyawa dengan protein tersebut. Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Malangngi, 2012).

  Tanin sering ditemukan di tumbuhan yang terletak terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Tanin senyawa aktif yang memiliki aktifitas antibakteri. Mekanisme kerja dari senyawa ini adalah menghambat aktivitas beberapa enzin untuk menghambat rantai ligan di beberapa reseptor. Tanin memiliki sasaran terhadap polipeptida dinding sel yang menyebabkan kerusakan pada dinding sel. Tanin dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan pada konsentrasi tinggi, tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma bakteri, sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein bakteri dan pada saluran pencernaan, tanin juga diketahui mampu mengugurkan toksin (Soedirman, 2014; Sumono & Sd, 2008).

  Tanin merupakan senyawa fenol berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan memunculkan denaturasi protein dan menurunkan tegangan permukaan, sehingga permeabilitas bakteri meningkat serta menurunkan konsentrasi ion kalsium, menghambat produksi enzim, dan menganggu proses reaksi enzimatis pada bakteri sehingga menghambat terjadinya koagulasi plasma yang diperlukan oleh bakteri (Sumono and Agustin, 2008).

Gambar 2.4 Struktur Tanin (sumber: Sumono and Agustin, 2008)

6. Porphyromonas Gingivalis a. Klasifikasi

  Klasifikasi dari Porphyromonas Gingivalis menurut (Bonne, DR, 2002) sebagai berikut: a.

  Kingdom : Bacteria b.

  Divisi : Bacteroidetes c.

  Kelas : Bacteroides d.

  Orde : Bacteroidales e.

  Famili : Porphyromonadaceae f.

  Genus : Porphyromonas g.

  Spesies : Porphyromonas gingivalis

Gambar 2.5 Bakteri Porphyromonas gingavalis (sumber: Microbe Wiki, 2010)

b. Sifat dan Morfologi

  Porphyromonas gingivalis merupakan salah satu bakteri

  penyebab penyakit pada jaringan periodontal yaitu gingivitis. Beberapa bakteri penyebab utama gingivitis adalah Porphyromonas gingivalis,

  Provotella intermedia, dan Treponema denticola (Hajisengallis, 2012).

  Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri obligat anaerob,

  gram negatif, non-fermentasi, yang tidak berspora (non - spore

  forming ), pleomorphic terutama berbentuk batang pendek dan tak

  punya alat gerak (non motile). Bakteri ini berbentuk coccobacilli dengan panjang 0,5 - 2 μm. Koloni bakteri ini bila terdapat pada agar darah tampak lembut, berkilauan dan terlihat cembung serta 1- 2 mm di dalam garis tengah dan menggelap dari tepi koloni ke pusat diantara 4- 8 hari. Terkadang warna koloni berubah menjadi hitam akibat produksi yang berlebih dari protohaem (Anonim, 2008).

  Porphyromonas gingivalis dapat tumbuh optimum pada suhu

  36,8- 39℃ dengan pH antara 7.5-8.0. Pertumbuhan yang signifikan dapat dipengaruhi oleh adanya karbohidrat. Substrat nitrogenous seperti

  proteose peptone, trypticase dan ekstrak yeast dengan nyata dapat

  meningkatkan pertumbuhan Porphyromonas gingivalis (Leslie at al, 1998).

  Porphyromonas gingivalis menghasilkan collagenase, endotoxin,

  fibrinolysin, phospholipase yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada imunoglobulin dan gingipain yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun pada gingiva (Samaranayake,2012).

  

Porphyromonas gingivalis termasuk bakteri coccobacillus gram negatif

  anaerob obligat yang terdapat di dalam rongga mulut manusia dan biasanya ditemukan di daerah subgingiva (Samaranayake, 2012).

  Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri gram negatif yang

  mempunyai pigmen hitam. Lapisan- lapisan dinding sel pada gram negatif lebih kompleks dibandingkan bakteri gram positif baik secara struktur maupun kimianya. Secara struktur, dinding bakteri gram negatif mengandung dua lapisan eksternal pada membran sitoplasma.

  Dinding sel gram negatif mengandung tiga komponen yang terletak pada lapisan luar yaitu lipoprotein, peptidoglikan, lipoposakarida (Newman, 2006).

  Porphyromonas gingivalis sering ditemukan dalam rongga mulut,

  di mana terlibat dalam bentuk-bentuk tertentu dari penyakit periodontal (Naito, 2008) serta saluran pencernaan bagian atas, saluran pernapasan, dan usus besar. Degradasi kolagen yang diamati pada penyakit periodontal kronis merupakan hasil dari sebagian enzim kolagenase dari spesies ini. Hal ini ditunjukkan dalam studi in vitro bahwa

  

Porphyromonas gingivalis dapat menyerang fibroblast gingiva manusia

  dan dapat bertahan hidup di dalamnya walau ada konsentrasi antibiotik yang cukup. Porphyromonas gingivalis juga menyerang sel-sel epitel gingiva dalam jumlah tinggi, di mana kasus kedua bakteri dan sel-sel epitel bertahan untuk waktu yang lama. Tingginya kadar antibodi spesifik dapat dideteksi pada pasien dengan Porphyromonas gingivalis.

  Selain itu, Porphyromonas gingivalis juga berhubungan dengan rheumatoid arthritis, dimana enzim peptidil - arginin deiminase terlibat dalam citrullinasi. (Wegner, 2010) Pasien dengan rheumatoid arthritis memiliki peningkatan insiden penyakit periodontal dan antibodi terhadap bakteri secara signifikan lebih sering terjadi pada pasien ini. (Orgendik, 2005) Porphyromonas gingivalis dibagi menjadi K- serotipe berdasarkan kapsul antigenisitas dari berbagai jenis.

7. Kontrol Positif pada Penelitian

  Klorheksidin merupakan basa kuat dan paling stabil dalam bentuk gram Klorheksidin diglukonat yang larut dalam air. Klorheksidin sangat luas digunakan sebagai disinfektan karena memiliki sifat antimikroba yang baik terhadap bakteri gram positif, bakteri gram negatif, spora bakteri, virus lipofilik, jamur dan dermatofit. Klorheksidin 0,1 - 0,2 % merupakan antiseptik yang secara luas digunakan mengontrol plak rongga mulut. (Zehnder, 2006; Tanumihardja, Gigi, & Hasanuddin, 2010)

  Kontrol positif pada penelitian ini menggunakan obat kumur khlorheksidin 0,2 % karena khlorheksidin memiliki daya antibakteri karena kandungan fenol yang bersifat bakteriostatik pada kadar 0,2-1%, bersifat bakterisid pada kadar 0,4-1,6 % dan bersifat fungsidal pada kadar 1,6 keatas. Kandungan khlorheksidin merupakan desinfektan tinggi yang dapat membunuh semua bakteri, virus, jamur, parasit, dan beberapa spora (Mutia, 2012).

B. Kerangka Teori

  Ekstrak etanol umbi ubi jalar ungu Antioksidan Anti bakteri Anti fungi Tanin Flavonoid

  Memunculkan Mengganggu denaturasi protein permeabilitas dan menurunkan membran sel, tegangan memiliki gugus

permukaan, sehingga hidroksil yang

permeabilitas sel menyebabkan terganggu perubahan komponen organik dan transport nutrisi Daya hambat pertumbuhan

  Porphyromonas gingivalis

Gambar 2.6 Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep

  Ekstrak Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L)

  Konsentrasi 25% Ekstrak Ubi Jalar Ungu

  (Ipomoea batatas L) Konsentrasi 50%

  Ekstrak Ubi Jalar Ungu Pertumbuhan Bakteri

  (Ipomoea batatas L)

  Porphyromonas

  Konsentrasi 75% gingivalis Ekstrak Ubi Jalar Ungu

  (Ipomoea batatas L) Konsentrasi 100%

  Klorheksidin 0,2%

Gambar 2.7 Kerangka Konsep D.

   Hipotesis

  Hipotesis pada penelitian ini adalah ekstrak etanol ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis.