PROSES PERJUANGAN KELAS DALAM NOVEL KABUT DAN MIMPI KARYA BUDI SARDJONO SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia

PROSES PERJUANGAN KELAS
DALAM NOVEL KABUT DAN MIMPI
KARYA BUDI SARDJONO
SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Meraih Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sastra Indonesia

Oleh
Andreas Teguh Sujarwadi
NIM : 994114017

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007

HALAMAN PERSEMBAHAN


Skripsi ini kupersembahkan untuk :

1. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 99 dan Fakultas Sastra untuk semua angkatan.
2. Teman-teman yang mempunyai andil besar pada studiku yaitu : Jodi, Amel, Iin
Mamaghe. Terimakasih atas bantuan baik mental dan material saat ekonomi
keluargaku ambruk, tanpa kalian mungkin skripsi ini tidak pernah tertulis.
3. Yudis Tira, Anjar Doni, Boni, Ari Botak, Jose, Ngurah, Bondok, Gus Adit, yang telah
memberi ruang belajar politik, organisasi, serta dinamika kehidupan di Kampung
Sastra.
4. Badu, Joe Batak, Anjas Gunawan, Kyky Kancil, Angga, yang telah menawarkan
persahabatan yang unik dan masih kujaga sampai saat ini.
5. Buat Iwan Fals yang secara tidak langsung selalu memberi dorongan untuk “hidup”.
Sedikit sayang kamu mulai sentimentil dan melankolis belakangan ini.
6. Ijul yang selalu kuganggu printernya untuk mencetak selama proses skripsi.
7. Seriboe Djendela, Lens Club, Bengkel Sastra, Komunitas Jam Tiga pagi, Ramtos
Crew, Sekar Jepun, Media Sastra, Kost Lampar 10, Rumah Cepit, Asrama SMD Solo,
Kost Legi, teman-teman Pondok Mapasada, atas segala proses yang pernah kita jalani
bersama, banyak yang kudapat di situ.
8. Angkringan Ramto yang selalu merelakan lapak mangkalnya kami gunakan untuk

diskusi dan belajar mengerti arti persahabatan dan hidup. “Nuwun, Ram”. Sudah
banyak orang berhasil yang dulu sering ngutang sama kamu.

9. “Bolo Kurowo” : Jodi, Dito, Greg, Ade, Nugie, Meli, Edot, Eka “Batang”, Sugeng,
Sunu, Galang, Yabes, Tyas, Dion, Cindy, Bigar, Wahmuji, Ginting, Inyong, Anton
“Khetek”, Jati, Andre “Gendut”, Penya, Yuda “cumi”, Andre “Qiser”, Juli “Kodak”,
sangat banyak peristiwa yang kita lewati, aku semakin mengerti belajar hidup itu
tidak bisa berhenti seperti air sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, yang selalu
memaknai setiap tugas mengalirnya.
10. Bapak Bondan Nusantara yang memberikan pinjaman buku sebagai referensi.

MOTTO
“Beranilah HIDUP!!!
Karena semua kekayaanku tidak akan kuwariskan kepada anak-anakku.”
(Bapakku tercinta, R.Sugiono)

“Sahabat, aku datang karena cinta
Karena pesan yang tersembunyi di balik kata
Sungguh tak akan membuatku seperti buku tua”
(Iman Budi Santosa)


“Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah kemana saja”
(Umbu Landu Paranggi)

KATA PENGANTAR

Terima kasih saya sampaikan kepada segala kekuatan dan zat, yang sering kita
panggil dengan bermacam-macam nama, atas segala harmoni yang selalu terjaga, juga
rasionalitas dan irasionalitas yang melingkupi alam pikir saya. Semesta raya yang
memberi ruang untuk banyak belajar kehidupan. Dengan tulus saya menyadari banyak
kontribusi yang saya dapatkan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini menjadi babak
akhir pada studi S1 saya. Di saat yang membahagiakan ini penulis ingin menyampaikan
terimakasih dan rasa hormat kepada:
1. Bapak Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. Sebagai pembimbing I.
Terimakasih atas bimbingan, saran, masukan, dan dorongan untuk menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. Sebagai pembimbing II.

Terimakasih atas bimbingan, saran, dan koreksi yang sangat penting untuk
penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Drs. Herry Antono, M.Hum. yang sering mengingatkan saya untuk cepat
menyelesaikan dan jangan sampai putus di jalan.
4. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. yang sering memberi semangat dan
memperhatikan dengan cara yang sangat santun. Terimakasih banyak, Pak Prap.
5. Ibu Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum. yang sangat sabar dan tekun mengajar di
mata kuliah yang saya anggap cukup sulit dan membosankan. Terimakasih
banyak, Bu.

6. Segenap dosen Sastra Indonesia dan Sivitas akademika yang saya tidak dapat
sebutkan satu-persatu, terimakasih atas kesempatan belajar bersama yang saya
yakin pasti berguna dalam kehidupan saya kedepan.
7. Keluargaku
Mbah kakung, Mbah Putri, Pak Tuo, Simbok. Terimakasih atas harapan dan
doanya. Bapak dan Mamak, terimakasih atas cinta kalian yang belum utuh aku
mengerti sampai saat ini. Mas Agus dan Mbak Partiah, Mas Prio, Anton, Ita dan
Agus. Kalian semua adalah kekayaan dan kekuatanku.
8. Kekasihku
IMM. Primastuty S. S.E. yang sangat semangat mendorong aku baik secara

mental, spiritual dan material untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas
kesabaranmu, kepercayaanmu dan keikhlasanmu.
9. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, yang menyediakan koleksi buku-buku
yang dijadikan sumber penelitian ini, seluruh karyawan perpustakaan dan Pekerja
Perpustakaan Paruh Waktu yang selalu bersedia membantu mencarikan buku
yang peneliti butuhkan, meski peneliti kecewa terhadap tim digitalisasi skripsi
yang sampai saat ini masih terbatas dan ribet untuk diakses, kalian juga mendapat
penghormatan dari saya atas upaya memajukan format perpustakaan, semoga
kerja kalian semakin baik!
10.Tanah Mataram Ngayogyakarta yang menjadi kawah Candradimuka dalam studi
saya, terimakasih atas air, udara, tanah, api, cahaya, dan harmoni yang kau
berikan padaku, banyak ilmu yang kuraup di sini semoga aku mampu
merembeskan di tempat lain, walau di tempat musuhmu sekalipun.

Peneliti menyadari akan keterbatasan baik pengetahuan maupun kemampuan yang
peneliti miliki. Oleh karena itu, peneliti sangat terbuka terhadap kritik dan saran supaya
proses dialektika tetap berjalan sehingga meningkat mutu pendidikan di Indonesia
tercinta ini.
Akhirnya peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai cara
pandang dari sudut lain untuk memahami karya Sastra, sehingga memupuk kemajuan

Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta 12 September 2007
Penulis

Andreas Teguh Sujarwadi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan
dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta 12 September 2007
Penulis

Andreas Teguh Sujarwadi

ABSTRAK
Sujarwadi, Andreas Teguh. 2007. Perjuangan Kelas Penambang Pasir dalam Novel
Kabut dan Mimpi Karya Budi Sardjono. Skripsi. Yogyakarta: Sastra

Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas merupakan materi umum yang digunakan
penulis karya sastra sebagai bahan perenungannya yang nantinya akan terwujud ke dalam
bentuk karya sastra, apapun genrenya. Masyarakat, dengan segala stratifikasi sosial yang
dimilikinya, merupakan salah satu bentuk dari realitas itu. Begitu signifikannya pengaruh
gambaran sosial dari sebuah masyarakat tertentu sehingga sering menstimulasi
pengarang, yang juga merupakan bagian dari masyarakat, untuk menciptakan cerminan
dari masyarakat itu sendiri, baik karakteristik masyarakatnya maupun fenomenafenomena sosial yang terjadi, ke dalam bentuk sebuah karya. Untuk konteks penelitian
ini, fenomena sosial yang menarik perhatian peneliti adalah pertentangan antar kelas
masyarakat yang berujung pada sebuah perjuangan kelas.
Kajian utama dari penelitian ini adalah pengungkapan bentuk perjuangan kelas
para penambang pasir dalam novel Kabut dan Mimpi karya Budi Sardjono. Meskipun
begitu, ada dua pokok permasalahan yang peneliti coba hadirkan sebagai tujuan sekaligus
batasan dari penelitian ini. Adapun tujuan yang dimaksud yaitu mendeskripsikan struktur
penceritaan, khususnya tokoh dan penokohan, serta mendeskripsikan bentuk perjuangan
kelas para penambang pasir dalam novel Kabut dan Mimpi karya Budi Sardjono.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Ada dua instrumen penelitian yang
digunakan untuk menjawab kedua pokok permasalahan tersebut. Untuk pokok
permasalahan yang pertama, digunakan pendekatan struktural sastra untuk menganalisis
unsur tokoh dan penokohan. Unsur tersebut merupakan elemen penting yang tidak dapat

dilepaskan dari sebuah karya sastra, sehingga peneliti akan bertolak dari analisis
struktural terlebih dahulu. Sementara itu, untuk menjawab pokok permasalahan kedua
(tujuan utama dari penelitian ini), pendekatan yang digunakan adalah sosisologi sastra.
Sedangkan untuk teorinya, peneliti menggunakan teori kelas yang dirumuskan oleh Karl
Marx.
Dari analisis yang telah dilakukan, peneliti berhasil mengklasifikasikan unsur
tokoh, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama sendiri kemudian dibagi lagi
menjadi tokoh utama protagonis dan tokoh utama antagonis. Sedangkan untuk tokoh
tambahan, peneliti hanya menemukan tokoh tambahan pembantu protagonis saja. Setelah
mengenal secara terperinci tokoh dan penokohan dalam novel, terungkap bahwa Kardi
sebagai tokoh utama protagonis, sedangkan Noto Kawignyo dan Pak Mandor merupakan
tokoh utama antagonis. Kemudian untuk tokoh pembantu protagonis sendiri diperankan
oleh Para Mahasiswa dan Tante Santi.
Akhirnya, dari analisis perjuangan kelas, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama
protagonis, Kardi, merupakan representasi dari kelas bawah (Proletar) yang berjuang
untuk perubahan nasib atas ketertindasan kelasnya. Sementara itu, tokoh utama
antagonis, Noto Kawignyo dan Pak Mandor, adalah representasi dari kelas atas (Borjuis)
yang melakukan penindasan dan penghisapan terhadap kelas bawah. Dari konflik yang
terjadi di antara kelas atas dan kelas bawah lahirlah perjuangan kelas yang dilakukan oleh
kelas bawah terhadap kelas atas. Bentuk-bentuk perjuangan kelas itu meliputi kesadaran


kelas secara internal, penyadaran kelas secara eksternal, serta aksi (demonstrasi).
Penelitian ini, sama seperti novelnya, berhenti pada pengungkapan bentuk perjuangan
kelas dan bukan pada hasil dari perjuangan kelas itu sendiri. Hal ini menjadi relevan
dengan pandangan utopis yang diidamkan Karl Marx sendiri tentang negara tanpa kelas,
yang secara teoretis hanya dapat terwujud lewat sebuah revolusi perjuangan kelas.
Sayangnya, dalam praktiknya, hasil akhir dari perjuangan kelas itu sendiri tidak pernah
menjadi nyata, dan, sama seperti pada novel dan penelitian ini, hanya berhenti sampai
bentuk perjuangan kelas saja.

ABSTRACT
Sujarwadi, Andreas Teguh. 2007. Perjuangan Kelas Penambang Pasir dalam
Novel Kabut dan Mimpi Karya Budi Sardjono. Undergraduate Thesis. Yogyakarta:
Indonesian Literature, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
It is inevitable that reality is a common material utilized by most fiction writers as
their contemplation, which then becomes concrete in a form of a literary work, whatever
the genre is. Society, with its own social stratification, is indeed one of the form of the
reality. So significant the influence of the social description of a particular society is that
it frequently stimulates a writer, who is a participant of the society himself, to create a
reflection of that particular society: a mirror which reflects the characteristics of the

society and the social phenomena happening in the society, into a form of literary works.
In the context of this research, the present researcher is interested in the social
phenomenon in which a confrontation amid social classes happens and results in a form
of class-struggle.
The main focus of analysis of this research is a disclosure of a form of classstruggle of the sand-mine workers in Budi Sardjono’s Kabut dan Mimpi. Nonetheless,
there are two problems which the researcher tries to present as the objectives as well as
the limitation of the study. Those two objectives meant are to describe the structure of the
narration, especially the characters and the characterization, and to depict the form of the
class-struggle of the sand-mine workers in Budi Sardjono’s Kabut dan Mimpi.
This research utilizes the descriptive method of analysis. There are a couple of
instruments used as the tools to answer the two problems. For the first problem, the
structural literary approach is used to analyze the recognition of the character and
characterization. Character and characterization are two important elements which cannot
be detached from a literary work. This what makes the present researcher uses structural
elements as his first step of analysis. Meanwhile, to answer the second problem (the chief
objective of this research), sociological literary approach is used, and for the auxiliary
theory, class theory which is formulated by Karl Marx is utilized.
From the analysis, the present researcher succeeds to classify the elements of the
character, which are the major character and the minor character. The major character
itself is categorized further into protagonist major character and antagonist major

character. Meanwhile, for the minor character, the present researcher only figures out the
protagonist minor character. After recognizing thoroughly the character and
characterization in the novel, it is found that Kardi acts as the protagonist main character
and Noto Kawignyo and Pak Mandor act as the antagonist main characters. Then, the
protagonist minor characters are acted by the University Students and Tante Santi.
Finally, from the analysis of class-struggle, it can be concluded that the
protagonist main character, Kardi, is a representative of the lower class (The Proletariat),
who struggles for the pursuit of fate-changing for the oppression done to his class.
Meanwhile, the antagonist major characters, Noto Kawignyo and Pak Mandor, are the
representatives of the upper class (The Bourgeoisie) who commit the oppression and
exploitation towards the lower class. From the conflicts happening between the lower
class and the upper class comes the class-struggle done by the lower class towards the
upper class. The forms of the class-struggle cover the internally acknowledged class-

awareness, the externally acknowledged class-realization, and the actions
(demonstrations). This research, as well as the novel, stops at the disclosure of the form
of the class-struggle and not at the final result of the class-struggle itself. This fact
becomes relevant to the utopic foresight eagerly wanted by Karl Marx about the idea of a
classless nation, which theoretically can only become real if done through a class-stuggle
revolution. Unfortunately, in its practice, the final result of the class-struggle itself has
never met the reality, and, being the same as the novel and this research, only stops at not
more than a form of the class-struggle.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN...............................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..............................................

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................

iv

MOTTO...................................................................................................

vi

KATA PENGANTAR............................................................................

vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................

x

ABSTRAK...............................................................................................

xi

ABSTRACT............................................................................................

xiii

DAFTAR ISI...........................................................................................

xiv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................

1

1.1 Latar Belakang Masalah........................................................

1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................

4

1.3 Tujuan Penelitian..................................................................

4

1.4 Manfaat Penelitian................................................................

5

1.5 Landasan Teori......................................................................

5

1.5.1 Teori Struktural..........................................................

5

1.5.1.1 Tokoh dan Penokohan...................................

6

1.5.2 Teori Sosiologi Sastra................................................

7

1.5.2.1 Teori Kelas Menurut Karl Marx...................

8

1.5.2.2 Kesadaran....................................................

10

1.5.2.3 Aksi Massa (Demonstrasi).........................

10

1.6 Metode Penelitian....................................................................

11

1.6.1 Jenis Penelitian..........................................................

11

1.6.2 Pendekatan................................................................

11

1.6.3 Metode.......................................................................

12

1.6.4 Teknik Analisis Data................................................

12

1.7 Sumber Data.........................................................................

12

1.8 Sistematika Penyajian..........................................................

13

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM
NOVEL KABUT DAN MIMPI ...........................................

14

2.1 Pengantar..............................................................................

14

2.2 Tokoh Utama Protagonis......................................................

15

2.2.1 Kardi.........................................................................

15

2.3 Tokoh Utama Antagonis.....................................................

28

2.3.1 Pak Mandor..............................................................

28

2.3.2 Noto Kawignyo........................................................

31

2.4 Tokoh Tambahan.................................................................

36

2.4.1 Para Mahasiswa.......................................................

36

2.4.2 Tante Santi...............................................................

46

2.5 Rangkuman..........................................................................

49

BAB III ANALISIS PROSES PERJUANGAN KELAS
DALAM NOVEL KABUT DAN MIMPI ...........................

52

3.1 Pengantar..............................................................................

52

3.2 Kelas Atas (Borjuis).............................................................

53

3.2.1 Kaya dan Berkuasa..................................................

55

3.2.2 Menghisap Kelas Bawah..........................................

60

3.2.3 Negara Berpihak pada Kelas Atas..........................

61

3.3 Kelas Bawah (Proletar)........................................................

63

3.3.1 Miskin dan Dikuasai.................................................

64

3.3.2 Dihisap Kelas Atas....................................................

66

3.3.3 Negara Tidak Berpihak...........................................

68

3.4 Proses Perjuangan Kelas....................................................

70

3.4.1 Kesadaran Internal..................................................

71

3.4.2 Penyadaran Eksternal...............................................

73

3.4.3 Aksi Massa (Demonstrasi)........................................

74

3.5 Rangkuman...........................................................................

77

BAB IV PENUTUP................................................................................

80

4.1 Kesimpulan...........................................................................

80

4.2 Saran.....................................................................................

82

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................

83

BOIGRAFI SINGKAT..........................................................................

85

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Karya fiksi seperti novel, merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks,
unik dan mengungkap sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah, antara lain, yang
menyebabkan sulitnya pembaca untuk menafsirkannya. Untuk itu, diperlukan suatu
upaya yang dapat disebut kritik untuk dapat menjelaskannya, dan biasanya, hal itu
disertai bukti-bukti hasil kerja analisis. Dengan demikian kerja analisis kesusastraan,
fiksi, dan karya sastra yang lain, bertujuan untuk memahami secara lebih baik suatu
karya sastra, sehingga karya sastra terpahami sebagai kesatuan yang padu dan bermakna,
dan bukan sekedar bagian perbagian (Nurgiyantoro, 2005: 32).
Karya

sastra

jelas

dikonstruksikan

secara

imajinatif,

tetapi

kerangka

imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan
semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2003: 11). Sastra dapat
dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu
tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat pada zaman itu.
Pengarang selaku seorang warga masyarakat, mengubah realitas menjadi sebuah karya
guna menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia, merupakan warga masyarakat
tersebut (Hartoko, 1982: 23).
Karya sastra seperti novel adalah produk kehidupan yang banyak mengandung
nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, dan filosofis, yang bertolak dari pengungkapan
kembali suatu fenomena kehidupan. Pengarang sendiri, sebagai pencipta merupakan

2

bagian dari kehidupan itu sendiri. Ketika ia menciptakan karyanya ia tidaklah hanya
terdorong oleh luapan atau desakan dari dalam dirinya untuk mengungkapkan perasaanperasaannya, cita-citanya, tetapi juga keinginan untuk menyampaikan pikiran, gagasan,
pendapat, kesan dan bahkan perhatian atas suatu peristiwa yang terjadi pada seseorang
atau kelompok masyarakat (Sardjono, 1992: 10). Jadi, karya sastra tidak dapat di
pisahkan dari masyarakat. Secara tidak langsung pengarang menggunakan masyarakat
sebagai materi atau bahan di dalam karyanya yang kemudian ditawarkan kembali pada
masyarakat untuk dinikmati, dihayati, dan dipahami gagasan-gagasannya serta nilai-nilai
yang terdapat di dalamnya.
Novel ini mengisahkan kehidupan penambang pasir Kali Boyong di kaki Gunung
Merapi. Secara keseluruhan cerita ini dijalani oleh seorang tokoh bernama Kardi. Kardi
adalah seorang pemuda kampung lulusan SMEA yang bekerja sebagai penambang pasir
di Kali Boyong. Bahaya banjir saat musim hujan selalu mengancam keselamatan para
penambang pasir seperti Kardi. Hujan akan menghanyutkan matrial dari puncak Gunung
Merapi berupa batu, pasir, dan lahar dingin. Disisi yang lain banjir merupakan berkah
bagi penambang pasir di Kali Boyong, sebab pasir yang dihanyutkannya dari puncak
Gunung Merapi tak pernah habis, dan itu merupakan berkah bagi mereka yang hidup
sebagai penambang pasir.
Aktivitas penambangan pasir di Kali Boyong diawasi dan diatur oleh seorang
bernama Pak Mandor. Pak Mandor merupakan kaki tangan dari seseorang bernama Noto
Kawignyo yang terkenal kaya dan sangat berpengaruh di wilayah setempat lebih
tepatnya di Daerah Sleman Utara. Kekayaan dan pengaruhnya itulah yang membuat dia

3

bisa memonopoli areal penambangan pasir di Kali Boyong. Praktik monopoli itu
menyebabkan upah yang mereka dapat kecil dan tak sebanding dengan risiko kerja yang
harus dihadapi sehingga membuat para penambang pasir sering mengeluh, dan jengah
dengan kondisi ekplotasi yang dilakukan oleh Pak Mandor dan Noto Kawignyo.
Suatu hari, Kardi bertemu Soleh, teman sekelasnya sewaktu di SMEA. Dari
pertemuan itu, Kardi dikenalkan dengan aktifis mahasiswa teman-teman Soleh.
Berangkat dari perkenalannya dengan mahasiswa, Kardi kemudian semakin sadar akan
ketertindasannya, dan kemudian memobilisir massa untuk berdemonstrasi di Kali
Boyong. Demonstrasi yang terjadi di Kali Boyong berjalan tegang karena warga sempat
memblokir jalan masuk serta membakar truk pengangkut pasir. Kekacauan itu sulit
dikendalikan, hingga Pak Mandor datang dengan beberapa orang berbadan kekar dan
menculik Kardi yang memimpin demonstrasi. Setelah diculik, Kardi disekap dan disiksa
di dalam rumah Noto Kawignyo karena telah mengerahkan massa untuk berdemonstrasi.
Akibat demonstrasi dan keributan di Kali Boyong, Noto Kawignto rugi jutaan rupiah,
enam truk dibakar dan aktivitas penambangan pasir berhenti. Karena ulah Kardi itu,
Noto Kawignyo menyuruh Pak Mandor dan anak buahnya menghabisi Kardi. Kardi
disiksa dan dibawa ke hulu Kali Krasak di lereng Gunung Merapi lalu dibuang ke
jurang, Setelah dibuang ke jurang Kardi tidak mati; malah dapat menyelamatkan diri.
Kardi di sembunyikan dan dirawat oleh teman-temannya mahasiswa di Daerah Jogja
Timur, di rumah Tante Santi setelah sembuh Kardi pulang ke kampungnya. Sebelumnya,
dia bertemu anak buah Noto Kawignyo dan dijanjikan akan diberi uang sepuluh juta
rupiah, bahkan dijanjikan akan dijadikan Kepala Desa jika mau memaafkan Noto

4

Kawignyo. Kardi belum menerima atau menolak tawaran anak buah Noto Kawignyo
tetapi dia langsung pulang ke kampungnya. Setelah dua hari Kardi pulang ke
kampungnya tersiar Kabar Presiden Lengser dan Noto Kawignyo ditahan polisi.
Dalam penelitian ini, peneliti sengaja memilih novel berjudul Kabut dan Mimpi
karya Budi Sardjono sebagai obyek penelitian. Ketertarikan peneliti untuk menganalisis
novel ini, didasarkan pada dua alasan. Pertama berangkat dari isi cerita yang mengangkat
penderitaan kehidupan masyarakat kelas bawah dalam hal ini penambang pasir di Kali
Boyong. Kedua konflik yang terjadi pada novel Kabut dan Mimpi sangat sarat dengan
bentuk perjuangan kelas, seperti teori yang di lahirkan Karl Marx.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini
adalah:
1.2.1 Bagaimanakah gambaran tokoh dalam novel Kabut dan Mimpi karya Budi
Sardjono?
1.2.2 Bagaimanakah proses perjuangan kelas dalam novel Kabut dan Mimpi
karya Budi Sardjono?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini ingin mencapai tujuan
sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan gambaran tokoh dalam novel Kabut dan Mimpi karya
Budi Sardjono.

5

1.3.2 Mendeskripsikan proses perjuangan kelas dalam novel Kabut dan Mimpi
karya Budi Sardjono.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan wilayah studi
sastra di Indonesia khususnya studi yang bertolak dari sosiologi sastra.
1.4.2 Penelitian ini juga diharapkan mampu memperkaya kajian karya sastra,
serta bermanfaat bagi peminat sastra dan pembaca pada umumnya.

1.5 Landasan Teori
1.5.1 Teori Struktural
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,
seteliti, semenditel dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek di
dalam karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:
135).
Analisis aspek intrinsik karya sastra, ialah analisis karya sastra itu sendiri dari
segi isinya, dan sebisa mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan di luar
karya sastra itu sendiri. Dengan demikian akan jelas nanti, apakah karya sastra tersebut
sepenuhnya sesuai dengan kenyataan, atau sebagian atau sama sekali tidak berdasarkan
kenyataan-kenyataan sebenarnya (Sukada, 1987:50).

6

1.5.1.1 Tokoh dan Penokohan
Pada penelitian ini peneliti hanya menggunakan teori tokoh dan penokohan untuk
menganalisis segi intrinsiknya, hal ini senada dengan pendapat yang disampaikan oleh
(Sudjiman, 1988: 10) Salah satu unsur yang penting dalam suatu karya sastra, selain
unsur-unsur lainnya adalah tokoh dan penokohan. Tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.

Istilah

“tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap
pertanyaan: “siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “ada berapa orang jumlah pelaku
novel itu?”, atau “siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?”, dan
sebagainya (Nurgiyantoro, 2005: 165).
Sedangkan istilah penokohan di sini berarti cara pengarang menampilkan tokohtokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak,
tokoh-tokoh, dan

bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh itu

(Waluyo, 1994: 165). Dalam cerita fiksi tokoh terbagi dalam beberapa katagori, namun
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan.
Seperti disampaikan Sudjiman (1987: 19 via Waluyo, 1994: 167) berdasarkan peranan
tokoh dalam cerita, terdapat tokoh sentral dan tokoh bawahan atau tokoh utama dan
tokoh pembantu. Sedangkan berdasarkan pembangun konflik cerita, terdapat tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis termasuk tokoh
sentral.
Tokoh sentral atau tokoh utama adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita
rekaan. Cerita rekaan seperti novel, biasanya terdiri atas tokoh protagonis dan tokoh

7

antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya
cerita, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mengalami konflik dengan tokoh
protagonis. Kekuatan cerita rekaan biasanya terletak pada kekuatan konflik antar tokoh
protagonis dengan tokoh antagonis (Waluyo, 1994: 168).
Menurut Drimes (1975: 43-44 via Waluyo, 1994: 169), kehadiran tokoh bawahan
atau tokoh sampingan biasanya tidak begitu dominan di dalam suatu cerita. Meskipun
kehadirannya tidak dominan, kehadiran tokoh bawahan ini sangat diperlukan untuk
mendukung tokoh utama.
1.5.2 Teori Sosiologi Sastra
Sesuai dengan definisinya, sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya
sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya. Dengan demikian,
penelitian sosiologi sastra baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis
dilakukan dengan cara mendeskripsikan, mamahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya
sastra dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di
sekitarnya (Ratna, 2003: 25).
Damono (1979: 8) mengatakan, dalam hal isi, sebenarnya sisiologi dan sastra
berbagi masalah yang sama. Dengan demikian novel, Genre utama sastra dalam zaman
industri ini, dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial ini:
hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara, dan sebagainya.
Dalam pengertian dokumenter murni, jelas nampak bahwa novel berurusan dengan
struktur sosial, ekonomi, dan politik yang juga menjadi urusan sosiologi. Perbedan yang
ada di antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif,

8

sedang novel menyusup dan menembus permukaan kehidupan sosial serta menunjukkan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.
Sosiologi sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dalam
hubungannya dengan kenyataan sosial yang memberikan perhatian pada teks itu sendiri
(Hartoko & Rahmanto, 1986: 129). Sedangkan menurut Abrams (1981: 178, Via Taum,
1997: 47) istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para
kritikus dan ahli sejarah sastra terutama memperhatikan hubungan antara pengarang
dengan kelas sosialnya, status sosial dan idiologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya,
dan model pembaca yang ditinjaunya. Mereka memandang bahwa karya sastra baik
aspek isi maupun bentuknya, secara mutlak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan
sosial suatu periode tertentu.

1.5.2.1 Teori Kelas Menurut Karl Marx
Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan pada peranggapan bahwa pelaku
utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Marx melihat, bahwa keterasingan
manusia adalah hasil penindasan suatu kelas oleh kelas lainnya. Keterasingan sebagai
hasil dari penindasan akan berhenti melalui perjuangan kelas. Untuk keluar dari kondisi
ketertindasan kita harus memahami struktur-struktur kekuasaan serta potensi
pembebasan yang ada dalam sebuah masyarakat. Jadi analisis terhadap kelas-kelas sosial
masyarakat itu perlu, untuk mencari celah dan jalan keluar dari bentuk-bentuk
penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh kelas atas (Suseno, 2001: 110).

9

Kesulitan pertama yang langsung kita jumpai adalah bahwa, meskipun Marx
sering berbicara tentang kelas-kelas sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Seakan-akan arti kata itu sudah jelas dengan
sendirinya (Suseno, 2001: 111). Akan tetapi, dalam tulisan Marx terdapat juga indikasi
bahwa, pertentangan

kelas sosial merupakan gejala khas masyarkat paskafeodal,

sedangkan golongan sosial dalam masyarakat feodal dan kuno lebih tepat disebut
“kasta”. Dasar anggapan lain yang diutarakan Marx sebuah kelas baru dianggap kelas
dalam arti sebenarnya apabila dia bukan hanya “secara objektif” merupakan golongan
sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga “secara subjektif” menyadari diri
sebagai kelas, sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai
kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya. Dalam arti ini hanya
kelas buruh industri yang merupakan kelas dalam arti yang sebenarnya, dan, meskipun
kurang tajam, kaum borjuis pada akhir abad ke-20 juga kaum tani di negara industri
maju yang merupakan kelas sosial paling militan dalam masyarakat mereka (Suseno,
2001: 112).
Pelaku-pelaku utama di dalam perubahan sosial bukanlah individu-individu
tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Karena itu kita hanya dapat memahami sejarah
dengan segala perkembangan yang terjadi apabila kita memperhatikan kelas-kelas sosial
didalam masyarakat, Yang harus diperhatikan bukan hanya kelas macam apa yang
ditemukan, melainkan bagaimana struktur kekuasaan diantara mereka. Menurut Marx,
dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang menguasai dan yang dikuasai. Marx
berbicara tentang kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah (Suseno, 2001:13).

10

Dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas saling berhadapan, antara kelas buruh
dan kelas pemilik. Keduanya saling membutuhkan, buruh hanya dapat bekerja apabila
pemilik membuka tempat kerja baginya. Majikan akan mendapat untung apabila ada
buruh yang mengerjakan pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya; namun saling
ketergantungan itu tidak seimbang, karena buruh tidak dapat hidup kalau ia tidak
bekerja, sedangkan pemilik masih bisa bertahan hidup dari laba atau masih dapat
menjual pabriknya jika bangkrut. Dengan demikian kelas pemilik adalah kelas yang kuat
dan para pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat
bagi mereka yang mau bekerja, dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati-matian
mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan
oleh si kapitalis. Jadi, dalam hubungan produksi, yang berkuasa adalah para pemilik,
sedangkan yang dikuasai adalah para pekerja (Suseno, 2001: 114).
1.5.2.2 Kesadaran
Lahirnya kesadaran desebabkan oleh situasi sosial yang dihadapi dan dialami
oleh manusia. Kesadaran baru akan muncul setelah manusia berada pada situasi sosial
dan mengalaminya secara langsung. Situasi sosial yang dimaksud disini adalah cara
manusia berproduksi. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka,
tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka (Suseno,
2001: 138).
1.5.2.3 Aksi Massa (Demonstrasi)
Demonstrasi sepeti pemogokan, pemboikotan dan demonstrasi yang dilakukan
oleh massa dengan berbaris di sepanjang jalan raya, gedung rapat tempat pengambilan

11

keputusan atau di tempat umum lainnya dilakukan dengan maksud mengajukan protes
untuk memperkuat tuntutan politik dan ekonomi serta menunjukkan kepada musuh akan
besarnya kekuatan massa. Bila tuntutan benar-benar diteriakkan oleh massa, demonstrasi
dapat menjadi gelombang hebat, semakin lama semakin deras dan kuat, sehingga akan
meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa ( Tan
Malaka, 2000 :99).

1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis studi pustaka (library research). penelitian
terbatas pada pencarian atau penelusuran pustaka terhadap sumber-sumber dan literatur
yang terkait. Data yang terkumpul dicatat dengan sistem kartu. Kemudian diolah dan
dikelompokkan, selanjutnya dianalisis menggunakan teori struktural dan sosiologi sastra.
1.6.2 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme dan pendekatan sosiologi
sastra. Pendekatan strukturalisme merupakan pendekatan terhadap teks-teks (Hartoko,
1986: 136), sedangkan pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian yang besar
terhadap aspek dokumenter sastra; landasannya berangkat anggapan bahwa sastra
merupakan cermin dari zamannya. Pandangan ini mengangga bahwa karya sastra
merupakan

cermin

langsung

yang

menggambarkan

truktur

sosial,

kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain sebagainya (Damono, 1979: 9).

hubungan

12

1.6.3 Metode
Metode penelitian sastra adalah sebuah cara yang dipilih oleh peneliti, untuk
membantu memudahkan jalannya penelitian dengan mempertimbangkan bentuk, isi, dan
sifat sastra sebagai subyek kajian (Endraswara, 2003: 8).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini dalah metode deskriptif, yaitu
metode yang hanya terbatas pada usaha membahas data apa adanya (Sudaryanto, 1988:
26).
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi dua
hal, yaitu teknik simak dan teknik catat. Teknik simak diperggunakan peneliti untuk
menyimak teks sastra dan semua teori yang berhubungan dengan penelitian. Teknik catat
dipergunakan peneliti untuk mencatat hal-hal penting yang sesuai dengan ruang lingkup
penelitian. Teknik merupakan proses pengambilan data, sehingga data yang banyak
diambil mampu mewakili subyek penelitian dan memudahkan proses analisis pada
sebuah penelitian (Endraswara, 2006: 8).

1.7 Sumber Data
Sumber data yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah semua sumber tertulis
yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Sumber data yang
diperoleh dalam penelitian ini meliputi; buku, Jurnal, majalah sastra, esai, karangan
ilmiah akademis. Karena penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian sastra maka
sumber data primernya berupa karya sastra, yaitu novel dengan identitas sebagai berikut:

13

Judul novel

: Kabut dan Mimpi

Pengarang

: Budi Sardjono

Penerbit

: Labuh

Tahun Terbit

: 2005

Kota terbit

: Yogyakarta

Cetakan

: 1 (Pertama)

Tebal

: 190 halaman

1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari empat bab. Sistematika penyajian dalam penelitian ini
dirinci sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang berisi; latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, teori
struktural, tokoh dan penokohan, teori sosiologi sastra, teori kelas menurut Karl Marx,
metode penelitian, jenis penelitian, pendekatan, metode, teknik analisis data, sumber
data, sistematika penyajian. Bab II analisis unsur intrinsik dalam hal ini tokoh dan
penokohan novel Kabut Dan Mimpi karya Budi Sardjono. Bab III analisis perjuangan
kelas penambang pasir di Kali Boyong dalam novel Kabut Dan Mimpi karya Budi
Sardjono. Bab IV merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran.

BAB II
ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL KABUT DAN MIMPI

2.1 Pengantar
Dalam bab II ini, peneliti akan menganalisis unsur tokoh dan penokohan. Dalam
analisis tokoh pada novel Kabut dan Mimpi, peneliti menemukan tokoh utama dan tokoh
tambahan. Tokoh utama terdiri dari: tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Kardi
sebagai tokoh protagonis, Noto Kawignyo dan Pak Mandor sebagai tokoh antagonis.
Penemuan ini berdasarkan intensitas kemunculan tokoh dan kaitan konflik yang terjadi
selama jalannya cerita dalam novel Kabut dan Mimpi.
Sedangkan pada tokoh tambahan ditemukan tokoh-tokoh antara lain; Jamil, Nyai
Gadung Melati, Karsowiyono, Mbok, Darso, Darmi, Pak Bakri, Pak Jono, Pak Wangso,
Walji, Kus, Agus, Masron, Gantang, Kholik, Soleh, Munif, Arimbi, Gagak, Tante Santi,
dan Orang-orang Suruhan. Akan tetapi di dalam analisis ini peneliti tidak menganalisis
semua tokoh tambahan. Tokoh tambahan yang akan dianalisis hanya yang berkaitan
secara langsung dengan tokoh protagonis Kardi dan mempengaruhi perkembangan tokoh
utama protagonis, yaitu para mahasiswa dan Tante Santi. Para mahasiswa merupakan
tokoh yang memberikan penyadaran terhadap ketertindasan tokoh kardi dari
”cengkraman” Noto Kawignyo dan Pak Mandor. Sedangkan Tante Santi adalah orang
yang membantu kardi, dengan menyembunyikan Kardi di rumahnya saat dikejar-kejar
orang-orang suruhan Noto Kawignyo. Secara personal Tante Santi merupakan wanita

15

pertama yang mampu membuat Kardi jatuh cinta hingga melakukan hubungan lawan
jenis (seks).
Jadi tokoh yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah tokoh utama dan
tokoh tambahan. Pada tokoh utama Kardi sebagai tokoh Protagonis, Pak Mandor dan
Noto Kawignyo sebagai tokoh antagonis. Para mahasiswa (Gantang, Kholik, Soleh,
Munif, Arimbi) dan Tante Santi sebagai tokoh tambahan. Analisis tokoh tambahan yang
terdiri dari mahasiswa dan Tante Santi, perlu untuk dilakukan karena mereka memiliki
pengaruh yang kuat pada perkembangan tokoh utama protagonis.

2.2 Tokoh Utama Protagonis
2.2.1 Kardi
Kardi merupakan tokoh utama protagonis dalam novel Kabut dan Mimpi karya
Budi Sardjono. Hal ini didasari oleh banyaknya frekuensi kemunculannya serta
intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam cerita. Kardi hadir hampir di seluruh
jalannya cerita, dan dia memegang peran yang sangat dominan serta penting.
Secara fisik atau lahiriah Kardi digambarkan sebagai seorang pemuda yang kuat,
berbadan kekar serta berkulit hitam. Keadaan alam yang keras serta cuaca yang tak
menentu, justru membentuk tubuh para penambang pasir seperti Kardi, menjadi lebih
kuat menghadapi kerasnya alam. Itu juga yang memnyebabkan Kardi tidak mudah sakit.
Hal itu ditunjukkan pada kutipan (1) dan (2).
(1) Kardi tersenyum. Keduanya mirip dua onggok batu gunung di atas
tanggul kali. hujan yang menyiram tubuh keduanya seperti
menyiram batu gunung yang keras. Alam telah menempa tubuh

16

keduanya sampai berwarna hitam legam. Otot-otot disekujur tubuh
yang menonjol seperti kawat baja, itu bukti bahwa keduanya bekerja
sangat keras (hlm. 15).
(2) Sekali lagi lelaki itu menguap. Kepalanya terasa pusing. Angin
malam terasa semakin dingin menerpa tubuhnya. Angin itu tidak
akan mendatangkan penyakit bagi tubuhnya yang Cuma
mengenakan kaos singlet. Karena itu ia membiarkannya saja. Tidak
ada bedanya angin siang dan angin malam (hlm.32).
Dikeluarganya, Kardi digambarkan sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara.
Seperti umumnya anak bungsu pada masyarakat jawa, Kardi sangat disayang ibunya.
Kardi juga digambarkan sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, dan mirip
dengan Ibunya. Hal itu dapat terlihat pada kutipan (3).
(3) Entah kenapa, terhadap anak bungsunya itu batinnya seperti diikat
lebih erat dibanding dengan dua anaknya yang lain. Jika menatap
wajah Kardi, ia seperti menatap cermin. Wajah anaknya itu memang
mirip dengan dirinya. Wajah bulat telur, hidung agak mancung, dua
garis gigi rapi berjejer, dagu melebar dan di pelipis ada dua garis
otot tampak menonjol. Andaikata kulit anaknya itu tidak sehitam
sekarang. Garis otot itu tentu berwarna kebiru-biruan. Ia masih ingat
benar, kira-kira tiga puluh lima tahun yang lalu, saat berdandan dan
berkaca ia bisa melihat dua garis otot yang kebiru-biruan. Konon
banyak pemuda yang jatuh hati padanya setelah melihat dua garis
otot tersebut (hlm. 24).

Untuk masyarakat Jawa terutama yang hidup dan tinggal di kampung seperti
Kardi, Pemuda seusianya sudah sangat cukup umur untuk menikah. Kardi yang sudah
berumur dua puluh tiga tahun belum menikah, keadaannya itu sering dijadikan bahan
ejekan bagi temannya-temannya, karena dianggap tidak berani berhubungan dengan
wanita. Hal itu sering membuatnya gelisah dan berpikir karena belum bisa menikah
seperti teman-teman sebayanya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan (4) dan (5) .

17

(4) “Sudah sejak dulu yang namanya Kardi itu gendeng. Tapi belum
edan. Sebab masih bisa menghitung duit. Ha…ha….”
“Tapi tidak berani sama perempuan. Ha…ha….” Sahut Jamil
bercanda (hlm.12).
(5) Kardi mencoba tersenyum. Hari-hari terakhir ini hatinya memang
sering diamuk gelisah. Umurnya sudah dua puluh tiga tahun, secara
kasar orang sering mengatakan sudah mendekati seperempat abad.
Di dusunya ia sudah memperoleh predikat joko tuwo, atau bujang
lapuk karena belum berkeluarga. Dari pemuda seusianya, hanya dia
sendiri yang masih bujang (hlm.25).
Kardi sebagai anak, sangat sayang dan berbakti kepada orang tuanya terutama
kepada Ibunya. Rasa sayang dan baktinya itu terlihat pada sikapnya yang selalu menurut
dan memenuhi keinginan ibunya. sikap itu dilakukan supaya orang tuanya tidak marah
kepadanya, sebab dia sendiri tidak menghendaki Ibunya marah terutama kepadanya.
Terlihat pada kutipan (6).
(6) Selama hidup ia selalu berusaha menurut kehendak mbok-nya. Ia
tidak mau perempuan yang sangat mencintainya itu sampai marah
atau jengkel. Ia sangat hormat, meski tidak sampai menyembah atau
mencium kaki segala (hlm.37).
Secara fisik Kardi terlihat lebih tua untuk pemuda seusianya, hal itu disebabkan
karena dia bekerja sebagai kuli penambang pasir di Kali Boyong, terik matahari yang
dan hujan yang dihadapinya setiap hari membuat tubuhnya terlihat lebih tua dari usianya
yang sebenarnya. Ketika orang sebayanya memanggil Kardi dengan sebutan Mas, dia
tersinggung dan merasa malu, sebab dia sebenarnya masih muda. Terlihat pada kutipan
(7).
(7) Kardi benar-benar terpojok sekaligus agak tersinggung. Mereka
yang sebaya dirinya itu memanggil mas Kardi. Apakah saya sudah
nampak lebih tua dibanding Soleh dan Munif? (hlm.49).

18

Secara ekonomi keluarga Kardi digambarkan sangat miskin. Kemiskinan itulah
yang menyebabkan Kardi hanya lulus SMEA. Berbekal ijazah SMEAnya, dia mencoba
mencari pekerjaan formal namun dia tidak pernah mendapatkannya. Sudah empat tahun
dia menggunakan ijazahnya untuk mencari pekerjaan, namun usahanya itu belum
berhasil dan selalu gagal dalam tes. Untuk bekerja formal sebagai satpam sebenarnya dia
bisa, namun dia tidak mempunyai uang untuk ”menyuap” kepala keamanan pabrik. Hal
itu tergambar pada kutipan (8) dan (9).
(8) Dan selama ini, selama hampir empat tahun ia menawarkan ijazah
SMEA yang dimiliki, tak satu perusahaan pun melirik. Juga instansi
pemerintah. Pernah dua kali ia ikut mendaftar jadi pegawai negeri.
Dua kali gagal. Tak pernah lolos dari seleksi awal. Gagal dalam tes
tertulis. Dua temanya yang di terima harus merelakan sawah
warisan yang dimiliki pindah tangan alias dijual (hlm.25-26).
(9) Perempuan itu mengangguk-angguk. Dalam temaram cahaya lampu
minyak, ia bisa melihat wajah anak bungsunya itu. Wajah yang
beberapa hari terakhir ini tampak keruh. Meski berusaha ditutupi
dengan ketegaran. Hal itu terjadi setelah lamarannya untuk menjadi
satpam di sebuah pabrik mebel ditolak. Bukan karena tidak
memenuhi syarat, tetapi karena tidak mempunyai duit untuk
menyogok kepala keamanan pabrik itu. Dua juta rupiah agar bisa di
terima bekerja sebagai satpam. Dari mana duit sebanyak itu akan
diperoleh? (hlm.22-23).
Sebagai kuli penambang pasir Kardi sudah terbiasa berhadapan dengan bahaya
alam seperti longsor dan banjir lahar dingin, namun bahaya itu tetap harus dihadapi
setiap harinya, sebab hanya menambang pasir itulah pekerjaan yang dimilikinya
sekarang. Ketidakpedulian Kardi pada keselamatan kerja itu disebabkan kebutuhan
ekonomi yang selalu mendesak untuk dipenuhi, sehingga meski resiko kerja yang

19

dihadapi cukup besar dan sangat berbahaya dia tidak mempunyai pilihan lain untuk tidak
bekerja di penambangan itu. Ditunjukkan pada kutipan (10).
(10) “Ini peringatan terakhir. Saya minta untuk naik. Lihat di atas sana,
mendung tebal sekali. Bisa berbahaya. Sekali lagi, bisa bahaya!”
teriak Pak Mandor sambil memegang erat payungnya. “Bagaimana,
masih tetap bandel?”
“Kalau Pak Mandor mau pergi, silahkan. Cari tempat yang teduh.
Nanti masuk angin. Kalau kami sudah biasa begini,” jawab Kardi.
“Tapi bahaya, Di.”
“Itu urusanku. Kalau toh nanti diseret banjir dan modar, maka yang
modar kami. bukan Pak Mandor.”
“Oo, dasar Kardi gendeng!” (hlm.11-12).
Masa kanak-kanak adalah saat yang paling menyenangkan bagi kebanyakan
orang karena setiap hari bisa dihabiskan untuk bermain. Berbeda sekali dengan masa
kecil Kardi, sudah sejak kecil kardi mau tidak mau harus bekerja sebagai penambang
pasir. Pekerjaan itu harus dilakukannya untuk membiayai keperluan sekolah. Sejak kecil
Kardi sudah merasakan penderitaan dan kemiskinan sehingga masa kecilnya tidak cukup
menyenangkan baginya, sebab dia harus bekerja menambang pasir untuk biaya
sekolahya. Terlihat pada kutipan (11).
(11) Maka saat sekolah dulu, baginya itu sudah merupakan perjuangan
yang sangat berat. Sepulang dari sekolah ia langsung turun ke kali
boyong. Ikut menjadi kuli pengangkut pasir. Jika tidak mau bekerja
seperti itu, maka tak ada biaya untuk berbagai keperluan sekolah
(hlm.27-28).
Saat sekolah dulu, dia masih bisa merasakan senang karena di sekolah dia bisa
bercerita dan bercanda dengan teman-temannya. Sehingga dia bisa melupakan beban
atas pekerjaan yang selalu dikerjakannya sepulang sekolah. Dari teman-temannya di
sekolah itu juga dia bisa mendapatkan berita perkembangan situasi negara yang didapat

20

teman-temannya baik dari media cetak maupun elektronik. Di rumah dia tidak mungkin
bisa mendapatkan berita seperti taman-temannya. Hal terlihat pada kutipan (12).
(12) Ketika sekolah, irama hidupnya masih ada variasi. Pagi hari ia bisa
bercanda dengan teman-teman. Melupakan beban berat yang harus
dipikul sepulang sekolah. Dari teman-temannya ia bisa mendapat
kabar mengenai situasi negaranya. Teman-temannya itu
memperoleh kabar dari koran, majalah, televisi (hlm.31).
Kardi adalah seorang yang pendiam. Seperti orang kampung pada umumnya jika
berada di tengah orang yang lebih pintar, dia merasa minder. Tidak berani