Deskripsi masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta - USD Repository

  DESKRIPSI MASALAH-MASALAH YANG FREKUEN DIALAMI OLEH ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTIS INFANTIL DI SLB AUTIS CIPTA MULIA MANDIRI YOGYAKARTA

  Skripsi

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Bimbingan dan Konseling Oleh:

  MARIA MAGDALENA NIM: 011114002

  PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

  

ABSTRAK

DESKRIPSI MASALAH – MASALAH YANG FREKUEN DIALAMI OLEH

ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTIS INFANTIL

DI SLB AUTIS CIPTA MULIA MANDIRI

YOGYAKARTA

MARIA MAGDALENA

  Universitas Sanata Dharma 2006 Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil. Subjek penelitian ini adalah 32 orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.

  Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab semua permasalahan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah survei. Alat pengumpulan data adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti sendiri dalam bentuk skala Likert dengan kategori “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” dan “tidak mengalami”. Aspek yang diukur untuk memperoleh gambaran masalah adalah sikap internal yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif dan spiritual atau religius dan aspek eksternal yang berkaitan dengan lingkungan keluarga, sekolah dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Teknik pengolahan data adalah perhitungan frekuensi untuk kategori “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” dan “tidak mengalami”.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek internal, khususnya aspek kognitif: Pertama, orangtua sering berpikir bahwa gangguan perkembangan bicara, emosi/perasaan, perilaku, interaksi sosial yang dialami anaknya akan berubah begitu saja sehingga tidak perlu dilatih apalagi sampai ditangani terapis. Kedua, orangtua sering berpikir bahwa lingkungan sosial pasti mengabaikan kehidupan anaknya; anaknya pasti akan kehilangan masa depan. Ketiga, orangtua sering berpikir bahwa kemampuan sosialisasi anak tidak perlu dilatih melalui pergaulan dengan teman sebaya dan sosialisasi ke sekolah umum karena anaknya pasti tidak berkembang. Pada aspek afektif, orangtua sering memiliki reaksi-reaksi perasaan, seperti bosan menginformasikan perkembangan anaknya kepada orang serumah, malu mengakui keberadaan anaknya, bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anaknya, cemas dan takut terhadap masa depan anaknya. Pada aspek spiritual atau religius, orangtua sering menginginkan Tuhan segera mengabulkan permohonannya setiap kali berdoa, sering merasa sendiri dalam menanggung beban ini, sering mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anaknya, lebih sering memilih bekerja untuk

  

ABSTRACT

A DESCRIPTION OF FREQUENT PROBLEMS FACED BY PARENTS

WITH INFANTILE AUTISTIC CHILDREN IN CIPTA MULIA MANDIRI

AUTISTIC HANDICAP SCHOOL

YOGYAKARTA

MARIA MAGDALENA

  Sanata Dharma University Yogyakarta 2006 This research was aimed to describe the frequent problems faced by parents with infantile autistic children. The subjects of this study were 32 parents with infantile autistic children in Cipta Mulia Mandiri Autistic Handicap School Yogyakarta.

  This was a quantitative study, employed to answer all the problems in this research. Survey method was employed in the data gathering. The data gathering instrument employed was a questionnaire developed by the writer in a Likert- scale; categorized into “very often”, “often”, “sometimes”, and “never”. The aspects measured to get the description were internal attitude relating to cognitive, affective, and spiritual aspect, and external aspects from family, school, and other corresponding institutions. The study’s analysis technique was a frequency calculation for categories of “very often”, “often”, “sometimes”, and “never”.

  The result showed that in internal aspects, especially in cognitive aspect: first, parents often thought that the children’s development deficiency in speaking, emotion/feeling, attitude, and social interaction would be reduced in a sudden without any training or a therapist’s treatments; second, parents often thought that their social environment had abandoned their children’s lives and surely the children would lose their future; and third, parents often thought that the children’s skill to socialize needed no guidance through peer relations and socialization in normal school because the children surely wouldn’t developed. In affective aspects, parents often became sensitive e.g. get bored to inform the children’s development to their relatives, being ashamed to recognize the children’s existence, being confused in the rehabilitation attempts and being worried and afraid of the children’s future. In spiritual or religious aspects, parents often demanded God to grand their wishes every time they pray; parents often felt lonely in bearing the burden; they often ignored God’s helps for the children; and they were more often to choose to work to get money rather than joining religious activities. Furthermore in external aspects, parents often could not trust their relatives

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah yang Maha Kasih. Kasih yang mendasari seluruh kehidupan penulis secara khusus sepanjang penulisan skripsi.

  Allah telah membuka hati dan budi penulis untuk memahami dan mencintai kehidupan manusia termasuk orangtua yang mempunyai anak autis, anak autis itu sendiri dan siapa saja yang turut ambil bagian dalam kehidupan mereka. Penulis menyadari bahwa mengalami kasih Allah yang Agung dan penuh misteri ini tidak terlepas dari campur tangan dan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa materi, dukungan, masukan, kritikan dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulis menjadi semakin dekat dengan Allah, semakin setia dalam menjalankan tugas apa saja dan peka akan rencana Allah. Oleh karena itu pantaslah penulis haturkan limpah terima kasih kepada:

  1. Drs. Tarsisius Sarkim, M.Ed., Ph. D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

  2. Dr. M. M. Sri Hastuti, M. Si., selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling sekaligus sebagai pembimbing pertama yang telah membimbing penulis selama penulisan ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

  3. Drs. Y.B. Adimassana, M.A., selaku pembimbing kedua yang telah membimbing, memberikan semangat baru bagi penulis sehingga penulisan ini

  5. Ibu Eny Winarti, S.Pd., selaku Pimpinan SLB Autisme Cipta Mulia Mandiri yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

  6. Drs. Gendon Barus, yang telah membimbing, memberikan semangat serta masukan-masukan yang berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

  7. Suster M. Madeleine Y. PBHK selaku Provinsial PBHK Provinsi Indonesia dan Dewannya yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

  8. Sr. M. Christien S. PBHK selaku Supda PBHK Daerah Jawa dan Dewannya yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

  9. Sr. M. Immaculae S. PBHK yang selalu mengorbankan waktu dan tenaganya untuk membimbing, mendukung penulis dalam doa dan dukungan lainnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

  10. Sr. M. Gaudentia PBHK dan Para Suster PBHK Komunitas Deresan Yogyakarta yang mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orangtua yang mempunyai anak autis, lembaga-lembaga terkait yang menangani anak autis, dunia bimbingan dan konseling, para pemerhati orang-orang yang memiliki beban hidup, yang miskin dan

  DAFTAR ISI

  Halaman Judul …………………………………………………..…………………...i Halaman Persetujuan Pembimbing……………………………..…………………….ii Halaman Pengesahan…. ………………………………………….…….…………...iii Halaman Motto dan Persembahan …………………………………………..………iv Halaman Pernyataan Keaslian Karya ……………………………….………………..v Abstrak ……………………………………………………………………..……….vi

  Abstract ………………………………………..………………………………..…..vii

  Kata Pengantar ……………………………………………………………………..viii Daftar Isi …………………………………………………………………………......x Daftar Lampiran ………………………………………………………………......xiii

  BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………..…………………1 B. Perumusan Masalah ……………………………………………………....8 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….....8 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………..9 E. Definisi Operasional ………………………………………………..……10 BAB II : LANDASAN TEORI A. Gangguan Perkembangan Anak Autis

  1. Pengertian Autisme ……………………………………......…………11

  2. Karakteristik Autistik ……………………………………………..….12

  3. Faktor Penyebab Autisme ……………………………………..……..19

  4. Perkembangan Dini Anak Autis ……………………………………..24

  B. Bentuk-Bentuk Penanganan Anak Autis

  c. Terapi Medikatonis ……………………………………….……31

  d. Terapi Bermain……………………………….…………………31

  e. Terapi Sensori Integrasi…………………………………..……..32

  f. Terapi Terapi Snoezelen ………………………………………...33

  g. Terapi Musik……………………………………………..……..33

  h. Terapi Remedial……………………………….………………..34 i. Terapi Suntik Jarum Super………………………….…………..34 j. Terapi Kelasi………………………………………………..…...34 k. Terapi Air / Water Therapy …………………………….……….35

  2. Bentuk Penanganan Lain …………………………….…………....…36

  a. Program Inklusi…………………….…………………………...36

  b. Sekolah/Pendidikan Khusus……………………………….……37

  C. Permasalahan Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil

  1. Aspek Internal ………………………………….……………………38

  a. Aspek Kognitif ………………………………..……………..…...38

  b. Aspek Afektif ………………………………………………..…...41

  c. Aspek Spiritual atau Religius……... ……………………..………43

  2. Aspek Eksternal …………..……………………………………..…....46

  a. Lingkungan Keluarga ……………………………………..……...46

  b. Lembaga Terkait ………..………………………………..……....48

  3. Dampak Permasalahan Orangtua pada Aspek Psikomotorik atau Perilaku………………………………………………………….50 a. Depresi ……………………………………………..…………….51

  b. Kecemasan ……………………………………………..………...52

  c. Gejala Somatis ………………………………………………..….53

  d. Stress ………………………………………………………..……53

  BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

  BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

  1. Aspek Internal

  a. Aspek Kognitif …………………………………………….....…69

  b. Aspek Afektif ……………………………………………..…….74

  c. Aspek Spiritual atau Religius ……………...……………..……..75

  2. Aspek Eksternal Aspek Lingkungan Keluarga dan Lembaga Terkait ..…………..……76

  B. Pembahasan

  1. Aspek Internal

  a. Aspek Kognitif …………………………………………..………79

  b. Aspek Afektif …………………………………………..……….84

  c. Aspek Spiritual atau Religius…... ……………………..…………88

  2. Aspek Eksternal ………......………………………………..…………91

  a. Lingkungan Keluarga ……………………………..…………...…91

  b. Lembaga Terkait …………………………. ………..…….….…..93

  BAB V : PENUTUP A. Ringkasan Hasil Penelitian …………………………..………………….94 B. Kesimpulan…….………………………………..…..……………………96 C. Saran ……………………………………………..…………………..…..96 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..………………...……103 LAMPIRAN ……………………………......……………………………..…106-124

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Ijin Uji Coba Alat dan Surat Keterangan telah

  Uji Coba Alat Lampiran 2 : Ijin Penelitian dan Surat Keterangan telah Meneliti Lampiran 3 : Analisis Kesahihan Butir Lampiran 4 : Hasil Penghitungan Uji Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 5 : Kuesioner Penelitian Lampiran 6 : Tabulasi Data Penelitian dan Pengelompokkan Aspek Masalah

  Hasil Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini gangguan autis menjadi fenomena karena makin banyak anak-anak

  yang mengalaminya. Kalau dulu pada tahun 1970-an anak-anak yang mengalami gangguan autis hanya 1: 10.000 kelahiran, kini tercatat 1:150 kelahiran. Sebuah peningkatan yang sangat mencolok (Kompas, Sabtu 16 April 2005).

  Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2005, sekitar 1,5 juta anak Indonesia menderita autisme. Namun kerena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar 50.000 anak autis yang mengenyam pendidikan khusus. Oleh karena itu pemerintah menggalakkan model pendidikan inklusif, dimana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus, bersama dengan siswa pada umumnya (Kompas, 2 Maret 2005).

  Budhiman dkk (2002) mengungkapkan bahwa berdasarkan data bulan September tahun 2002, sudah ada lembaga yang menangani anak autis. Lembaga yang dimaksud telah berdiri di beberapa kota besar seperti: Jakarta Selatan (15 sekolah khusus), Jakarta Pusat (2 sekolah khusus), Jakarta Timur (5 sekolah khusus), Jakarta Barat (7 sekolah khusus), Jakarta Utara (1 sekolah khusus), Depok (3 sekolah khusus), Tangerang (6 sekolah khusus), Bekasi (9 sekolah khusus). Adapun sekolah- sekolah khusus Autis, tersebar di sepuluh kota di Indonesia, dan pusat terapi luar terapi), Sumatera (11 pusat terapi), Kalimantan (2 pusat terapi), Sulawesi (1 pusat terapi). Lembaga-lembaga ini, ada yang bergerak di bidang terapi perilaku, ada yang telah sampai pada pengelolaan sekolah khusus autis. Di setiap lembaga mempunyai jumlah penyandang autisme yang tidak sama.

  Menurut Yasin, Pimpinan Lembaga Bimbingan Autisme Bina Anggita Yogyakarta (Kompas, 31 Maret 2005), di D.I. Yogyakarta, ada ratusan anak penyandang autisme. Namun, baru sekitar 45 persen (45%) saja yang tertampung dalam lembaga yang khusus menangani autisme. Demikian pula jumlah profesional yang mendalami bidang autisme tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penyandang autisme, dan lembaga yang menanganinya. Realita ini menuntut orangtua mampu menghadapi anak-anaknya, yang terlahir dengan gangguan pertumbuhan kompleks. Berbagai mass media, menjelaskan bahwa autisme adalah gangguan yang dialami oleh anak dalam hal berinteraksi, berkomunikasi dengan orang lain, dan gangguan imajinasi. Gangguan tersebut disebut autisme. Mengenai istilah autisme itu sendiri baru diperkenalkan sejak tahun 1934 oleh Leo Kener (Handoyo, 2003).

  Handoyo (2003) mengemukakan bahwa penyandang autisme mempunyai karakteristik antara lain: selektif berlebihan terhadap rangsang, kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru, respon stimulasi diri sehingga mengganggu integritas sosial, ekspresi wajah yang datar, tidak menggunakan isyarat tubuh, jarang tampak tidak mengerti arti kata, tak ada hubungan dengan orang lain, tidak ada kontak mata, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, permainan diulang-ulang, marah/tak menghendaki perubahan-perubahan, kadang seperti tuli, panik terhadap suara-suara tertentu, bermain-main dengan cahaya/pantulan, memainkan jari-jari di depan mata, menarik diri ketika disentuh, sangat tidak suka terhadap pakaian/makanan, sangat hiperaktif, berputar-putar, membentur-bentur kepala, menggigit pergelangan, melompat-lompat, mengepak-ngepakkan tangan, dan lain- lain.

  Gangguan autisme ini dialami oleh anak karena adanya faktor penyebab yang sangat kompleks, yaitu faktor genetika dan lingkungan sosial (Kompas 2 Maret 2005). Handoyo (2003) menjelaskan bahwa gangguan autisme disebabkan oleh kelainan pada otak anak autis, infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, akibat polusi udara, pembentukan organ-organ pada usia kehamilan. Budhiman, dkk (2002) menjelaskan bahwa autisme disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem pencernaan. Indikasi ini dapat dijelaskan dengan contoh kisah nyata yaitu: pada tahun 1997, seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Ternyata ia kekurangan enzim sekretin.

  Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar biasa. Selain itu ditemukan pula adanya peradangan usus pada sebagian besar anak.

  Dr. Andrew Wakefield ahli pencernaan gastro entereolog asal Inggris, menduga

  Gangguan autisme pada anak ternyata bisa hilang dan dapat sembuh bahkan setelah dewasa mereka mampu berfungsi layaknya orang dewasa normal, padahal mereka hampir tidak menerima intervensi atau dukungan terarah dan khusus bagi mereka. Indikasi ini dapat terlihat dari penelitian awal Kenner tahun 1943 bahwa sekitar 11-12 persen (11-12%) anak menunjukkan indikasi tersebut. Temuan ini membesarkan harapan, bahwa dengan intervensi dan edukasi khusus, jumlah penyandang autisme yang mampu berfungsi normal di dalam masyarakat dapat terus bertambah jumlahnya. Penelitian sebelum tahun 1980-an di AS mengungkapkan, bahwa separuh dari mereka yang terdiagnosis autis pada masa kecilnya harus melewatkan hidupnya di rumah sakit, sebagian kecil tetap dirawat di rumahnya masing-maing, dan hanya sekitar lima persen (5%) yang mampu memperoleh pekerjaan yang layak. Sebaliknya penelitian-penelitian setelah tahun 1980 di AS membeberkan hasil yang jauh lebih optimis. Penyandang autisme yang harus melewatkan hidupnya di rumah sakit turun sampai sekitar 5 persen (5%). Sedangkan mereka yang memperoleh pekerjaan, naik sampai sekitar 20 persen (20%). Sisanya yang merupakan jumlah mayoritas memperoleh perawatan di rumah masing-masing.

  Indikasi ini terlihat dalam contoh sebuah kisah nyata Kolby, seorang penyandang autisme dinyatakan sembuh setelah menjalani serangkaian terapi intensif (Majalah

  Nakita “ menangani anak autis , edisi Februari 2002).

  Menurut pengalaman dan studi Prof. Dr. Ivar O. Lovaas (Handoyo, 2003), ada adalah mereka yang skor IQ-nya berada dalam rentang normal. Selain itu kemampuan komunikasi sederhana yang ditunjukkan saat berusia 5-6 tahun, juga sangat membantu anak dalam proses perkembangan di tahap-tahap berikutnya. Anak autis yang memiliki ketrampilan atau minat khusus yang secara sosial bisa diterima, misalnya ketrampilan matematika dan musik, umumnya juga memiliki kesempatan lebih besar bisa berfungsi secara lebih baik dalam lingkungannya (Majalah

  

Nakita”menangani anak autis” , edisi Februari 2002). Kompas, Sabtu, 16 April 2005,

  mengisahkan bahwa Oscar Yura Dompas seorang penyandang autisme yang berdomisili di Pondok Pinang, Jakarta Selatan ini bisa berhasil. Ia dapat menemukan nilai-nilai dalam hidupnya, mengembangkan bakat yang ia miliki dan mengasah ketrampilan yang ia miliki entah motorik, intelektual dan spiritualnya. Jadi menjadi autis tidak berarti menjadi bukan manusia. Anak autis juga menemukan nilai-nilai dan makna hidupnya seperti biasanya anak normal.

  Mengingat semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang terkena autis maka peranan orangtua dan keluarga serta pihak-pihak terkait sangat penting dalam menangani anak-anaknya. Pengalaman beberapa ahli autis di Jakarta, orangtua yang ikut melaksanakan terapi secara intensif terhadap anaknya, akan memperoleh hasil yang memuaskan. Anak-anak menunjukkan kemajuan sangat pesat. Hal ini berarti gangguan autis pada anak bisa sembuh apabila ditangani secara intensif dari berbagai pihak terutama dari pihak orangtua dan dokter yang khusus menangani anak autis. menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua anak autis selalu mempertanyakan bagaimana kemungkinan sembuh bagi anaknya, masa depan anaknya, apakah mungkin mereka dapat mencari sumber penghidupannya sendiri, apakah mungkin mereka menikah. Selain itu orangtua mengalami kandala masalah-masalah sehubungan dengan penanganan terhadap gangguan autisme pada anak dan kurangnya dukungan dari keluarga atau orang serumah.

  Marijani (2003) mengemukakan bahwa banyak kasus yang ditemukan dalam diri orangtua anak autis. Kebanyakan orangtua mengalami gangguan kognitif, afektif, gangguan spiritual. Realita ini kadang mempengaruhi tugas-tugas lain yang harus dijalankan. Budhiman (2002) mengungkapkan bahwa reaksi-reaksi yang timbul pada diri orangtua ketika mengetahui anaknya positif menyandang autis sangat beragam, seperti menolak keadaan, pingsan, shock, menangis, sedih, kecewa, penyangkalan dan merasa tidak percaya, perasaan bersalah dan berdosa . Reaksi perasaan ini muncul karena mereka beranggapan bahwa hidup mereka tidak lagi berguna. Dalam hal pekerjaan, orangtua yang tadinya sudah mapan bekerja dan telah mempunyai ikatan dinas, mengalami konflik dalam hal pengambilan keputusan, apakah memilih berhenti bekerja atau meneruskannya. Safaria (2005) meneguhkan bahwa reaksi perasaan orangtua anak autis sangat dipengaruhi oleh pandangan- pandangan orangtua. Pandangan-pandangan orangtua sangat mempengaruhi bagaimana mereka bertindak, bereaksi dan mengambil keputusan-keputusan penting

  Sudaryati dalam seminar sehari tentang pemahaman dan penerimaan

  

orangtua terhadap penyandang autis, Juni 2005, menjelaskan bahwa penyandang

  autis dan orangtuanya sering kali mengalami masalah penerimaan dan pemahaman sosial baik dari pihak masyarakat umum, guru, sekolah/pusat terapi dan pemerintah.

  

Kompas, 16 April 2005 memaparkan bahwa pihak sosial kurang memahami

  peranannya/sumbangannya bagi anak penyandang autis dan orangtuanya. Hambatan lain yang dialami oleh orangtua yang anaknya autis adalah biaya terapi yang tinggi, sulit ditemukan terapis yang profesional, antara orangtua dan dokter kurang komunikasi, orangtua kurang selektif memasukan anaknya ke sekolah reguler, dan orangtua sulit mengajarkan anak-anaknya untuk dapat menerima dirinya (Handoyo, 2003).

  Winkel dan Sri Hastuti (2004), mengungkapkan bahwa keluarga dari waktu ke waktu dihadapkan pada berbagai permasalahan yang berat yang harus di pecahkan secara tuntas. Pembinaan kehidupan berkeluarga yang holistik dalam situasi krisis multidimensi perlu diarahkan pada pengharapan akan kematangan kepribadian mereka dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Orangtua yang mempunyai anak autis perlu didampingi agar dapat mengatasi seluruh permasalahan hidupnya dengan menekankan aspek psikologis dan pedagogis melalui pendekatan kognitif, afektif, spiritual atau religius dan ketrampilan/skill. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Pendampingan terhadap orangtua yang menyeimbangkan keluarga dan lingkungan sosial, bagaimana spiritualitas mencerahkan kehidupan orangtua, bagaimana memelihara kesehatan fisik, bagaimana membimbing anak dengan gangguan autis dan bagaimana orangtua hidup secara bermakna. Pendampingan tersebut dapat dilaksanakan oleh sekolah atau lembaga autisme yang membimbing anak dengan gangguan autisme dalam hal ini SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta. Bentuk-bentuk penanganan/bantuan dapat bersumber dari masukan-masukan atau rekomendasi dari hasil penelitian tentang masalah yang dialami oleh orangtua yang bersangkutan.

  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti terdorong untuk mengetahui masalah-masalah yang secara frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.

  B. Perumusan Masalah

  Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: Masalah-masalah manakah yang secara frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta?

  C. Tujuan Penelitian

  Mengetahui masalah-masalah yang secara frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil dan faktor-faktor yang menyebabkannya.

D. Manfaat Penelitian

  1. Bagi Subjek: hasil penelitian ini memotivasi subjek dalam mengembangkan kepribadian sebagai seorang konselor yang profesional dalam menghadapi segala situasi, mencintai semua makluk ciptaan Tuhan, anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental termasuk anak-anak autis, mengerti dan memahami orang lain termasuk orangtua yang mempunyai anak autis, semakin memahami dunia autisme dan membangun sikap hati yang peka terhadap orang yang memiliki beban hidup, yang miskin dan menderita.

  2. Bagi kongregasi: menjadi sumbangan bagi kongregasi PBHK dalam meningkatkan pemahamannya tentang masalah-masalah yang dialami oleh orangtua yang anaknya autis, peranan orangtua dan seluk beluk autisme, bentuk- bentuk bimbingan dan pendampingan yang relevan, memotivasi setiap suster untuk meningkatkan kemampuan berempati dan melakukan sesuatu yang berarti terhadap orang-orang yang memiliki beban hidup, menyikapi tanda-tanda jaman yang nyata dalam peristiwa/kejadian di luar tembok biara sebagai wujud dari penghayatan spiritualitas tarekat.

  3. Bagi orangtua anak autis: hasil penelitian ini menjadi sumbangan untuk mengatasi hambatan dari dalam diri dan dari luar dirinya.

  4. Bagi SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta: hasil penelitian ini menjadi pendorong bagi mereka untuk terus menerus mengembangkan bakat/ketrampilan, untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan orangtua dan anak yang perlu mendapat perhatian khusus.

E. Definisi Operasional

  1. Autisme adalah suatu paham/aliran tentang individu yang tertarik pada dunianya sendiri. Ketertarikan pada dirinya sendiri berupa kecenderungan pikiran-pikiran dan persepsi seseorang terhadap obyek yang tidak nyata karena objek tersebut berada di alam fantasi dan khayalan individu tersebut.

  2. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, emosi, perilaku dan aktivitas imjinasi.

  3. Autis infantil adalah suatu gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi pada kanak-kanak, yang ditandai oleh sifat suka menyendiri secara total (menyeluruh dan dini sifatnya).

  4. Tingkat frekuensi adalah tingkat keseringan dengan gradasi mulai dari sangat sering, sering, kadang-kadang dan tidak mengalami.

  5. SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta merupakan institusi pendidikan bagi anak-anak autis yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses pengajaran dan pendampingan.

BAB II LANDASAN TEORI Terdapat pokok-pokok yang perlu diuraikan sebagai dasar berpijak pembicaraan

  objek penelitian. Pokok-pokok tersebut adalah autisme dan gangguan perkembangan anak autis, penanganan dan permasalahan orangtua yang mempunyai anak autis infantil.

A. Gangguan Perkembangan Anak Autis

  1. Pengertian autisme Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan pada tahun 1934 oleh Leo Kenner ( Handojo, 2003). Lukas Adi Prasetyo dalam karangannya berjudul ”Penyandang Autisme perlu Penerimaan Masyarakat”, menjelaskan bahwa autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi (Kompas, 31 Maret 2005). Keadaan ini menyebabkan penyandang autis seakan hidup di dunianya sendiri (Handojo, 2003). Menurut Danuatmaja (2003), autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, emosi, perilaku dan aktivitas imjinasi.

  Psychiatric association (APA, 1994) mendefinisikan bahwa penyandang autisme

  adalah mereka yang mengalami gangguan kualitatif dalam hal interaksi sosial, komunikasi, pola minat perilaku (Peters, 2004). Kartono dan Gulo (2000) menjelaskan bahwa autisme adalah kecenderungan pikiran-pikiran dan persepsi- persepsi seseorang yang dipengaruhi oleh hasrat dan keinginannya dalam fantasi dan khayalan-khayalan, dimana kenyataan obyektif tidak terlihat karena adanya kecenderungan melihat dunia secara subjektif.

  Gangguan perkembangan tersebut juga ditandai oleh sifat suka menyendiri secara total (baik dalam tahap usia anak atau menunjukkan kekanak- kanakan dan dini sifatnya) yang merupakan suatu dunia batin yang terkurung dan menolak segala macam usaha pendekatan yang disebut dengan autis infantil (Kartono & Gulo, 2000).

  2. Karakteristik Autistik Handojo (2003) menjelaskan bahwa penyandang autisme mempunyai karakteristik antara lain: a. Selektif yang berlebihan terhadap rangsang.

  b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru.

  c. Respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial.

  d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement) khususnya imbalan dari stimulasi diri. Anak merasa mendapat imbalan berupa hasil penginderaan e. Bahasa/komunikasi: ekspresi wajah yang datar, tidak menggunakan bahasa/isyarat tubuh, jarang memulai berkomunikasi, tidak meniru aksi atau suara, bicara sedikit atau tak ada, atau mungkin cukup verbal, mengulangi atau membeo kata-kata, kalimat-kalimat atau nyanyian, intonasi/ritme vokal yang aneh, tampak tidak mengerti arti kata, menggunakan kata secara terbatas dan harafiah.

  f. Hubungan dengan orang lain kurang responsif, tak ada senyum sosial, kontak mata terbatas, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, tidak melakukan permainan giliran, menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat.

  g. Hubungan dengan lingkungan: bermain repetitif (diulang-ulang), marah atau tidak mengehendaki perubahan-perubahan, berkembangnya ritunitas yang kaku dan memperlihatkan ketertarikan yang fleksibel.

  h. Sangat hiperaktif, membentur kepala, menggigit pergelangan, melompat- lompat atau mengepak-ngepakkan tangan, tahan atau merespon aneh terhadap nyeri. i. Mengalami kesenjangan perilaku: kemampuan mungkin sangat baik atau terlambat, mempelajari ketrampilan di luar urutan normal, misalnya: membaca tetapi tidak mengerti arti, menggambar secara rinci, tidak dapat mengancing baju, pintar mengerjakan puzzle, amat sukar mengikuti perintah, berjalan pada usia normal tetapi tidak berkomunikasi secara lancar, membeo

  Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa gangguan autisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut: penderita senang menyendiri dan bersikap lebih dingin sejak kecil/bayi, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, tidak menyukai stimulasi pendengaran, senang melakukan stimulasi diri, memukul mukul kepala, atau gerakan aneh lainya, memanipulasi objek, sulit menangkap atau memahami makna, sangat tertarik dan mengembangkan ikatan yang sangat kuat dengan objek-objek yang lazim. Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi (www.

  

Dikdasmen. Depdiknat.go.id) Hal ini sangat terlihat pada karakteristik

  sebagai berikut:

  a. Komunikasi 1) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

  2) Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tetapi kemudian sirna.

  3) Kata-kata yang digunakan kadang-kadang tidak sesuai artinya. 4) Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.

  5) Senang meniru atau membeo (echolalia). 6) Bila senang meniru, dapat menghafal kata-kata atau nyanyian tersebut

  7) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.

  b. Interaksi sosial 1) Penyandang autis lebih suka menyendiri.

  2) Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan. 3) Tidak tertarik untuk bermain bersama teman. 4) Bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh.

  c. Gangguan sensoris 1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.

  2) Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga. 3) Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda. 4) Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

  d. Pola bermain 1) Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.

  2) Tidak suka bermain dengan anak sebayanya. 3) Tidak kreatif dan tidak imajinatif. 4) Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar.

  5) Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda. e. Perilaku 1) Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).

  2) Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang.

  3) Tidak suka pada perubahan. 4) Dapat duduk bengong dengan tatapan kosong.

  f. Emosi 1) Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa dan menangis tanpa alasan.

  2) Temperamen tantrum (mengamuk tanpa terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.

  3) Kadang suka menyerang dan merusak. 4) Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri. 5) Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain. Puspita (2005) menjelaskan bahwa anak autis memiliki karakteristik dalam memproses informasi.

  a. Visual thinking Anak lebih mudah memahami hal konkret (dapat dilihat dan menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat dari pada proses berpikir verbal; akibatnya mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi dari pada berpikir secara logis menggunakan logika.

  b. Processing problem Anak autis mengalami kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami common sense atau menggunakan akal sehat/nalar. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkai intruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut di atas tampak konsisten dengan kecenderungan autis yang lebih mudah berpikir secara visual.

  c. Sensory sensitivities Perkembangan yang kurang optimal pada sistem neurobiologis individu autis juga mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak autis: 1) sound sensitivity: anak sangat takut pada suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Pola

  2) Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan keras. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makanan dan pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat diartikan sebagai hukuman yang menyakitkan.

  3) Rhytm difficulties: anak sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan saat untuk masuk percakapan. Hal itu menyebabkan banyak individu autis terus-menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang sering kali dianggap oleh lingkungan sebagai anak yang tidak sopan.

d. Communications frustration

  Gangguan perkembangan bahasa yang terjadi pada individu autis membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain, apabila orang lain berbicara langsung kepada mereka. Hal ini menyebabkan mereka seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap. Mereka merasa percakapan itu tidak ditujukan kepada mereka. Individu autis juga sulit mengungkapkan diri, sehingga selalu berteriak atau berperilaku negatif agar mendapatkan apa yang mereka inginkan. e. Social and emotional issues Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu autis cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu autis sulit beradaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. Pada umumnya individu autis tidak pernah membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda-beda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat abstrak sehingga banyak yang sulit berempati bila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan. Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu autis yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun, sehingga penanganan juga tidak bisa disamakan. Paham individual differences sangat ditekankan sehingga orangtua atau pembimbing tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.

  3. Faktor-faktor Penyebab Autisme

  a. Gangguan susunan saraf pusat Handoyo (2003) menjelaskan bahwa otak anak autis mempunyai suatu kelainan. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kelainan neuro-anatomis. Penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara, menemukan beberapa fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada

  (43%) penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus patietalis otaknya yang menyebabkan anak acuh tak acuh terhadap lingkungannya.

  Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan ke VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian) juga didapatkan sel purkinje di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine. Akibatnya terjadi gangguan atau kekacauan lalu-lalang impuls di otaknya.

  Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut hippocampus dan amigdala. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi, anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali berperilaku agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggungjawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan takut. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat, maka terjadilah kesulitan menyimpan informasi baru, perilaku yang diulang-ulang, dan aneh.

  Hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus.

  Danuatmaja (2004) menjelaskan bahwa pada bagian otak anak autis ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa tempat di dalam otak anak autis. Banyak anak autis mengalami

  (kecemerlangan warna-warna) sangat kurang. Akibat produksi serotonin (suatu neurotransmitter yang terdapat dalam sistem saraf sentral) berkurang menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu.

  b. Gangguan sistem pencernaan Hal ini terlihat dari seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini memicu penelitian-penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme pencernaan ( www.dikdasmen.depdiknat.go.id )