BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja - DENI PERDANA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja Keberhasilan suatu organisasi baik besar maupun kecil bukan

  semata-mata ditentukan oleh sumber daya alam yang tersedia, akan tetapi banyak ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang berperan merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan organisasi (Manullang, 2005). Manajemen sumber daya manusia yang dilaksanakan dengan baik akan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam usaha mencapai sasaran organisasi atau perusahaan (Triton, 2005).

  Setiap organisasi yag selalu ingin maju, akan melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap organisasi harus memiliki etos kerja. Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu.

  Etos kerja berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak hanya dimiliki individu tetapi juga dimiliki oleh masyarakat.

  Menurut Tasmara (1995), etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta cara memandang, mengekspresikan, meyakini dan memberikan makna pada suatu yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance). Sedangkan menurut Anoraga dan Suryanti (2001) etos kerja diartikan sebagai pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja.

  Etos kerja menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus mendefinisikan kerja sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yng imperatif dari diri maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang bersifat sakral. Identitas diri yang terkadung dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius (agama).

  Berpijak pada pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka etos kerja memiliki unsur penilaian individu, dan dapat ditegaskan bahwa etos kerja dapat memberikan penilaian terhadap kinerja karyawan.

  Menurut Anoraga (2001) etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.

  Dalam situs resmi kementerian KUKM, etos kerja diartikan sebagai sikap mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada Webster's Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai;

  

Earnestness or fervor in working , morale with regard to the tasks at hand;

  kesungguhan atau semangat dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Dari rumusan ini kita dapat melihat bagaimana etos kerja dipandang dari sisi praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya peningkatan produktivitas.

  Dalam rumusan Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas.

  Itulah yang akan menjadi etos kerja dan budaya. Sinamo (2005) memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses sejati dan otentik.

  Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.

2. Aspek-aspek etos kerja

  Seseorang dalam bekerja melibatkan kemampuan yang dimilikinya, serta diperngaruhi oleh nilai-nilai harapan, dan nilai-nilai yang berbeda, oleh karena itu antara satu orang dengan orang yang lain akan menunjukan menunjukan cara kerja yang berbeda-beda. Seseorang yang yang memiliki etos tinggi diasumsikan memiliki kecerdasan spiritual yang lebih baik daripada seseorang dengan etos kerja rendah. Tinggi rendahnya etos kerja dapat diketahui dengan berbagai indikator.

  Menurut Moehadjir (2000) etos kerja yang tinggi akan nampak dalam bentuk seperti kerja dengan rasa puas, tidak mudah lesu, saling membantu, kerja tambahan dikerjakan tanpa mengeluh, kekurangan alat dan biaya serta keahlian diterima dengan penuh perhatian, sebaliknya seseorang dengan etos kerja rendah diasumsikan akan mudah putus asa dalam bekerja, kurang disiplin, cepat mengeluh dan tidak bekerjasama.

  Mustansyir (1993) mengutip pendapat Myrdal tentang tiga belas aspek manusia industri, antara lain : a. Efisien

  b. Ketekunan atau kerajinan

  c. Keteraturan

  d. Ketepatan waktu

  e. Kejujuran

  f. Sederhana

  g. Rasional dalam mengambil keputusan

  h. Kegesitan dalam memanfaatkan waktu dan kesempatan- kesempatan yang muncul i. Pandai memanfaatkan peluang dalam menghadapi perubahan dunia j. Melaksankan usaha secara energik k. Integritas dan percaya pada diri sendiri l. Sikap menjalin kerjasama m. Mau memandang jauh ke depan Cherington (Hadipranata, 2000) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja seseorang dapat dilihat dari tiga indikator, antara lain: a. Kerja sebagai kewajiban moral dan religius untuk mengisi kehidupannya.

  Setiap orang memiliki penilaian dan pandangan yang berbeda tentang kerja. Ada sebagian orang yang bekerja hanya didasarkan pada keinginan untuk memenuhi kenutuhan hidupnya, namun ada juga sebagian orang yang mempunyai pandangan bahwa bekerja merupakan bentuk kepatuha terhadap Tuhan atau kewajibannya. Dasar berpijak yang dimiliki oleh seseorang ini sangat mempengaruhi penampakan (performance) seseorang dalam bekerja. Pekerjaan yang dilakukan dengan dilandasi oleh pertimbangan moral merupakan pekerjaan bermoral. Menurut Dhurkheim (Cheppy, 1988)pekerjaan bermoral mempunyai tiga komponen pokok :

  1) Menghargai kedisiplinan 2) Dapat menempatkan diri dalam kelompok maupun masyarakat 3) Mengetahui alasan tertentu akan perbuatan atau tingkah lakunya

  Lebih lanjut ketiga komponen tersebut merupakan kualitas- kualitas yang sejalan dengan kehidupan pada lingkungan kerjanya maupun pribadinya. Ketiga komponentersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain, namun secara bersama- sama mewujudkan keseimbangan yang baik anatara pekerja dengan lingkungan sosial kerja. Jadi dengan kata lain pekerja yang menganggap bekerja sebagai kewajiban moral akan menurut cara yang merefleksikan kesan yang secara konsisten, sadar dan bahagia dalam ntindakan-tindakannya.

  Cheepy (1988) yang mengutip pendapat Wilson mengatakan bahwa ang dimaksud bertindak secara moral adalah : 1) Berdasarkan suatu penalaran dan mengkaitkan dengan kepentingan orang lain 2) Konsisten dengan logikanya 3) Mengetahui fakta dan bersedia menghadapinya 4) Menerapkan semua keterampilan yang diwujudkan dalm tindakan dan tingkah laku.

  Konsep kerja menurut Cherington (Kustono, 2001) didasarkan atas pendapat bahwa orang hidup harus bekerja, memberikan layanan pada masyarakat atau orang lain. Seseorang percaya bahwa bekerja merupakan hukum alam, sehingga setiap orang harus bekerja agar bisa bertahan hidup. Selain itu seseorang yang bekerja bertujuan mengarahkan hidupnya agar mempunyai martabat, lebih dihargai dan berguna bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Dengan demikian seseorang yang menganggap bekerja sebagai kewajiban moral akan selalu berusaha memenuhikwajibannya dalam bekerja.

  Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, seseorang yang menganggap kerja sebagai kewajiban moral tidak hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun lebih jauh mereka bekerja unutk menunjukan ketaatan atasa hukum alam. Dengan demikian seseorang yang menganggap kerja sebagai kewajiban moral akan bekerja secara sungguh-sungguh bukan semata-mata mencari harta kekayaan, melainkan untuk mengisi hidupnya agar lebih berarti baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

  b. Disiplin kerja tinggi Disiplin merupakan sikap kejiwaan seseorang atau sekelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Ravianto, 1986). Lebih lanjut dijelasakan bahwa disiplin adalah kesadaran diri untuk mentaati nilai, norma dan aturan yang berlaku dalam lingkungannya. Berkaintan dengan pekerjaan, disiplin kerja adalah ketaatan melaksanakan aturan-aturan yang diwajibkan oleh pihak manajemen agarsetiap karyawan dapat melaksanakan pekerjaan dengan tertib. Aturan-aturan tersebut dapat berupa aturan-aturan tertulis yang disepakati bersama, atau berupa aturan-aturan tak tertulis yang merupakan kesepakatan bersama.

  Seseorang memiliki disiplin kerja yang tinggi akan senantiasa patuh pada peraturan-peraturan yang ada, baik tertulis maupun tak tertulis. Kepatuhan itu bisa berujud kepatuhan terhadap jam kerja dan kepatuhan terhadap prosedur kerja. Seseorang dengan etos kerja tinggi cenderung lebih disiplin dibandingkan dengan seseorang dengan etos kerja yang rendah. Hal ini disebabkan karena mereka merasa kurnag efektif kalau tidak menepati aturan yang ada. Keyakinan akan pentingnya disiplin kerja ini akan membuat mereka lebih lama bertahan dalam bekerja, sehingga mereka akan lebih produktif.

  Kedisiplinan berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dipegang seseorang. Meskipun sifat dari nilai adalah relatif menetap dalam diri seseorang, namun dengan menciptakan iklim kerja yang baik tidak menutup kemungkinan seseorang berubah taraf kedisiplinannya.

  c. Rasa bangga atas hasil karyanya Perasaan biasanya ditafsirkan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif karena lebih banyak dipengaruhi keadaan dalam diri seseorang dan berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan berbagai taraf. Menurut Wilson yang dikutip oleh Suryabrata (1982) bahwa timbulnya hal-hal yang idak menyenagkan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang asalanya bisa berasal dari dalam atau luar individu.

  Perasaan atas hasil karya merupakan perasaan harga diri yang positif, artinya perasaan ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat positif. Sebagai contoh: orang akan merasa bangga jika orang tersebut mendapat pujian, hadiah dan tanda jasa. Seorang pekerja yang mempunyai rasa bangga atas hasil karyanya cenderung akan mempertahankan hasil karyanya tersebut, karena seseorang cenderung mengulang sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya.

  Perasaan bangga seseorang atas hasil karyanya berkaitan erat dengan mutu hasil karya seseorang. Kualitas yang baik atas produk yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tetapi bermanfaat juga bgi peningkatan motivasi karyawan. Seorang karyawan yang mampu menghasilkan produk berkualitas akan berusaha mempertahankan hasil keahliaanya itu dan berusaha mengadakan perbaikan untuk hasil yang optimal. Seorang akan merasa senang dan tidak merasa keberatan untuk bekerja keras. Kekurangan alat kerja tidak membuat mereka putus asa, karena bagi mereka yang terpenting menghasilkan produk yang berkualitas, dengan mempertahankan dan berbuat sebaik-baiknya agar produk keahliannya berkualitas sehingga tidak akan menurunkan rasa bangganya.

  Berdasarkan beberapa aspek-aspek diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa aspek-aspek etos kerja adalah kerja sebagai kewajiban moral, disiplin kerja tinggi dan rasa bangga atas hasil karyanya.

3. Ciri-ciri etos kerja

  Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan. (Muharram, 2001). Adapun ciri etos kerja menurut Muharram, 2001 yaitu :

  a. Memiliki jiwa kepemimpinan (Leadership) Kepemimpinan yang dimiliki diartikan suatu kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada lingkungan. Seorang pemimpin yang tinggi adalah orang yang mempunyai personalitas yang tinggi.

  b. Selalu berhitung Di dalm bekerja selalu memperhitungkan segala resiko dan aspek, bisa berkomitmen dan disiplin pada waktu.

  c. Menghargai waktu Mampu menyusun tujuan (goal), membuat perencanan kerja, dan kemudian melakukan evaluasi atas hasil kerja dirinya d. Tidak pernah merasa puas

  Bagi orang yang memiliki sikap tidak pernah puas dapat diartikan orang yang tidak pantang menyerah, dan mudah putus asa dalam setiap masalah yang dihadapi. Memiliki semangat untuk mengambil posisi dan memainkan perannya dalam bekerja.

  e. Efisien Menjauhkan sikapp yang tidak produktif dan mubazir dari hal yang dapat merugikan diri dalam setiap pekerjaan yang dilakukan f. Memiliki jiwa wiraswasta

  Adanya semangat wiraswasta yang tinggi, memikirkan segala fenomena yang terjadi disekitar lingkungan, merenungkan, dan kemudian memiliki semangta untuk mewujudkan segala renungan yang teah dilakukan dalam setiap pekerjaan.

  g. Memiliki insting bersaing dan bertanding Semangat bertanding dan insting merupakan sisi lain dari citra orang untuk bekerja. Seorang pekerja yang memiliki semangat untuk bertanding dan memiliki insting memiliki etos kerja yang tinggi.

  h. Keinginan untuk mandiri Orang yang memiliki keinginan untuk mandiri memiliki semangat untuk mandiri yang dapat melahirkan sejuta keberhasilan atas usaha yang telah dilakukan dalam bekerja. i. Haus akan keilmuan

  Seseorang yang memiliki wawasan keilmuan tidak pernah cepat menerima sesuatu sebagai taken for granted karena sifat pribadinya yang kritis dan tak pernah mau untuk berdiam diri saja. Sikap orang yang demikian juga dapat terlihat jika berhadapan dengan lingkungan maka akan kritis dan melaukan analisa terhadap lingkungan sekitar. j. Berwawasan Makro – Universal

  Seorang pekerja yang memiliki wawasan makro akan menjadikan pekerja itu seorang yang bijaksana, mampu membuat pertimbangan yang tepat, serta keputusan lebih mendekati tngkat presisi yang terarah dan benar. Wawasan yang luas mampu mendorong untuk lebig realistis dalam membuat perencanaan dan tindakan. k. Memperhatikan kesehatan

  Seorang pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi dpat dibuktikan dengan pemeliharaan pad kebugaran jasmani agar dapat menunjang segala aktifitas dalam bekerja. l. Ulet dan pantang menyerah

  Keuletan merupakan modal yang sangat besar didalam menghadapi segala macam tantangan atau tekanan dalam dunia kerja. Berdasarkan urain diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja mempunyai ciri-ciri memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), selalu berhitung, menghargai waktu, tidak pernah merasa puas, efisien, memiliki jiwa wiraswasta, memiliki insting bersaing dan bertanding, keinginan untuk mandiri, haus akan keilmuan, berwawasan makro-universal, memperhatikan kesehatan, ulet dan pantang menyerah.

4. Dasar-dasar Etos Kerja dalam Islam

  Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja ini barangkali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna sedalam- dalamnya, sabda Nabi saw yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu bergantung pada niat-niat yang dipunyai pelakunya : jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut. (Tasmara, 1995)

  Sabda Nabi saw yang mencerminkan penjelasan diatas adalah sebagai berikut : “Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah

  (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan.”(HR. Bukhori Muslim).

  Sabda Nabi tersebut menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung pada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi-rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi-rendah nilai komitmen yang dimiliki. Adapun komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianut oleh seseorang. Karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau jika ia mengerjakannya, maka ia mengerjakannya dengan tingkat kesungguhan yang tertentu. (Tasmara, 1995)

  Selain sabda Nabi di atas yang lebih menyoroti pada niat untuk melakukan suatu pekerjaan ada juga firman Allah yang berpesan untuk bekerja, yaitu dalam surat al-

  Jumu’ah ayat 10 sebagai berikut : “Apabila

  telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah : 10).

  Jadi, maksud dari pesan itu ialah bahwa hendaknya kita beribadah sebagaimana yang diwajibkan, namun disisi lain kita juga harus mencari rizki (bekerja). Bersamaan dengan itu, kita harus senantiasa ingat kepada- Nya, yakni memenuhi semua ketentuan etis dan akhlak dalam bekerja itu, dengan menginsyafi pengawasan dan perhitungan Allah terhadap setiap bentuk kerja kita.

B. Kecerdasan Spritual 1. Pengertian kecerdasan spiritual

  Kecerdasan (dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan hahasa Arab disebut (al-dzaka`) menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaansesuatu. Dalam arti, kemampuan (alqudrah) dalam memahami sesuatu secara cepatdan sempurna. Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina, seorang psikologfalsafi, menyebut kecerdasan sebagai kekuatan intuitif (al-badlsj (Mujib dan Muzdakir, 2001).

  Wachler (dalam Azwa, 1996) mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional serta menghadapi lingkungan dengan efektif.

  Mujib dan Mudzakir (2001) mengemukakan tentang kecerdasan intelektual sebagai kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berfikir, menilai dan mempertimbangkan seuatu untuk kecedasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika.

  Zohar dan Marshall (2001) mengemukakan, kecerdasan spiritual adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menekan dan menggunakan makna dalam pemechan masalah atau persoalan.

  Mujib dan Mudzakir (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang, kecerdasan yang mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi hingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia.

  Menurut ar-Razi (dalam Iskandar, 2012), manusia sejatinya adalah makhluk yang disamping memiliki dimensi fisik material juga memiliki dimensi spiritual. Selain diciptakan dari saripati tanah (Q.S. al- Mu'minμn/23: 12), manusia juga diciptakan dari tiupan roh Tuhan, sehingga bisa mendengar, melihat dan berpikir : “Kemudian Dia

  

menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya Ruh (ciptaan)-

Nya. Dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,

tetapi kamu sedikit sekali bersyukur

  ”. (Q.S. as-Sajdah/32: 9). Ar-Razi juga menjelaskan bahwa spiritual berasal dari kata spirit dalam pandangan Islam memiliki makna yang sama dengan Al-ruh, seperti yang dijelaskan dalam terjemah QS AL-

  Isra : 85, “Dan mereka bertanya

  

kepadamu tentang Ruh katakanlah : Ruh itu termasuk urusan Tuhanku

dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit

  ”. Menurut Al-Ghazali (dalam Mujib dan Mudzakir, 2001), kedua ayat di atas memiliki tiga proses yaitu : a. Taswiyah yaitu aktivitas di dalam tempat penerimaan ruh, yaitu tanah (at-thin) bagi Adam dan Air mani (al-nuthfah) bagi anak cucunya, kondisi taswiyah ini bersih dan sucu dari segala kotoran.

  b. Nafh yaitu menyulutnya cahaya ruh pada syaraf air mani, nafh merupakan citra dan hasil, citranya adalah seperti mengeluarkan angin dari lumbung zat yang meniupkan pada lumbung orang yang di beri, sehingga syaraf-syarafnya menyalakan nur-Nya.

  c. Ruh yaitu substansi yang bukan baru datang (

  ‘aradb) sebab ia

  mampu mengenal dirinya sendiri dan penciptanya, serta memahami hal-hal yang masuk akal. Dengan demikian Ruh (spirit) yang dimaksudkan adalah substansi ruhani manusia yang diciptakan oleh Allah untuk menjadi esensi kehidupan.

  Lebih lanjut diterangkan di Najati (2002) Danah dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan inti menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yanglebih luas dan lebih kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

  Kecerdasan Spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan kecerdasan Spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia.

  Sedangkan pada abad ke- 20 data ilmiah menunjukan adnya “Q” jenis ktiga, yaitu gambaran yang menunjukan gambarn kecerdasan manusia yang disebut sebagai kecerdasan spirutual (SQ). SQ merupakan suatu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan pesolan, makna dan nilai, kecerdasan untuk menempatkan perilaku dalam hidup dalam konteks yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lainnya (Mujib dan Mudzakir, 2001).

  Mujib dan Mudzakir (2001) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendaya guna makna- makna nilai dan kualitas kehidupan spiritualnya. Sedangkan menurut Zohar dan Marshall (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna yaitu kecerdasan yang menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas.

  Secara teoritis belum ada pengertian tentang kecedasan spiritual yang kongkrit dan jelas. Kecerdasan spiritual dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan yang sama tuanya dengan umat manusia, dan konsep ini baru pertama kali dikemabangkan secara utuh, Namun dengan hal ini banyak bukti ilmiah mengenai kecerdasan spiritual. Para Ilmuan (dalam Zohar dan Marshall, 2001) telah melakukan penelitian dasar yang mengungkap suatu pondasi saraf bagi kecerdasan spiritual di dalam otak dan ada beberapa peneliti yang memperkuat adanya kecerdasan spiritual yaitu : a. Penelitian neurolog Australia Wolf Singer di tahun 1990-an tentang probelum ikatan membuktikan adanya proses saraf dalam otak yang dicurahkan untuk menyatakan dan memberikan makna dan pengalaman. b. Terrance Deacun membuktikan bahwa bahas adalah sesuatu yang unik pada manusia, dimana suatu aktivitas yang pada dasarnya bersifat simbolik dan berpusat pada makna yang berkembang bersama dalam perkembangan yang cepat pada cuping

  • – cuping dengan otak.

  c. Rodolfo Linas menjelaskan tentang kesadaran saat terjaga dari ikatan peristiwa-peristiwa kognitif dalam otak telah dapat ditingkatkan dengan teknologi MEL (Megneto

  • – Encepha - Lohgrapic ) baru yang memungkinkan diadakannya penelitian

  menyaluruh atas bidang-bidang elektris otak yang bersosialisasi dan bidang magnetik.

  Menurut Agustin (2001), kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberikan ibadah terhadap setisp perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid.

  Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan kegiatan, serta mampu menyeinergikan IQ, EQ, dan SQ.

  Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia mengelola nilai-nilai spiritualnya untuk bisa mendayagunakan sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna yaitu kecerdasan yang menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas.

2. Aspek-aspek kecerdasan spiritual

  Menurut Buzan (2003) ada sepuluh aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan gambaran menyeluruh tentang jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas kasih, memberi dan menerima, kekuatan takwa, menjadi kanak-kanak kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta.

  Sedangkan Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu : a. Kemempuan seni untuk memilih. Kemampuan untuk memilih dan menata hingga kebagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.

  b. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasaanya unutk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.

  c. Kedewasaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita. d. Kemampuan untuk mengikuti cinta. Memilih antara harapan- harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.

  e. Displin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia. Clinebel (Hawari, 1999) mengemukakan bahwa pada dasarnya setiap diri manusia memiliki sepuluh aspek kemampuan dasar kecerdasan spiritual (“Basic Spritual Abeality”) tidak hanya bagi mereka yang beragama tetapi juga bagi mereka yang sekuler.

  a. Kemampuan akan kepercayaan dasar (Basic Trust), kepercayaan dasar berguna untuk membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah, maka manusia tidak perlu risau manakala suatu saat mengalami kesusahan, kesedihan atau kehilangan sesuatu yang dicintai karena semua itu adalah cobaan keimanan. Sementara kalau diberi kenikmatan hendaknya manusia mensyukurinya “Basic Trust” kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyanyang lagi Maha Pengampun amat penting hingga manusia tidak perlu merasa stres, depresi atau cemas.

  b. Kemampuan untuk mengerti akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun yang selaras, serasi, seimbang dengan Tuhannya dan dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. c. Kemampuan untuk melakukan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian. Pengalaman agama hendaknya integratif antara ritual dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

  d. Kemampuan pengisian keimanan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, hal ini dimaksud agar kekuatan iman dan taqwa senantiasa tidak melemah.

  e. Kemampuan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa, rasa bersalah dan rasa berdosa ini merupakan beban bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa.

  f. Kemampuan akan penerimaan diri dan harga diri (Self Acceptance

  and Self Sistem ), dua hal tersebut sangat penting bagi kesehatan

  jiwa seseorang. Setiap diri ingin diterima dan dihargai oleh lingkungannya tidak ingin dilecehkan atau di pinggirkan.

  Sehingga dalam setiap pekerjaan yang di lakukan oleh seseorang akan mendapat penghargaan dan pengakuan dari orang lain, yang akan membuat orang tersebut merasa bangga akan hasil kerjanya.

  g. Kebutuhan akan rasa aman. Bagi orang yang beriman akan memperoleh rasa aman (Security Feeling) sementara bag orang yang tidak beriman akan mengalami kecemasan menghadapi masa depan (hari kemudian). h. Kemampuan untuk mencapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi sebagai pribadi yang utuh (Integrated Personality).

  Bagi orang yang beriman akan senantiasa mendekatkan diri pada Tuhannya, sehingga akan diharapkan derajat dan martabatnya dimata sesama manusia akan tinggi. i. Kemampuan untuk memlihara interaksi dengan alam dans sesama manusia. j. Kemampuan untuk melakukan hidup bermasyarakat yang syaratnya dengan melakukan nilai-nilai religiusitas. Komunitas keagamaan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kehidupan seseorang.

  Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual terdiri dari sepuluh aspek yaitu kemampuan dasar, makna hidup, komitmen peribadatan, keimanan, bebas dari rasa bersalah dan berdosa, penerimaan diri dan harga diri, kebutuhan akan rasa aman, pribadi yang utuh, interaksi dengan alam dan manusia, dan hidup bersosial.

3. Faktor-faktor yang mempegaruhi kecerdasan spiritual

  Zohar dan Marshall (2001) membagi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu : a. Motif yang paling dalam, yaitu motif dimana kita dapat bertindak di dunia dan mencari realita dibalik setip hasrat permulaan.

  b. Kesadaran diri yang tinggi, untuk menyadari segala permasalahan dan menyadari keadaan dirinya.

  c. Tanggap terhadap diri yang dalam, kecerdasan spiritul yang tinggi menurut seorang untuk mengabdi pada diri dengan penuh kesadaran agar dapat merasakan apa yang benar-benar memotivasi untuk mengetahui nilai dan makna hidup yang tinggi.

  d. Kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan, agar dapat memegang tanggung jawab terhadap kehidupan kit sehari- hari.

  e. Berdiri menentang orang banyak. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual dapat menjadi seseorang yang mandiri dan orang tersebut mampu berdiri menentang orang banyak yang memiliki ego fungsional peran serta yang sehat dalam kelompok, namun keduanya harus berakar dari dalam diri kita sendiri.

  f. Keengganan utuk menyebabkan kerusakan, seseorang yang tinggi kecerdasan spiritualnya mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain maka dia merugikan diri sendiri.

  g. Menjadi cerdas spiritual dalam agama, adanya titik tuhan dalam susunan syaraf otak yang menunjukan bahwa kemampuan untuk menjalani pengalaman dan keyakinan memberikan suatu keuntungan evolusioner pada individu. Menghubungkan individu dengan makna dan nilai dengan cara yang dapat individu ikuti, mendorong individu berjuang juga memberikan individu suatu tujuan.

  h. Memiliki kesadaran diri yang positif. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi maka benar-benar jujur pada diri sendiri, sadar diri dan menuntut diri untuk menghadapi pilihan, terkadang pilihan yang tepat merupakan pilihan yang sulit.

  Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual antara lain : motif yang paling mendalam, kesadaran diri yang tinggi, tanggap terhadap diri, kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan, berdiri menentang orang banyak, keengganan untuk menyebabkan kerusakan, menjadi cerdas spiritual dalam agama, memiliki kesadaran diri yang positif.

C. Perawat 1. Pengertian

  Perawat adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan pada orang lain berdasarkan ilmu dan kiat yang dimilikinya dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya. (www.academia.edu).

  American Nurses Association (Potter & Perry, 1999) mendefinisikan perawat sebagai profesi yang membantu dan yang memberikan pelayanan yang berkontribusi pada kesehatan dan kesejahteraan individu.

  Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/MenKes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat pada pasal 1 ayat 1).

  Berdasarkan uraian pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa perawat merupakan profesi yang memfokuskan pada pelayanan dan perawatan yang berkontribusi pada kesehatan pasien.

2. Tanggung jawab perawat

  Menurut Sudarma (2008) tanggung jawab perawat terhadap klein untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan tentang hubungan antara perawat dengan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

  1. Perawat, dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada tanggung jawab yang bersumber pada adanya kebutuhan terhadap keperawatan individu, keluarga, dan masyarakat.

  2. Perawat, dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan, memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.

  3. Perawat, dalam melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.

  4. Perawat, menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi kepentingan masyarakat. Sedangkan tanggung jawab Perawat terhadap tugas antara lain,

  Sudarma (2008):

  1. Perawat, memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat.

  2. Perawat, wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya, kecuali diperlukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  3. Perawat, tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang dimilikinya dengan tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.

  4. Perawat, dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, dan kedudukan sosial.

  5. Perawat, mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien/klien dalam melaksanakan tugas keperawatannya, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan. Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahawa tanggung jawab seorang perawat diantara dalam melaksanakan pengabdiannya berpedoman pada tanggung jawab, memlihara suasana lingkungan, melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat dengan didasari rasa ikhlas, menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat.

D. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Etos Kerja

  Etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya. Perawat dalam bekerja hendaknya sebaik mungkin dan bertangung jawab penuh terhadap pasiennya karena itu merupakan tuntutan profesi sebagai perawat. Walaupun terkadang perawat menghadapi sikap pasien yang sulit diatur. Dalam kondisi kerja yang demikian membuat perawat merasakan ketegangan, merasa cepat lelah, muncul sikap acuh dan mudah marah bahkan sampai tidak bersemangat dalam bekerja atau dapat dikatakan memiliki etos kerja yang rendah.

  Hal terburuk yang dapat terjadi dari kinerja perawat yang kurang maksimal yaitu mutu pelayanan rumah sakit yang menurun dan kepuasan konsumen yang akan menurun pula.

  Unsur terpenting yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan jiwa manusia adalah iman yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Kecerdasan spiritual merupakan suatu kecerdasan yang dapat diimplikasikan untuk menempatkan perilaku dan hidup individu dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, yaitu kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain. Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan kerja dan mampu meningkatkan produktivitas yang tinggi. Sehingga individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan terhindar dari sikap acuh, mudah marah atau tidak semangat dalam bekerja.

E. Kerangka Berfikir

  Sumber daya manusia (orang-orang) merupakan elemen dasar dari organisasi yang dapat menentukan maju mundurnya suatu organisasi.

  Keberlangsungan hidup suatu organisasi tergantung bagaimana sumber daya manusianya dalam mencapai tujuan organisasi.

  Perawat sebagai salah satu sumber daya manusia di dalam sebuah institusi rumah sakit memiliki peran yang penting dalam pelayanan kesehatan.

  Pada prakteknya perawat sebagai tenaga non medis rumah sakit dan juga ujung tombak pelayanan kesehatan, tidak hanya berhubungan dengan pasiennya saja tetapi dengan keluarga pasien, teman pasien, rekan kerja, serta berhubungan dengan dokter dan sesama perawat yang lainnya juga.

  Selain itu perawat juga harus bisa memberikan perawatan dan pelayanan yang maksimal untuk kesembuhan pasien, walaupun terkadang perawat harus menghadapi sikap pasien yang sulit diatur. Kondisi kerja yang demikian membuat perawat merasakan ketegangan, merasa cepat lelah, muncul sikap acuh dan mudah marah bahkan sampai tidak bersemangat dalam bekerja. Ciri-ciri tersebut menggambarkan seorang pekerja yang memiliki etos kerja yang rendah.

  Menurut Tasmara (1995), etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta cara memandang, mengekspresikan, meyakini dan memberikan makna pada suatu yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance). Cherington (Hadipranata, 2000) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja seseorang dapat dilihat dari tiga indikator, antara lain : a) kerja sebagai kewajiban moral dan religius untuk mengisi kehidupan, b) disiplin kerja tinggi, c) rasa bangga atas hasil karya.

  Hasil penelitian Trihandini (2004) menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual memiliki pengaruh yang nyata terhadap etos kerja karyawan. Seperti yang dijelaskan Zohar dan Marshall (2001) bahwa kecerdasan spiritual juga memegang peranan yang besar terhadap kesuksesan seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Seseorang karyawan dalam hal ini perawat yang memperoleh kebahagiaan dalam bekerja akan berkarya lebih baik.

  Pada dasarnya setiap diri manusia memiliki sepuluh aspek kemampuan dasar kecerdasan spiritual (“Basic Spiritual Abeality”) tidak hanya bagi mereka yang beragama tetapi juga bagi mereka yang sekuler, aspek-aspek tersebut meliputi : a) kemampuan akan kepercayaan dasar (Basic

  

Trust ), b) kemampuan untuk mengerti akan makna hidup, c) komitmen

  peribadatan, d) keimanan, e) bebas dari rasa bersalah dan berdosa, f) penerimaan diri dan harga diri, g) kebutuhan rasa aman, h) pribadi yang utuh, i) interaksi dengan alam dan manusia, j) hidup bersosial.

  Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah akan alur penelitian ini dengan memperhatikan tinjauan kepustakaan serta landasan teori, digambarkan dalam kerangka konsep seperti berikut ini :

  Etos Kerja Perawat Kecerdasan Spiritual Instalasi Rawat Inap

  Aspek-aspek kecerdasan spiritual : Aspek-aspek etos kerja :

  1. Kemampuan dasar

  2. Makna hidup

  1. Kerja sebagai kewajiban moral

  3. Komitmen peribadatan

  4. Keimanan

  2. Disiplin kerja tinggi

  5. Bebas dari rasa bersalah dan

  3. Rasa bangga atas hasil karyanya berdosa

  6. Penerimaan diri dan harga diri

  7. Kebutuhan rasa aman

  8. Pribadi yang utuh

  9. Interaksi dengan alam dan manusia

  10. Hidup bersosial Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian hubungan kecerdasan spiritual dengan etos kerja pada perawat di Rumah Sakit Islam Purwokerto

F. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, maka dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : Ada hubungan kecerdasan spiritual dengan etos kerja perawat di Rumah Sakit Islam Purwokerto.