BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Model Pembelajaran Kolaboratif - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF TEKNIK PEMBELAJARAN SEBAYA TIPE KELOMPOK SINDIKAT (SYNDICATE GROUP) TERHADAP HASIL BELAJAR IPS MATERI PERMASALAHAN SOSIAL SISWA KELAS IV DI

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Model Pembelajaran Kolaboratif Ruhcitra (2008) (http://ruhcitra.wordpress.com/2008/08/09/

   mendefinisikan pembelajaran kolaboratif sebagai filsafat pembelajaran yang memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah bersama, serta maju bersama pula. Menurut The Wood and Gray (1991) dalam Beyerlein (2006: 73)

  “definition of

  

collaboration takes on new meanings when practice replaces problem domain,

community replaces group, engagement replaces interaction, and

Definisi dari kolaborasi berarti ketika participation replaces act/decision”.

praktikan terlibat dalam masalah, para siswa terlibat dalam kelompok kecil,

dalam keterlibatan terjadi interaksi, dan partisipasi siswa untuk mengambil

suatu tindakan/keputusan.

  Selain itu, Hayes (2010: 61) menyatakan : Collaboration in learning is the process by which pupils work

  “ together to reach a specified and predetermined learning objective, and is rooted in the theory of social constructivism advocated by theorists such as Lev Vygotsky and Jerome Bruner”.

  Pembelajaran kolaborasi adalah proses dimana siswa bekerja sama

untuk mencapai tujuan tertentu dan telah ditentukan tujuan pembelajaran, dan

berakar pada teori konstruktivisme sosial yang dianjurkan oleh ahli teori

seperti Lev Vygotsky dan Jerome Bruner. Berdasarkan pernyataan mengenai

  7 pembelajaran kolaboratif dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah proses pembelajaran yang menciptakan adanya interaksi antar siswa sehingga siswa terlibat secara aktif dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengambil suatu keputusan dalam mencapai tujuan bersama.

  Warsono dan Hariyanto (2012: 50) menyatakan bahwa yang termasuk pembelajaran kolaboratif bila anggota kelompoknya tidak tertentu atau ditetapkan terlebih dahulu, dapat beranggotakan dua orang, beberapa orang atau dapat lebih dari 7 (tujuh) orang. Pembelajaran kolaboratif dapat terjadi setiap saat, tidak harus dilaksanakan di sekolah, misalnya sekelompok siswa saling membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan dapat berlangsung antar siswa dari sekolah yang berbeda di luar sekolah. Inti pelaksanaan pembelajaran kolaboratif tentu harus terjadi diskusi, kontak langsung antara orang per orang, dan masing-masing individu diberikan kesempatan yang sama untuk mengutarakan pendapat dan gagasannya, dan pada akhirnya mereka diwajibkan untuk mengambil kesimpulan atau memecahkan masalah sesuai dengan tugas yang diberikan.

  Hasil riset membuktikan bahwa para siswa akan belajar dengan lebih baik jika mereka secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dalam suatu kelompok-kelompok kecil seperti dalam pembelajaran kolaboratif (Warsono dan Hariyanto, 2012: 66). Davis (Warsono dan Hariyanto, 2012: 66-67) mengemukakan hasil temuan risetnya yang menyatakan bahwa tanpa memandang apa bahan ajarnya, para siswa yang bekerja dalam kelompok- kelompok kecil cenderung belajar lebih banyak tentang materi ajar dan mengingatnya lebih lama dibandingkan jika materi ajar tersebut dihadirkan dalam bentuk yang lain, misalnya berupa bentuk ceramah oleh guru. Berdasarkan temuan risetnya, Davis juga menyatakan bahwa para siswa yang bekerja dalam kelompok kolaboratif lebih merasa puas dibandingkan dengan siswa kelas lain yang diajar dengan metode nonkolaboratif.

  Terkait dengan peranan guru dalam pembelajaran kolaboratif ada perubahan paradigma pembelajaran yang harus dilaksanakan oleh guru (Warsono dan Hariyanto, 2012: 133). Berikut dapat dilihat dalam tabel 2.1 di bawah ini :

Tabel 2.1 Peranan Guru dalam Menciptakan Lingkungan Kelas

  Kolaboratif

  

Dari Menuju

Kelas yang berpusat pada Kelas yang berpusat kepada guru pembelajar

  Pembelajaran berpusat kepada Pembelajaran yang berpusat kepada produk proses Guru sebagai pendistribusi Guru sebagai pengorganisasi pengetahuan pengetahuan

  Guru sebagai pemberdaya, dan Guru sebagai pelaku (doer) bagi memfasilitasi siswa dalam siswa pembelajarannya Fokus kepada subjek-khusus Fokus kepada pembelajaran holistic

  Peranan siswa pembelajar dalam lingkungan pembelajaran kolaboratif menurut Warsono dan Hariyanto (2012: 133) dapat dilihat dalam tabel 2.2 di bawah ini :

Tabel 2.2 Peranan Siswa dalam Pelaksanaan Pembelajaran Kolaboratif

  

Dari Menuju

Menjadi penerima pengetahuan yang pasif Pembelajar yang aktif dan berpartisipasi

  Fokus untuk menjawab pertanyaan Aktif bertanya kepada guru Menjadi “sendok makan”

  Bertanggung jawab bagi pembelajarannya sendiri, sebagai pembelajar yang reflektif

  Berkompetisi satu sama lain Berkolaborasi dalam pembelajaran Menunggu gilirannya untuk berbicara

  Pendengar aktif terhadap opini dari siswa yang lain Pembelajar dari bahan ajar individu Mengaitkan bahan ajarnya

  Pembelajaran kolaboratif memiliki lima prinsip yang berbasis konstruktivisme sosial, seperti yang dikemukakan oleh Hari Srinivas (Warsono dan Hariyanto 2012: 52), yaitu sebagai berikut :

  a. Belajar adalah suatu proses aktif yang menuntut siswa untuk mengasimilasikan informasi dan mengaitkan pengetahuan baru dalam bingkai kerangka pengetahuan terdahulu yang dimilikinya.

  b. Belajar memerlukan tantangan yang membuka pintu bagi peserta didik agar terikat secara aktif dengan kelompoknya, serta memproses dan melakukan sintesis berbagai informasi daripada sekedar mengingat dan menelannya mentah-mentah.

  c. Belajar akan berkembang baik dalam lingkungan sosial ketika terjadi percakapan yang aktif antar para siswa.

  d. Para siswa akan meraih manfaat yang besar dari pembelajaran karena mendapatkan informasi yang luas dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan pandangannya sendiri. e. Dalam lingkungan pembelajaran kolaboratif setiap siswa akan merasa tertantang, baik secara sosial maupun emosional karena mendengarkan berbagai perspektif yang berbeda, yang kemudian mempersyaratkan adanya pemberian artikulasi terhadap gagasannya, maupun berbagai upaya untuk mempertahankan gagasannya.

  Implementasi dari pembelajaran kolaboratif banyak sekali manfaatnya. Berikut dijabarkan 44 manfaat yang dikemukakan oleh Hari Srinivas (Warsono dan Hariyanto, 2012: 79) berdasarkan pengamatannya terhadap praktik pembelajaran kolaboratif yang dilaksanakan di beberapa Negara :

  1. Mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

  2. Meningkatkan interaksi yang lebih familiar antara guru dengan murid.

  3. Meningkatkan daya ingat siswa.

  4. Membangun rasa percaya diri siswa.

  5. Meningkatkan tingkat kepuasan murid karena bertambahnya pengalaman.

  6. Meningkatkan sikap positif kepada materi pembelajaran.

  7. Mengembangkan kecapakan oral, keterampilan berbicara.

  8. Mengembangkan kecakapan interaksi sosial.

  9. Mengembangkan hubungan yang positif antar suku/ras.

  10. Menciptakan suasana pembelajaran aktif yang penuh dengan keterlibatan dan eksplorasi oleh siswa.

  11. Menggunakan pendekatan tim dalam pemecahan masalah, sementara tiap pribadi tetap bertanggung jawab secara mandiri.

  12. Meningkatkan pemahaman tentang adanya berbagai perbedaan.

  13. Meningkatkan tanggung jawab belajar.

  14. Melibatkan siswa dalam pengembangan kurikulum nyata dan berbagai aturan/prosedurkelas.

  15. Siswa dapat mengeksplorasikan pemecahan masalah alternatif dalam lingkungan yang aman.

  16. Merangsang cara berpikir kritis dan mengklarifikasikan gagasan melalui diskusi dan debat.

  17. Meningkatkan keterampilan manajemen pribadi (mengendalikan emosi dan lain-lain).

  18. Cocok dengan pendekatan konstruktivistik.

  19. Membangun atmosfer kerja sama.

  20. Menciptakan hubungan antar komponen heterogen yang lebih positif.

  21. Mengembangkan tanggung jawab siswa satu sama lain.

  22. Mendorong guru untuk melakukan teknik penilaian alternatif terhadap siswa.

  23. Mengembangkan dan menguatkan hubungan antar pribadi

  24. Mengembangkan model teknik pemecahan masalah melalui kerja sama rekan sebaya.

  25. Siswa diajari bagaimana mengkritik gagasan dan bukan mengkritik orang.

  26. Menjangkau harapan hasil pembelajaran yang tinggi baik bagi guru maupun siswa.

  27. Meningkatkan kinerja siswa dan jumlah kehadiran mereka dalam kelas.

  28. Para siswa tetap dalam tugas-tugas mereka dan kurang bersikap mengganggu.

  29. Mengembangkan empati siswa, meningkatkan kecakapan siswa untuk memandang situasi berlandaskan panadangan/perspektif orang lain.

  30. Meningkatkan sistem dukungan sosial.

  31. Meningkatkan sikap yang positif terhadap guru, kepala sekolah dan warga sekolah yang lain, dan pada gilirannya meningkatkan sikap positif guru terhadap murid.

  32. Mengakomodasi berbagai gaya belajar yang berbeda antar siswa.

  33. Meningkatakan inovasi dalam pengajaran dan teknik-teknik pengelolaan kelas.

  34. Menurunkan rasa cemas yang mungkin timbul dalam kelas.

  35. Hasil tes terhadap adanya rasa cemas siswa dalam belajar terbukti menurun.

  36. Situasi kelas mempresentasikan kehidupan sosial yang nyata, bahkan situasi dunia kerja.

  37. Siswa berkesempatan menjadi model peran dalam hubungan sosial dan dunia kerja.

  38. Pembelajaran kolaboratif dapat bersinergi dengan konten kurikulum.

  39. Pembelajaran kolaboratif dapat diterapkan dalam kelas personal yang jumlah siswanya besar.

  40. Peningkatan kecakapan dan kebiasaan praktik dapat dilaksanakan baik di dalam maupun luar sekolah.

  41. Pembelajaran kolaboratif meningkatkan hubungan sosial dan hubungan akademik di luar sekolah dan antar siswa dari berbagai kelas dan sekolah.

  42. Pembelajaran kolaboratif menciptakan suasana kelas tempat para siswa dapat mengembangkan keterampilan kepimpinannya.

  43. Pembelajaran kolaboratif terbukti meningkatkan keterampilan kepemimpinan dari para siswa perempuan.

  44. Pembelajaran kolaboratif membangun lingkungan komunitas yang baik dari para siswa dalam kelasnya. (Warsono dan Hariyanto, 2012: 78-81) Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kolaboratif dapat menciptakan adanya interaksi antar siswa di dalam kelompok-kelompok kecil sehingga di dalam proses pembelajaran siswa terlibat secara aktif. Hal tersebut menjadikan kegiatan belajar siswa menjadi lebih baik. Kegiatan belajar siswa dikatakan lebih baik karena dalam proses pembelajaran kolaboratif diharuskan adanya diskusi, dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya sehingga siswa terbiasa untuk berpikir secara kritis dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Melalui diskusi di dalam kelompok- kelompok kecil siswa akan merasakan suasana pembelajaran yang lebih bermakna sehingga siswa akan lebih mengingat materi ajar lebih lama.

  Munculnya model pembelajaran kolaboratif ini mengakibatkan adanya perubahan paradigma pembelajaran terkait dengan peranan guru dan siswa.

  Perubahan yang terjadi tentunya mengarah pada hal-hal yang bernilai positif.

  Berbagai manfaat dalam praktik pembelajaran didapatkan dari diterapkannya model pembelajaran kolaboratif seperti yang telah dijelaskan di atas.

  Dalam penelitian ini, peneliti akan menerapkan model pembelajaran kolaboratif pada mata pelajaran IPS. Model pembelajaran kolaboratif sekiranya cocok diterapkan dalam pembelajaran yang berhubungan dengan ilmu sosial. Hal tersebut dikarenakan IPS merupakan mata pelajaran yang mengkaji berbagai peristiwa dan fakta yang berkaitan dengan isu sosial. Melalui pembelajaran kolaboratif ini, siswa diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai berbagai hal yang terjadi di lingkungan masyarakat dan membahas permasalahan yang ada dengan jalan diskusi kelompok-kelompok kecil sehingga permasalahan tersebut dapat diselesaikan bersama-sama.

  Pengetahuan siswa pun akan lebih luas karena mendapatkan informasi dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan pandangannya sendiri.

2. Teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group)

  Teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) merupakan suatu teknik pembelajaran dalam pembelajaran kolaboratif yang memberikan kesempatan kepada setiap anggota belajar bersama dan saling belajar dari anggota yang lain. (Warsono dan Hariyanto, 2012: 70).

  Implementasi dari teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat

  (syndicate group) yaitu dengan membagi suatu kelompok besar yaitu kelas menjadi beberapa kelompok kecil yang masing-masing terdiri dari 3-6 orang.

  Masing-masing kelompok kecil mendiskusikan suatu tugas tertentu yang berbeda-beda antar kelompok kecil. Guru menjelaskan tema umum tentang masalah, menggambarkan aspek-aspek pokok masalah yang akan dibahas.

  Setiap kelompok membahas hanya satu aspek. Guru menyediakan referensi atau sumber-sumber informasi lain. Setiap kelompok sindikat berdiskusi sendiri-sendiri, dan pada akhir diskusi disampaikan laporan setiap sindikat yang selanjutnya dibawa ke pleno (sidang umum) untuk dibahas lebih lanjut, sehingga seluruh aspek dari tema masalah selesai dibahas. (Warsono dan Hariyanto, 2012: 82).

  Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) dalam menerapkan model pembelajaran kolaboratif pada mata pelajaran IPS yaitu materi permasalahan sosial dengan langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil yang masing- masing terdiri dari 3-6 orang.

  2. Guru menjelaskan tema umum tentang masalah yaitu permasalahan sosial dan menggambarkan aspek-aspek pokok masalah yang akan dibahas dengan bantuan media gambar.

  3. Setiap kelompok diminta untuk membahas satu aspek pokok masalah Antara lain mengenai pengangguran, kependudukan, kemiskinan, putus sekolah, kejahatan, dan lain sebagainya.

  4. Guru menyediakan referensi atau sumber-sumber informasi yang akan digunakan yaitu tentang permasalahan sosial.

  5. Setiap kelompok sindikat berdiskusi sendiri-sendiri sesuai aspek pokok masalah yang menjadi tanggung jawab kelompoknya. Masing-masing kelompok sindikat mendapatkan aspek/tugas yang berbeda.

  6. Pada akhir diskusi setiap sindikat menyampaikan laporan sesuai aspek yang dibahas.

  7. Selanjutnya dibawa ke pleno (sidang umum) untuk dibahas lebih lanjut, sehingga seluruh aspek dari tema masalah yaitu permasalahan sosial selesai dibahas.

3. Hasil Belajar

  a. Belajar Belajar menurut Slameto (2010: 2) ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Baharuddin dan Wahyuni (2010: 12) mengemukakan belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman.

  Dengan demikian, belajar dapat membawa perubahan bagi si pelaku, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan.

  Senada dengan kedua pendapat di atas, Hilgrad dan Bower (Baharuddin dan Wahyuni, 2010: 13) mengartikan belajar (to learn)

  : “1) to

  gain knowledge, comprehension, or mastery of trough experience or study 2) to fix in the mind or memory; memorize 3) to acquire trough experience 4) to

  become in forme of to find out”. Belajar memiliki pengertian memperoleh

  pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan.

  Berdasarkan beberapa pengertian belajar yang dikemukakan oleh beberapa pakar, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh perubahan tingkah laku secara keseluruhan, baik berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang didapatkan dari pengalaman, pelatihan, maupun informasi.

  Perubahan tingkah laku dalam diri seseorang banyak sekali macamnya. Tidak semua perubahan dalam diri seseorang dapat dikatakan sebagai perubahan dalam arti belajar. Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar antara lain :

  1. Perubahan terjadi secara sadar Perubahan secara sadar berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, kecakapannya bertambah, kebiasaanya bertambah.

  2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara berkesinambungan, tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya.

  3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

  Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri.

  4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Artinya, tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.

  5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah Hal ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.

  6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Seseorang yang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.

  (Slameto, 2010: 3-5) Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan mengenai belajar dan perubahan yang diakibatkan oleh proses belajar. Belajar merupakan suatu proses kegiatan yang dijalani oleh seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku melalui pengalamannya sendiri. Perubahan tingkah laku tersebut merupakan perubahan yang dihasilkan dari proses belajar berupa perubahan yang terjadi secara sadar, perubahan yang bersifat kontinu atau fungsional, perubahan yang bersifat positif dan aktif, perubahan yang bukan bersifat sementara, perubahan yang bertujuan atau terarah, dan perubahan yang mencakup seluruh aspek tingkah laku.

  b. Hasil Belajar Menurut Dimyati dan Mudjiono (2010: 3) hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Sudjana (2010: 3) mengemukakan hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor.

  Berdasarkan kedua pendapat tersebut mengenai hasil belajar, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan suatu hasil ataupun kemampuan berupa perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor yang diperoleh dari pengalaman belajar yaitu dari interaksi tindak belajar dari sisi siswa dan tindak mengajar dari sisi guru.

  Hasil belajar yang dicapai siswa tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Selain faktor kemampuan yang dimiliki siswa, ada juga faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis (Sudjana, 2008: 39).

  Faktor lain selain dari dalam diri siswa adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa yang juga sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai siswa, yaitu berkenaan dengan lingkungan. Salah satu faktor yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar siswa di sekolah, ialah kualitas pengajaran. Maksud dari kualitas pengajaran disini ialah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pengajaran (Sudjana, 2008: 40). Kaitannya dengan kualitas pengajaran erat hubungannya dengan guru. Guru memiliki pengaruh yang paling dominan dalam menciptakan kualitas pengajaran yang baik. Guru harus mampu menciptakan proses pembelajaran yang efektif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dicapai siswa sangat bergantung pada kemampuan siswa dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan di sekolah. Semakin tinggi kemampuan siswa dan kualitas pengajaran akan semakin tinggi pula hasil yang dicapai oleh siswa.

  Hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pembelajaran terdiri atas tiga unsur yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik atau hasil belajar dalam bentuk tingkah laku yang menyeluruh. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Howard Kingsley (Sudjana, 2008: 45) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah. Bloom (Sudjana, 2008: 50) juga menggolongkan hasil belajar menjadi tiga tipe yaitu sebagai berikut :

1) Tipe hasil belajar bidang kognitif

  Ranah kognitif menurut Sudijono (2009: 49) adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak termasuk ke dalam ranah kognitif. Tipe hasil belajar bidang kognitif terdiri atas :

  a) Tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge), tipe hasil belajar ini termasuk tipe hasil belajar tingkat rendah jika dibandingkan dengan tipe hasil belajar lainnya. Tipe hasil belajar pengetahuan merupakan kemampuan terminal (jembatan) untuk menguasai tipe hasil belajar lainnya.

  b) Tipe hasil belajar pemahaman (comprehention), merupakan tipe hasil belajar yang lebih tinggi satu tingkat dari tipe hasil belajar pengetahuan.

  Pemahaman memerlukan kemampuan menangkap makna atau arti dari sesuatu konsep.

  c) Tipe hasil belajar penerapan (aplikasi), adalah kesanggupan menerapkan, dan mengabstraksi suatu konsep, ide, rumus, hokum dalam situasi yang baru.

  d) Tipe hasil belajar analisis, merupakan tipe hasil belajar yang kompleks, yang memanfaatkan unsur tipe hasil belajar sebelumnya, yakni pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. e) Tipe hasil belajar sintesis, merupakan kesanggupan menyatukan unsur atau bagian menjadi satu integritas. Sistesis memerlukan kemampuan hafalan, pemahaman, aplikasi, dan analisis.

  f) Tipe hasil belajar evaluasi, merupakan tipe hasil belajar yang paling tinggi dan memerlukan kemampuan yang mendahuluinya yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis. (Sudjana, 2008: 50-53)

2) Tipe hasil belajar bidang afektif

  Menurut Sudijono (2009: 54) ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, mengahargai guru dan teman sekelas, dan lain sebagainya.

  Tipe hasil belajar bidang afektif terdiri dari beberapa tingkatan seperti :

  a) Receiving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah, situasi, atau gejala.

  b) Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar.

  c) Valuing (penilaian), yakni berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus.

  d) Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. e) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan dari semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku. (Sudjana, 2008: 53)

  Telah dijelaskan di atas bahwa ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Terkait dengan sikap dan nilai yang ada pada diri seseorang, maka erat hubungannya dengan karakter. Karakter adalah pola tingkah laku dan perbuatan pada cara seseorang dalam merespon situasi yang menunjukkan konsistensi tertentu (M u’in, 2011: 162). Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 3) Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Sedangkan menurut Samani dan Hariyanto (2012: 43) karakter didefinisikan sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

  Melihat beberapa pengertian yang dikatakan oleh para pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakter adalah watak, sikap, akhlak, perilaku, atau kepribadian seseorang yang memiliki ciri khas tertentu yang terbentuk karena pengaruh keturunan maupun pengaruh lingkungan. Membina karakter anak sebaiknya dilakukan sejak dini dan salah satu cara untuk mengembangkan nilai-nilai karakter adalah melalui penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

  Dalam penelitian ini, hasil belajar aspek afektif difokuskan pada sikap kerja keras siswa. Peneliti ingin mengetahui apakah dengan menerapkan model pembelajaran kolaboratif teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) berpengaruh terhadap sikap kerja keras siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

  Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya (Kemendiknas, 2010: 9), sedangkan menurut Kesuma, Triatna, dan Permana (2012: 17) kerja keras adalah suatu upaya yang terus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan atau yang menjadi tugasnya sampai tuntas. Elfindri (2012: 102) juga mengemukakan bahwa kerja keras ialah upaya seseorang yang tidak mudah berputus asa yang disertai dengan kemauan keras dalam berusaha dalam tujuan dan cita-citanya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kerja keras adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang dengan sungguh-sungguh dan disertai kemauan yang keras dalam menyelesainkan tugas atau pekerjaannya dan dalam mencapai tujuan atau cita- citanya.

  Indikator keberhasilan Sekolah dalam Pengembangan Pendidikan budaya dan karakter bangsa menurut Kemendiknas (2010: 26) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3 Indikator sekolah karakter kerja keras

  No Nilai Indikator

  1. Kerja keras 1. Menciptakan suasana kompetisi yang sehat.

  2. Menciptakan suasana sekolah yang menantang dan memacu untuk bekerja keras.

  3. Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang kerja.

  Sedangkan keterkaitan nilai dan indikator untuk sekolah dasar menurut Kemendiknas (2010: 33) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.4 Keterkaitan Nilai dan Indikator Sekolah Dasar

  Indikator No Nilai 1-3 4-6 1.

  1. Mengerjakan semua

  1. Mengerjakaan tugas

  Kerja keras: Perilaku yang tugas kelas dengan dengan teliti dan rapi.

  menunjukkan sungguh-sungguh.

  2. Mencari informasi upaya

  2. Mencari informasi dari sumber-sumber sungguh- dari sumber di luar di luar sekolah. sungguh buku pelajaran.

  3. Mengerjakan tugas- dalam

  3. Menyelesaikan PR tugas dari guru pada mengatasi pada waktunya. waktunya. berbagai

  4. Menggunakan

  4. Fokus pada tugas- hambatan sebagian besar waktu tugas yang diberikan belajar, tugas, di kelas untuk belajar. guru di kelas. dan

  5. Mencatat dengan

  5. Mencatat dengan menyelesaika sungguh-sungguh sungguh-sungguh n tugas sesuatu yang sesuatu yang dibaca, dengan ditugaskan guru. diamati, dan didengar sebaik- untuk kegiatan kelas. baiknya.

3) Tipe hasil belajar bidang psikomotor

  Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan

  (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman

  belajar tertentu. Hasil belajar pada ranah psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor merupakan kelanjutan dari hasil kognitif dan hasil belajar afektif. Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila siswa telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya (Sudijono, 2009: 57-58).

  Tipe hasil belajar bidang psikomotor terdiri dari enam tingkatan, yaitu:

  a) Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar) b) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.

  c) Kemampuan perseptual termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif motorik dan lain-lain.

  d) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, ketepatan.

  e) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks.

  f) Kemampuan yang berkenaan dengan non decursive komunikasi seperti gerakan ekspresif, interpretatif. (Sudjana, 2008: 54) Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses kegiatan yang dijalani seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku melalui pengalamannya sendiri. Artinya, Proses belajar akan menimbulkan perubahan pada seseorang yaitu berupa perubahan tingkah laku.

  Untuk mengetahui perubahan tingkah laku dari proses belajar tersebut, maka diperlukan adanya pengukuran yaitu berupa hasil belajar. Hasil belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu dari dalam diri siswa dan dari luar diri siswa. faktor dari luar diri siswa atau lingkungan, salah satunya adalah lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah yang berpengaruh paling dominan terhadap hasil belajar siswa adalah kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran erat hubungannya dengan guru. Guru diharapkan dapat mengelola pembelajaran dengan efektif. Salah satu cara untuk menciptakan pembelajaran yang efektif adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang bervariasi dan cocok diterapkan dalam pembelajaran tersebut.

  Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti salah satu variasi model pembelajaran yaitu model pembelajaran kolaboratif teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) pada pembelajaran IPS. Diharapkan model pembelajaran tersebut dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap hasil belajar IPS, baik pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Penilaian hasil belajar dalam penelitian ini mencakup aspek kognitif, aspek afektif yang difokuskan pada penilaian sikap kerja keras siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, dan psikomotor ditekankan pada keterampilan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan menyampaikan pendapatnya.

4. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

  a. Pengertian IPS Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang ada dalam kurikulum sekolah. Menurut Trianto (2010: 171) IPS merupakan integrasi dari berbagai macam ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. IPS dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). Menurut Sapriya, Susilawati, dan Nurdin (2006: 3) istilah IPS merupakan nama mata pelajaran di tingkat sekolah atau nama program studi di perguruan tinggi yang identik dengan istilah

  “Social Studies” dalam kurikulum persekolahan di Negara lain, khususnya di Negara-negara barat seperti Australia dan Amerika Serikat.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa IPS adalah salah satu mata pelajaran yang ada di dalam kurikulum sekolah, termasuk kurikulum di sekolah dasar. IPS di perguruan tinggi lebih dikenal dengan istilah

  “social studies”. Mata pelaran IPS ini merupakan integrasi dari berbagai macam ilmu-

  ilmu sosial. IPS dalam penelitian ini sebagai bahan penelitian.

  b. Tujuan IPS Menurut Kemendiknas (2007: 575) mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :

  1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

  2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

  3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

  4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

  Menurut Sapriya, Susilawati, dan Nurdin (2006: 5) tujuan IPS adalah untuk membantu para siswa dalam mengembangkan potensinya agar menjadi warga Negara yang baik dalam kehidupan masyarakat demokratis. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran IPS memiliki tujuan untuk membantu siswa dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya dan membekali siswa pengetahuan yang luas agar siswa dapat mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan, memiliki kemampuan dasar untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah dan keterampilan dalam kehidupan sosial, memiliki kesadaran terhadap nilai- nilai sosial, dan memiliki kemampuan berkomunikasi serta bekerjasama dengan orang lain.

  c. Pembelajaran IPS

  IPS sebagai salah satu mata pelajaran yang ada di sekolah dasar membahas hubungan antara manusia dengan lingkungan. Lingkungan disini maksudnya ialah lingkungan masyarakat tempat anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat. Siswa akan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Pendidikan IPS berusaha membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikan mereka semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakat. (Trianto, 2010: 173).

  Melihat pentingnya Pendidikan IPS di dalam kehidupan, maka dibutuhkan suatu pola pembelajaran yang mampu menjembatani tercapainya tujuan pendidikan IPS tersebut. Kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode, dan setrategi pembelajaran tentunya harus ditingkatkan agar pembelajaran Pendidikan IPS benar-benar mampu mengondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar bagi para siswa untuk menjadi manusia dan warga Negara yang baik (Kosasih dalam Trianto, 2010: 174). Menurut Azis Wahab (Trianto, 2010: 174) hal tersebut dikarenakan pengondisian iklim belajar merupakan aspek penting bagi tercapainya tujuan pendidikan.

  Pola pembelajaran pendidikan IPS menekankan pada unsur pendidikan dan pembekalan pada siswa. Penekanan pembelajarannya bukan hanya sekedar upaya untuk menjejali siswa dengan sejumlah konsep yang bersifat hafalan belaka, namun terletak pada upaya agar mereka mampu menjadikan sesuatu yang dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan masyarakat di lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya sendiri untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, rancangan pembelajaran guru hendaknya diarahkan dan difokuskan sesuai dengan kondisi dan perkembangan potensi siswa agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar berguna dan bermanfaat bagi siswa. (Trianto, 2010: 174)

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang penting untuk dipelajari. Hal tersebut dikarenakan IPS membahas berbagai hal yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan. Pendidikan IPS tersebut akan sangat bermanfaat bagi siswa karena akan membekali mereka pengetahuan yang luas mengenai kehidupan masyarakat di lingkungannya, dengan demikian dibutuhkan suatu rancangan pembelajaran IPS yang mengarahkan pada kondisi dan perkembangan kemampuan yang dimiliki siswa agar pembelajaran benar-benar bermanfaat bagi mereka. Salah satunya dengan merancang pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam mengembangkan segala potensi yang dimilikinya dengan menggunakan variasi model pembelajaran seperti model pembelajaran kolaboratif. Kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode, dan setrategi pembelajaran sangat diperlukan agar pembelajaran IPS benar-benar fokus kepada upaya membekali siswa kemampuan dan keterampilan dasar dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat.

  d. Materi IPS Peneliti mengambil materi permasalahan sosial dalam penelitian ini.

  Materi tersebut diajarkan di kelas IV semester II. Adapun Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang akan dijadikan bahan penelitian dijabarkan pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.5 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

  Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

  2. Mengenal sumber daya alam,

  2.4 Mengenal permasalahan sosial di kegiatan ekonomi, dan daerahnya. kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi.

   Sumber : KTSP

  Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di atas, maka dapat diketahui Standar Kompetensi yang akan dijadikan bahan penelitian yaitu mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi. Kompetensi Dasar yang akan dijadikan bahan penelitian adalah Mengenal permasalahan sosial di daerahnya.

  Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di atas, maka dapat diketahui materi yang akan dijadikan bahan dalam penelitian yaitu materi permasalahan sosial. Materi permasalahan sosial di kelas 4 mempelajari berbagai permasalahan sosial yang ada di daerah dan upaya untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

  Hasil penelitian yang sama persis dengan Penelitian yang akan diteliti tidak ditemukan oleh peneliti. Hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Singgih Santoso (2013) yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kolaboratif Dan Motivasi Belajar Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X Sma Negeri

  1 Purwantoro Wonogiri, Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar yang diberi perlakuan model pembelajaran kolaboratif lebih tinggi dibanding pada metode ceramah. Rata-rata hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kolaboratif lebih baik yaitu 12,949 dibandingkan dengan metode ceramah yaitu 10,949.

  Penelitian yang dilakukan oleh Singgih Santoso dan penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaaan dan persamaan. Perbedaan tersebut terletak pada teknik yang digunakan dalam model pembelajaran kolaboratif. Singgih Santoso melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dari model pembelajaran kolaboratif secara umum dan dikaitkan dengan motivasi belajar terhadap hasil belajar fisika, sedangkan peneliti akan melakukan penelitian untuk melihat pengaruh model pembelajaran kolaboratif dengan lebih spesifik yaitu dengan menggunakan salah satu teknik dalam pembelajaran kolaboratif yakni pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat

  

(syndicate group) terhadap hasil belajar IPS. Persamaan penelitian yang

  dilakukan oleh Singgih Santoso dan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dari model pembelajaran kolaboratif terhadap hasil belajar siswa.

C. Kerangka Berpikir

  Proses pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian hasil belajar. Guru sebagai ujung tombak di dalam kegiatan pembelajaran di kelas diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, serta melibatkan siswa secara aktif sehingga hasil belajar yang diharapkan dapat tercapai secara maksimal. Hasil belajar siswa tidak hanya diukur dari aspek kognitifnya saja, namun diukur secara keseluruhan yaitu dengan mengikut sertakan pengukuran pada aspek afektif dan aspek psikomotor.

  Agar tercipta kegiatan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan serta pencapaian hasil belajar yang optimal, maka guru memerlukan variasi model pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran kolaboratif teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) pada pembelajaran IPS.

  Diharapkan dengan menerapkan model pembelajaran tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap hasil belajar IPS materi permasalahan sosial.

  Berikut ini skema kerangka berpikir tentang penerapan model pembelajaran kolaboratif teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat

  (syndicate group) terhadap hasil belajar IPS materi permasalahan sosial:

  Model pembelajaran Kolaboratif teknik

  Berpengaruh terhadap pembelajaran sebaya tipe hasil belajar IPS (kognitif, kelompok sindikat (syndicate afektif, psikomotor)

  group)

  (Y) (X)

Gambar 2.1 kerangka berpikir penelitian D.

   Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka peneliti dapat merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :

  1. Adanya pengaruh yang lebih baik model pembelajaran kolaboratif teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) terhadap hasil belajar IPS aspek kognitif permasalahan sosial siswa kelas IV di SD Negeri Karangdadap.

  2. Adanya pengaruh yang lebih baik model pembelajaran kolaboratif teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) terhadap hasil belajar IPS aspek afektif materi permasalahan sosial siswa kelas IV di SD Negeri Karangdadap.

  3. Adanya pengaruh yang lebih baik model pembelajaran kolaboratif teknik pembelajaran sebaya tipe kelompok sindikat (syndicate group) terhadap hasil belajar IPS aspek psikomotor materi permasalahan sosial siswa kelas IV di SD Negeri Karangdadap.

Dokumen yang terkait

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP HASIL BELAJAR IPS SISWA KELAS IV SD NEGERI 2 RUKTI HARJO

1 12 61

PENGARUH MODEL COOPERATIF LEARNING TIPE ARTIKULASI TERHADAP HASIL BELAJAR IPS MATERI KENAMPAKAN ALAM DAN SOSIAL BUDAYA PADA SISWA KELAS IV SD

2 23 302

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Konsep 1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif - IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN PAI - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 41

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Matematika - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CONNECTING-ORGANIZING-REFLECTING-EXTENDING (CORE) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS VIII PADA MATERI GARIS SINGGUNG LINGKARAN DI SMPN 5

0 0 39

BAB II LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Model Pembelajaran a. Definisi Model Pembelajaran - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MEANS-ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII MATERI PRISMA DAN LIMAS DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL

1 1 38

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS IV SD

1 1 9

PENGARUH PENERAPAN TIPE MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PEMBELAJARAN IPS KELAS V

0 0 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Media Pembelajaran - BAB II KAJIAN PUSTAKA

1 28 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran a. Pengertian Model Pembelajaran - BAB II RANI

0 3 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Konsep Model Pembelajaran - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA BAHASA INDONESIA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PARTISIPASI PADA SISWA KELAS V MIS WAWOTOBI KECAMATAN WAWOTOBI KABUPATEN KONAWE - Repository IAIN Kendari

0 0 26