BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sosial Antarsiswa 2.1.1 Pengertian Interaksi Sosial Antarsiswa - VISI NURHAYATI BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Sosial Antarsiswa

2.1.1 Pengertian Interaksi Sosial Antarsiswa

  Interaksi sosial dipahami sebagai pengaruh timbal balik antara individu dengan golongan di dalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan didalam usaha mereka untuk mencapai tujuannya (Ahmadi,2007: 100). Sedangkan menurut Homans (dalam Haryanto:2011) interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya. Dalam Teorinya Thibaut dan Kelley (dalam Haryanto:2011) menjelaskan bahwa interaksi sosial adalah peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain. Disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara satu individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok yang saling memberikan pengaruh. Proses ini dapat terjadi antara orang dengan orang, orang dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Satu orang memberi dorongan kepada yang lain, kemudian dibalas dengan reaksi secara timbal balik. Dengan kata lain, proses dua arah di mana

  

9

  9

  10

  setiap individu atau group menstimulir yang lain dan mengubah tingkah laku dari pada partisipan.

  Menurut Karsidi (2008:14) proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di kelas. Di dalam kelas selama pembelajaran, komunikasi terjadi antara guru dan siswa, siswa dengan siswa untuk saling memberikan informasi atau mentransfer ilmu dan nilai.

  Berdasarkan seluruh pengertian di atas dan pernyataan Karsidi, interaksi antarsiswa merupakan hubungan timbal balik antara satu siswa dengan siswa lainnya, siswa dengan kelompok siswa, maupun kelompok siswa dengan kelompok siswa yang saling memberikan pengaruh. Satu siswa memberi dorongan kepada siswa lain, kemudian dibalas dengan reaksi secara timbal balik yang terjadi di dalam kelas atau kegiatan pembelajaran. Pengaruh yang saling diberikan oleh siswa dapat berupa nilai, tingkah laku, kebiasaan, atau ilmu.

2.1.2 Kelompok Sosial

  Sherif Sherif (dalam Ahmadi, 2007:77) memahami kelompok sosial sebagai unit sosial yang terdiri dari beberapa individu sebagai anggota kelompok di mana individu-individu tadi mempunyai status atau peran tertentu dan dalam unit sosial tadi berlakulah serangkaian norma-norma yang mengatur tingkah laku kelompok. Sedangkan Soerjono Seokanto (dalam Herozui:2012) kelompok sosial adalah kesatuan manusia yg hidup bersama, hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.

  11 Dengan demikian kelompok sosial adalah beberapa individu yang hidup

  bersama, saling melakukan hubungan timbal balik dan memiliki aturan-aturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Suatu unit sosial itu menunjukkan adanya hubungan-hubungan sosial, jalinan relasi yang timbal balik. Manusia tidak mungkin hidup tanpa kelompok, justru kelompok sosiallah yang menjadikan manusia dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana wajarnya. Melalui kelompok itulah individu dapat memuaskan kebutuhan keseluruhan yang fundamental dan memperoleh kesempurnaan yang terbesar. Tapi sebaliknya melalui kelompok itu pula dia dapat merasakan kekecewaan dan mengalami kesulitan-kesulitan yang amat sangat. Dalam masyarakat, untuk memasuki suatu kelompok seseorang harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Begitu juga di dunia anak, untuk dapat diterima menjadi teman seseorang harus memiliki kesamaan atau rasa kesatuan.

  Masih menurut Ahmadi (2007:79) peneliti setuju dengan pendapat Cooley, bahwa kelompok sosial dapat diklasifikasikan sebagai berikut yaitu:

  • yang terkuat dalam relasi intra group. Terdapat intimitas kerja sama dalam kelompok, dan terutama timbulnya sosialitas manusia dan ideanya, maka terjadilah fusi individualitas dalam keseluruhan, sehingga pribadi individu adalah pribadi kelompok. Rasa ke-kami-an merupakan expresi yang fundamental dan natural. Contohnya, dalam sebuah kelompok anak dalam bermain yang terbentuk sosial primair terdapat persatuan dan kesatuan, terdapatlah unitas di dalam totalitas relasi yang membentuk kesatuan dalam

  Kelompok Primair adalah suatu kelompok yang mempunyai rasa ikatan

  12

  tindakan dan pikiran. Ketika salah satu diantara mereka tidak menikmati les, namun anggota kelompok tersebut tetap menghadiri les dan tetap menikmati kegiatan tersebut asal dengan anggota kelompok lainnya. Di sekolah, bahkan rasa intimitas relasi dan rasa kebersamaannya lebih menonjol dibandingkan dengan keluarga. Kelompok sekundair memiliki hubungan-hubungan yang kausalitas, artinya

  • sebab-sebab tertentu yang menyebabkan terbentuklah kelompok sekundair, misalnya adanya ikatan ketertarikan. Walaupun saling bertemu, namun tidak intim dengan kelompok primer, sehingga membentuk kelompok sekunder yang memiliki jumlah anggota lebih besar dari pada kelompok primer. Hubungan sosial yang terjadi pada kelompok sekunder ini biasanya mempunyai organisasi yang tegas dengan peraturan yang tegas pula, misalnya adanya status organisasi, anggaran dasar, kewajiban dan hak para anggota yang diatur dalam peraturan, serta memiliki pemimpin yang terorganisir. Di sekolah, kelompok ini biasanya terdapat di dalam kelas. Meskipun di dalam kelas terdapat kelompok primair, namun mereka membentuk kelompok sekundair sebagai kesatuan anggota kelas yang biasa berinteraksi antar satu dengan yang lainnya.
  • insidental, misalnya orang yang sama-sama naik kendaraan umum untuk berangkat sekolah.

  Kelompok tertier, merupakan kelompok yang memiliki sifat sementara atau

  Menurut Hurlock (2010:252) kelompok sosial memiliki pengaruh terhadap perkembangan sosial, ketika anak-anak memasuki sekolah, guru mulai memasukkan pengaruh terhadap sosialisasi mereka, meskipun pengaruh

  13 teman sebaya biasanya lebih kuat dibandingkan pengaruh guru atau orangtua.

  Meningkatnya umur anak, jika nasehat yang diberikan oleh orang tua dan teman sebaya berbeda, maka anak cenderung lebih terpengaruh pada teman sebaya. Pengaruh tersebut sebenarnya berasal dari keinginan anak untuk dapat diterima oleh kelompok dan sebagian lagi dari kenyataan bahwa anak menggunakan waktu lebih banyak dengan teman sebaya.

  Sejalan dengan pendapat Santrock (2007;206) bahwa hingga umur 12 tahun mereka bermain, berkelompok, dan membina persahabatan pada kelompok yang berjenis kelamin sama semakin meningkat hingga 40 persen pada umur 7-11 tahun. Kelompok anak tidak hanya terbentuk karena jenis kelamin saja, namun ukuran interaksi di dalamnya. Interaksi yang terwujud pun bervariasi.

  Jadi, kelompok sosial memberikan pengaruh yang besar bagi keputusan anak dalam berbagai hal. Semakin besar keinginan anak untuk bergabung dalam suatu kelompok, semakin rentan pengaruh anggota lainnya, terutama pengaruh dari mereka yang mempunyai status dalam kelompok. Selain itu, semakin menarik kelompok itu bagi anak-anak, semakin ingin mereka diterima dan bersedia dipengaruhi oleh kelompok tersebut.

2.1.3 Kelas Sebagai Sistem Sosial

  Menurut Ahmadi (2007:78) kelas merupakan situasi sosial dalam group yang bersifat relatif permanen. Dalam situasi ini, status individu dan anggota kelompoknya dapat diketahui dengan nyata, misalnya dalam organisasi kelas biasanya terdapat pemimpinnya yang biasa disebut sebagai ketua kelas. Hal tersebutlah yang membentuk kelas sebagai sistem sosial.

  14 Karsidi (2008:87) menjelaskan bahwa kelas merupakan gabungan dari

  individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan.

  Sedangkan menurut Horton dan Hunt, 1984 kelas merupakan sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Dengan demikian, kelas adalah kelompok sosial yang terdiri dari beberapa orang yang saling berinteraksi dan memiliki peran masing-masing.

  Berikut beberapa hal yang terdapat di kelas sebagai suatu sistem sosial.

a. Struktur Sosial Kelas

  Menurut Karsidi (2008:88) ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul pribadi-pribadi dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda- beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat sebagai berikut:

  1) Komposisi Anggota

  Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada di kelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antar personalnya.

  2) Struktur Birokasi Berupa Peran dan Status

  Kelas memiliki tata aturan yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa sebagai pengurus kelas. Lahirlah berbagai jabatan yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan

  15

  sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya.

b. Iklim Sosial di Kelas

  Menurut Faisal dan Yasik,1985 (dalam Karsidi, 2008:91) terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas, yaitu: 1)

  Iklim Terbuka Tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas.

  2) Iklim Mandiri

  Siswa memiliki kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka.

  3) Iklim Terkontrol

  Titik pusat kebijakan guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. 4)

  Iklim Persaudaraan Hubungan antara guru dan siswa terjalin dengan erat baik di dalam atau di luar kegiatan pembelajaran.

  5) Iklim Tertutup

  Guru mengharapkan siswa berinisiatif sendiri, namun guru tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak ada keterbukaan dan komunikasi yang efektif.

  16 Dengan demikian, iklim yang terbentuk di suatu kelas alangkah baiknya

  merupakan gabungan dari iklim-iklim tersebut. Guru tidak boleh terlalu keras, terlalu dekat, terlalu tertutup, namun guru harus melakukannya pada waktu- waktu tertentu ketika hal tersebut dibutuhkan. Misalnya ketika siswa sedang belajar kerjasama, maka berikanlah sikap yang fleksibel dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bekerjasama dengan teman satu kelompoknya.

  Menurut Parson (dalam Karsidi,2008:14) kelas merupakan suatu sistem sosial yang memfasilitasi anak untuk melakukan proses sosialisasi dengan lingkungannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan murid hanya dikenal dalam lingkungan sekolah saja. Ada juga kedudukan murid yang lebih formal seperti ketua kelas. Murid mempunyai kedudukan yang bersifat tak formal dan hanya diketahui dalam kalangan sekolah itu saja.

  Murid melakukan interaksi di kelas dan sekolah dengan aturan dan tata tertib yang telah disepakati, mereka menjalankan kedudukannya dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain sebagai sebuah sistem sosial yang berjalan terus menerus.

2.1.4 Macam Kedudukan Siswa dalam Kelas

  Nasution (2011:81) menjelaskan bahwa di sekolah dapat kita temukan macam-macam kedudukan murid salah satunya adalah klik atau kelompok persahabatan di sekolah. Suatu klik terbentuk bila dua orang atau lebih saling merasa persahabatan yang akrab dan karena itu banyak bermain bersama,

  17

  sering bercakap-cakap, merencanakan dan melakukan kegiatan yang sama di dalam maupun di luar sekolah. Mereka saling merasakan apa yang dialami oleh salah satu anggota kelompoknya dan saling mengungkapkan apa yang terkandung dalam hatinya termasuk apa yang dirahasiakannya kepada orang lain, seperti hubungan mereka dengan orang tua atau dengan jenis kelamin lain dan kesulitan-kesulitan pribadi lainnya. Klik memang tidak memiliki peraturan yang jelas, namun terdapat kriteria atau nilai yang dijadikan alasan diterimanya seseorang menjadi anggota baru dan melakukan tindakan jika ia tidak memenuhi syarat. Meskipun keanggotaan bersifat sukarela dan tak formal, seseorang akan diterima dan ditolak berdasarkan atas persetujuan bersama. Bila klik ini mempunyai sikap anti-sosial maka klik itu dapat menjadi geng. Mereka mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi dan sikap ini dapat menimbulkan konflik dengan sekolah dan klik-klik lainnya.

  Pengelompokan atau pembentukan klik (clique) mudah terjadi di sekolah. Klik biasanya terbentuk karena mereka memiliki kegemaran dan minat yang sama, ekonomi, dan lainnya. Namun, pengelompokan murid atau adanya berbagai klik dalam sistem sosial kelas mempengaruhi anggota kelompok itu ke arah yang baik akan tetapi juga ke arah yang merugikan pelajaran. Tidak setiap guru dapat menggunakan atau bahkan melihat kemungkinan penggunaan klik untuk kepentingan pendidikan, misalnya untuk mempertinggi motivasi belajar, memelihara, dan mempertahankan norma- norma kelakuan yang baik atau mempertinggi efektivitas pendidikan.

  18

  2.1.5 Proses Interaksi Sosial di Kelas

  Menurut Selo Soemardjan (dalam Saputra:2013) proses sosial adalah hubungan timbal balik antara manusia (individu) dengan berbagai segi kehidupan bersama. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (dalam Haryanto:2011) bahwa proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.

  Dengan demikian, proses sosial adalah suatu proses yang terjadi jika seseorang bertemu dengan orang lain atau suatu kelompok bertemu dengan kelompok lain dan melakukan hubungan sosial seperti saling menyapa, menanyakan kabar, berbincang-bincang, kerjasama dan sebagainya. Di kelas, proses sosial terjadi selama proses pembelajaran, siswa saling berbincang- bincang atau berdiskusi selama kegiatan belajar berlangsung. Mereka saling menularkan ilmu yang didapatkan.

  2.1.6 Macam-macam atau bentuk Interaksi Antarsiswa

  Menurut Ahmadi (2007:100) macam-macam interaksi sosial berdasarkan proses sosial ada yang berbentuk positif, ada pula yang berbentuk negatif.

  Interaksi sosial positif dinamakan integrasi, yaitu proses menyatukan. Hal tersebut terjadi apabila keseluruhan anggota-anggota keseluruhan kelompok yang dimaksud itu berkemauan untuk tetap pada kelompoknya, seolah-olah satu sama lain saling terikat. Sedangkan yang negatif dinamakan dengan disintegrasi proses, yaitu proses yang memisahkan.

  19 a.

  Termasuk dalam proses yang menyatukan (integrasi) ialah: 1.

  Cooperation (koperasi) Koperasi ialah bentuk kerjasama di mana satu sama lain saling membantu guna mencapai tujuan bersama. Di dalamnya terdapat dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu tugas untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan bersama. Ada jenis koperasi yang didasarkan perbedaan di dalam organisasi group atau di dalam sikap group, yaitu:

  a) Kerjasama primer

  Group dan individu berlebur menjadi satu. Seluruh kehidupan individu mengisi kehidupan group dan masing-masing saling mengejar untuk masing-masing pekerjaan, demi kepentingan seluruh anggota dalam group.

  b) Kerjasama sekunder Kerja sama ini adalah kerja sama khas pada masyarakat modern.

  Setiap individu hanya membaktikan sebagian dari hidupnya kepada group. Sikap orang lebih individualistis dan mengadakan perhitungan- perhitungan. Kerjasama semacam ini dapat terjadi di dalam kelas. Jadi, kerjasama adalah beberapa orang untuk menyelesaikan suatu kegiatan atau tujuan secara bersama-sama. Mereka membagi tugas dan saling menolong dalam menyelesaikan tujuan tersebut.

2. Consensus (kerjasama)

  Consensus yang dimaksudkan suatu persetujuan, baik yang diucapkan maupun tidak. Hal ini terjadi ketika dua orang atau lebih saling

  20

  memelihara hubungan dan mereka memandang sebagai kepentingan sendiri.

3. Assimilation (assimilasi)

  Assimilasi adalah proses dua kebudayaan yang berbeda, lama kelamaan berkembang sehingga menjadi sejarah. Asimilasi hanya terjadi pada orang atau golongan yang datang dari kebudayaan lain.

3. Termasuk dalam proses yang memisahkan ialah: 1.

  Conflict (persekutuan) Konflik adalah usaha yang dengan sengaja menentang, melawan, atau memaksa kehendak orang lain. Konflik timbul dari adanya kepentingan yang bertentangan, terutama kepentingan ekonomi, dan sering juga karena perebutan kedudukan dan kekuasaan. Berdasarkan terjadinya konflik ada dua macam, yaitu Corparete conflict dan personal conflict. Corporate

conflict yaitu terjadi antara group dengan group dalam satu masyarakat.

  Sedangkan Personal conflict, yaitu terjadi pada individu dengan individu. Biasanya hal ini disebabkan karena permasalahan kecil, kekuasaan, kekayaan, iri hati, dan sebagainya.

2. Competition (persaingan) Persaingan ada hubungannya dengan konflik, namun berbeda.

  Kompetisi tidak mengandung usaha dengan sengaja untuk menentang kehendak orang lain dan tidak mengandung paksaan. Norma-norma moral

  21 menjadi landasan dalam persaingan, sedangkan konflik tidak demikian.

  Misalnya untuk prestasi akademik siswa untuk menjadi bintang kelas. Murid harus bersaing dengan murid-murid lainnya dalam berbagai hal. Sedangkan Nasution (2011:137) menjelaskan bahwa angka-angka yang diberikan oleh guru sebagai nilai sering dijadikan bahan atau dasar perbandingan jadi persaingan. Murid yang mencapai prestasi yang baik mendapat angka yang tinggi sedangkan mereka yang prestasinya buruk mendapat angka rendah. Diadakannya rangking dalam buku rapor dan diberikannya penghargaan kepada juara kelas mempertajam persaingan.

  Jiwa persaingan tidak tenyap meskipun metode penggunaan angka diganti dengan bentuk uraian. Semua siswa ingin masuk ke dalam kelompok yang lebih baik.

2.1.7 Teman Sebaya dan Sosialisasinya

  Sebaya adalah orang yang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama (Santrock,2007:205). Salah satu fungsi terpenting sebaya memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Mereka melakukan umpan balik dan melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan dengan ukuran lebih baik, sama baiknya, atau lebih buruk dari yang dilakukan anak lain. Dengan teman sebaya, anak-anak belajar memformukasikan dan menyatakan pendapat mereka, menghargai sudut pandang sebaya, menegosiasikan solusi atau perselisihan secara kooperatif, dan mengubah standar perilaku yang diterima oleh semua. Selain itu, mereka

  22

  saling memberi dan menerima dalam mengembangkan pemahaman sosial dan logika moral mereka.

  Hubungan sebaya bisa negatif maupun positif. Ditolak atau diabaikan oleh sebaya membuat beberapa anak merasa kesepian dan dimusuhi.

  Penolakan tersebut dapat dikarenakan cacat, latar belakang, prestasi, dan sebagainya. Terkadang budaya sebaya menjadi pengaruh buruk yang melemahkan nilai dan kontrol orang tua. Sebaya dapat memperkenalkan anak pada kenakalan atau perilaku yang dipandang melanggar norma. Pada masa kanak-kanak, aktivitas berinteraksi dengan teman sebaya mencapai lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun. Hubungan timbal balik menjadi sangat penting, apalagi pada masa akhir kanak-kanak meningkatnya ukuran grup sebaya dan interaksi sebaya mereka yang lebih menarik perhatian orang dewasa. Bentuk interaksi yang sering terjadi adalah kooperatif, kompetitif, bising dan hening, bergembira dan memalukan. Sekitar umur 5 tahun ke atas, kelompok anak laki-laki cenderung terlibat pada permainan yang kasar, kompetitif, konflik, pertunjukan ego, mengambil resiko, dan mencari dominasi. Sebaliknya, kelompok perempuan cenderung terlibat dalam percakapan kolaboratif. Dalam Santrock (2007:211) bahwa ahli perkembangan telah membedakan lima status sebaya yang diterima secara sosial, yaitu:

  • jarang tidak disukai oleh sebaya mereka.

  Anak-anak populer sering didominasikan sebagai sahabat dan

  23 Anak-anak rata-rata menerima nominasi positif dan negatif rata-

  • rata dari sebaya mereka. Anak-anak diabaikan, jarang dinominasikan sebagai sahabat tetapi
  • tidak dibenci oleh sebaya mereka. Anak-anak yang ditolak jarang dinominasikan sebagai sahabat dan
  • dibenci secara kolektif oleh sebaya mereka. Anak-anak kontroversial, sering dinominasikan sebagai teman baik
  • seseorang tapi juga sebagai orang yang tidak disukai.

  Teman sekolah yang berada di kelas yang sama merupakan teman sebaya yang paling sering ditemui selain di lingkungan rumah. Mereka memiliki waktu yang berjam-jam dalam satu hari untuk berinteraksi dalam proses pembelajaran. Mereka mendapatkan kebahagiaan dan kekecewaan dari hasil interaksinya tersebut.

  Menurut Nasution (2011:51) Masyarakat sekolah mempengaruhi anak dalam pergaulannya dengan anggota-anggota lain dalam masyarakat itu.

  Sekolah biasanya terlampau memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian ialah memupuk hubungan sosial atau sosialisasi di kalangan murid-murid. Pendidikan antar murid, antar golongan bergantung pada struktur sosial murid. Ada tidaknya golongan minoritas di kalangan mereka yang mempengaruhi hubungan antar kelompok itu.

  Petersen (2008;163) berpendapat bahwa bila murid-murid dapat bergaul dengan baik, biasanya mereka juga menunjukan perilaku dan sikap yang positif dan saling membantu. Mereka juga saling memberikan dorongan

  24

  untuk belajar, saling memberikan saran, dan saling menolong. Bila diterapkan di kelas, antara murid-murid yang mempunyai hubungan baik, dalam banyak hal akan terjadi tolong menolong. Bisa jadi bantuan tersebut bersifat pasif, misalnya tidak akan mengalihkan perhatian teman yang sedang mengerjakan tugas atau mengganggu anak yang sedang belajar. Murid juga dapat saling membantu menyelesaikan tugas atau bersama-sama mencari strategi belajar.

  Dalam kerja kelompok, murid dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab serta kewajiban untuk mencapai tujuan bersama guna menciptakan hubungan sosial yang harmonis dalam kelompok tersebut. Mengingat guru juga merupakan anggota kelompok tersebut serta partner dalam kelompok kelas, maka guru menjadi lebih dihormati dan didengarkan oleh para murid.

  Petersen sangat menyayangkan bahwa hubungan antarsiswa sekelas dan antara murid dengan guru di kelas sering kurang menunjukkan suasana saling membantu. Sering kali yang menjadi pusat perhatian dalam kelas ialah aspek negatif perilaku serta peringkat pencapaian akademi murid. Hal ini khususnya terjadi bila kelompok telah terbentuk dan anak bermasalah sudah diidentifikasi bahkan sudah diberi cap buruk, baik oleh kawan-kawan sekelas maupun oleh guru. Dalam hal ini anak tersebut akan mengalami gejolak emosional setiap saat, kehilangan harga diri, rasa percaya diri, motivasi, serta gairah untuk bekerja sama baik bidang sosial maupun bidang akademi. Aspek-aspek ini suatu saat akan mempengaruhi suasana dan mutu lingkungan kelas. Anak yang memiliki reputasi bagus secara khusus ingin membangun kesan yang berbeda manakala mereka harus menghapus kesan sebagai anak

  25

  buruk atau bodoh dan sanggup memberikan sumbangan positif untuk kelasnya. Kesan baru dengan mudah dapat dibangun pada kelas ketika anggotanya satu sama lain saling melihat sisi positif temannya sehingga dapat membina hubungan yang baik. Dengan kata lain, murid dan guru hendaknya mencari sisi baik atau kebaika dan mengesampingkan hal-hal negatif guna membina kesan baik bagi seluruh isi kelas. Sudah tentu setiap murid perlu dukungan agar dapat memperoleh rasa percaya diri.

  Menurut Hurlock (2010:250) terdapat beberapa proses seorang anak terjun ke dalam masyarakat atau lingkungan untuk bersosialisasi di dalamnya, yaitu: 1.

  Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima.

  2. Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial mempunyai pola atau kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi. Sebagai contoh, ada yang telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta bagi guru dan murid.

  3. Perkembangan sikap sosial. Untuk bermasyarakat atau bergaul dengan baik anak-anak harus menyukai orang dan aktivitas sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.

  26 Siswa dalam kelas berasal dari latar belakang yang berbeda, jika dalam

  kelas terdiri dari 40 siswa, maka kelas tersebut memiliki 40 sikap, pemikiran, dan kepribadian yang berbeda. Perbedaan tersebut dibawa selama proses interaksi. Mereka saling membantu dan bekerjasama, bahkan mereka akan saling mengejek dan bertengkar karena perbedaan yang timbul.

2.1.8 Perkembangan Sosial pada Masa Kanak-kanak Akhir Masa kanak-kanak saat memasuki sekolah dasar pada umur 6-7 tahun.

  Setelah anak memasuki sekolah, minat pada kegiatan keluarga mulai berkurang. Menurut Hurlock (2010:264-270) bahwa mereka sudah mulai berinteraksi secara kelompok dan memiliki teman bermain, sehingga minat untuk bergaul dan diterima oleh anak-anak lain bertambah.

  Pada usia sekolah, anak memasuki usia gang, yaitu usia yang pada saat itu kesadaran sosial mulai berkembang pesat. Menjadi pribadi sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang utama pada periode ini. Anak menjadi anggota suatu kelompok yang mampu mempengaruhi perilaku. Anggota gang dipilih karena mereka mampu melakukan hal-hal yang disukai anak lain, tidak karena mereka tinggal berdekatan satu sama lain dan juga tidak karena mereka dapat melakukan hal-hal yang disukai oleh satu atau dua orang anggota. Semakin banyak kesempatan mereka melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukannya dengan cara kerjasama.

  Sebagian besar gang pada masa kanak-kanak menunjang perkembangan kualitas yang baik. Gang mengajarkan anak-anak untuk bersikap demokratis,

  27

  untuk menyesuaikan keinginan dan perbuatan mereka dengan keinginan dan perbuatan kelompok, untuk bekerjasama dan mengembangkan keterampilan.

  Gang dapat meningkatkan sosialisasi, antara lain membantu anak bergaul dan berperilaku yang dapat diterima secara sosial bagi mereka, membantu anak mengembangkan kesadaran yang rasional dan skala nilai untuk melengkapi nilai orang tua yang cenderung otoriter, anak mempelajari sikap sosial yang pantas dan membantu kemandirian pribadi anak. Pola perilaku yang paling umum dipelajari oleh keanggotaan gang antara lain penerimaan dan penolakan sosial, kepekaan yang berlebihan, mudah dipengaruhi dan tidak mudah dipengaruhi, persaingan, sikap sportif, tanggung jawab, wawasan sosial, diskriminasi sosial, prasangka, dan antagonisme jenis kelamin.

  Sesuai dengan rentang umurnya, perkembangan anak kelas IV SD negeri berada pada umur 8-12 tahun. Umur 7 sampai 10 tahun seorang anak berada pada masa transisi dari moralitas heteronom menuju moralitas otonom (Santrock;2007;117). Pada masa moralitas heteronom bahwa anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah properti dunia yang tidak bisa diubah, dan tidak dikontrol. Dengan demikian, pada umur 7-10 tahun, mereka mulai merubah cara pikirnya bahwa mereka sadar akan peraturan dan hukuman yang di buat oleh manusia dan ketika menilai sebuah perbuatan, mereka mempertimbangkan niat dan juga konsekuensinya. Siswa percaya bahwa ketika peraturan di langgar akan diikuti dengan pemberian hukuman jika ada saksi mata, sehingga mereka tidak akan melakukan hal tersebut. Pemberian

  28 Immanent justice (hukuman atas pelanggaran) merupakan sebuah musibah, karena sebelumnya mereka telah melakukan pelanggaran.

2.2 Motivasi Belajar

  2.2.1 Pengertian Motivasi Belajar

  Mc. Donald (dalam Sardiman,2011:73) mengartikan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tangapan terhadap adanya tujuan. Dalam teorinya, M. Utsman Najati (dalam Saleh,2008:183) motivasi adalah kekuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas pada makhluk hidup dan menimbulkan tingkah laku serta mengarahkannya menuju tujuan tertentu.

  Dengan demikian, dapat diartikan bahwa motivasi belajar adalah kekuatau atau energi dalam diri seseorang untuk membangkitkan aktivitas belajarnya dalam rangka mewujudkan tujuan belajar yang telah siswa tentukan. Seseorang siswa akan mengalami perubahan energi pada dirinya ketika motivasi belajar muncul. Orang tersebut akan menjumpai persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan emosi untuk bertindak melakukan sesuatu dan dengan dirangsang atau didorong tujuan, kebutuhan atau keinginannya.

  2.2.2 Komponen dan Siklus Motivasi

  Menurut Saleh (2008:186) upaya pemenuhan perilaku termotivasi sehubungan dengan prinsip tersebut dapat dijelaskan oleh siklus motivasi di bawah ini:

  29 Ketegangan menurun Kebutuhan Ketegangan Pencapaian Pemunculan tujuan tingkah laku

  Gambar 2.1 Siklus Motivasi

  (Saleh,2009:186) Berdasarkan siklus di atas, terdapat komponen-komponen dalam siklus motivasi, yaitu kebutuhan, ketegangan, pemunculan tingkah laku, pencapaian tujuan, ketegangan menurun. Motivasi belajar hanya akan muncul jika seseorang benar-benar membutuhkan sesuatu yang ada dalam kegiatan belajar tersebut. Kebutuhan tersebut akan disertai dengan ketegangan yang dapat menjadikan seseorang mengalami ketidakseimbangan. Ketegangan dirinya akan mendorong untuk memunculkan tingkah laku yang terarah pada pencapaian tujuan. Jika tujuan tercapai, maka ketegangan menurun.

  Menurut Nasution (2012:74) kebutuhan akan menimbulkan keadaan ketidakseimbangan, rasa ketegangan yang meminta pemuasan, agar kembali kepada keadaan keseimbangan. Saat manusia kembali pada keseimbangan, maka pada saat tertentu muncullah kebutuhan baru. Hal ini berarti dorongan pada diri manusia pada dasarnya tidak hilang, tetapi berkurang. Apapun yang menjadi landasan dari pemunculan motivasinya, seseorang akan terdorong untuk meregulasi tingkah lakunya dalam mencapai tujuan-tujuannya. Siswa

  30

  yang memiliki motivasi belajar, didorang dari kebutuhan yang paling mendasar. Jika kebutuhan fisiknya terpenuhi dan siswa memperoleh rasa nyaman di dalam kelas, maka ia memiliki motivasi untuk memperoleh penghargaan dan mengaktualisasikan dirinya dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa memiliki tujuan dalam mengikuti pembelajaran, selain itu siswa memiliki keinginan untuk lebih baik atau keinginan untuk membahagiakan orang-orang yang ada di sekelilingnya dengan mendapatkan nilai yang maksimal. Dorongan tersebut dapat menimbulkan motivasi belajar siswa.

2.2.3 Kebutuhan dan Teori tentang Motivasi Belajar

  Menurut Sardiman (2011:77) seseorang melakukan aktivitas karena didorong adanya faktor-faktor kebutuhan biologis, insting, dan unsur-unsur kejiwaan lain serta adanya pengaruh perkembangan budaya manusia. Berhubungan dengan kegiatan belajar, menciptakan kondisi yang mengarahkan siswa untuk melakukan aktivitas belajar dengan baik merupakan hal yang penting. Guru harus mampu melakukan usaha-usaha untuk dapat menumbuhkan dan memberikan motivasi agar anak didiknya melakukan aktivitas belajar.

  Sardiman (2011:77) menekankan bahwa kegiatan belajar harus didasari dengan motif yang baik, karena jika motif hanya sekedar karena rasa takut, terpaksa, kelas akan menghasilkan hasil belajar yang semu dan tidak tahan lama. Motivasi yang dimiliki seseorang untuk melakukan aktivitas belajar

  31

  muncul karena faktor biologis, insting, dan unsur-unsur kejiwaan lain tidak dapat dipisahkan dari soal kebutuhan baik yang bersifat biologis maupun psikologis. Seseorang akan melakukan sesuatu karena adanya kebutuhan, hal ini membuktikan bahwa motivasi belajar selalu berkaitan erat dengan kebutuhan. Motivasi belajar yang selalu berkaitan dengan kebutuhan tentu akan berubah-ubah atau dinamis sesuai dengan keinginan dan perhatian siswa. Sesuai dengan kebutuhan, maka timbullah teori motivasi belajar. Berikut beberapa macam kebutuhan anak menurut Morgan (Nasution,2012:74): 1.

  Kebutuhan untuk berbuat sesuatu demi kegiatan itu sendiri. Suatu kegiatan tertentu mengandung kegembiraan bagi anak.

  2. Kebutuhan untuk menyenangkan hati orang lain. Harga diri banyak bergantung pada berhasil tidaknya usaha itu.

  3. Kebutuhan untuk mencapai hasil. Hasil baik dalam pekerjaan yang disertai oleh pujian merupakan dorongan bagi seseorang untuk bekerja dengan giat.

  4. Kebutuhan untuk mengatasi kesulitan.

  Menurut Maslow (dalam Feist,2011:330) bahwa orang-orang berulang kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan. Ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanya kebutuhan tersebut berkurang kekuatan untuk memotivasinya dan digantikan oleh kebutuhan lain. Kebutuhan-kebutuhan dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki, yaitu:

  Gambar 2.2 Piramida Hierarki Kebutuhan Maslow

  (Feist,2011:332) 1. Kebutuhan Fisiologis seperti makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu tubuh, dan lain sebagainya.

  2. Kebutuhan akan Keamanan seperti keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, ketentraman, kebutuhan hukum, dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mengancam.

  3. Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan yaitu keinginan untuk berteman, menjadi bagian sebuah perkumpulan, lingkungan masyarakat.

  4. Kebutuhan akan Penghargaan yaitu untuk memperoleh penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan dan pengetahuan yang orang lain hargai tinggi, reputasi dan harga diri.

  5. Kebutuhan akan aktualisasi diri yaitu pemenuhan diri, sadar akan semua potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreatif mungkin.

  Setiap tingkatan di atas, hanya dapat dibangkitkan apabila telah terpenuhi tingkat motivasi di bawahnya. Guru yang menginginkan siswanya belajar dengan baik, maka harus dipenuhi tingkat terendah sampai yang tertinggi. Anak yang lapar karena tidak sarapan, merasa tidak aman karena menerima perlakuan bullying, bahkan tidak dikasihi, tidak diterima sevagai anggota kelompok kelas, goncang harga dirinya, tentu tidak dapat belajar dengan baik. Konsep Maslow tentang kebutuhan mewujudkan diri sendiri merupakan keinginan untuk menjadi apa saja yang sanggup dicapai seseorang.

  Aktualisasi diri Penghargaan Cinta dan Keberadaan Keamanan

  Fisiologi

  32

  33 Dengan melihat hal di atas, segala kebutuhan siswa harus terpenuhi dari

  dasar agar proses pembelajaran tidak terganggu. Proses pembelajaran dapat terganggu jika siswa tidak mampu memenuhi kebutuhannya, namun jika kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik maka proses pembelajaran dapat terjadi dengan baik.

2.2.4 Fungsi Motivasi Belajar

  Seorang siswa belajar tekun agar dapat mengalahkan teman-temannya dan menjadi bintang kelas. Seorang siswa berlatih menggambar agar gambarnya mendapat pujian dari guru dan temannya. Kegiatan tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh motivasi. Intensitas motivasi menentukan tingkat pencapaian keberhasilan belajar. Menurut Sardiman (2011:84) terdapat 3 fungsi motivasi belajar:

  1. Mendorong siswa untuk berbuat, motivasi belajar menjadi motor penggerak dari setiap kegiatan pembelajaran yang akan dikerjakan.

  2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.

  Dengan demikian motivasi belajar dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

  3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan kegiatan yang harus dikerjakan guna mencapai tujuan dan menghindari kegiatan yang tidak bermanfaat.

  Fungsi motivasi belajar pada intinya sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi, artinya siswa melakukan suatu usaha karena adanya motivasi belajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang baik akan menunjukan hasil yang baik pula.

  34

2.2.5 Macam atau bentuk Motivasi Belajar

  Sardiman (2011:88) menyebutkan beberapa macam atau bentuk motivasi Belajar yaitu motivasi belajar intrinsik dan motivasi belajar ekstrinsik.

  a.

  Motivasi Belajar Intrinsik Motivasi belajar intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap siswa sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Seseorang siswa belajar karena dia memang benar-benar ingin mengetahui segala sesuatu, bukan karena ingin dipuji atau mendapatkan imbalan dari orang lain.

  b.

  Motivasi Belajar Ekstrinsik Motivasi belajar ekstrinsik adalah motif-motif belajar yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak beraitan dengan aktivitas belajar. Keadaan siswa yang dinamis, berubah-ubah, dan proses pembelajaran yang mungkin kurang menarik bagi siswa, sehingga guru perlu membangun motivasi belajar ektriksik. Menurut Santrock (2007:261) motivasi belajar intrinsik dan ekstrinsik bukanlah dua sisi mata uang, kedua motivasi belajar tersebut tidak memiliki efek yang sama. Dengan demikian, guru harus mampu mengembangkan iklim kelas menjadi lebih baik sehingga siswa termotivasi secara intrinsik untuk belajar. Guru dan siswa harus mampu bekerjasama dalam mewujudkan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.

  Cara menumbuhkan motivasi belajar bermacam-macam, namun guru harus hati-hati dalam menumbuhkan dan memberikan motivasi bagi kegiatan belajar para anak didik. Motivasi belajar ekstrinsik kadang-kadang tepat, dan kadang juga bisa kurang sesuai. Terkadang guru bermaksud memberikan motivasi belajar tetapi justeru tidak menguntungkan perkembangan belajar siswa. Menurut Sardiman (2011:92) beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah, yaitu: 1.

  Memberikan angka Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya.

  Angka-angka yang baik yang diperoleh siswa merupakan motivasi belajar yang sangat kuat, sehingga demi memperolehnya siswa belajar dengan sungguh-sungguh. Siswa yang memperoleh angka yang baik, akan memiliki rasa bangga terhadap dirinya sendiri. Siswa yang hanya menginginkan yang terpenting adalah naik kelas menunjukan memiliki motivasi yang kurang baik dibandingkan siswa yang ingin memperoleh angka yang baik. Guru perlu memunculkan nilai yang terkandung dalam materi yang diberikan, agar siswa tidak sekedar memperoleh angka yang tinggi namun memiliki keterampilan.

  35

2.2.6 Bentuk-bentuk Motivasi Belajar di Sekolah

  36 2.

  Hadiah Hadiah dapat menjadi motivasi belajar, namun tidak selamanya demikian. Hadiah dari suatu pekerjaan mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk suatu pekerjaan tersebut. Guru harus hati-hati dalam memberikan hadiah atau imbalan.

  Pemberian hadiah penting untuk meningkatkan motivasi, namun guru harus menghindari pemberian imbalan materi jika hal itu tidak diperlukan.

  Memberikan imbalan untuk memulai kegiatan mungkin diperlukan, namun ketika kegiatan sudah berjalan, hal tersebut dapat dikurangi secara bertahap (Slavin,2009:132).

3. Saingan/ kompetisi

  Persaingan pribadi atau kelompok akan meningkatkan motivasi belajar siswa untuk belajar. Siswa akan berlomba-lomba untuk menjadi lebih baik dari orang lain, terbaik atau tidak terkalahkan. Kemudian, menurut Nasution (2012:78) terdapat beberapa sikap anak-anak yang berlainan terhadap persaingan :

  • persaingan;

  Ada yang ingin mempertinggi harga diri bila menang dalam

  Ada yang tak suka, tak berani bersaing;

  • Ada yang tak acuh, karena tak ada harapan menang.
  • Sardiman (2011:92) menyatakan bahwa persaingan dapat merusak proses pembelajaran pula meskipun banyak keuntungan yang diwujudkan.

  37 Sifat merusak tersebut adalah yang tampil hanya anak-anak yang baik saja

  dengan merendahkan harga diri anak-anak lain. Dalam persaingan setiap peserta diancam oleh rasa takut akan kegagalan, namun persaingan tetap dibutuhkan untuk menanamkan jiwa kompetitif dan sportivitas.

4. Ego-involvement

  Seseorang akan mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga dirinya. Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri adalah salah satu bentuk motivasi belajar yang cukup penting. Menyelesaikan tugas dengan baik adalah simbol kebanggaan dan harga diri bagi siswa.

  5. Memberi ulangan Siswa akan giat belajar jika mengetahui akan diadakannya ulangan, sehingga ulangan menjadi sarana motivasi belajar. Sebaiknya jika ulangan dilakukan setiap hari tidak akan berarti lagi.

  6. Mengetahui hasil Siswa harus mengetahu hasil pekerjaannya. Hasil belajar yang bagus dan mengalami kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar.

  Siswa yang mengetahui hasil belajarnya terus meningkat, maka ada

  39

  motivasi belajar pada diri siswa untuk terus belajar dengan harapan hasilnya akan terus meningkat.

7. Pujian

  Pujian merupakan bentuk reinforcement yang positif sekaligus merupakan motivasi belajar yang baik. Siswa yang sukses menyelesaikan tugas perlu diberikan pujian, sehingga suasana akan menjadi lebih menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar sekaligus membangkitkan harga diri. Pujian dapat digunakan untuk memperkuat perilaku yang tepat dan memberikan umpan balik kepada siswa tentang apa yang mereka lakukan dengan benar. Hal terpenting dalam memberikan pujian adalah cara memberikannya.

  Menurut Sutherland, Wehby dan Copeland (dalam Slavin,2009:140) bahwa pujian bersyarat tergantung pada kinerja siswa tentang perilaku yang telah ditetapkan dengan baik. Pujian diberikan hanya untuk jawaban yang benar dan perilaku yang tepat. Pujian khusus berarti guru memuji siswa karena perilaku khusus, bukan karena kebaikan umum. Pujian terpercaya diberikan dengan tulus karena pekerjaan yang baik.

  Sedangkan menurut Nasution (2012:81) pujian lebih bermanfaat daripada hukuman atau celaan. Guru yang memuji anak karena tulisannya, ketelitian, tingkah laku, dan sebagainya dapat memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi harga diri anak.

  40 8.

  Hukuman Hukuman sebagai reinforcement yang negatif harus diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi belajar. Contohnya jika siswa memang telah melanggar peraturan yang melampaui batas.

9. Minat

  Motivasi tumbuh karena ada kebutuhan dan minat. Proses pembelajaran akan berjalan lancar kalau disertai minat.

  Bentuk motivasi belajar dapat dimodifikasi dan dikembangkan agar mendapatkan hasil belajar yang bermakna. Siswa rajin belajar pada mulanya karena ada sesuatu dan guru harus mampu melanjutkan dan mempertahankan rajin belajar pada diri siswa untuk menuju kegiatan pembelajaran yang lebih bermakna.

2.2.7 Ciri-ciri Siswa yang Memiliki Motivasi Belajar

  Menurut Martin Handoko, 1992 (dalam Prasti:2011) untuk mengetahui kekuatan motivasi belajar siswa, dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut :

  1) Kuatnya kemauan untuk berbuat;

  2) Jumlah waktu yang disediakan untuk belajar;

  3) Kerelaan meninggalkan kewajiban atau tugas yang lain;

4) Ketekunan dalam mengerjakan tugas.

  Menurut Sardiman (2012:83) terdapat beberapa ciri-ciri siswa yang memiliki motivasi belajar: a.

  Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama dan tidak pernah berhenti sebelum selesai); b.

  Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin; c.

  Menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah untuk orang dewasa (misalnya masalah pembangunan agama, pollitik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindakan kriminal, amoral, dan sebagainya); d.

  Lebih senang bekerja mandiri; e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin(hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif); f.

  Dapat mempertahankan pendapatnya(kalau sudah yakin akan sesuatu); g.

  Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu; h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

  Peneliti setuju dengan karakteristik yang ditunjukkan oleh Sardiman bahwa seseorang siswa yang memiliki ciri-ciri seperti di atas, berarti orang itu selalu memiliki motivasi belajar yang cukup kuat dalam belajar. Kegiatan pembelajaran akan berhasil baik, jika siswa tekun mengerjakan tugas, ulet memecahkan berbagai masalah dan hambatan secara mandiri. Guru harus paham dengan hal tersebut, agar dalam berinteraksi dengan siswa dapat menciptakan motivasi belajar yang tepat dan optimal.

  Penelitian yang relevan bagi penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Helda Verina dengan judul “Hubungan Antara Interaksi Sosial Dengan Motivasi Berprestasi Pada Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan”

  41

2.3 Penelitian yang Relevan

  42

  pada tahun 2013. Penelitian tersebut bertujuan untuk menguji hubungan antara interaksi sosial dengan motivasi berprestasi pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Penelitian tersebut dilakukan dengan melibatkan 40 remaja yang tinggal di panti asuhan di daerah Jakarta Timur. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara interaksi sosial dengan motivasi berprestasi pada remaja yang tinggal di panti asuhan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Helda Varina dikatakan relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, karena fokus penelitian ditujukan pada interaksi sosial dan motivasi belajar meskipun pada subjek dan jenis penelitiannya berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Helda Varina adalah penelitian tersebut bertujuan untuk menguji hubungan antara interaksi sosial dengan motivasi belajar. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk interaksi yang terjadi antarsiswa dalam proses pembelajaran dan dampak positif serta dampak negatifnya bagi motivasi belajar siswa melalui studi deskriptif kualitatif.