BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Beban Kerja - NUR APIPAH BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Beban Kerja
1. Pengertian Everly dkk (dalam Munandar, 2005) mengatakan bahwa beban kerja adalah keadaan dimana pekerja dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu. Katagori lain dari beban kerja adalah kombinasi dari beban kerja kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja secara kuantitatif yaitu timbul karena tugas-tugas terlalu banyak atau sedikit, sedangkan beban kerja kualitatif jika pekerja merasa tidak mampu melakukan tugas atau tugas tidak menggunakan ketrampilan atau potensi dari pekerja.
Beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu (Wedati, 2005). Setiap pekerjaan pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya, beban dimaksud bias fisik, mental, sosial. Semakin tinggi keterampilan kerja yang dimiliki, semakin efisien beban, jiwa pekerja, sehingga beban kerja menjadi relative (Budi, 2005).
2. Dimensi beban kerja Menurut Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari, 2009) beban kerja perawat mempunyai 6 dimensi yaitu: a. Beban kerja fisik (physical workload) Beban kerja fisik yang dilakukan oleh perawat buakan hanya terdiri
dari tindakan keperawatan langsung seperti mengangkat, memindahkan,
dan memandikan pasien, tetapi juga tindakan keparawatan tak langsung
seperti mengambil dan mengirim alat-alat medis kebagian lain, repetisi
perjalanan keunit lain akibat adanya peralatan yang hilang atau tidak
perfungsi, atau bukan perjalanan kebagian yang sangat jauh dari unit
tempat ia berkerja (seperti pusat sterilisasi alat medis atau ruang rawat
lain) yang mana hal ini meningkatkan aktifitas berjalan (fisik) dari
perawat.Selain itu, tatanan ruang secara ergonomik dan fisik dari ruang
seringkali menambah beban kerja perawat. Keterbatasan luas ruang rawat
dan tempat penyimpanan alat seringkali menimbulkan masalah.
Kesibukan dan keterbatasan waktu menyebabkan banyak perawat lebih
memilih untuk melakukan pekerjaan tersebut sendirian dari pada meminta
bantuan kepada perawat atau tenaga lain.b. Beban kerja kognitif (cognitive workload) Beban kerja kognitif berhubungan dengan kebutuhan para perawat
untuk memproses informasi yang sering kali terjadi dalam waktu singkat.
Banyak situasi tertentu yang mengharuskan perawat mengambil keputusan
secara cepat yang mana ini berarti perawat harus secara cepat pula
melakukan penyesuaian kognitif terhadap pasien sepanjang pasien
dirawat, baik yang terencana (misal perubahan jadwal dinas) maupun yang
tidak terencana (perubahan kondisi pasien secara tiba-tiba). Selain itu
perawat secara terus menerus tetap melakukan tugas-tugas kognitifnya
selama melakukan lainnya (misal pemberian obat, mengambil alat-alat
yang diperlukankan pasien).c. Tekanan waktu (time pressure) Tekanan waktu berhubungan dengan hal-hal yang harus dilakukan secara cepat dan dalam waktu yang sangat terbatas. Tugas yang dilakukan oleh para perawat sangat banyak, yang dilakukan sesuai dengan waktu yang bersifat regular atau kekerapannya (misal memberikan obat, mengkaji, mengukur hasil, mendokumentasikan). Adanya gangguan pada tugas yang telah terpola ini menimbulkan peningkatan terhadap waktu yang ada.
d. Beban kerja emosional (emotional workload) Beban kerja emosional lazim terjadi pada lingkungan kerja.
Terkadang persepsi perawat dengan keluarga sering kali tidak sama yang mana hal ini menimbulkan konflik dan masalah.
e. Beban kerja kuantitatif (quantitative workload) dan beban kerja kualitatif
(qualitative workload)
Beban kerja kuantitatif didefinisikan sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan; sedangkan beban kerja kualitatif dinyatakan sebagai tingkat kesulitan dari pekerjaan yang dilakukan. Beban kerja kuantitatif perawat dapat diukur dengan menggunakan alat pengukur beban kerja berdasarkan tingkat ketergantungan pasien yang mengukur jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh perawat. Sedangkan beban kerja kualitatif berhubungan dengan jam kerja (work hours) yaitu jumlah peningkatan pekerjaan yang dilakukan perawat sesuai dengan peningkatan jumlah jam kerja.
f. Variasi beban kerja (workload variability) Variasi beban kerja adalah perubahan beban kerja yang berkesinambungan pada waktu tertentu. Situasi genting adalah contoh lain dari variasi beban kerja dimana pada keadaan ini tiba-tiba beban kerja meningkat sebagai konsekuensi adanya situasi gawat pada pasien, sehingga mereka harus berkonsentrasi menghadapi kondisi pasien yang tidak stabil.
Keenam dimensi diatas tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan, dimana dimensi yang satu mempengaruhi yang lain.
3. Sumber-sumber beban kerja Menurut Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari, 2009) model sistem kerja yang dapat digunakan dalam menjelaskan sumber-sumber beban kerja dan keterikatan antar dimensi dalam beban kerja. Adapun system kerja tersebut terdiri dari 5 elemen, antara lain: a. Individu perawat
b. Variasi tugas yang harus dilaksanakan (perawat langsung, tak langsung, tugas-tugas lain, karakteristik perawatan yang diberikan). c. Penggunaan alat-alat dan teknologi yang bervariasi.
d. Lingkungn fisik (ruangan pasien dan ruang perawat).
e. Kondisi khusus organisasi (jadwal dinas, manajemen keperawatan, kerja tim, komunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya).
Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari, 2009) menyatakan beban kerja fisik biasanya akan berhubungan dengan tugas-tugas dan karakteristik fisik dari tugas. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor organisasi dan aspek lingkungan kerja lainnya dapat mempengaruhi beban kerja perawat.
4. Standar Beban Kerja Menurut Gillies (dalam Nurcahyaningtyas, 2006), standar beban kerja perawat sebagai berikut: a. Dinas pagi Jam dinas = 420 menit. Jumlah jam efektif = 357 menit.
Beban kerja: K1=357. K2=714. K3=1071. K4=1428.
b. Dinas sore Jam dinas = 420 menit. Jumlah jam efektif = 357 menit.
Beban kerja: K1=357. K2=714. K3=1071. K4=1428
c. Dinas malam Jam dinas = 600 menit. Jumlah jam efektif = 510 menit Beban kerja: K1=510. K2=1020. K3=1530. K4=2040.
Keterangan: 1) K1: kategori klien dengan perawatan mandiri dan diberi bobot 1.
2) K2: kategori klien dengan perawatan minimal dan diberi bobot 2. 3) K3: kategori klien dengan perewatan moderat dan diberi bobot 3. 4) K4: kategori klien dengan perewatan ekstensif dan diberi bobot 4. 5) Untuk standar normal beban kerja dinas pagi didapatkan dengan penghitungan sebagai berikut: (K2+K3)/2 = (714+1071)/2 = 892,5 menit. 6) Untuk standar normal beban kerja dinas sore adalah 892,5 7) Untuk standar normal beban kerja dinas malam dengan jam dinas 10 jam (600 menit) didapatkan hitungan sebagai berikut : (K2+K3)/2 =
(1020+1530)/2 =1275 unit.
5. Klasifikasi Tingkat Ketergantungan Pasien
a. Kategori 1: Mandiri (Self Care) 1) Aktifitas hidup sehari-hari: pemenuhan kebutuhan makan dengan sedikit bantuan, mengurus hamper kebutuhan sendiri, kebutuhan eliminasi ke kamar mandi sendiri, kadang-kadang perlu bantuan tanpa terjadi inkontinesia, pemenuhan kebutuhan rasa nyaman sendiri.
2) Kesehatan secara umum baik untuk prosedur diagnostic sederhana atau pembedahan yang sederhana/minor.
3) Pendidikan kesehatan (health education) dan dukungan emosional secara rutin untuk tiap prosedur, follow up penyuluhan atau discharge
planning, tanpa reaksi emosional yang merugikan. Pasien mampu berorientasi terhadap waktu, kondisi fisik dan orang. b. Kategori II: Minimal Care 1) Aktifitas hidup sehari-hari: pemenuhan kebutuhan makan dibantu dalam menyiapkan makanan, pengaturan posisi, atau anjuran untuk makan, dapat makan sendiri, dapat mengurus kebutuhan yang utama tanpa dibantu atau dengan bantuan minimal, kebutuhan eliminasi dibantu kekamar mandi atau menggunakan urinal tanpa inkontinesia atau kondisi stres.
2) Kondisi umum dengan lebih dari satu keluhan sakit, memerlukan monitoring tanda vital, tes urine diabet, menggunakan drainage yang tidak terlalu banyak, atau menggunakan infus. 3) Penyuluhan/ pendidikan kesehatan dan dukungan emosional perlu 5 sampai 10 menit setiap kali masing-masing penyuluhan.
4) Pengobatan/medikasi memerlukan waktu 20 sampai 30 menit sekali tindakan.
5) Perlu evaluasi secara efektif terhadap medikasi (obat-obatan) atau tindakan yang sering dilakukan. Mungkin diperlukan observasi terhadap status mental.
c. Kategori III: Moderat Care 1) Aktifitas hidup sehari-hari: kebutuhan makan dibantu tetapi dapat mengunyah dan menelan sendiri, mengurus kebutuhan dengan bantuan, kebutuhan eliminasi menggunakan pispot/urinal. Kadang- kadang boleh turun, dengan frekuensi inkontinen 2 x sehari setiap shift.
2) Kondisi kesehatan secara umum menunjukan gejala akut dan dibantu.
Monitoring dan evaluasi kondisi fisik atau status emosional setiap 2 sampai 4 jam menggunakan continues drainage atau infus dimana perlu dimonitoring tiap jam. 3) Pendidikan kesehatan/ penyuluhan dan dukungan emosional memerlukan waktu 10 sampai 30 menit setiap kali pendidikan kesehatan. Takut, sangat khawatir atau tergantung pada penyuluhan itu. Pasien mungkin bingung, agitasi atau gelisah, tetapi dapat dikontrol dengan baik oleh obat-obatan, perlu diorientasi sering atau dipasang pengaman.
4) Tindakan-tindakan dan obat-obatan memerlukan waktu 30 sampai 60 menit sekali tindakan. Perlu observasi sering untuk efek sampingnya seperti reaksi alergi. Observasi tiap 1 jam untuk status mental pasien.
d. Kategori IV : Intensive Care 1) Aktifitas sehari-hari: tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri, sulit mengunyah dan menelan, kemungkinan menggunakan NGT, dibantu mengurus secara penuh kebutuhan mandi, merawat rambut dan mulut, eliminasi inkontinen lebih dari 2 kali shift, rasa nyaman perlu dibantu, mungkin memerlukan 2 orang.
2) Kondisi kesehatan umum sangat serius penyakit tampak gejala-gejala akut seperti pendarahan atau kehilangan cairan. Terdapat acut
repiratory. Perlu sering dievaluasi dan dimonitoring.
3) Pendidikan kesehatan dan dukungan emosional lebih dari 30 menit setiap kali pendidikan kesehtan. Pasien sangat menolak terhadap penjelasan perawat dan sangat menunjukan reaksi emosional. Pasien bingung, gelisah, agitasi dan tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan, sering diorientasikan atau perlu pengaman. 4) Tindakan dan pemberian obat-obatan memerlukan lebih dari 60 menit setiap kali tindakan. Tindakan kolaborasi dikerjakan lebih dari 1 x setiap shift atau memerlukan bantuan 2 orang. Perlu observasi yang lebih sering, yaitu lebih dari 1 x tiap jam untung status mental (Jokosuwito, 2001 dalam Nurcahyaningtias, 2006).
6. Pengukuran Beban Kerja Martini (2007), menjelaskan teknik work sampling melalui daily log merupakan salah satu teknikpengukuran beban untuk melihat beban kerja personil pada suatu unit bidang, ataupun jenis tenaga kerja tertentu dimana orang yang diteliti menuliskan sendiri beberapa kegiatan dan waktu yang akan digunakan untuk suatu kegiatan. Pada pendekatan work sampling melaluli dapat ditulis:
daily log a. Aktivitas apa yang sedang dilakukan personil pada waktu jam kerja.
b. Apakah aktivitas personil berkaitan dengan fungsi dan tugas pada waktu jam kerja.
c. Jenis dan frekuensi waktu kerja untuk kegiatan pokok keperawatan.
d. Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan skedul jam kerja.
Langkah-langkah penelitian beban kerja dengan metode work sampling melalui daily log, yaitu: a. Ditentukan personil yang akan diteliti
b. Bila jenis personil jumlahnya banyak dilakukan pemilihan sampel sebagai subyek yang akan diamati.
c. Membuat formulir daftar kegiatan pokok perawat
d. Pencatatan perawat dilakukan dengan interval 2-15 menit atau tergantung kebutuhan peneliti, makin pendek jarak waktu pengamatan makin banyak sampel pengamatan yang bias diamati oleh peneliti. Personil yng diamati tidaklah penting tetapi apa yang dikerjakan yang jadi pengamatan.
Menurut Jauhari (2005), standar beban kerja merupakan hasil pembagian waktu rata-rata yang dibutuhkan tiap kegiatan pokok dengan waktu kerja tersedia yang dimiliki oleh masing-masing kategori sumber daya manusia (SDM). Rata-rata waktu ditetapkan berdasarkan pengamatan selama penelitian dan kesepakatan bersama. Kegiatan pokok merupakan kumpulan atau gabungan kegiatan yang dilakukan oleh sumber daya manusia/ tenaga kesehatan sesuai kompetensi, kewenangan yang dimilikinya dan mengacu pada standar pelayanan, standar prosedur operasional yang berlaku.
Berdasarkan Mertini (2007), beban kerja dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: a. Beban kerja berat, jika proporsi waktu yang digunakan untuk kontak dengan pasien <80% dari jam kerja.
b. Beban kerja sedang, jika proporsi waktu yang digunakan untuk kontak dengan pasien <60% -79% dari jam kerja.
c. Beban kerja ringan, jika proporsi waktu yang digunakan untuk kontak dengan pasien >60% dari jam kerja.
B. Kinerja Perawat
1. Pengertian Kinerja merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Jadi kinerja perawat merupakan hasil yang dicapai oleh perawat menurut standar praktek asuhan keperawatan yang berlaku (Faizal, 2007).
Menurut Setyaningsih (Purwanto, 2008), kinerja perawat merupakan perwujudan dari sikap kerja perawat.
Gibson dalam (Purwanto, 2008), menjelaskan bahwa sikap merupakan perasaan positif ataupun negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Sikap lebih merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.
Sada dalam (Purwanto, 2008), menjelaskan sikap kerja adalah tindakan yang akan diambil karyawan dan segala sesuatu yang harus dilakukan karyawan tersebut yang hasilnya sebanding dengan usaha yang dilakukan. Misalnya, jika membagi tangguang jawab antara manejemen puncak dengan karyawan dari sudut pandang pekerjaan. Kedua hal diatas jelas berbeda.
Manajemen harus menanggung tanggung jawab tentang produk atau jasa tapi karyawan hanya menanggung proses bagaimana membuat produk atau jasa tersebut. Jika prosesnya benar pasti hasilnya akan baik.
Sikap kerja bisa dijadikan indikator apakah suatu pekerjaan berjalan lancar atau tidak. Jika sikap kerja dilaksanakan dengan baik maka pekerjaan akan berjalan lancer. Jika tidak berarti mengalami kesulitan. Tetapi harus diingat, bukan berarti adanya kesulitan karena tidak dipatuhinya sikap kerja, melainkan ada masalah lain lagi adalah hubungan antara karyawan yang akhirnya sikap kerjanya diabaikan.
Anik dalam (Purwanto, 2008), menjelaskan bahwa sikap kerja merupkan kencederungan pikiran dan perasaan puas atau tidak puas pada pekerjaannya.
Indikasi karyawan yang puas terhadap pekerjaannya akan bekerja keras, jujur, tidak malas, dan memajukan perusahaan. Sebaliknya karyawan yang tidak puas akan bekerja seenaknya, mau bekerja kalau ada pengawasan, tidak jujur yang akhirnya akan merugikan perusahaan.
Sikap kerja yang ditunjukan perawat di rumah sakit adalah pelayanan keperawatan. Setyaningsih (Purwanto, 2008), menjelaskan bahwa pelayanan sebagai bagian penting dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio- psiko-sosio-spiritual yang komperhensif yang ditunjukan kepada individu, keluarga ataupun masyarakat yang sehat maupun sakit yang mencakup siklus hidup manusia. International Council of Nurses menjelaskan bahwa keperawatan adalah fungsi yang unik membantu individu yang sakit maupun sehat dengan menampilkan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan atau penyembuhan sampai individu yang bersangkutan mampu merawat kesehatannya sendiri apabila memiliki kekuatan dan pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap kerja perawat adalah tindakan yang diambil perawat dalam kegiatan pelayanan sesuai dengan etika dan wewenang profesi keperawatan sebagai wujud dari kecenderungan perasaan puas ataupun tidak puas terhadap pejerjaannya (Purwanto, 2008).
2. Faktor yang memprngaruhi kinerja perawat Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat sama halnya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kerja perawat. Blum and Naylor
(Purwanto, 2008), berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kerja perawat. a. Kondisi kerja atau iklim kerja Kondisi kerja atau iklim kerja merupakan situasi kerja yang merupakan lingkungan fisik, ataupun lingkungan sosial yang menjamin akan terpengaruhinya kenyamanan dalam bekerja. Adanya rasa nyaman ini tergantung oleh bagaimana hubungan perawat dengan klien, perawat dengan perawat lainnya, maupun perawat dengan profesi kesehatan lainnya dengan didukung oleh lingkungan fisik yang baik.
1) Hubungan perawat-klien Hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapiutik atau professional dan timbal balik yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas hasil intervensi keperawatan melalui proses pembinaan pemahaman tentang dua pihak yang sedang berhubungan. Hubungan professional ini dipakarsai oleh perawat melalui sikap empati dan keinginan berespon (sesnse of responsiveness) serta keinginan menolong klien (sense of caing).
Menurut Peplau (Nurachman, 2008), dalam membina hubungan professional ini, kedua pihak seyogyanya harus melewati beberapa tahapan yaitu:
a) Tahap orientasi Setelah saling memperkenalkan diri, perawat berupaya menolong klien mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapi klien. Penjelasan, penekanan perlu dikemukakan oleh perawat agar klien meyakini masalah atau beberapa masalah yang perlu diatasi.
b) Tahap Identifikasi Tahap identifikasi terjadi apabila klien mampu mengidentifikasi seseorang atau beberapa orang yang dapat menolongnya. Pada tahap ini perawat memberi kesempatan pada klien untuk mengkaji lebih jauh perasaan tentang diri, penyakit dan kemampuan yang dimilikinya.
Tujuannya adalah agar perawat dapat membimbing klien periode penyakitnya sebagai pengalaman yang memungkinkan klien memahami kembali perasaan dan kekuatan internal yang pernah dimiliki sehingga dapat memberikan kepuasan yang diperlukan klien.
c) Tahap eksplorasi Tahap eksplorasi terjadi ketika klien mampu mengurangi nilai dan penghargaan yang dia peroleh dari hubungan professional dari perawat dan dirinya. Beberapa tujuan baru yang ingin dicapai melalui upaya diri klien dapat ditemukan oleh perawat, dan kekuatan akan dialihkan oleh perawat kepada klien apabila klien mengalami hambatan akibat ia tidak mampu mencapai tujuan tersebut.
Tahap akhir dari hubungan professional perawat-klien adalah tahap resolusi ditandai dengan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dan tidak lagi menjadi prioritas kegiatan klien. Pada tahap ini klien membebaskan diri dari keterkaitannya dengan perawat dan menunjukan kemampuannya untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya. Keempat tahap dalam hubungan professional ini dapat terjadi tumpang tindih antara satu tahapan dengan tahapan lainnya.
Dalam membina hubungan professional, asuhan keperawatan juga merupakan media edukatif dimana suatu kekuatan internal yang kokoh dari seorang perawat dapat mempengaruhi klien untuk meningkatkan perilaku dan kepribadian klien selama sakit kearah kehidupan yang kreatif, konstruktif, dan produktif. Beberapa peran perlu diemban oleh perawat ketika menjalankan dan membina hubungan professional yaitu:
a) Peran sebgai orang asing (stranger)
b) Narasumber (resource person)
c) Pendidik (teacing role)
d) Pemimpin (leadership role)
e) Peran pengganti (surrogate role) Keberhasilan hubungan professional atau terapiutik antara perawat dank lien menentukan hasil tindakan yang diharapkan.
Disamping itu, hubungan yang professional yang baik antara perawat
dengan klien dapat menghindarii, memprediksi, dan mengantisipasi
berbagai penyakit yang mungkin terjadi.Oleh karena itu berbagai peran di atas seyogyanya menjadi focus
perhatian perawat ketika menolong klien melewati tahapan dengan
hubungan professionalnya dengan perawat (Nurachman, 2008). 2) Kemitraan Kolaborasi merupakan salah satu kemitraan yang sering terjadidi antara dan antar prakti klinis selama pemberian pelayanan kesehatan
atau keperawatan. Kolaborasi merupakan kegiatan berkomunisaki
parallel, berfungsi parallel, betukar informasi, berkoordinasi,
berkonsultasi, mengelola kasus bersama (ko-manajemen), serta
merujuk.Kolaborasi merupakan suatu pengakuan kemampuan seseorang
oleh orang lain di dalam maupun di luar profesi orang tersebut.
Kolaborasi ininjuga merupakan proses interpersonal dimana dua orang
atau lebih membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara
kontrukstif untuk menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan,
target atau hasil yang diharapkan.Para individu ingin mengenal dan mengartikulasikan nilai-nilai
yang membuat komitmen ini menjadi terwujud. Kemampuan
mewujudkan komitmen untuk berinteraksi secara konstruktif tergantung dari persamaan persepsi tentang tujuan bersama, kompentensi klinik, kemauan interpersonal, humor, kepercayaan, menghargai dan menghormati pengetahuan dan praktek keilmuan yeng berbeda.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada:
a) Adanya rasa saling percaya dan menghormati
b) Saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing
c) Memiliki citra diri positif
d) Memiliki kematanagn professional yang setara (yang timbul dari pendidikan untuk bernegosiasi).
Inti dari hubungan dari kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung (inetrdependensi) untuk berkerja sama. Bekerja sama dalam suatu tindakan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi kerjaan agar tujuan atau target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan salah satu alat untuk berkomunikasi antara profesi secara formal tentang asuhan klien (Nurachman, 2008).
b. Pengawasan atasan Seorang pemimpin yang melakukan pengawasan terhadap karyawan
dengan baik dan penuh perhatian pada umumnya berpengaruh terhadap sikap dan karyawan (Purwanto, 2008). c. Motivasi perawat Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini yang termasuk faktor-faktor yang merupakan, menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Stoner & Freeman). Motivasi menurut Purwanto (2008) adalah segala sesuatu yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi adalah perasaan atau pikiran
yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutaman dalam berperilaku.Dari berbagai macam definisi motivasi, Standford (Mustikasari, 2003), ada tiga poin penting dalam pengertian motivasi yaitu hubungan antara kebutuhan, dorongan dan tujuan. Kebutuhan muncul karena adanya sesuatu yang dirasakan kurang oleh seseorang, baik fisiologis maupun psikologis. Dorongan merupakan arah untuk memenuhi kebutuhan tadi, sedangkan tujuan adalah akhir dari suatu siklus motivasi.
Menurut Webmaster (2004), banyak pakar memandang motivasi dari dua sudut pandang, yaitu motivasi juga berasal dari dalam pribadi seseorang atau yang lebih dikenal dengan nama motivasi intristik dan
motivasi yang berasal dari rangsangan dari luar seseorang atau yang
dikenal sebagai motivasi ekstrinsik.1) Motivasi instrinsik Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karna dalam setiap
individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Pada dasarnya,
motivasi instrinsik muncul berdasarkan dengan tujuan esensial dan bukan sekedar sebagai suatu atribut atau seremonial, termasuk dalam motivasi instrinsik adalah cita-cita.Yang termasuk dalam motivasi intrinstik antara lain karena hal tersebut menyenangkan, etos kerja, harapan masa depan, dan peningkatan status.
Bila seseorang mempunyai motivasi intrinstik dalam dirinya, maka dia secara sadar akan melakukan suatu kegiatan yang dia inginkan tanpa motivasi dari luar dirinya. Seseorang yang tidak mempunyai motivasi intrinstik akan sulit sekali melakukan suatu kegiatan secara terus-menerus.
Motivasi intrinstik kerja perawat adalah respon perawat yang berhubungan dengan kemampuan perawat dalam memberkan
pelayanan kepada pasien dan membuat kehidupan pasien jadi berbeda.
Menurut Herzberg (Mustikasari, 2003) bahwa faktor intrinstik kerja meliputi : Otonomi, status, professional, tuntunan tugas, hubungan interpersonal, interaksi dan gaji/upah.2) Motivasi ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul bukan berasal dari dalam diri individu tersebut, misalnya, dorongan orang tua dan sebagainya.
d. Gaji perawat Gaji atau upah merupakan pembayaran alam bentuk barang atau
uang dan keuntungan-keuntungan yang diterima oleh individu karena
telah bekerja sesuai dengan pekerjaannya (Purwanto, 2008).Herder (Rahariyani, 2005) mengemukakan bahwa gaji merupkan
jenis penghargaan yang paling penting dalam organisasi, oleh karena itu
pihak manajemen organisasi harus betul-betul mempertimbangkan
masalah gaji karyawannya. Dari hasil penelitain dan annalisa diketahui
bahwa penyebab rendahnya prestasi adalah faktor kemauan dan teknologi,
apabila karyawan memperoleh gaji rendah maka tidak ada kemauan untuk
bekerja keras, hal ini disebabkan karena imbalan terutama gaji/upah
termasuk dalam “alat” untuk memenuhi kebutuhan dasar.Menurut teori dari Frederick Herzberg (Rahariyani, 2005), faktor
dissastifire atau ketidakpuasan (gaji/upah) akan membuat tenaga kerja
merasa kecewa dan aka banyak menimbulkan masalah.Di dalam paradigma lama sistem kenaikan upah/gaji/imbalan secara
otomatis akan dibarengi akan kenaikan produktifitas. Kenyataan tidaklah
demikian, kadang-kadang memang terjadi imbalan yang dinaikkan akan meningkatkan produktifitas, tetapi kadang-kadang itu tidak terjadi. Imbalan bikan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat produktifitas. Tetapi adakah pekerjaan yang melaksanakan pekerjaannya hanya untuk sekedar mencari kesenangan dan bukan untuk mendapatkan uang. Mungki hal ini bias saja terjadi selama kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi maka seseorang dapat mengembangkan kebutuhannya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu aktualisasi diri, dimana seseorang mengerjakan sesuatu tidak untuk uang, tetapi untuk memenuhi kepuasan dalam dirinya.
3. Pengukuran Kinerja Barnadin (1995) dalam Nursalam (2013), mengemukakan 6 kriteria
primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pekerja adalah sebagai
berikut:a. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksana
kegiatan yang mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.b. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, jumlah unit, jumlah siklus kegiatan yang diselsesaikan.
c. Timeliness, merupakan lamanya kegiatan diselesaikan pada waktu yang
dikehendaki, dengan memperhatikan jumlah output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan yang lain.
d. Cost effectiveness, besarnya penggunan sumber daya organisasi untuk
mencapai hasil yang maksimal atau pengukuran kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.
e. Need for supervision, kemampuan seorang pekerja untuk melaksanakan
suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
f. Interpersonal impact, kemampuan seorang pegawai untuk memelihara
harga diri, nama baik dan kemampuan bekerjasama diantara rekan kerja dan bawahan.4. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja disebut juga sebagai performance appraisal,
performance evaluation, development review, performance review and
development . Swanburg, (1987) dalam Nursalam, (2013), Penilaian kinerja
merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas.
Penilaian kinerja perawat merupakan mengevaluasi kinerja perawat sesuai dengan standar praktik professional dan peraturan yang berlaku.
Penilaian kinerja perawat merupakan suatu cara untuk menjamin tercapainya standar praktek keperawatan. Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas. Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai, dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi. Manajer perawat dapat menggunakan proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam memilih, melatih, membimbing perencanaan karier serta memberi penghargaan kepada perawat yang berkompeten (Nursalam, 2013).
5. Tujuan Penilaian Kinerja
Untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi atau tingkat keberhasilan atau kegagalan seorang pekerja/karyawan atau tim kerja dalam melaksanakan tugas/jabatan yang menjadi tanggung jawabnya. (Nawawi, 2006). Adapun menurut Nursalam (2008) manfaat dari penilaian kerja yaitu:
a. Meningkatkan prestasi kerja staf secara individu atau kelompok dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan di rumah sakit.
b. Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya akan mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara keseluruhannya.
c. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang prestasinya.
d. Membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna, sehingga rumah sakit akan mempunyai tenaga yang cakap dan tampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan dimasa depan.
e. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan meningkatkan gajinya atau sistem imbalan yang baik.
f. Memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara atasan dan bawahan.
C. Perawat
1. Pengertian Perawat Perawat sebagai tenaga kesehatan yang professional mempunyai kesempatan paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan atau asuhan keperawatan yang kimperehensif dengan membantu pasien memenuhi kebutuhan dasar yang holistik. Keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral sari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komperhensif kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia (Nursalam, 2013).
2. Peran dan Fungsi Perawat menurut Potter & Perry (2005).
a. Peran Perawat 1) Pemberi asuhan keperawatan
2) Pelindung advokat klien 3) Educator 4) Komunikator 5) Manager kasus 6) Rehabilitator 7) Pembuat kenyamanan 8) Pembuat keputusan klinik dan etika
b. Fungsi Perawat
1) Fungsi Independent, Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung
pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan rasa aman, kebutuhan rasa cinta, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri.
2) Fungsi Dependen, Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan
kegiatan atas pesan atau instruksidari perawat lain.
3) Fungsi Interdependen, fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang
bersifat saling ketergantungan di antara tim satu dengan yang lainnya.D. Kerangka Teori
- – Variabel Individual – Variabel Psikologis – Variabel Organisasi – Kurangnya prasarana
- – Hubungan antar rekan kerja
- – Tuntutan profesi
- – Ruangan yang bising
- – Tingkat Kesulitan – Kompleksikan pekerjaan
Beban kerja psikologis Beban kerja fisik Kinerja Perawat
Kinerja Perawat
Perawat
E. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat Kinerja Perawat
Beban Kerja
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian F.Hipotesis
Hipotesis menurut Notoatmodjo (2010) adalah pernyataan jawaban sementara dari sebuah masalah penelitian, pernyataan atau pertanyaan sementara tersebut harus diuji apakah benar (diterima) atau salah (ditolak). Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ada hubungan beban kerja dengan kinerja perawat di ruang rawat inap kelas III RSUD Purbalingga.