BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Hipertensi 1. Definisi Hipertensi - RAFIKHA NUR FAWZIA YAHYA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Hipertensi 1. Definisi Hipertensi Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

  peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian atau mortalitas. Tekanan darah 140/90 mmHg didasarkan pada 2 fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase sistolik 140 mmHg menunjukkan fase darah sedang di pompa oleh jantung dan fase diastolik 90 mmHg menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung (Endang, 2014).

  Hipertensi adalah kondisi abnormal dari hemodinamik, dimana menurut WHO tekanan sistolik >140 mmHg dan atau tekanan diastolik >90 mmHg (untuk usia <60 tahun) dan tekanan sistolik >160 mmHg dan atau tekanan sistolik >95 mmHg (untuk usia >60 tahun) (Taufan, 2011).

2. Klasifikasi

  a. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi : 1) Hipertensi Esensial (Primer)

  Merupakan 90% dari kasus penderita hipertensi, dimana sampai saat ini belum diketahui penyebabnya secara pasti.

  Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam terjadinya hipertensi esensial, seperti faktor genetik, stres, dan psikologis, serta faktor

  6 lingkungan dan diet (penungkatan penggunaan garam dan berkurangnya asupan kalium dan kalsium).

  2) Hipertensi Sekunder Pada hipertensi sekunder, penyebab, dan patofisiologi dapat diketahui dengan jelas sehingga lebih mudah untuk dikendalikan oleh obat-obatan. Penyebab hipertensi sekunder diantaranya berupa kelainan ginjal seperti tumor, diabetes, kelainan adrenal, kelainan aorta, kelainan endokrin lainnya seperti obesitas, resistensi insulin, hiperteroidisme, dan pemakaian obat-obatan seperti kontrasepsi oral dan kortikosteroid.

  b. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hipertensi 1) Berdasarkan JNC VII :

  Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Tekanan Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

  Darah Normal <120 <80

  Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi 140-159 90-99

  Stage 1 Hipertensi ≥160 ≥100

  Stage 2

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi untuk dewasa umur >18 tahun menurut JNC VII

  2) Menurut European Society of Cardiology : Kategori Tekanan Sistolik

  (mmHg) Tekanan Diastolik

  (mmHg) Optimal <120 <80

  Normal 120-129 80-84 Normal tinggi

  130-139 85-89 Hipertensi derajat I

  140-159 90-99 Hipertensi derajat II

  160-179 100-109 Hipertensi derajat III

  >180 >110 Hipertensi

  Sistolik terisolasi >190 <90 Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi (sumber: ESC, 2007).

3. Faktor Resiko Terjadinya Hipertensi

  Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat dan tidak dapat dikontrol, antara lain: a. Faktor resiko yang dapat dikontrol:

  1) Merokok Fakta otentik menunjukan bahwa merokok dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. Kebanyakan efek ini verkaitan dengan kandungan nikotin. Asap rokok memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya.

  Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu sistem saraf simpatis yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi jantung, meningkatnkan tekanan darah, meningkatan kebutuhan oksigen jantung, merangsang pelepasan adrenalin serta menyebabkan gangguan irama jantung.

  Nikotin juga menggangu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.

  2) Stress Hubungan antara stress dan hipertensi diduga memalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah yang menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti tetapi angka kejadian masyarakat di perkotaan lebih tinggi dari pada di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Rohaendi, 2009). Menurut Anggraini (2009) mengataka stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi saraf simpatis.

  b. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol: 1) Jenis kelamin

  Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setalah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormone estrogen setelah menopause (Marliani, 2007). Peran hormone estrogen adalah meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam pencegahan terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormone estrogen dianggap sebagai adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana terjadi perubahan kuantitas hormon estrogen sesuai dengan umur wanita secara alami. Umumnya, proses ini mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar, 2005).

  2) Usia Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus, hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut.

  Pada wanita, hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause.

  Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan aterisclerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri- arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta tekanan darah meingkat seiring dengan bertambahnya usia.

  Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang pada umur 50 dan 60 tahunan. Dengan bertambahnya umur, dapat meningkatkan resiko hipertensi (Elsanti, 2009). Prevalensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun. 3) Genetik

  Adanya faktor genetik pada keluarga akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antar potasium terhadap sodium individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hiertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi (Marliani, 2007). Menurut Rohaendi (2008), mengatakan bahwa tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang mengidap tekanan darah tinggi, maka akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama hidup anda. Jika kedu aorang tua mempunyai tekanan darah tinggi maka peluang untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.

4. Manifestasi Klinis

  Penderita hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang yang tekanan darahnya normal.

  Hipertensi yang berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala seperti berikut : a. Sakit kepala

  b. Kelelahan

  c. Mual

  d. Gelisah/cemas

  e. Muntah

  f. Sesak nafas

  g. Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak (Lily I .Raliantono, 2013 dalam H faiqoh 2017).

5. Patofisiologi

  Dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth (2000) menjelaskan patofisiologi hipertensi terdapat pada, mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula pada saraf simapatis, yang terlanjur ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis simpatis ditoraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis.

  Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepinerin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

  Berbagai faktor seperti kecemasan dan kekuatan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi korsitol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiontensin II, suatu vasokonstrikstor yang kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Rohaendi, 2008).

6. Pemeriksaan Penunjang

  a. Hemoglobin / hematokrit Untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia. b.BUN Memberikan informasi tentang perfusi ginjal Glukosa Hiperglemi (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).

  c. Kalium serum Hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik. d.Kalsium serum Peningkatan kadar kalsium srum dapat menyebabkan hiprtensi.

  e. Kolesterol dan trigliserid serum Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler).

  f. Pemeriksaan tiroid Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokontriksi dan hipertensi. g.Kadar aldosteron urin / serum Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab). h.Urinalisa

  Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes. i. Asam urat Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi. j. Steroid urin Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme. k.IVP

  Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti penyakit parenkim gijal, batu ginjal / ureter. l. Foto dada

  Menunjukkan obstruksi klasifikasi pada area katub, perbesaran jantung. m. CT-scan

  Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati n.EKG

  Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

7. Penatalaksanaan

  Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :

  a. Terapi tanpa obat Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagian tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat.

  Terapi tanpa obat ini meliputi :

  1) Diet Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :

  a) Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr

  b) Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh

  c) Penurunan berat badan

  d) Penurunan asupan etanol

  e) Mengehentikan merokok 2) Latihan fisik

  Latihan fisik atau olahraga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olahraga yang mempunyai empat prinsip yaitu : macam olahraga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang, dan lainnya. Intensitas olahraga yang baik antara 60-80% dari kapasitas aerobik atau 72-87% dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20-25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3x per minggu dan paling baik 5x per minggu.

  b. Edukasi psikologis Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi : 1) Teknik biofeedback adalah suatu teknik yang dipakai untuk menunjukkan

  Biofeedback

  pada subjek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subjek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migran, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.

  2) Teknik relaksasi Relaksasi adalah suatu prosedur atau teknik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks.

  3) Pendidikan kesehatan (penyuluhan) Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

  c. Terapi dengan obat Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi (Joint

  

National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High

Blood Preasurre, USA

  , 1988) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita. Pengobatannya meliputi : 1) Step 1

  Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibator.

  2) Step 2 Alternatif yang bisa diberikan : Dosis obat yang pertama dinaikkan diganti jenis lain dari obat pilihan pertama ditambah obat kedua jenis lain, dapat berupa diuretika, beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator.

  3) Step 3 Alternatif yang bisa ditempuh obat kedua diganti ditambah obat ketiga jenis lain.

  4) Step 4 Alternatif pemberian obatnya ditambah obat ketiga dan keempat.

  Re-evaluasi dan konsultasi Follow Up untuk mempertahankan terapi untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dengan petugas kesehatan (dokter, perawat) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.

8. Komplikasi

  Hipertensi akan menimbulkan komplikasi atau kerusakan pada berbagai organ sasaran, yaitu pembuluh darah otak, mata, jantung, dan ginjal (Sustrani, Alam & Hadibroto, 2015) sebagai berikut :

  a. Komplikasi pada otak Tekanan darah yang terus menerus tinggi akan menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel. Hal ini menyebabkan pembentukan plak arterosklerosis dan thrombosis (pembekuan darah yang berlebihan). Akhirnya, pembuluh darah tersumbat dan jika penyumbatan itu terjadi pada pembuluh darah otak dapat menyebabkan stroke. b.Komplikasi pada mata

  Komplikasi pada mata dapat menyebabkan retinopati hipertensi dan dapat pula menimbulkan kebutaan.

  c. Komplikasi pada jantung 1) Penyakit jantung coroner (PJK)

  Selain pada otak, penyumbatan pembuluh darah juga dapat terjadi pada pembuluh darah coroner dan dapat menyebabkan PJK dan kerusakan otot jantung (infark jantung). 2) Gagal jantung

  Pada penderita hipertensi, beban kerja jantung meningkat, otot jantung akan menyesuaikan, sehingga terjadi pembesaran jantung dan semakin lama otot jantung akan mengendor dan berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akhirnya jantung tidak mampu lagi memompa dan menampung darah dari paru sehingga banyak cairan yang tertahan di paru maupun jaringan tubuh lain yang menyebabkan sesak nafas atau edema. Kondisi seperti ini disebut gagal jantung. d.Komplikasi pada ginjal

  Hipertensi dapat menyebabkan pembuluh darah pada ginjal mengkerut (vasokontraksi) sehingga menyebabkan aliran nutrisi ke ginjal terganggu dan mengakibatkan kematian sel-sel ginjal yang pada akhirnya terjadi gangguan fungsi ginjal.

B. Terapi Komplementer untuk Hipertensi 1. Pengertian Terapi Komplementer

  Terapi komplementer merupakan terapi tradisional yang digabungkan dengan terapi modern. Komplementer adalah terapi tradisional ke dalam pengobatan modern. Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan terapi holistic. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengitergasikan pikiran, badan dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et, al dalam Widyatuti, 2010). Pendapat lain terapi komplementer dan alternatif adalah sebagai sebuah domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik, dan di tandai dengan teori dan keyakinan dengan cara berbeda dengan sistem kesehatan yang umum di masyarakat atau budaya yang ada (Synder 7 Lindquis dalam Widyatuti, 2010).

  Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan penyakit atau rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi kesehatan ini berkembang di tingkat pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu manapun kelompok misalnya untuk strategi simulative imajinatif dan kreatif.

  Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai manfaat selain dapat meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih murah. Terapi komplementer terutama akan dirasakan lebih murah bila klien dengan penyakit kronis yang harus rutin mengeluarkan dana. Pengalaman klien yang awalnya menggunakan terapi modern menunjukan bahwa biaya membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam beberapa bulan setelah menggunakan terapi komplementer (Nezabudkin, 2007 dalam Widyatuti, 2010).

2. Macam Terapi Komplementer

   Nattional Center for Complementary/Alternative Medicine

  (NCCAM) membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima kategori : a. Mind Body Therapi Yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berfikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imegary), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, thai chi, dan terapi seni.

  b. Alternative system pelayanan Merupakan system pelayanan kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayuvedia, pengobatan asli Amerika, cudarismo, homeophaty, naturophaty .

  c. Terapi Biologis Yaitu terapi natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya, misalnya herbal dan makanan.

  d. Terapi Manipulatif Terapi ini didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh, misal pengobatan kiroprksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya, dan warna serta hidroterapi.

  e. Terapi Energy Merupakan terapi yang fokusnya berasal dari energy dalam tubuh atau mendengarkan energy dari luar tubuh, misalnya

  (biofileds) terapeutik sentuhan, pengobatan sentuhan, akupresure.

  Klasifikasi lain menurut Smith, 2009 meliputi gaya hidup (pengobatan holistic, nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi), manipulative (kiropraktik, akupresure, akupuntur, refleksi, massage),

  

mind-body terapi (meditasi, guided imagery, biofeedback, color healing,

hipnoterapi).

3. Definisi Terapi Musik

  

Terapi musik merupakan intervensi alami non invasive yang dapat

  diterapkan secara sederhana tidak selalu membutuhkan ahli terapi, harga terjangkau dan tidak menimbulkan efek samping (Samuel, 2007 dalam Pratiwi 2014). Terapi musik adalah suatu terapi kesehatan menggunakan musik dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif dan social bagi individu dari berbagai kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah terapi yang dilakukan dengan memberikan stimulus musik, dimana musik tersebut masuk kedalam pikiran melalui sensasi auditori. Suara musik atau musik yang lembut dapat mengurangi stress, persepsi nyeri, cemas dan perasaan terisolasi (Satiadarma, 2004).

  Musik merupakan suatu sarana yang bermanfaat dan mudah diperoleh (Meritt, 2003). Musik didefinisikan sebagai suara dan dian yang terorganisir memalui waktu yang mengalir (dalam ruang), beberapa kesimpulan sementara dari pertanyaan yang muncul adalah musik berasal dari vibrasi, suara berasal dari vibrasi dan vibrasi adalah esensi dari segala sesuatu (Amsila, 2011). Musik ialah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang (Farida, 2010).

  Semua jenis musik dapat digunakan dalam terapi, tidak hanya musik klasik saja, asalkan musik yang akan digunakan memiliki ketukan 70-80 kali per menit yang sesuai dengan irama jantung manusia, sehingga mampu memberikan efek terapeutik yang sangat baik terhadap kesehatan (Indriya, Dani dan Indri Guli, 2010).

4. Jenis Terapi Musik

  Jenis terapi musik ada dua yaitu:

  a. Aktif-Kreatif Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara langsung untuk ikut aktif dalam sebuah sesi terapi melalui cara: 1) Menciptakan lagu (Composing) yaitu mengajak klien untuk menciptakan lagu sederhana 2) Improvisasi, yaitu upaya membuat musik secara spontan dengan menyanyi atau bermain musik pada saat itu juga dan membuat improvisasi dari musik yang diberikan oleh terapis

  3) Re-Creating, yaitu dengan cara mengajak klien bernyanyi atau bermain musik dari lagu-lagu yang sudah terkenal b.Pasif-Reseptif

  Dalam sesi reseptif, klien akan mendapat terapi dengan mendengarkan musik. Terapi ini lebih menenangkan fisik, emosi intelektual, estetik spriritual dari musik itu sendiri sehingga klien akan merasakan ketenangan atau relaksasi. Musik yang digunakan dapat bermacam jenis dan style tergantung dengan kondisi yang dihadapi klien (Natalia, 2013).

5. Manfaat Musik

  

Manfaat utama terapi musik menurut para pakar terapi musik antara

  lain:

  a. Relaksasi Mengistirahatkan tubuh dan fikiran merupakan manfaat yang pasti dirasakan setelah melakukan terapi musik sehingga klien akan merasakan perasaan rileks, tubuh lebih bertenaga dan fikiran lebih fresh (Eka, 2009).

  b. Mengurangi rasa sakit

  c. Musik bekerja pada system saraf otonom yaitu bagian system saraf yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantung dan fungsi otak, yang mengontrol perasaan dan emosi. Menurut penelitian, kedua system tersebut bereaksi sensitive terhadap musik.

  Saat merasa sakit, kita menjadi takut, frustasi, dan marah yang membuat kita menegangkan otot-otot tubuh, hasilnya rasa sakit menjadi semakin parah. Mendengarkan musik secara teratur membantu tubuh rileks secara fisik dan mental, sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah rasa sakit. Pada proses persalinan, terapi musik berfungsi mengatasi kecemasan dan mengurangi rasa sakit (Marmi, 2013). d. Meningkatkan kecerdasan Sebuah efek terapi musik yang bisa meningkatkan intelegensia seseorang disebut efek Mozart. Hai ini telah diteliti secara ilmiah oleh Frances Rauscher et al dari Universitas California (Eka, 2009).

  e. Meningkatkan motivasi Motivasi adalah hal yang hanya bisa dimunculkan dengan perasaan dan mood tertentu. Apabila ada motivasi, semangat pun akan muncul dan segala kegiatan bisa dilakukan. Dari hasil penelitian, ternyata jenis musik tertentu juga bisa meningkatkan motivasi, semangat dan meningkatkan level energy seseorang (Eka, 2009).

  f. Mengembangkan kemampuan komunikasi dan sosialisasi Terapi musik akan menciptakan sosialisasi karena dalam bermusik dibutuhkan komunikasi (Natalia, 2013).

6. Tata Cara Pemberian Terapi Musik

  

Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam

  pemberian terapi musik. Sering kali durasi yang diberikan dalam pemberian terapi musik adalah selama 20-35 menit, tetapi untuk masalah kesehatan yang lebih spesifik terapi musik diberikan dengan durasi 30- 45 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien berbaring dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit lambat, 50-70 ketukan per menit menggunakan irama yang tenang (Schou 2007 dalam Mahanani 2013).

7. Mekanisme Musik sebagai Terapi

  

Pada saat musik diterima oleh daun telinga, maka diteruskan ke

  telinga tengah yang akan menggetarkan membrane tympani, dengan getaran ini maka maleus, incus dan stapes ikut bergetar, suara tersebut masuk ke telinga dalam (koklea) melalui fanestra ovalis, disini getaran suara akan membangkitkan impuls saraf yang akan mempengaruhi system limbik, yang pertama akan diterima langsung oleh Talamus, yaitu suatu bagian otak yang mengatur emosi, sensasi dan perasaan. Kedua diterima oleh Hipotalamus mempengaruhi struktur basal “forebrain” termasuk system limbik dan ketiga melalui axon neuron secara difus mempersarafi neokorteks. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yang mengatur fungsi pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot usus, fungsi endokrin, memori dan lain-lain. Di hipotalamus maka respon dari musik yang tenang akan menimbulkan ketenangan (Indriya, Dani dan Indri Guli. 2010).