BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gangguan Jiwa - Haniva Hanum BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gangguan Jiwa 1. Pengertian Gangguan Jiwa Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

  (PPDGJ) II dalam Maslim (2001) mendefinisikan gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder) adalah sindrom atau pola perilaku dan atau psikologik seorang individu yang secara klinik memiliki arti dan secara khas berkaitan dengan suatu distress atau gejala penderitaan dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari seorang individu. Menurut Ardani (2007) yang dimaksud dengan gangguan jiwa adalah sekumpulan keadaan-keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan dengan keadaan secara fisik maupun secara mental. Namun, ketidaknormalan tersebut bukan disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian anggota badan tertentu meskipun terkadang gejalanya dapat terlihat dengan keadaan fisik. Sedangkan menurut Yosep (2011) gangguan jiwa adalah sekumpulan gejala patologik dominan yang berasal dari unsur jiwa.

  Meskipun begitu hal tersebut bukan berarti bahwa unsur yang lain tidak mengalami gangguan sebab seseungguhnya yang sakit dan

  12 menderita ialah manusia secara utuh bukan hanya badan, jiwa atau lingkungannya.

2. Penyebab Gangguan Jiwa

  Ada banyak teori dan pendapat ahli mengenai penyebab gangguan jiwa. Menurut Yoseph (2011) penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara terus menerus saling terkait dan saling mempengaruhi, yaitu: a.

  Faktor-faktor somatik atau organobiologis, seperti neroanatomi, nerofisiologi, nerokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, dan faktor-faktor pre dan peri-natal.

  b.

  Faktor-faktor psikologik atau psikoedukatif, seperti interaksi ibu dan anak, persaingan yang terjadi antara saudara kandung, hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari, kehilangan yang menyebabkan depresi atau rasa malu/rasa bersalah, pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya, dan tingkat perkembangan emosi.

  c.

  Faktor-faktor sosial-budaya atau sosiokultural, seperti kestabilan keluarga, tingkat ekonomi, masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, pengaruh rasial dan keagamaan.

  Sementara untuk faktor presipitasi (faktor yang bersumber dari individu itu sendiri), antara lain kondisi lingkungan yang kurang baik, interaksi dengan orang lain, kondisi fisik pasien, putus asa, dan percaya diri yang kurang, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan kritikan yang mengarah kepada penghinaan.

3. Patogenesis dan Patofisiologi Gangguan Jiwa a.

  Patogenesis Gangguan Jiwa Kondisi saat sebelum sakit pada pasien gangguan jiwa berlangsung kurang lebih selama 1 bulan. Gangguan yang terjadi dapat berupa gejala psikotik, antara lain halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku yang terkadang disertai dengan kelainan neurokimiawi. Penderita gangguan jiwa biasanya mengalami minimal 2 gejala, yaitu gangguan afek dan gangguan peran. Serangan yang terjadi pada gangguan jiwa biasanya terjadi secara berulang (Yoseph, 2011).

  Serangan yang terjadi pada gangguan jiwa biasanya berupa perasaan khawatir berlebihan terhadap hampir semua aspek kehidupan, perasaan lelah berlebihan yang tidak disebabkan karena faktor kelelahan fisik, iritable atau mudah tersinggung, dan gejala fisik seperti kaku otot, pegal-pegal, gangguan tidur atau sulit merasa santai. Ketika penderita mengalami gangguan tersebut terkadang penderita mengabaikannya yang berakibat pada bertambah parahnya gangguan yang dialami oleh penderita. Pada penderita gangguan jiwa, biasanya mengalami gangguan terhadap tingkat kesadaran dan kognisi, emosi atau perasaan, perilaku motorik, proses berpikir, persepsi atau penginderaan, dan kemampuan bicara dan bahasa.

  Pada proses pemulihan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa terdapat 5 tahapan, antara lain: (1)

  Tahap I: Perasaan terjebak (stuck) dimana penderita merasa tidak mau atau tidak mampu dalam menerima bantuan ataupun menghadapi masalah. (2)

  Tahap II: Bersedia menerima bantuan. Pada tahap ini penderita ingin menjauh atau menghindar dari masalah dan berharap orang lain akan bisa membantu dalam mengatasi masalah. (3)

  Tahap III: Percaya. Pada tahap ini penderita mulai percaya bahwa mereka dapat membuat perubahan atau perbaikan dalam hidupnya. Penderita mulai melihat ke masa depan tentang apa yang diinginkan serta menjauh dari hal-hal yang tidak diinginkan. Penderita mulai melakukan hal-hal atas keinginan sendiri untuk mencapai tujuan mereka dan tetap bersedia menerima bantuan orang lain. (4)

  Tahap IV: Belajar mengenai bagaimana membuat pemulihan diri penderita dapat menjadi suatu kenyataan. Ini adalah proses trial and error dimana dukungan dan semangat merupakan hal yang dibutuhkan dalam tahap ini.

  (5) Tahap V: Kemandirian yang dicapai secara bertahap dari proses belajar hingga pada akhirnya mencapai suatu titik dimana mereka mampu mengelola sesuatu tanpa bantuan dari orang lain (Tirtojiwo, 2012).

  Ketika pada penderita gangguan jiwa yang telah melalui proses pemulihan, mereka akan memasuki tahap recovery dimana mereka mampu menerima dan mengakui dirinya sendiri sebagai mana adanya. Selain itu, penderita gangguan jiwa juga sudah mampu untuk bersikap terbuka dan sportif, memiliki semangat dan motivasi, percaya diri, mampu mengendalikan emosi, mampu bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak takut untuk menghadapi tantangan serta berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang dihadapi (Tirtojiwo, 2012).

  b.

  Patofisiologi Gangguan Jiwa Penderita yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama pada susunan dan struktur saraf pusat, dimana penderita biasanya mengalami pembesaran ventrikel ke III bagian kiri. Ciri lainnya pada penderita yakni memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang yang normal. Penderita yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada daerah Amigdala sedangkan pada penderita skizofrenia memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha bahkan terkadang disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses berbicara.

  Kelainan pada struktur otak atau kelainan yang terjadi pada sistem kerja bagian tertentu dari otak juga dapat menimbulkan gangguan pada kejiwaan. Sebagai contoh, masalah komunikasi di salah satu bagian kecil dari otak dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi secara luas. Hal ini akan diikuti oleh kontrol kognitif, tingkah laku, dan fungsi emosional yang diketahui memiliki keterkaitan erat dengan masalah gangguan kejiwaan. Beberapa jenis gangguan pada struktur otak yang berakibat pada gangguan jiwa, antara lain:

  (1) Gangguan pada cortex cerebral yang memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan, pemikiran tinggi, dan penalaran dapat dilihat pada penderita waham.

  (2) Gangguan pada sistem limbik yang berfungsi mengatur perilaku emosional, daya ingat, dan proses dalam belajar terlihat pada penderita perilaku kekerasan dan depresi.

  (3) Gangguan pada hipotalamus yang berperan dalam mengatur hormon dalam tubuh dan perilaku seperti makan, minum, dan seks dapat terlihat pada penderita bulimia, anoreksia, dan disfungsi seksual.

  Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada bagian otak tertentu juga dapat mengakibatkan gangguan jiwa. Kerusakan tersebut, antara lain:

  (1) Kerusakan pada lobus frontalis yang menyebabkan kesulitan dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan, berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.

  (2) Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan distonia dan tremor.

  (3) Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (short time).

4. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

  Tanda-tanda umum yang sering dijumpai pada pendertita dengan gejala gangguan jiwa menurut Yoseph (2011), yaitu: a.

  Gangguan Kognisi Gangguan kognisi yang meliputi gangguan sensasi dan gangguan persepsi. Gangguan sensasi terdiri dari hiperestesia (suatu keadaan dimana gangguan kepekaan terhadap proses penginderaan baik panas, dingin, nyeri atau perabaan mengalami peningkatan),

  anestesia (suatu keadaan dimana tidak adanya perasaan pada

  penginderaan/mati rasa), hiperkinestesia (suatu keadaan dimana kepekaan terhadap perasaan gerak tubuh mengalami peningkatan secara berlebih), dan hipokinestesia (suatu keadaan dimana kepekaan terhadap gerak perasaan tubuh mengalami penurunan).

  Sedangkan gangguan persepsi terdiri dari ilusi (persepsi yang salah/palsu yang biasanya ada atau pernah ada rangsangan dari luar), dan halusinasi (suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar).

  b.

  Gangguan perhatian Beberapa jenis gangguan perhatian yaitu distraktibiliti (perhatian yang mudah dialihkan oleh rangsang yang tidak berarti),

  

aproseksia (ketidaksanggupan untuk memperhatikan secara tekun

  terhadap situasi atau keadaan), dan hiperproseksia (keadaan yang memusatkan perhatian yang berlebihan).

  c.

  Gangguan ingatan Gangguan ingatan terdiri dari amnesia (ketidakmampuan mengingat kembali pengalaman yang ada atau kondisi sebelumnya), hipernemsia (keadaan dimana seseorang dapat menjelaskan kembali kejadian yang telah lalu dengan sangat terperinci), dan paramnesia (gangguan penyimpangan terhadap ingatan yang telah lalu yang dikenal secara baik).

  d.

  Gangguan pikiran Beberapa jenis gangguan pikiran yaitu gangguan bentuk pikiran (pemikiran yang mengalami penyimpangan, tidak rasional dan logis, dan terarah pada suatu tujuan), gangguan arus termasuk cara dan laju proses asosiasi dalam pemikiran, dan gangguan isi pikiran baik secara verbal maupun non verbal.

  e.

  Gangguan kesadaran Beberapa macam gangguan kesadaran, antara lain:

  (1) Kesadaran kuantitatif, yang terdiri dari dua jenis, yaitu:

  a) Kesadaran yang menurun (tingkat kesadaran dimana kemampuan persepsi, perhatian, dan pemikiran yang berkurang secara keseluruhan)

  b) Kesadaran yang meninggi (keadaan reaksi yang meningkat akibat adanya suatu rangsang).

  (2) Kesadaran kualitatif dimana terjadinya perubahan dalam kualitas kesadaran, baik yang disebabkan oleh toksik, organik atau psikogen.

  f.

  Gangguan kemauan Beberapa macam gangguan kemauan yaitu abulia (keadaan seseorang yang tidak sanggup dalam membuat keputusan maupun memulai suatu perbuatan), negativisme (ketidaksanggupan seseorang dalam bertindak/melakukan sesuatu, kekakuan atau ketidakmampuan dalam memutuskan untuk mengubah suatu tingkah laku), dan kompulsi (keadaan seseorang yang merasa didorong dalam melakukan suatu tindakan).

  g.

  Gangguan emosi dan afek Gangguan emosi dan afek diantaranya euforia (emosi menyenangkan atau bahagia secara berlebihan sehingga apabila tidak sesuai dengan keadaan maka hal ini menunjukkan adanya gangguan), afek yang kaku (pendirian yang tetap dipertahankan sehingga menyebabkan reaksi emosional yang berlebihan), emosi

  labil (ketidakstabilan yang berlebihan dan emosional), cemas dan depresi (gejala yang dapat dilihat dari ekspresi wajah atau tingkah

  laku), dan emosi yang tumpul dan datar (pengurangan atau tidak ada sama sekali tanda-tanda ekspresi afektif).

5. Jenis-jenis Gangguan Jiwa

  Menurut International Classification of Diseases (ICD) seperti yang tercantum dalam Depkes (2003) menggolongkan gangguan jiwa menjadi beberapa jenis, yaitu: a.

  Gangguan mental organik Gangguan mental organik adalah suatu kelompok gangguan jiwa yang disebabkan oleh adanya gangguan yang terjadi pada organ lain diluar otak tetapi gangguan tersebut mempengaruhi fungsi dan kerja otak (Admin, 2011).

  b.

  Gangguan mental dan perilaku akibat gangguan mental simptomatik yang merupakan komponen psikologi yang diikuti gangguan fungsi secara badaniah.

  c.

  Skizofrenia Skizofrenia menurut PPDGJ III adalah gangguan psikosis yang ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas serta afek yang tidak wajar atau tumpul (Maslim, 2001). Patel (2001) menyebutkan beberapa ciri khas dari skizofrenia, antara lain: depresi dan tidak ada keinginan dalam menjalani hidup, sering mengeluhkan dan melakukan hal-hal yang aneh, gelisah, agresif, kurang merawat diri dan menjaga kebersihan diri, dan sering berhalusinasi.

  d.

  Gangguan suasana perasaan (Depresi) Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan kejiwaan yang mendapat perhatian khusus karena jumlah penderitanya yang bertambah setiap waktunya. WHO memprediksikan pada tahun 2020 di negara-negara berkembang depresi akan menjadi penyakit mental yang paling banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyebab kedua terbesar kedua setelah serangan jantung (Lubis, 2009). Beberapa ciri yang khas pada penderita depresi, antara lain tidak ingin bersosialisasi dengan orang lain (menarik diri), kehilangan semangat hidup dan tidak ada harapan akan masa depan, merasa bersalah dan rendah diri, dan terkadang merasa lebih baik mati sehingga sering mencoba melakukan tindakan bunuh diri (Patel, 2001).

  e.

  Ansietas atau kecemasan Kecemasan adalah keadaan seseorang yang bereaksi terhadap adanya ancaman atau kondisi yang menganggu baik secara nyata maupun khayal, dan biasanya seseorang yang mengalami kecemasan disebabkan adanya ketidakpastian dimasa mendatang (Lubis, 2009). Ciri khas kecemasan menurut Patel (2001), antara lain: jantung berdetak lebih cepat dan tubuh gemetar, merasa takut dan terlalu khawatir terhadap sesuatu, pikirannya seolah-olah mati sehingga terkadang kehilangan kontrol diri, menghindari penyebab cemas, sulit tidur, dan cenderung memikirkan kecemasan tersebut dalam waktu yang lama.

  f.

  Gangguan makan, gangguan tidur, dan disfungsi seksual g.

  Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa h. Retardasi mental

  Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan kejiwaan seseorang yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai dengan terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara keseluruhan, seperti kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. i.

  Gangguan brevaza, gangguan membaca, gangguan berhitung, dan autisme. j.

  Gangguan hiperkinetik dan gangguan tingkah laku.

6. Dampak Gangguan Jiwa

  Menurut Admin (2010), dampak yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa cukup besar, baik bagi pasien, bagi keluarga maupun bagi masyarakat dan lingkungan . Dampak tersebut, antara lain: a.

  Sebagai penyebab paling utama dari disabilitas kelompok usia produktif.

  b.

  Penderita mengalami penolakan, pengucilan, dan diskriminasi.

  c.

  Penderita gangguan jiwa menjadi tidak produktif dan menganggur. d.

  Biaya perawatan yang tinggi.

7. Rehabilitasi Gangguan Jiwa

  Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan latihan vokasional sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara optimal serta mempersiapkan p;enderita gangguan jiwa secara fisik, mental, sosial dan vokasional untuk suatu kehidupan penuh sesuai dengan kemampuannya. Tujuan dilakukannya rehabilitasi yaitu untuk mencapai perbaikan baik secara fisik maupun secara mental seoptimal mungkin, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri (Nasution, 2006).

  Keterampilan penting dalam rehabilitasi pasien gangguan jiwa menurut Abroms dalam Stuart (2006) menekankan pada 4 keterampilan, yaitu: a.

  Orientation (Orientasi) Orientation adalah pencapaian tingkat orientasi dan kesadaran terhadap keadaan yang lebih baik. Orientasi berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman penderita terhadap waktu, tempat, dan tujuan, sedangkan kesadaran dapat dikuatkan melalui interaksi dan aktifitas pada semua klien.

  b.

   Assertion Assertion adalah kemampuan penderita dalam mengekspresikan

  perasaannya sendiri secara benar dan tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong penderita untuk mengekspresikan diri secara efektif dengan tingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan dan masyarakat.

  c.

   Accuption

Accuption adalah kemampuan penderita untuk mendapatkan rasa

  percaya diri dan berprestasi melalui keterampilan membuat kerajinan tangan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan aktifitas kepada penderita dalam bentuk kegiatan sederhana untuk mengembangkan keterampilan fisik seperti menyulam, membuat bunga, melukis dan sekaligus untuk meningkatkan manfaat interaksi sosial.

  d.

  Recreation (Rekreasi) Recreation merupakan kemampuan dalam menggunakan dan membuat aktifitas yang menyenangkan sebagai relaksasi. Hal ini bertujuan untuk relaksasi dan membantu penderita dalam menerapkan keterampilan yang telah ia pelajari sebelumnya.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan

  Penerimaan masyarakat terhadap gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pengetahuan masyarakat, persepsi masyarakat, dan sikap masyarakat (Sears, 1999 dalam Adilamarta, 2011).

1. Pengetahuan

  Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai haisl penggunaan panca inderanya, yang berbeda dengan kepercayaan, takhayul dan penerangan lain yang keliru (Soekanto, 2006). Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang yang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007) tingkat pengetahuan dalam domain kognitif meliputi 6 tahapan, yaitu: a.

  Tahu (Know) Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah dimana tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk pula mengingat kembali (recall) sesuatu yang bersifat spesifik dari seluruh materi yang telah dipelajari atau rangsangan yang diterima. Kata kerja yang digunakan untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari diantaranya menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

  b.

  Memahami (Comprehention) Seorang individu dapat dikatakan memahami apabila individu tersebut memiliki kemampuan untuk menjelaskan suatu objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi dan obyek tersebut secara benar. Individu ini mampu untuk menjelaskan, memberikan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan obyek yang dipelajari.

  c.

  Aplikasi (Application) Diartikan sebagai kemampuan individu untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

  d.

  Analisa (Analysis) Analisa merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih berkaitan antara satu dengan yang lain.

  e.

  Sintesis (Sintesys) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk yang bersifat keseluruhan sehingga dapat membentuk formulasi yang baru dari formulasi yang telah ada sebelumnya.

  f.

  Evaluasi Evaluasi berkaitan dengan kemampuan individu untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau obyek dimana penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.

  Dalam memahami sesuatu perlu adanya pengetahuan yang mana pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Notoatmodjo (2003) faktor-faktor tersebut, yaitu: a.

  Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi tingkat pengetahuan seorang individu, meskipun tidak bersifat mutlak namun semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka akan se makin tinggi pula tingkat pengetahuannya.

  b.

  Sosial Ekonomi Hal ini masih memiliki kaitan dengan tingkat pendidikan seseorang. Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi seseorang maka semakin besar kemungkinan orang tersebut dalam mendapatkan pendidikan sehingga pengetahuan yang didapatkan bertambah dengan baik.

  c.

  Sumber informasi Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberi pengaruh terhadap individu tersebut, sehingga menghasilkan perubahan dalam meningkatkan pengetahuannya. Selain itu, semakin pesatnya tekhnolgi secara tidak langsung akan memberi pengaruh terhadap ketersediaan sumber informasi yang menjadi bermacam-macam jenisnya. Sarana komunikasi seperti media massa, televisi, radio, surat kabar, dan majalah juga dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang hal-hal baru.

  d.

  Pengalaman Pengalaman dalam hal ini bisa berarti pengalaman hidup maupun pengalaman kerja yang bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan.

  Pengalaman dapat memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

  e.

  Umur Semakin bertambah usia seorang individu maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

2. Persepsi

  Persepsi dapat diartikan sebagai kemampuan dalam mengenal sesuatu yang hadir berupa hal yang bersifat konkrit jasmaniah, bukan yang bersifat batiniah, seperti benda, barang, kualitas atau perbedaan antara dua hal atau lebih yang diperoleh melalui proses melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan setelah panca indera mendapatkan rangsangan (Baihaqi, dkk, 2007). Persepsi memiliki dua fungsi yang berbeda, yakni fungsi secara kognitif sebagai alat untuk kontak utama antara manusia dan dunia, dan fungsi secara emosional untuk membangkitkan perasaan dan merangsang tindakan-tindakan tertentu (Baihaqi dkk, 2007). Menurut Maramis (2004) persepsi seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: a.

  Kepercayaan b. Sikap c. Pendidikan atau pengetahuan d. Lingkungan e. Budaya

  Proses terjadinya persepsi pertama kali dimulai dari objek yang menimbulkan stimulus yang ditangkap oleh alat indera atau reseptor, dimana proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus yang diterima oleh alat indera kemudian dilanjutkan oleh saraf sensorik menuju otak sehinggan proses ini dinamakan proses fisiologi. Kemudian rangsangan yang telah diterima tersebut di proses di dalam otak sehingga individu dapat menyadari sesuatu yang diterima dengan reseptor itu, sebagai akibat dari stimulus yang diterima. Proses yang terjadi di otak atau pusat kesadaran itulah yang dinamakan proses psikologis. Dengan demikian taraf terakhir dari persepsi adalah individu menyadari tentang sesuatu yang diterima melalui alat indera atau reseptor (Sunaryo, 2004).

  Dalam perkembangan yang terjadi di masyarakat, ada beberapa keadaan yang merupakan bentuk persepsi untuk individu dengan gangguan jiwa (Soewadi, 1997 dalam Mubin, 2008). Persepsi tersebut adalah: a.

  Keyakinan atau kepercayaan yang menganggap bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh guna-guna, tempat dan benda pusaka yang bersifat keramat, roh jahat, kutukan, dan kekuatan gaib atau supranatural.

  b.

  Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa merupaknan penyaki seumur hidup yang tidak dapat disembuhkan.

  c.

  Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang tidak termasuk dalam urusan medis.

  d.

  Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang selalu diturunkan.

3. Sikap

  Sikap adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap objek (masalah kesehatan, termasuk penyakit) atau stimulus yang ada. Sikap yang terdapat pada seseorang akan memberikan dampak pada tingkah laku ataupun perbuatan dari seseorang tersebut. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap objek atau stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan definisi lain menyebutkan bahwa sikap adalah sebuah penentu dari perilaku dimana sikap dan perilaku memiliki kaitan dengan persepsi, kepribadian, perasaan, dan motivasi. Sikap merupakan keadaan mental yang dapat dipelajari dan diorganisasikan melalui pengalaman yang menghasilkan pengaruh secara spesifik terhadap respon seseorang terhadap orang lain, objek atau situasi yang berhubungan. Sikap juga disebut sebagai respon evaluatif dimana respon hanya akan timbul bila seseorang dihadapkan dengan suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi dari orang tersebut. Reaksi evaluatif merupakan bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai munculnya sikap didasari oleh proses evaluasi yang terjadi dalam diri individu segingga akan menghasilkan kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk dan nilai baik-buruk, positif-negatif atau menyenangkan-tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2005).

  Sikap mempunyai tiga komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif yang merupakan kepercayaan seseorang mengenai hal yang berlaku atau benar, komponen afektif yang berkaitan dengan keadaan emosional seseorang terhadap suatu hal, dan komponen perilaku yang menunjukkan kecenderungan perilaku seseorang yang berkaitan dengan objek atau hal yang sedang dihadapi (Azwar, 2005). Sedangkan Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap mempunyai 4 tingkatan, yaitu: a.

  Menerima yang berarti mau memperhatikan dan memahami stimulus yang ada secara otomatis.

  b.

  Merespon stimulus saat diberikan rangsangan seperti menjawab bila ditanya atau mengerjakan sesuatu saat diperintah.

  c.

  Menghargai dengan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan stimulus yang diberikan.

  d.

  Bertanggung jawab dan menerima resiko atas segala sesuatu yang telah dipilih oleh orang yang bersangkutan.

C. Penerimaan 1.

  Pengertian Penerimaan Penerimaan adalah hubungan yang terjalin antara dua belah pihak atau lebih dimana pihak-pihak tersebut saling menerima satu sama lain dengan baik sehingga tercipta suasana yang hangat, nyaman, dan tentram serta pemenuhan kebutuhan saling menghargai terpenuhi (Surya, 1998 dalam Soleh, 2011).

2. Unsur-unsur Penerimaan

  Soleh (2011) menyebutkan beberapa hal yang merupakan unsur dari penerimaan, antara lain: a.

  Perhatian b. Perlakuan yang baik dan positif c. Pemberian kesempatan 3. Prinsip-prinsip Penerimaan

  Prinsip-prinsip penerimaan dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam mengungkapkan kebutuhan dalam kepercayaan dirinya, memberikan pujian positif, dan keramahan yang tidak berlebihan yang ditunjukkan melalui ekspresi dan rasa saling memahami dan menghargai antar individu dengan segala karakteristik baik secara positif maupun negatif. Selain ekspresi, penerimaan juga dapat ditunjukkan melalui sikap seperti perhatian yang terpusat, mendengarkan dengan penuh konsentrasi, memberikan dukungan dan semangat, menerima kondisi individu dengan kelebihan dan kekurangannya, dan mau memberi pertolongan saat dibutuhkan (Siporin, 1975 dalam Soleh, 2011).

D. Kerangka Teori

  Psikopatologi Gangguan Jiwa Faktor Predisposisi (Bio-psiko-sosio- Faktor Presipitasi, antara lain spiritual), antara lain neroanatomi, kondisi lingkungan yang kurang nerofisiologi, nerokimia, persaingan baik, interaksi dengan orang lain, antara saudara kandung, hubungan kondisi fisik pasien, putus asa, dan sosial di kehidupan sehari-hari, percaya diri yang kurang, rasa tingkat perkembangan emosi, tingkat kehilangan, dan kritikan yang ekonomi, pendidikan, masalah mengarah kepada penghinaan. kelompok minoritas, dan pengaruh buruk organisasi keagamaan.

  Dampak Gangguan Jiwa 1. Disabilitas kelompok usia produktif.

  2. Penderita mengalami penolakan, pengucilan, dan diskriminasi.

  3. Penderita menjadi tidak produktif dan menganggur.

  4. Biaya perawatan yang tinggi.

  Faktor-faktor penerimaan: 1.

  Pengetahuan 2. Persepsi masyarakat 3. Sikap masyarakat

  Penerimaan masyarakat Bagan 2. 1 Kerangka Teori modifikasi dari Yoseph (2011) dan Sears (1999)

E. Kerangka Konsep

  Faktor-faktor penerimaan: Penerimaan 1. Pengetahuan masyarakat

2. Persepsi masyarakat 3.

  Sikap masyarakat

Bagan 2.2. Kerangka Konsep F.

   Hipotesis 1.

  Ada pengaruh antara tingkat pengetahuan masyarakat Desa Kedondong tentang gangguan jiwa dengan penerimaan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.

  2. Ada pengaruh antara persepsi masyarakat Desa Kedondong tentang gangguan jiwa dengan penerimaan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.

  3. Ada pengaruh antara sikap masyarakat Desa Kedondong terhadap gangguan jiwa dengan penerimaan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.