BAB ll KAJIAN TEORI

  10 BAB ll

  A. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

  1. Pengertian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Secara bahasa civic education (pendidikan kewarganegaraan) oleh sebagian pakar di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia menjadi Pendidikan

  Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan (Taniredja 2009:2).

  “Istilah pendidikan kewarganegaraan pada sisi lain identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan, namun disisi lain istilah kewarganegaraan menurut Rosyada (2003:6), (Tukiran Taniredja) ”secara subtantif tidak hanya mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah pendidikan kewarganegaraan, namun juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society)”.

  Pendidikan kewarganegaraan menurut zamroni (2003:10) dalam (Taniredja) adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat.

  Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu pendidikan kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awarenes, attitude, political

  

effitacy dan political partisipation, serta kemampuan mengambil keputusan

  politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa.

  Istilah pendidikan kewargaan pada satu sisi identik dengan pendidikan kewarganegaraan namun di sisi lain, istilah pendidikan kewargaan menurut Rosyada (2003:6) dalam (Taniredja) secara subtantif tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah pendidikan kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi pendidikan kewarganegaraan secara subtantif lebih luas cakupannya dari istilah pendidikan kearganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara denagn negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

  Sementara itu, Zamroni (Azra 2005:7) berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa kesadaran demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kemampuan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political

  

knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation

  serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa.

  Sejak berlakunya UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pengganti UU No. 2 tahun 1989,pasal 37 ayat (2) menetapkan kurikulum pada pendidikan dasar, pndidikan menengah dan pendidikan tinggi harus memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa. Dengan demikian pendidikan Pancasila tidak lagi diberikan secara sendiri, namun berubah namanya menjadi pendidikan kewarganegaraan yang di dalamnya berisikan pendidikan nilai dan moral yang bersumber pada Pancasila.

  2. Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Menurut Winarno (2013:37) Tujuan dari Pendidikan Pancasila dan

  Kewarganegaraan (PPKn) kurikulum baru ini adalah sebagai berikut:

  a. Tujuan PPKn tidak bisa di pisahkan dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

  b. PPKn bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang di jiwai oleh nilai-nilai Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Semangat Bhineka Tunggal Ika, dan Komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Menurut Kansil (1994:7) (Suharyanto 2013 Vol.1:2) menyatakan bahwa: Tujuan dan sasaran pendidikan kewarganegaraan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati dan menyakini nilai

  • – nilai Pancasila sebagai pedoman prilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa danbernegara sehingga menjadi warga Negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan serta memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut.

  Menurut Simorangkir (1992: 4) (Suharyanto 2013 Vol. 1:2) Tujuan Pendidikan Kewarganegaran adalah: Memberikan pengertian, Pengetahuan dan pemahaman yang sah dan benar; Meletakkan dan menanamkan pola berpekir (Fattern of thought) sesuai dengan pancasila dan watak (character) Indonesia; Menanamkan nikai-nilai moral pancasila kedalam diri anak didik; Menggugah kesadaran anak Warga Negara dan warga masyarakat Indonesia untuk selalu mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai moral Pancasila; Memberikan motivasi agar dalam setiap sikap dan tingkah lakunya bertumbuh sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila.

  Berdasarkan tujuan pendidikan kewarganegaraan di atas yaitu untuk mengetahui dan memahami isi dan makna yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 atau dengan kata lain untuk menjadi warga negara yang baik berdasarkan falsafah negara dan UUD 1945 dan dengan demikian pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu upaya pendidikan yang menyangkut pembentukan dan pengembangan pribadi dan anak didik, atau dengan kata lain merupakan salah satu cara untuk membentuk watak bangsa Indonesia serta membentuk kepribadian manusia Indonesia yang seutuhnya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan UUD 1945.

  Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Menurut Daryono dkk (1997: 29) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berusaha membentuk manusia seutuhnya sebagai perwujudan kepribadian bangsa, yang melaksanakan pembangunan masyarakat Pancasila, tanpa PPKn, segala kepintaran atau akal, ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi,keterampilan dan kecekatan, tidak memberikan jaminan pada terwujudnya masyarakat Pancasila.

  Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter, dalam kehidupan yang demokratis. Dalam demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan mengakomodasi pihak lain. Partisipasi warganegara dalam masyarakat demokratis, tentunya didasarkan pada pengetahuan, refleksi kritis dan pemahaman serta penerimaan akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab warganegara:

  a. Berpikir secara kritis rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

  b. Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

  c. Berkembang secara positif dan demokratis berkembang diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dan dengan bangsa-bangsa lainnya.

  d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dari rumusan tujuan kurikuler tersebut, yang sangat jelas menggunakan istilah: memahami, menghayati, dan mengamalkan, maka berarti bahwa tujuan

  PPKn itu meliputi:

  a. Aspek kognitif (pengetahuan, memahami), kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek intelektul atau berfikir/nalar.

  b. Aspek afektif (nilai, menghayati), kawasan yang berkaitan dengan aspek aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya.

  c.

Aspek psikomotor (perilaku, mengamalkan), kawasan yang berkaitan

  dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi system syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. (origination).

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ialah mendidik peserta didik untuk dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara republik Indonesia, terdidik dan bertanggung jawab. Dan pendidikan kewarganegaraan yang dimanifestasikan di dalam kurikulum sekolah ialah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

  B. Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

  1. Pengertian Guru Dalam kamus besar bahasa indonesia (2008:469), guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Menurut

  Usman 2010:5 guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum dapat disebut dengan guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi sebagai guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu di bina dan di kembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan. Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha. Adapun UU yang mengatur tentang guru Guru dan Dosen yaitu UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

  Guru mempunyai tugas untuk memberikan ilmu dan pensisikan melalui pemberian materi pelajaran di kelas, selain itu guru juga mempunyai kewajiban untuk memberikan pengetahuan mengenai nilai, moral, dan norma yang baik sehingga diharpkan dapat di aplikasikan oleh peserta didik dalam perilaku di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

  Guru merupakan salah satu komponen dari pendidikan, yang mana pendidikan pada daarnya adalah suatu usaha untuk merubah baik aspek pengetahuan, ketrampilan, maupun perilaku atau tingkah laku pelajar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam ketentuan umum pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003:2) bahwa pendidikan adalah:

  Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

  proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, masyarakat, bangsa dan negara”. Di dalam pendidikan guru menjadi unsur yang berperan penting untuk mencapai tujuan pendidikan, seperti yang dikemukakan syaodih (Mulyasa,

  2010:13) bahwa: “guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakan bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Pendidikan sekarang ini dikembangkan dengan sistem desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena disini guru diberikan kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah”.

  Simon dan Alexander (Mulyasa , 2010:13) telah merangkul lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang. Dua kunci penting dari peran guru dalam keberhasilan pembelajaran yaitu jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru.

  Guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual, emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya. Ini sejalan dengan pendapat Mulyasa (2010:4) apabila dikelompokan tugas guru terdiri dari 3 jenis, yaitu tugas dalam bidang profesi, tugas dalam bidang kemasyarakatan, dan tugas kemanusiaan.

  1) Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. 2) Tugas guru dalam bidang kemasyarakatan tidaklah terbatas, guru pada hakekatnya merupakan komponen yang strategis yang memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor penting yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu, terlebih lagi pada era kontemporer ini.

  3) Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi, bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Melihat pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga tugas guru tersebut tidak bisa berdiri sendiri, ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis, harmonis dan dinamis, antara tugas yang di emban dengan tugas lainnya harus saling mendukung sehingga tugas yang diemban guru dapat mengerjakan dengan baik. Dengan demikian guru diharapkan dapat menghasilkan anak didik yang berkualitas yang nantinya menjadi manusia yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya, negaranya maupun agamanya. Dengan demikian, tugas guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja, guru yang baik harus bisa menjadi orang tua kedua bagi peserta didiknya. Dimana ia bertanggung jawab atas segala sikap dan perilaku anak didiknya. Oleh sebab itu, masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat di lingkungannya.

  Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas guru tersebut, seorang guru di tuntut beberapa kemampuannya yakni: berwawasan luas, menguasai bidang ilmunya dan kemampuan mentransfer atau menerangkan kembali kepada siswa, mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai- nilai kehidupan yang dianut masyarakat serta memiliki ketrampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya.

  2. Peran Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dalam proses belajar mengajar Pendidikan pancasila dan

  Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang secara umum bertujuan untuk mengembangkan potensi individu warga negara Indonesia, sehingga memiliki wawasan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cogan dalam Soemantri (2001) (Winarno 2013:71) menyatakan pembelajaran PKn merupakan proses pendidikan secara utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik.

  Strategi pembelajaran di definisikan sebagai cara dan seni untuk menggunakan sumber-sumber belajar dalam upaya membelajarkan siswa (Winarno 2013: 73). Sebagai suatu cara, strategi pembelajaran di kembangkan dengan kaidah-kaidah tertentu sehingga membentuk suatu bidang ilmu pengetahuan tersendiri. Sebagai suatu seni, strategi pembelajaran kadang- kadang dimiliki seorang tanpa pernah belajar formal tentang strategi pembelajaran. Definisi lain menyatakan bahwa strategi adalah suatu garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah di tentukan Djamariah dan Zein 2002 (Winarno 2013:73). Dengan demikian, pengertian strategi dalam pembelajaran adalah suatu prosedur yang di gunakan oleh guru dalam proses pembelajaran sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah di tetapkan. Strategi pembelajaran sebagai pola kegiatan pembelajaran yang dipilih dan digunakan guru secara kontekstual, sesuai dengan karakteristik siswa, kondisi sekolah, lingkungan sekolah, tujuan khusus pembelajaran yang diinginkan. Dick dan Carey (Solihatin 2012:3) mengatakan, strategi pembelajaran adalah komponen umum dari set materi dan prosedur pembelajaran yang akan di gunakan secara bersama-sama. Terdapat 5 komponen strategi pembelajaran, yakni (1) kegiatan pembelajaran pendahuluan, (2) penyampaian informasi, (3) partisipasi peserta didik, (4) tes, dan (5) kegiatan lanjutan. Strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan dan cara pengorganisasian materi pelajaran, peserta didik, peralatan dan bahan, serta waktu yang di gunakan untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan.

  Branson, 1998, 1999 (Winarno 2013:107) menyatakan komponen utama pendidikan kewarganegaraan yang perlu diajarkan kepada peserta didik yaitu mencakup: a.

Civic Knowledge Civic knowledge atau pengetahuan kewarganegaraan berkaitan

  dengan kandungan atau isi apa saja yang seharusnya diketahui oleh warga negara. Civic knowledge berkenaan dengan apa-apa yang perlu di ketahui dan dipahami secara layak oleh warga negara. PKn mempunyai peran penting untuk memahami bagaimana menentukan dan mendesain model pembelajaran yang mampu mengembangkan pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan (civic knowledge). Atau dengan kata lain bagaimana merancang pendekatan, strategi, metode, maupun teknik yang dapat mengembangkan ranah kognitif siswa.

  b.

Civic Skills

  Komponen esensial yang kedua dari civic education (pendidikan kewarganegaraan) dalam masyarakat demokratis adalah keterampilan atau kecakapan-kecakapan kewarganegaraan. Dalam buku Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran PKn yang di keluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2004) di kemukakan bahwa garis besar materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan mencakup pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan nilai-nilai kewarganegaraan (civic

  

values). Tentang keterampilan kewarganegaraan disebutkan meliputi

  keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berperan serta aktif dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society), keterampilan memepengaruhi dan memonitoring jalannya pemerintahan dan proses pengambilan keputusan politik, keterampilan memecahkan masalah sosial, keterampilan mengadakan koalisi, kerjasama, dan mengelola konflik.

  c.

Civic Disposition

  Watak kewarganegaraan (civic disposition) sebagai komponen ketiga civic education menunjuk pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Watak kewarganegaraan sebagaiman kecakapan kewarganegaraan, berlambang secara sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi- organisasi civil society. Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya membangkitkan pemahaman bahwasanya demokrasi masyarakat adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik yang tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warna negara, kesopanan mengindahkan, aturan main (rule of law), berfikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat di perlukan agar demokrasi berjalan sukses.

  Aspek tingkah laku menjadi salah satu tujuan perubahan dalam proses pembelajaran, dunia pendidikan diharapkan tidak hanya menjadi wadah dalam memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi juga sebagai proses pembentukan karakter siswa. Ada tujuh kaidah dalam proses pembelajaran dan pengajaran yang harus dilakukan yaitu:

  a. Opportunity to Learn (Kesempatan untuk Belajar dan Melakukan Sendiri) Proses belajar mengajar harus memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa. Pengalaman belajar itu harus memungkinkan siswa untuk mengamati, memilih dan menggunakan proses-proses nyata, produk ketrampilan dan menggunakan nilai-nilai yang mereka harapkan. Proses belajar mengajar harus memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa, tidak hanya secara verbalistis menerima informasi dari guru.

  b. Connection and Challenge (Kaitan dan Tantangan) Pengalamn belajar siswa harus terkait dengan pengetahuan yang telah dimiliki, kecakapn dan nilai-nilai yang diharapkan untuk dikuasai dan dimiliki oleh siswa harus memiliki kaitan dengan pengalaman mereka dengan kehidupan sehari-hari. Pelajaran akan menarik jika memiliki kaitan dengan kebutuhan dan kehidupan sehari-hari siswa serta difasilitasi oleh guru agar siswa tertantang untuk menerapkannya.

  c. Action and Reflection (Melakukan Sendiri dan Menghayati Sendiri) Pengalaman belajar akan lebih bermakna jika siswa diberikan kesempatan untuk melakukan, menghayati, dan jika memungkinkan dapat menemukan kesimpulan sendiri. Dengan melakukan sendiri siswa akan melakukan penghayatan yang tidak mungkin mereka lupakan dalam kehidupannya.

  d. Motivasi and Purpose (Motivasi dan Tujuan) Pengalaman harus menarik minat siswa memahami dengan jelas tujuan mereka memperoleh pengalaman belajar. Para siswa akan lebih tertarik mempelajari sesuatu jika mereka mengetahui apa tujuan dan relevansinya dengan kehidupan untuk itu sejak awal perencanaan pembelajaran sebaiknya para siswa sudah mulai dilibatkan dalam merancang pembelajaran, dan melaksanakan prosesnya secara mandiri, sehingga mereka memperoleh kesempatan secara optimal untuk menilai keberhasilannya.

  e. Inclusivity and Defference (Inclusifitas dan Perbedaan) Pengalaman harus menghargai dan mengakomodasi perbedaan di anatar siswa. Semua siswa harus merasakan bahwa mereka menjadi satu bagian yang tak terpisahkan. Guru harus memperhatikan perbedaan gaya belajar dan perbedaan individual siswa. Guru harus menyadari adanya latar belakang perbedaan secara ekonomi, dan kecepatan belajar, dan sosial budaya siswa.

  f. Autonomy and Collaboration (Otonomi dan Kolaborasi) Pengalaman belajar harus dapat meningkatkan siswa untuk belajar, baik secara mandiri maupun secara berkolaborasi. Ada saatnya siswa harus menguasai konsep dan mampu mempraktekannya secara mandiri. Namun pada saat yang lain mereka harus mampu melakukannya secara bekerja sama. Melakukan keterlibatan yang lebih luas dalam berbagai kegiatan yang diberikan oleh guru, para siswa akan memperoleh pengalaman untuk menghargai prinsip kemandirian, dan sekaligus menghargai betapa pentingnya nilai kebersamaan dan kerja sama.

  g. Supportive Environment (Lingkunagan yang Mendukung) Sekolah dan ruang kelas harus di atur sedemikian rupa sehingga aman, nyaman, dan kondusif untuk berlangsungnya pembelajaran yang efektif. Para siswa memerlukan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga mereka dapat belajar dengan resiko yang amat kecil dari bahaya karena luka atau resiko yang lebih besar.

  Peran Pembelajaran PPKn Pelaksanaan kegiatan pembelajaran aktif melalui proses dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007).

  PPKn sebagai salah satu mata pelajaran bidang sosial dan kenegaraan yang memiliki fungsi yang sangat esensial dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang memiliki keterampilan hidup bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara. Fungsi dari mata pelajaran PPKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD NKRI 1945. konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PPKn; . C. Toleransi

  1. Pengertian Toleransi Secara harfiyah kata „Toleran‟ bermakna sikap menenggang

  (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) seseorang yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Adapun kata „toleransi‟ bermakna sikap atau sifat toleran. Modal dasar memupuk sikap toleransi antar sesama dalam kehidupan sosial Rosyid, 2016, hal.76 dalam Mutiara 2016 Vol. 4 No. 2

  Sikap toleransi perlu ditanamkan sejak dini, dikarenakan individu hidup disuatu negara yang diwarnai dengan berbagai ragam suku, agama, ras, dan antar golongan. Keberagaman ini harus selalu dijaga agar masing-masing individu dengan berbagai perbedaan itu bisa tetap bersatu, berdampingan, dan saling melindungi. Di indonesia, dasar dan toleransi yaitu sesuai dengan UUD Negara Rebuplik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 Ayat 2 yaitu: Sesuai dengan UUD

  Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 Ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Semua itu dapat terjadi jika setiap masyarakat memiliki sikap toleran yakni saling menghormati dan menghargai. Hayun (2016:405) dalam Mutiara 2016 Vol. 4 No. 2 menjelaskan bahwa toleransi berasal dari kata toleran, kata itu sendiri berarti bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagianya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Jadi, dalam kehidupan masyarakat toleransi berarti menghargai sikap orang lain, membiarkan, membolehkan, kepercayaan atau agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Tanpa adanya sikap toleransi, keberagaman itu akan memunculkan konflik, permasalahan dan pertentangan yang sangat merugikan.

  Intinya, toleransi tidak hanya pengenalan dan hormat kearah kepercayaan, tapi menghormati perorangan yang pantas pada masyarakat.

  Berbeda dengan toleransi di barat dimana toleransi adalah tanpa perbatasan yang memberi kebebasan absolut ke hak azazi. Sebagai contoh, seseorang yang mau mempraktekan jenis kelamin gratis, kemudian keinginannya harus di berikan berlandaskan toleransi. Selain itu. Hasyim (1978:22) mengartikan, toleransi sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan nasibnya masing-masing di dalam menjalankan sikap itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat. Di dalam toleransi pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu, masyarakat harus saling menghormati satu sama lain. Misalnya dalam hal beribadah, kepercayaan agama, mengemukakan pendapat dan menerima perbedaan yang ada.

  Hal ini sesuai dengan syariat islam yang mengartikan toleransi (tasamuh) adalah mengambil kemudahan (kelonggaran) dalam pengalaman agama sesuai denagn nash-nash syariat, sehingga pengalaman tersebut tidak sampai pada tasyadud (ketat), tanfir (menyebabkan orang menjauhi islam) dan tasabul (menyepelekan). Berikut keuntungan yang diperoleh dari sikap toleransi menurut Aly (Nashir, 2013:94) dalam Mutiara 2016 Vol. 4 No. 2 sebagai berikut: a. Membuat orang terbuka untuk mengenal orang lain

  b. Mengembangkan kemampuan untuk menerima kehadiran orang lain yang berbeda-beda dengan tujuan dapat hidup secara damai c. Mengakui individualitas keberagaman

  d. Mudah menghilangkan topeng-topeng kepalsuan yang memecah belah dan mengatasi ketegangan akibat kemasabodohan e. Memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengenyahkan prasangka negatif dan stigma mengenai orang-orang yang berbeda bangsa, agama, budaya, maupun warisan etniknya. Berdasarkan konsep-konsep mengenai toleransi yang telah dipaparkan di atas, maka toleransi dapat mencangkup dua kategori yaitu toleransi pasif dan toleransi aktif.

  Apriliani (2016:6) dalam Suharyanto. 2013. Vol. 1, No 2 menjelaskan kategori toleransi sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kategori Toleransi NO Toleransi Aktif Toleransi Pasif

  1 Menerima dan menghormati perbedaan Wajib untuk menghargai perbedaan

  2 Ikut melaksanakan kepercayaan Tidak boleh mengikuti kepercayaan

  3 Memberikan dukungan kepada pemeluk agama lain untuk beribadah dengan suatu tindakan

  Memberikan kesempatan pemeluk agama lain untuk beribadah namun tidak nyata. melakukan suatu tindakan nyata.

  Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa toleransi pasif merupakan kemampuan untuk menerima dan menghormati perbedaan pendapat, pandangan, perilaku, dan kebiasaan serta memberikan kesempatan tanpa melakukan suatu tindakan nyata yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan praktik pribadatan agama lain, namun tetap berusaha untuk menciptakan hubungan sosial yang baik dan hidup bersama dengan damai dengan kesadaran pribadi. Sedangkan toleransi aktif adalah kemampuan untuk menerima dan menghormati perbedaan pendapat, pandangan, perilaku, kebiasaan dan m mberikan kesempatan serta mendukung kelompok agama yang berbeda untuk menjalani praktik keagamaan dengan suatu tindakan nyata yang berbeda yang bertujuan menciptakan hubungan sosial yang baik dan hidup bersama dengan damai dengan kesadaran sendiri.

  Di lingkungan sosial seperti sekolah juga diperlukan adanya toleransi. agar sikap toleransi dan kebersamaan dapat dikembangkan dikalangan siswa, maka guru hendaknya dapat merancang kegiatan belajar yang mengarah pada pengembangan sikap tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kegiatan pembelajaran di sekolah hendaknya harus diarahkan sesuai dengan sikap toleransi yang ingin dikembangkan dikalangan siswa.

  Indikator sikap toleransi menurut Hasan (2010: 25) sebagi berikut:

  Tabel. 2.2 Indikator Sikap Toleransi Nilai Indikator

  1. Bekerja sama dengan teman yang berbeda agama Toleransi

  2. Tidak mengganggu teman yang berlainan agama dalam beribadah

  3. Membantu teman yang mengalami kesulitan walaupun berbeda agama

  Indikator toleransi yang disesuaikan dengan kriteria penelitian antara lain sebagai berikut:

  1. Bekerja sama dengan teman yang berbeda agama

  2. Tidak mengganggu teman yang berlainan agama dalam beribadah

  3. Membantu teman yang mengalami kesulitan walaupun berbeda agama Indikator tersebut sesuai dengan materi yang diajarkan yaitu bangga menjadi anak indonesia. Guru dalam hal ini dapat mengajarkan peserta didik tentang bagaimana menerima sesuatu yang berbeda dalam beberapa hal. Peserta didik dapat berinteraksi dan menerima perbedaan tersebut dengan adanya sikap toleransi yang diterapkan sejak sekarang sehingga kelak peserta didik akan terbiasa dengan perbedaan tersebut.

  2. Tujuan Toleransi Khoirul (Khotimah, 2013:217) menjelaskan bahwa tujuan kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan masing-masing agama.

  Masing-masing agama dengan adanya kenyataan agama lain akan semakin mendorong untuk menghayati dan sekaligus memperdalam ajaran-ajaran agamanya serta semakin berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran agamanya.

  b. Mewujudkan stabilitas nasional yang mantap. Dengan adanya toleransi umat beragama secara praktis ketegangan-ketegangan yang di timbulkan akibat perbedaan paham yang berpangkal pada keyakinan keagamaan dapat dihindari. Apabila kehidupan rukun dan saling menghormati maka stabilitas nasional akan strategis.

  c. Menjunjung dan menyukseskan pembangunan. Usaha pembangunan akan sukses apabila didukung oleh segenap lapisan masyarakat d. Memelihara dan mempercepat rasa persaudaraan. Selain itu, tujuan dari toleransi yaitu agar manusia tidak bersikap menyamakan keyakinan agama lain dengan keyakinan sendiri.

  Dengan adanya toleransi diharapkan manusia dapat saling menghargai pendapat orang lain serta memiliki pendirian yang tidak bertentangan dengan yang lainnya.

  3. Kesadaran Toleransi Siswa SMK Toleransi yang di pandang sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk melakukan keyakinannya atau mengatur hidupnya agar lebih mudah dipahami melalui indokator-indikatornya toleransi (Kemendiknas, 2010:40) sebagai berikut:

Tabel 2.3 Kategori Toleransi Nilai Deskripsi Indikator

  Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya

   Tidak mengganggu teman yang berbeda pendapat  Menghormati teman yang berbeda adat istiadatnya  Bersahabat dengan teman dari kelas lain

  Indikator toleransi di lingkup sekolah mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Dengan adanya indikator tersebut pihak sekolah dan siswa dapat mengatur waktu, energi dan pemusatan perhatiannya terhadap sikap toleransi mereka dengan baik. Dengan adanya toleransi individu diharapkan dapat menghargai dan memberikan perlakuan yang sama kepada siapa saja tanpa melihat agama, suku, ras ataupun yang lainnya.

  Hal ini sejalan dengan kriteria toleransi menurut Hasyim (1978:23) sebagi berikut: a. Mengakui hak setiap orang

  Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap dan perilaku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap dan perilaku yang dijalankan itu tidak melanggar hak orang lain, karena jika demikian, kehidupan di dalam masyarakat akan kacau.

  b. Menghormati keyakinan orang lain Landasan keyakinan di atas adalah berdasarkan kepercayaan, bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang lain. c. Agree in Disagreement (setuju di dalam perbedaan) Perbedaan tidak harus ada permusuhan, karena perbedaan selalu ada di dunia ini dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan.

  d. Saling mengerti Tidak akan terjadi sikap saling menghormati antara sesama orang bila mereka tidak saling mengerti. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.

  e. Kesadaran dan kejujuran Toleransi menyangkut sikap jiwa dan kesadaran batin seseorang.

  Kesadaran jika menimbulkan kejujuran kepolosan sikap perilaku.

  f. Jiwa filsafat pancasila Dari semua segi-segi yang telah disebutkan di atas, falsafah pancasila telah menjamin adanya ketertiban dan kerukunan hidup bermasyarakat.

  Dengan adanya karakteristik toleransi di atas diharapkan dapat memiliki kedudukan yang sama sehingga dapat berjalan dan dihayati setiap siswa agar terciptanya toleransi dikalangan sekolah. Karena negara indonesia adalah negara yang unik, yaitu negara pancasila dimana konsep negara yang tetap berlandaskan agama berpadu dengan norma. Maka sebagai mayoritas, umat muslim memiliki tanggung jawab memadu toleransi di negeri ini.

  Disinilah pentingnya pengetahuan toleransi secara benar yaitu toleransi yang tidak melanggar konstitusi negara dan tidak pula melanggar syariat agama.

  Toleransi di tunjukan dengan kehidupan rukun dan tenang di tengah perbedaan. Maka jika dilihat dari berbagai karakteristik toleransi diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik toleransi siswa adalah mengakui hak dan kewajiban orang lain, keyakinan kewajiban orang lain tanpa paksaan, dapat menerima sebuah perbedaan, saling mengerti satu sama lain, dan adanya kesadaran dan kejujuran dari dalam diri siswa.

  4. Konflik Sosial Terkait Toleransi Secara umum konflik sosial berarti memukul seseorang . namun sebenarnya konflik sosial sebenarnya tidak hanya terkait pada pertentangan fisik saja, konflik sosial juga dapat terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Persamaan dan perbedaan pada tingkat tertentu, ketika satu sama lain saling bertemu dan bergesekan, berpotensi menimbulkan konflik. Latar belakang konflik sosial biasanya dikarenakan ada perbedaan yang sulit ditemukan kesamaannya baik itu perbedaan pendapat, adat istiadat, keyakinan, pengetahuan dan lain sebagianya.

  Sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat berlangsung, antara lain: a. Ada isu kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly

  problematized ) dari para pihak berbeda kepentingan;

  b. Ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut paut dengan sebuah objek perhatian para pihak bertikai; c. Gunjingan, gosip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik soaial menuju wujud real di dunia nyata;

  d. Ada kompetensi dan ketegangan psikososial yang terus dipelihara oleh kelompok-kelompok berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut;

  e. Masa pematangan untuk perpecahan f. Clash yang biasa disertai dengan violence (kerusakan dan kekacauan).

  Berdasarkan prasayarat yang memicu adanya konflik sosial, maka ada beberapa macam konflik soaial berdasarkan sumber konflik: a. Konflik tujuan yaitu konflik yang terjadi karena adanya perbedaan individu, organisasi atau kelompok yang memunculkan konflik.

  b. Konflik peranan yaitu konflik yang terjadi karena terdapat peran yang lebih dari satu.

  c. Konflik nilai yaitu konflik yang yang terjadi karena adanya perbedaan nilai yang dianut oleh seseorang yang berbeda dengan nilai yang dianut oleh organisasi atau kelompok.

  d. Konflik kebijakan yaitu konflik yang terjadi karena individu atau kelompok tidak sependapat dengan kebijakan yang diambil organisasi.

  Konflik sosial terkait perbedaan merupakan sesuatu yang wajar dalam masyarakat maupun lingkungan sekolah. Bahkan tidak ada satu masyarakatatau satu siswapun yang tidak pernah mengalami konflik, baik konflik yang terkecil atau bahkan konflik yang berskala besar. Mengingat begutu banyak masalah konflik sosial pada remaja atau siswa maka pemerintah menggalakan adanya pendidikan karakter terkait toleransi di sekolah-sekolah, antara lain bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan mental yang kuat untuk menghindari atau menghilangkan bibit-bibit persemaian konflik sosial yang merusak.

  D. Hasil Penelitian Sebelumnya yang Relevan

  1. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Suharyanto (2013) Peranan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membina Sikap Toleransi Antar Siswa

  Agung Suharyanto, Peranan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membina Sikap Toleransi yang ada di kelas sudah berjalan dengan sebaiknya, toleransi antar umat beragama telah berjalan dengan baik, untuk itu perlu ditingkatkan lagi agar berjalan lebih harmonis diantara siswa yang berlainan agama Siswa di sekolah pernah meanggar peraturan yang diterapkan di sekolah, pada umumnya peraturan yang dilanggar tidak ada karena unsur kesengajaan, artinya pelanggaran yang dilakukan oleh siswa masih sebatas sewajarnya. Pengetahuan tentang pengertian toleransi antar umat beragama sudah baik ini dapat dilihat dengan membiarkan orang lain untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaanny masing-masing. PKn berperan dalam menciptakan kerukunan di sekolah, PKn mengajarkan bagaimana menciptakan kerukunan di lingkungan sekolah. Sejalan dengan tujuan pendidikan kewarganegaraan yaitu untuk mengetahui dan memahami isi dan makna yang terkandung didalam Pancasila dan UUD 1945.

  2. Hasil Penelitian yang Dilakukan oleh Ummah dalam Khoirul (2015) Metode Penanaman Sikap Toleransi Siswa di SMP N 3 Panggang Gunung Kidul Yogyakarta

  Konsep toleransi di SMP N 3 Panggang sejauh ini sudah sangat baik, baik antara guru dengan guru, guru siswa dan siswa dengan siswa, mereka sudah mengamalkan sikap saling menghormati dan menghargai di sekolah baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Hal ini terlihat ketika semua guru dan siswa membaur, bahkan antar siswa maupun guru saling bersalaman pada saat pagi harisaat bertamu. Toleransi antar siswa di SMP N 3 Panggang ini dapat di gambarkan dalam tiga hal yaitu: pertama, sikap dalam berinteraksi secara umum sikap toleransi antara muslim dan non muslim di SMP N 3 Panggang sejauh ini sudah baik, kedua anak-anak timbul sendiri rasa kebersamaannya, jadi anak yang muslim dan non muslimtidak ada batasan dalam bergaul, yang ketiga sikap siswa dalam bentuk kepedulian, siswa sudah mulai ditanamkan sejak mereka masuk sekolah ini, guru mengajarkan siswa agar mempunyai sikap peduli dengan sesama umat manusia tanpa harus melihat latar belakang agama yang dianutnya. Guru selalu memberi contoh kepada siswanya seperti melayat ketempat siswa yang anggota keluarganya meninggal, sekolah selalu mengutus siswanya untuk melayat bersama salah satu guru.

  Upaya yang dilakukan guru PKn dalam membina sikap toleransi siswa adalah dengan cara menggunakan metode hiwar lebih efektif karena siswa cenderung lebih aktif bertanya kepada guru mengenai masalah sikap saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia dan menggunakan metode mendidik dan memberikan teladan. Jadi guru selalu memberikan teladan yang baik kepada siswanya saat diluar kelas. Hal ini bertujuan agar para siswa mengikuti apa yang diarahkan dan dilakukan oleh gurunya.