Erna Yosi Widayanti BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan Penelitian mengenai gaya bahasa sebelumnya pernah dilakukan oleh Rahayu (2011). Rahayu meneliti mengenai “Analisis Gaya Bahasa Pada Album Musik Klakustik Karya Band Kla Project dan Saran Penerapannya dalam Pembelajaran Gaya Bahasa di SMA Kelas X Semester 1”. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu berjudul “Analisis Gaya Bahasa Pada Album Musik Klakustik Karya Band Kla Project dan Saran Penerapannya

  dalam Pembelajaran Gaya Bahasa di SMA Kelas X Semester 1”. Tujuan penelitian tersebut yaitu: (1) mendeskripsikan jenis gaya bahasa yang terdapat pada album Klakustik karya Kla Project. (2) menerapkan hasil penelitian analisis gaya bahasa dalam pembelajaran gaya bahasa di SMA kelas X semester 1. Adapun landasan teori dalam penelitian tesrebut yaitu: (1) lirik lagu sebagai genre sastra. (2) pengertian diksi. (3) jenis-jenis gaya bahasa. (4) gaya bahasa dalam konteks sastra.

  (5) sastra sebagai sarana pembelajaran. (6) pembelajaran gaya bahasa di SMA kelas X semester 1. Datanya berupa 5 lirik lagu dalam album musik Klakustik yaitu Tak Bisa ke Lain Hati, Pasir Putih, Tentang Kita, Belahan Jiwa, dan Semoga.

  Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada tujuan penelitian, landasan teori, dan sumber data. Dalam penelitian ini tujuannya adalah (1) mendeskripsikan jenis gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat pad adisplay

  

picture blackberry massenger dan (2) mendeskripsikan jenis gaya bahasa

  berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdapat pada display picture

  

8

  

blackberry massenger. Landasan teori dalam penelitian ini adalah (1) bahasa, (2)

  wacana, dan (3) stilistika. Sumber data dalam penelitian ini adalah display pictureblackberry massenger.

  Bertolak dari penelitian tersebut peneliti berasumsi belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Gaya Bahasa pada Display Picture Blackberry

  Massenger ”. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti hal tersebut.

B. Bahasa 1. Pengertian Bahasa

  Melalui bahasa manusia mendapatkan informasi dengan ungkapan- ungkapan yang terkandung di dalam bahasa. Bahasa terdiri dari unsur-unsur yang tersusun secara teratur dan berpola, dengan demikian bahasa tersebut akan mudah dipahami. Menurut Chaer (2012:30), bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk bertukar informasi. bermakna karena di dalamnya terkandung konsep, gagasan atau ide, serta pikiran. Mulyana (2016:260) menjelaskanbahasa merupakan simbol yang telah disepakati oleh sekelompok masyarakat dalam mengungkapkan pemikiran, sehingga masyarakat dapat memahami gagasan yang terdapat dalam simbol tersebut. Hal tersebut karena bahasa setiap negara berbeda-beda dengan tata aturan yang berbeda pula. Oleh karena itu bahasa dapat dikatakan sebagai suatu simbol.

  Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan simbol yang hanya dimiliki oleh manusia dan telah disepakati bersama untuk mengungkapkan maksud atau tujuan yang hendak disampaikan. Dengan demikian masyarakat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang lain.

2. Fungsi Bahasa

  Fungsi bahasa yang paling umum adalah sebagai sarana komunikasi atau alat perhubungan antara individu satu dengan lainnya. Melalui bahasa semua orang dapat menerima atau memberi informasi satu sama lain. Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai sarana bertukar informasi. Menurut Keraf (2001:3), secara garis besar bahasa memiliki empat fungsi, yaitu alat untuk menyatakan ekspresi, alat komunikasi, alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan alat mengadakan kontrol sosial.

  a. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri

  MenurutKeraf (2001:3), bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau gagasan yang terdapat di dalam benak manusia. Dengan demikian, seseorang yang menggunakan bahasa akan diakui keberadaannya karena secara tidak langsung dia menarik perhatian orang lain atau pendengar sehingga mengetahui keberdaannya.

  b. Alat Komunikasi

  MenurutKeraf (2001:4), sebagai alat komunikasi bahasa merupakan sarana untuk merumuskan maksud pembicara, melahirkan gagasan sehingga terjadi komunikasi antara satu orang dengan orang lain. Dengan komunikasi semua gagasan dan pemikiran yang tersimpan dalam benak seseorang dapat disampaikan kepada orang lain.

  c. Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial

  MenurutKeraf (2001:5), bahasa digunakan sebagai sarana integrasi (pembauran) antara individu dengan masyarakat. Melalui bahasa seseorang tentu akan memahami adat yang terdapat di dalam lingkungan tempat tinggalnya.

  d. Alat Mengadakan Kontrol Sosial

  MenurutKeraf (2001:6), kontrol sosial merupakan usaha untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat. Kegiatan sosial dapat berjalan dengan baik karena adanya bahasa, dengan menggunakan bahasa diharapkan pendengar dapat merespon melalui tuturan maupun perbuatan.

C. Wacana

  Menurut Douglas (dalam Mulyana, 2005:3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak,memiliki pengertian „berkata‟, „berucap‟. Kata wac dalam bidang morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III

  

paramaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Seiring

  perkembangannya kata

  „wac‟mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana

  yang muncul di belakang merupakan sufiks (akhiran), yang berfungsi

  

“membendakan”. Jadi, kata wacana memiliki pengertian „perkataan‟ atau

“tuturan”.Menurut Alwi,dkk. (2003:419), wacana adalah gabungan beberapa

  kalimat yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Menurut Chaer (2012:267), wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Dalam wacana seringkali terdapat konsep, gagasan, ide yang dapat dipahami oleh pendengar maupun pembaca.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, wacana adalah satuan gramatikal tertinggi yang terdiri dari beberapa kalimat yang membentuk kesatuan makna.

  Dalam wacana terdapat gagasan, ide, pikiran yang ingin disampaikan pembicara/penulis kepada pendengar/pembaca.

D. Stilistika

  Stilistika (stylistic) adalah ilmu mengenai gaya, sedangkan stil (style) secara umum memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu bagaimana seseorang mengungkapkan sesuatu dengan cara yang khas, sehingga tujuan yang dimaksud dapat dicapai secara maksimal (Ratna, 2013:3). Menurut Shipley (dalam Ratna, 2013:8), stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style) sedangkan style berasal dari akar kata stilus (Latin), awalnya memiliki pengertian „alat berujung runcing‟ yang digunakan untuk menulis bidang berlapis lilin. Menurut Hartoko

  (dalam Noor, 2010:116), stilistika adalah gaya atau cara khas seseorang dalam mengungkapkan suatu maksud dengan memperhatikan aspek bahasa (kata-kata, kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya). Sebagai ilmu mengenai gaya bahasa, stilistika membahas kekhasan seorang pengarang maupun kelompok, periode, dan aliran tertentu dalam pemakaian bahasa (dalam Ratna, 2013:229).

  Berdasarkan pengertian beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah ilmu mengenai gaya bahasa seseorang, kelompok, atau aliran tertentu dalam mengungkapkan pemikiran atau maksud dengan memperhatikan aspek kebahasaan berupa kata-kata, kiasan-kiasan, dan susunan kata.

E. Gaya Bahasa 1. Pengertian Gaya Bahasa

  Gaya atau gaya bahasa dalam retorika sering disebut style. Kata style diturunkan dari bahasa Latin yaitu stilus. Stilus merupakan alat yang digunakan untuk menulis pada lempengan lilin. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui jelas tidaknya tulisan tersebut. Seiring perkembangan masyarakat, style berubah maknanya menjadi bagaimana seorang penulis dapat menggunakan kata-kata yang indah bukan tulisan yang indah. Menurut Ratna (2013:161), gaya bahasa berkaitan dengan aspek keindahan untuk mencapai nilai estetis. Gaya bahasa atau style berhubungan diksi atau pilihan kata yaitu bagaimana seorang penulis menggunakan kata, frasa, atau klausa yang mempertimbangkan cocok tidaknya penggunaan bagian-bagian tersebut di dalam tulisan (Keraf, 2006:112).

  Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan gaya bahasa merupakan cara penulis mengungkapkan suatu maksud dengan memperhatikan kecocokan pilihan kata, frasa, atau klausa dalam kalimatnya untuk mencapai nilai keindahan.

2. Jenis Gaya Bahasa

  Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Gaya bahasa sekurang-kurangnya dapat dibedakan berdasarkan dua segi, yaitu dari segi bahasa dan non bahasa. Dari segi bahasa dibedakan menjadi empat, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Dari segi non bahasa dibedakan menjadi tujuh, yaitu berdasarkan pengarang, berdasarkan masa, berdasarkan medium, berdasarkan subyek, berdasarkan tempat, berdasarkan hadirin, dan berdasarkan tujuan (Keraf,2006:115-117). Berdasarkan pembagian gaya bahasa tersebut, peneliti menggunakan gaya bahasa dari segi bahasa. Gaya bahasa dari segi bahasa dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tidak menggunakan gaya bahasa berdasarkan nada danpilihan kata. Menurut Keraf (2006, 117-145), jenis gaya bahasa dari segi bahasa dipaparkan sebagai berikut;

a. Jenis Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

  Menurut Keraf (2006:124), struktur sebuah kalimat dapat dijadikan patokan untuk menciptakan suatu gaya bahasa. Struktur kalimat dalam hal ini adalah tempat unsur kalimat dipentingkan. Ada kalimatyang bersifat periodik, bila bagian yang dipentingkan terdapat di akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat

  , yaitu bila bagian yang dianggap penting terdapat di awal kalimat. Jenis

  kendur

  yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang terdapat dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi dan sederajat. Berdasarkan struktur kalimat ada lima jenis gaya bahasa, yaitu klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi sebagai berikut;

1) Klimaks

  Menurut Keraf (2006:124), gaya bahasa klimaks merupakan gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang semakin meningkat dari gagasan- gagasan sebelumnya, sehingga gaya bahasa klimaks mempertegas atau menguatkan pemikiran sebelumnya yang disampaikan oleh penulis. Misalnya kalimat (4)

  “Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman,

dan pengalaman harapan”. Pada contoh gaya bahasa klimaks tersebut

  memberikan urutan-urutan pemikiran bahwa kesengsaraan memberikan pengalaman, dan berdasarkan pengalaman-pengalaman seseorang tentu akan mengetahui dan memahami arti hidup. Berdasarkan pemaparan di atas, gaya bahasa klimaks bisa diketahui dari urutan-urutan tersebut yang semakin meningkat.

2) Antiklimaks

  Menurut Keraf (2006:125), antiklimaks merupakan gaya bahasa yang mengurutkan gagasan yang terpenting terlebih dahulu kemudian gagasan penunjang. Gaya antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang penting diletakkan di awal. Pembaca terfokus pada gagasan di awal kalimat dan mengabaikan penjelasan pada bagian-bagian berikutnya karena pada dasarnya pembaca hanya terfokus pada penjelasan awal kalimat. Misalnya kalimat(5)

  

“Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di Ibu Kota negara, ibu

kota-ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh

Indonsia”. Pada contoh tersebut penjelasan dipaparkan dari hal terpenting yaitu ibu kota negara dan kemudian disusul oleh bagian-bagian yang membawahi ibu kota dalam sebuah pemerintahan.

  3) Paralelisme

  Menurut Keraf (2006:126), paralelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dengan menggunakan kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk kalimat yang sama. Misalnya kalimat (6)

  “Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah, harus

diadili kalau bersalah”.Contoh penggalan kalimat tersebut mengandung gaya

  bahasa paralelisme karena dalam kalimat tersebut terdapat frasa yang menduduki fungsi yang sama yaitu golongan yang tinggi dan golongan yang

  rendah .

  4) Antitesis

  Menurut Keraf (2006:126), antitesis merupakan suatu gaya bahasa yang didalamnya mengandung gagasan yang berlawanan dengan menggunakan kata atau kelompok kata yang berlawanan atau bertentangan. Misalnya kalimat (7)

  

“Hingga kini kusimpan engkau mesra dalam lubuk hatiku, tetapi mulai kini

engkau kuenyahkan jauh- jauh bagai musuh kejam”. Penggalan kalimat di atas

  menunjukkan pertentangan, yaitu kusimpan dipertentangkan dengan kuenyahkan, hal tersebut tentu menjadi dua hal yang berbeda.

5) Repetisi

  Menurut Keraf (2006:127), repetisi merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting sehingga menimbulkan kesan estetis sesuai dengan konteks yang sesuai. Repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau klausa dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi. Misalnya kalimat (8)

  “Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam?”. Pada contoh tersebut terdapat perulangan frasa pergi bersama dan kata menyusupi. Pengulangan tersebut bertujuan untuk

  memberikan tekanan terhadap bagian kalimat yang dianggap penting.

b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

  Dasar penentuan jenis gaya bahasa ini adalah apakah acuan yang dipakai untuk mengungkapkan maksud masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah mengalami penyimpangan dari makna yang sebenarnya. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna biasa disebut trope atau figure of speech. Gaya bahasa tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

1. Gaya Bahasa Retoris

  Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu dalam mengungkapkan suatu maksud yang ingin disampaikan oleh penulis. Misalnya kalimat (9)

  “Ia memukul

adiknya dengan sebuah tongkat”, contoh kalimat tersebut mengandung unsur- unsur kelangsungan makna, dengan konstruksi-konstruksi yang umum dalam bahasa Indonesia. Menurut Keraf (2006, 130-136), gaya bahasa retoris dibedakan menjadi dua puluh dua, yaitu gaya bahasa aliterasi, asonasi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks, dan oksimoron.

  a) Aliterasi

  Menurut Keraf (2006:130), aliterasi merupakan gaya bahasa yang didalamnya terdapat perulangan konsonan yang sama. Sedangkan menurut Pradopo (2014:16) aliterasi merupakan perulangan konsonan yang digunakan untuk mencapai nilai keindahan. Gaya bahasa aliterasi biasanya banyak ditemukan dalam puisi dan prosauntuk mencapai efek tertentu dalam sebuah kalimat. Misalnya kalimat (10)

  Takut titik lalu tumpah”. Pada kalimat tersebut terdapat perulangan konsonan/t/.

  b) Asonasi

  Menurut Keraf (2006:130), asonasi merupakan gaya bahasa yang terdapat perulangan bunyi vokal yang sama. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Pradopo (2014:29), asonasi merupakan perpaduan bunyi vokal sehingga menimbulkan bunyi yang merdu. Misalnya kalimat (11)

  “Ini muka penuh luka siapa punya ”, terdapat perulangan vokal /a/. Perulangan vokal /a/ pada kalimat

  tersebut tentunya memberikan kesan keindahan.

  c) Anastrof

  Menurut Keraf (2006:130), anastrof atau inversi merupakangaya bahasa yang didalamnya terdapat pembalikan susunan kata yang biasa dalam suatu kalimat. Misalnya kalimat (12)

  “Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya”. Pada kalimat tersebut terjadi pembalikan susunan

  kalimat, subjek pada kalimat tersebut didahului oleh predikat.

  d) Apofasis atau Preterisio

  Menurut Keraf (2006:130), apofasis atau preterisio merupakan gaya bahasa dimana penulis seolah-olah menyembunyikan seseuatu tetapi sebenarnya memamerkan. Misalnya kalimat (13)

  “Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang Negara

  ”. Contoh kalimat tersebut memberikan pemaparan bahwa saya tidak mau membuka aib seseorang dalam sebuah forum tetapi justru orang tersebut membeberkan aib orang tersebut.

  e) Apostrof

  Menurut Keraf (2006:131), apostrof merupakan gaya bahasa merupakan pengalihan amanat dari hadirin kepada seseorang atau sesuatu yang tidak terdapat di forum tersebut. Misalnya kalimat (14)

  “Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini”. Penggalan kalimat tersebut mengungkapkan bahwa mereka berharap dewa

  datang meskipun pada kenyataannya dewa-dewa tersebut tidak berada di dekat mereka.

  f) Asindenton

  Menurut Keraf (2006:131), asindenton merupakan gaya bahasa yang berupa acuan, dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung tetapi menggunakan pemisah seperti tanda koma, seperti ucapan terkena dari Julius Caesar: (15) Veni, vidi, vici

  ,”saya datang, saya lihat, daya menang”.

  g) Polisindeton

  Menurut Keraf (2006:131), polisindeton merupakan suatu gaya bahasa kebalikan dari asidenton, karena gaya bahasa polisidenton menghubungkan beberapa kata, frasa, kalusa yang berurutan dengan kata sambung. Misalnya kalimat (16)

  “Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan taj berumah

dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokan bulu-

bulunya”. Pada contoh kalimat tersebut dihubungkan dengan kata sambung “dan”.

  h) Kiasmus

  Menurut Keraf (2006:132), kiasmus (chiasmus) merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa yang sifatnya memiliki kedudukan yang sama tetapi dipertentangkan antara satu dengan lainnya, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa pada umumnya. Menurut Pradopo (2014:101), kiasmus merupakan pembalikan dari posisi kalimat yang sebenarnya. Misalnya kalimat (17)

  “Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu”. Pada contoh tersebut kata “hilang” dipertentangkan

  dengan kata

  “lenyap” yang memiliki maksud yang sama yaitu tidak ada. Tetapi

  dalam contoh wacana di atas, dua kata yang memiliki maksud yang sama dipertentangkan dalam satu kalimat. Pengunan kata

  “hilang” dan “lenyap” bertujuan memberikan pengertian tidak ada gairah untuk melanjutkan usaha.

i) Elipsis

  Menurut Keraf (2006:132), elipsis merupakan gaya bahasa yang menghilangkan unsur kalimat yang dengan mudah dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar atas penjelasan kata atau frasa atau klausa sebelumnya. Misalnya kalimat (18)

  “Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engka tak apa- apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...”. Pada contoh tersebut bagian yang dihilangkan “...” dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca. j) Eufemismus

  Menurut Keraf (2006:132), eufemismus merupakan semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain serta mengganti kata-kata yang cenderung kasar atau menghina dengan bahasa yang dirasa lebih sopan. Misalnya kalimat

  (19) “Ayahnya sudah tak ada di tengah-

  tengah mereka (=mati). Pada penggalan kalimat tersebut untuk memperhalus

  pengungkapkan, katamati diganti dengan tak ada di tengah-tengah mereka, yang memiliki arti yang sama dengan meninggal.

  k) Litotes

  Menurut Keraf (2006:132), litotes merupakan gaya bahasa yang biasa dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri, litotes dapat dikatakan menyangkal maksud yang terkandung di dalam kalimat. Misalnya kalimat (20)

  “Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun- tahun lamanya”. Pada frasa rumah yang buruk tidak memiliki

  maksud yang sama dengan apa yang diucapkan. Pengungkapan rumah yang

  buruk merupakan suatu bentuk merendahkan diri karena apabila dicerna secara

  logika, seseorang yang bekerja selama bertahun-tahun untuk membuat rumah tentu saja rumah tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat bagus.

  l) Histeron Proteron

  Menurut Keraf (2006:133), histeron proteron merupakan gaya bahasayang menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Misalnya kalimat (21)

  “Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dengan pasirnya yang putih”. Pada contoh kalimat

  tersebut penulis memaparkan terlebih dahulu apa awal peristiwa yaitu apabila sudah berhasil mendaki karang terjal sebelum dilanjutkan dengan kalimat selanjutnya yaitu ia dapat melihat pantai dan pasir putih.

  m) Pleonasme dan Tautologi

  Menurut Keraf (2006:133), gaya bahasa pleonasme dan tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan untuk mengungkapkan gagasan. Gaya bahasa disebut pelonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan tetapi arti yang dikandungnya masih sama.Menurut Pradopo (2014:97), pleonasme merupakan perulangan kata yang sebenarnya sudah terdapat dalam kata pertama.

  Menurut Keraf (2006:133), gaya bahasa tautologi merupakan gaya bahasa yang berlebihan, sehingga apa yang sudah disampaikan diulang lagi dengan menggunakan kata yang lain. Sedangkan menurut Pradopo (2014:96), gaya bahasa tautologi merupakan gaya bahasa pengulangan dua kali untuk memberikan kesan kepada pembaca atau pendengar. Misalnya kalimat (22)

  “Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri”. Kalimat di

  samping merupakan contoh dari pleonasme karena menggunakan kata-kata yang berlebihan daripada yang diperlukan. Apabila kata-kata tersebut salah satu dihilangkan misalnya kata telah, saya, atau sendiri maka, tidak akan mengubah makna yang terkandung didalamnya. Sedangkan pada kalimat (23)

  “Globe itu bundar bentuknya”. Contoh kalimat tersebut merupakan contoh tautologi,

  karena kata berlebihan pada kalimat tersebut sebenarnya mengulang gagasan yang sudah tercakup dalam globe karena pada dasarnya globe berbentuk bulat.

  n) Perifasis

  Menurut Keraf (2006:134), perifasis merupakan gaya bahasa yang hampir sama dengan pleonasme, yaitu menggunakan kata berlebihan dari kata yang diperlukan untuk mengungkapkan suatu maksud atau gagasan. Perbedaan yaitu dalam gaya bahasa perifasis kata-kata yang berlebihan tersebut dapat diganti dengan satu suku kata saja untuk mengungkapkan maksud dari kata-kata tersebut. Misalnya kalimat (24)

  “Ia telah beristirahat dengan damai (mati atau

  meninggal).

  Pada contoh tersebut frasa “beristirahat dengan damai” dapat diganti dengan satu suku kata saja yaitu mati.

  o) Prolepsis atau Antisipasi

  Menurut Keraf (2006:134), prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa dimana orang menggunakan kata-kata sebelum peristiwa yang sebenarnya terjadi. Misalnya kalimat (25)

  “Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru”. Pada contoh kalimat tersebut untuk

  mendeskripsikan kapan terjadi kecelakaan, penulis sudah mempergunakan frasa

  pagi yang naas itu . Padahal kenaasan baru terjadi kemudian yaitu saat sedang mengendarai mobil sedan. p) Erotesis, Silepsis, dan Zeugma

  Menurut Keraf (2006:134-135), erotesis atau pertanyaan retoris merupakan semacam pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, biasanya terdapat dalam pidato atau tulisan yang bertujuan untuk menekankan maksud atau tujuan. Misalnya kalimat (26)

  “Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini?”. Pada contoh kalimat tersebut,

  diakhiri dengan tanda tanya (?) yang berarti menanyakan kepada lawan bicara dalam sebuah pidato atau tulisan untuk menekankan maksud. Tetapi pada dasrnya kalimat pertanyaan tersebut, tidak membutuhkan jawaban dari pendengar atau mitra tutur.

  Silepsis dan zeugma merupakan gaya bahasa dimana orang mempergunakan beberapa kata yang saling berhubungan antara kedua kata yang satu dengan kata yang lain padahal hanya salah satu yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Misalnya kalimat (27)

  “Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya”. Pada contoh kalimat tersebut kata “semangat” hanya

  memiliki hubungan atau keterkaitan dengan kalimat tersebut (Keraf, 2006:135).

  q) Koreksio atau Epanortosis

  Menurut Keraf (2006:135), koreksio dan epanortosis merupakan gaya bahasa yang mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi tiba-tiba memperbaikinya.

  Misalnya kalimat (28)

  “Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali”. Pada contoh kalimat tersebut mula-mula ia

  menegaskan telah mengunjungi daerah itu sebanyak empat kali, kemudian ia memperbaikinya bahwa bukan empat kali tetapi sudah lima kali.

  r) Hiperbola

  Menurut Keraf (2006:135), hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan sesuatu hal.Menurut Waluyo (1995:85) hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan agar menarik pembaca. Misalnya kalimat (29)

  “Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku”. Kata

  meledak dalam kalimat tersebut memiliki pengertian marah, tetapi untuk mempertegas pengungkapan tentang kemarahan tersebut digunakan kata meledak.

  s) Paradoks

  Menurut Keraf (2006:136), paradoks adalah gaya bahasa yang mempertentangkan fakta-fakta yang ada. Sedangkan menurut Pradopo

  (2014:101), paradoks merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang berusaha menjajarkan kata yang berlawanan. Misalnya kalimat (30)

  “Musuh sering merupakan kawan yang akrab”. Kata musuh dianggap

  sebagai kawan, padahal dua kata tersebut merupakan dua hal yang bertentangan.

2. Gaya Bahasa Kiasan

  Gaya bahasa kiasan merupakan gaya bahasa yang memiliki nilai-nilai keindahan yang dipergunakan untuk meningkatkan kesan dengan jalan membandingkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang menunjukkan kesamaan diantara kedua hal yang dibandingkan. Menurut Keraf (2006:136-145), macam- macam bahasa kiasan diuraikan sebagai berikut;

  a) Persamaan atau Simile

  Menurut Keraf (2006:138), persamaan atau simile merupakan perbandingan yang hendak menyatakan sesuatu yang sama dengan hal lainnya, kesamaan tersebut dapat dinyatakan dengan kata-kata; seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Sedangkan menurut Pradopo (2014:63), gaya bahasa simile merupakan gaya bahasa kiasan yang membandingkan satu dengan hal lain. Misalnya kalimat (31)

  “Matanya indah seperti berlian”. Pada contoh kalimat tersebut, mata seseorang

  dibandingkan dengan berlian.

  b) Metafora

  Menurut Keraf (2006:139), metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi menggunakan bentuk yang singkat. Sedangkan menurut Ratna (2013:183), metafora merupakan gaya bahasa yang mengandung dua konsep secara langsung disandingkan untuk mengungkapkan gagasan. Metafora tidak mempergunakan kata; seperti,

  bak, bagai, bagaikan , dan sebagainya, sehingga langsung dihubungkan

  antara kata yang satu dengan kata kedua. Misalnya kata (32) bunga bangsa memiliki maksud pemuda adalah seperti bunga bangsa, pemuda adalah bunga bangsa. Pada kata tersebut

  “pemuda” disamakan dengan “bunga”,pada umumnya bunga bangsa digunakan untuk menggambarkan

  mereka yang gugur di dalam medan pertempuran dan dalam sosok yang sedang digambarakan, seperti seseorang yang selalu berjuang demi membela kepentingan bangsa dan negara. Di dalam kehidupan sekarang, pemuda sebagai bunga bangsa digambarkan dalam sosok pemuda yang berjuang dalam membela bangsa dan negara di depan mata internasional.

c) Alegori, Parabel, dan Fabel

  Menurut Keraf (2006:140), alegori merupakan cerita singkat yang mengandung kiasan. Nama-nama pelaku dalam alegori tidak nyata tetapi memiliki tujuan yang jelas karena tersurat dalam cerita tersebut. Sedangkan menurut Pradopo (2014:72), alegori merupakan gaya bahasa yang mengandung cerita kiasan.

  Menurut Keraf (2006:140), parabel (parabola) merupakan suatu kiasan singkat dengan tokoh-tokoh manusia yang mengandung pesan moral.

  Parabel banyak ditemukan daalam Kitab Suci yang terdapat nilai-nilai moral atau kebenaran.

  Menurut Keraf (2006:140), fabel merupakan suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai kehidupan binatang yang hidup seperti manusia.

  Fabel biasanya bertujuan untuk menyampaikan ajaran moral mengenai kehidupan.

  d) Personifikasi

  Menurut Keraf (2006:140), personifikasi atau prosopopoeia merupakan semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan, sehingga benda-benda mati seolah- olah dapat bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Pernyataaan di atas sejalan dengan pendapat Waluyo (1995:85) personifikasi merupakan gaya bahasa yang mengganggap benda mati seolah-olah seperti manusia.

  Misalnya kalimat (33)

  “Angin yang meraung ditengah malam yang gelap itu menambah la gi ketakutan kami”. Pada contoh tersebut kata “angin”

  seolah-olah dapat berbicara yaitu meraung seperti manusia yang sedang merasakan kesakitan.

  e) Alusi

  Menurut Keraf (2006:141), alusi merupakan gaya bahasa yang berusaha memberikan gambaran kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya gaya bahasa alusi ini merupakan referensi yang eksplisit atau implisit terhadap peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam sebuah karya sastra yang terkenal.

  f) Eponim dan Epitet

  Menurut Keraf (2006:141), eponim merupakan suatu gaya bahasa yang sering menghubungkan antara seseorang dengan sifat tertentudan telah disepakati oleh masyarakat dan diketahui pula oleh masyarakat. Misalnya kalimat (34)

  “Jendral Sudirman adalah pahlawan nasional”. Pada contoh

  tersebut Jendral Sudirman sering diidentikan dengan pahlawan bangsa Indonesia.

  Menurut Keraf (2006:141), epitet merupakan gaya bahasa yang yang merupakan acuan dari suatu sifat atau ciri khusus orang atau hal. Misalnya

  “lonceng pagi” untuk menyatakan ayam jantan.

  g) Sinekdoke

  Menurut Keraf (2006:142), sinekdoke adalah bahasa kiasan yang menggunakan sebagian dari sesuatu hal yang menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Sedangkan Altenbernd (dalam Pradopo, 2014:80) sinekdoke merupakan gaya bahasa kiasan yang menyebutkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan atau sebaliknya. Misalnya kalimat (35)

  “Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1000,-“. Pada contoh

  tersebut, merupakan pars pro toto karena setiap kepala menunjukkan bagian yang menyatakan kseseluruhan. Sedangkan kalimat (36)

  “Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3- 4”. Contoh kalimat

  tersebut mempergunakan totum pro parte karena menggunakan keseluruhan dari sesuatu untuk menyatakan sebagian saja. Dalam kalimat di atas digunakan kata Indonesia, padahal yang dimaksudnya tim sepak bola dari Indonesia, bukan seluruh bangsa Indonesia.

h) Metonimia

  Menurut Keraf (2006:142), metonimia adalah gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, misalnya dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, akibat untuk sebab, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Sedangkan menurut Altenbernd (dalam Pradopo, 2014:78), metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan objek untuk menyatakan objek yang lain yang saling berkaitan.Misalnya kalimat (37) “Pena lebih berbahaya dari pedang”. Contoh kalimat tersebut menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang ditulis lebih berbahaya karena mungkin bisa menyakiti perasaan orang lain.

i) Antonomisia dan Hipalase

  Menurut Keraf (2006:142), antonomisia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud menggantikan nama diri, atau gelar resmi.

  Misalnya kalimat (38)

  “Yang mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini”. Pada contoh tersebut, untuk menyatakan nama seseorang dalam

  jabatan tertentu digunakan kata “yang mulia”.

  Hipalase adalah semacam gaya bahasa dimana sebuah kata dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada kata yang lain. Misalnya kalimat (39)

  “Ia terbaring di atas sebuah

  bantal yang gelisah”. Pada contoh tersebut yang gelisah digunakan untuk

  menjelaskan bantal yang gelisah, padahal seharusnya dia (manusia) yang gelisahnya untuk manusia (Keraf, 2006:142).

  j) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

  Menurut Keraf (2006:143), ironi atau sindiran merupakan gaya bahasa yang mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud yang berlainan dari apa yang diungkapkannya, sehingga ironi mengalami pergeseran makna dari makna sebenarnya. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Waluyo (1995:86), ironi merupakan gaya bahasa bentuk sindiran dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan. Misalnya kalimat (40)

  “Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia yang perlu mendapat tempat terhormat!”. Pada contoh tersebut yang ingin

  disampaikan kepada pendengar yaitu menyindir seorang perempuan dengan menyembunyikan maksud dibalik ucapannya, sehingga apa yang diucapkan tidak memiliki arti sebenarnya. Hal tersebut merupakan bentuk kemarahan yang ingin disampaikan kepada seorang perempuan yang ingin dihargai.

  Menurut Keraf (2006:144), sinisme merupakan gaya bahasa yang lebih keras daripada ironi. Terkadang gaya bahasa ironi sulit dibedakan dengan gaya bahasa sinisme, tetapi apabila contoh gaya bahasa ironi diubah dalam gaya bahasa sinisme menjadi kalimat (41)

  “Memang Anda adalah gadis yang tercantik di seantero jadad ini yang mampu mengahancurkan seluruh jagad ini”. Sedangkan sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar daripada ironi dan sinisme. Sarkasme mengungkapkan maksud dengan menggunakan bahasa yang sebenarnya dapat memunculkan kegetiran atau rasa sakit hati. Misalnya kalimat (42)

  “Lihat sang Raksasa itu (maksudnya si Cebol)”.

F. Peta Konsep

  Analisis gaya bahasa pada display picture blackberry massenger merupakan penelitian yang menganalisis penggunaan gaya bahasa dalam display picture

  

blackberry massenger . Berdasarkan pemaparan di atas, teori yang peneliti gunakan

  dalam penelitian ini adalah bahasa, wacana,dan stilistika. Stilistika merupakan teori yang mempelajari gaya bahasa, gaya bahasa dapat dibedakan menjadi empat yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, gaya bahasa berdasarkan nada, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan dua gaya bahasa yaitu gaya bahasaberdasarkan struktur kalimatdan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Tiap-tiap bagian gaya bahasa berdasarkan strukturkalimat dan langsung tidaknya makna dibedakan lagi menjadi beberapa macam gaya bahasa.

  Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disederhanakan dalam bagan peta konsep.

  Peta Konsep

  Gaya Bahasa padaDisplay Picture Blackberry Massenger Bahasa

  Display Peneliti PictureBlackberry Massenger

  Gaya Bahasa Stilistika

  1. Gaya Bahasa BerdasarkanStruktur Kalimat.

  2. Gaya Bahasa BerdasarkanLangsun gTidaknyaMakna.