Indri Kusuma Wardani dan Titi Setiyoningsih

  

SIMBOL MASKULINITAS TOKOH DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

DALAM CERPEN AYAT KEEMPAT KARYA JONI SYAHPUTRA SERTA

  

Indri Kusuma Wardani; Titi Setiyoningsih

Program S2 PBI Universitas Sebelas Maret

indrikusumawardani10@yahoo.com; titisetiyoningsih@yahoo.co.id

  

Abstract

The research objective is to describe and explain: (1) a symbol of masculinity, the characters in short

stories Ayat Keempat by Joni Syahputra (2) the role of men in traditional Minangkabau in short stories

Ayat Keempat by Joni Syahputra, (3) the value of education of characters in short stories Ayat Keempat

by Joni Syahputra, and (4) the relevance of short stories Ayat Keempat by Syahputra Joni works with

literary learning in junior high school. The results showed that: (1) Figures contained in short stories

Ayat Keempat by Joni Syahputra who interpret masculinity is Syahbuddin, Datuk Birahin, and Johan

(2) the position of men and women in traditional Minangkabau are in a balanced position (4) the value

of character education is found in Ayat Keempat by Joni Syahputra include values, democratic, peace-

loving, curious, and honestly, (5) short stories Ayat Keempat by Joni Syahputra can be used as teaching

Keywor ds: Short Story, masculinity, character education materials in the teaching of literature in junior class IX.

  

Abstr ak

Tujuan penelitian ini mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) simbol maskulinitas para tokoh dalam

cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra (2) peran laki-laki dalam adat Minangkabau dalam

Keempat

cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra, (3) nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerpen Ayat

karya Joni Syahputra, dan (4) relevansi cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra dengan

pembelajaran sastra di SMP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Tokoh yang terdapat dalam

cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra yang menginterpretasikan maskulinitas adalah Syahbuddin,

Datuk Birahin, dan Johan (2) kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada

dalam posisi seimbang (4) nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam Ayat Keempat karya Joni

Syahputra meliputi nilai, demokratis, cinta damai, rasa ingin tahu, dan jujur, (5) cerpen Ayat Keempat

karya Joni Syahputra dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMP kelas IX.

  Kata kunci: Cerpen, maskulinitas, pendidikan karakter Pendahuluan

  Dewasa ini, mitos maskulin kerap dipertanyakan supaya menjadi sorotan. Makna maskulinitas yang dominan bagi dunia barat adalah bagaimana menjadikan tubuh sebagai instrumen kehendak. Tubuh, seksualitas, emosionalitas, kesemuanya itu dilihat sebagai daya- daya liar dan sumber keresahan (Rutherford, 1988: 6). Secara historis, proses konstruksi maskulinitas sangat terkait dengan ajaran pemisahan antara jiwa yang kuat dan daging yang lemah. Terdapat ciri khas konsep maskulinitas dalam setiap kelompok masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Rutherford (1988: 131) yang menyatakan bahwa, de inisi sosial tentang makna menjadi seorang laki-laki, tentang apa itu ‘kejantanan’, bukan berdasarkan aspek-aspek ‘natural’ tetapi dikonstruksi secara historis dan konstruksi ini beragam secara kultur al.

  Dalam makalah ini, kaitan maskullinitas dengan karya sastra adalah mengkaji konsep atau makna simbol maskulinitas dalam sebuah karya sastra. Seperti pendapat Ratna (2009: 353), sebuah karya sastra bisa dibahas atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat. Menurut Suyitno

  (2014: 34), in the literary world, there is no single interpretations. Any work and its interpretation .

  is started from different background

  Cerita pendek Ayat Keempat karya Joni Syahputra merupakan salah satu cerita pendek pilihan Kompas tahun 2008 yang sarat akan nilai sosial dan kebudayaan salah satu adat di Indonesia. Ayat Keempat menceritakan bagaimana dominasi, interaksi, serta peran laki-laki di suku Caniago, Padang, Sumatera Barat. Kon lik yang terjadi dalam Ayat Keempat merupakan cerminan masyarakat suku di Indonesia yang sistem sosial dan kebudayaannya sudah mulai mengalami perubahan akibat arus globalisasi. Namun, perubahan tersebut tidak menjadikan peran laki-laki dalam suku Caniago memudar. Laki-laki dalam suku Caniago masih mendominasi dalam keputusan-keputusan adat.

  Sesuai dengan fungsinya, yaitu menjadi sarana pengajaran, di dalam setiap karya sastra terkandung nilai-nilai pendidikan karakter. Nilai pendidikan dalam karya sastra tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. Menurut Suyitno (2002: 3) karya sastra dapat memberikan pengalaman yang tidak dapat diberikan media lain. Nilai pendidikan dalam karya sastra tidak selalu berupa nasihat atau petuah bagi pembaca, namun juga dapat berupa kritikan pedas bagi seseor ang.

  Rahmanto (1988: 27) menyebut aspek yang tidak boleh dilupakan jika memilih bahan pengajaran sastra yang tepat. Aspek yang dimaksud antara lain adalah latar belakang budaya. Dalam memilih bahan pengajaran sastra hendaknya menghadirkan sesuatu yang erat hubungannya dengan latar belakang budaya dan materi tetang budaya lokal pun tidak boleh terlupakan karena hal tersebut merupakan akar budaya bangsa (Rahmanto, 1988: 29). Oleh karena mengandung nilai-nilai yang luhur, sastra dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam dunia pendidikan, termasuk jenjang SMP.

  Pembahasan

  1. Simbol Maskulinitas Para Tokoh dalam Cerpen Ayat Keempat

  Ayat Keempat mengisahkan perlawanan terhadap kebijakan kepala suku yang memihak

  kepentingan kemenakannya, tetapi tidak memperdulikan nasib orang lain. Setting tempat cerpen ini di tanah Minangkabau, di mana kepala suku memiliki wewenang untuk menentukan sikap rakyatnya. Namun, karena sikap yang tidak lagi netral menyebabkan pengambilan kebijakan tidak adil. Tokoh yang terdapat dalam cerpen itu banyak, tetapi yang menginterpretasikan maskulinitas adalah Syahbuddin, Datuk Birahin, dan Johan. Berikut identi ikasi unsur maskulinitas ketiga tokoh tersebut.

  Syahbuddin

  Kemenakan kepala suku yang mengajukan diri sebagai anggota DPRD di Kabupaten Solok. Datuk Sang kepala suku Caniago yang mendukung sepenuhnya niat kemenakannya

  Bir ahin

  maju pencalonan menjadi anggota DPRD. Karena membutuhkan dana yang besar, Datuk Birahin berniat menjual tanah ulayat dengan alasan-alasan yang melegalkan penjualan tanah tersebut melalui hukum adat. Dalam buku tambo adat Minangkabau dijelaskan bahwa dalil menggadai/menjual rumah pusaka tinggi berdasarkan tiga alasan, mayat terbujur di dalam rumah, rumah gadang ketirisan, dan perempuan tidak bersuami. Namun, Datuk Birahin berketetapan menambah satu ayat yaitu mambangkik batang tarandam (menegakkan kembali harga diri suku). Johan

  Seorang anggota suku Caniago, putra dari Nursiyah dan Mardan, tetapi ayahnya telah meninggal. Johan yang merupakan lulusan Sastra Inggris di Universitas Padang berani berargumen, ia tidak setuju apabila tanah ulayat dijual karena rumahnya berada di daerah tersebut. Karena terus terpojokkan dan tidak memperoleh keadilan, Johan membunuh lima orang datuk di Caniago dengan keris pusaka peninggalan ayahnya. Dan setelah perkara itu, Johan mendapat pembelaan dari Datuk Malenggang Alam, Ketua Kerapatan Adat Nagari Air Dingin bahwa tanah yang akan dijual itu bukanlah tanah ulayat, tetapi tanah pembelian orangtua Johan. Datuk-datuk itu sebenarnya tahu. Lagi pula tak ada yang namanya ayat keempat, itu hanya pandai-pandai para datuk saja. Itu sudah merusak adat Minangkabau yang sebenarnya.

Media Awereness Network dalam penelitian Novi Kurnia (2004) yang berjudul Representasi Maskulinitas dalam Iklan mengidenti ikasi lima karakteristik maskulinitas, yakni: 1) sikap yang

  berperilaku baik dan sportif (menggunakan wewenang untuk melakukan dominasi, apabila muncul kekerasan dalam penggunaan wewenang itu, kekerasan dianggap sebagai strategi laki-laki mengatasi masalah dan mengatasi hidup); 2) mentalitas cave man (keagresifan dan kekerasan laki-laki dikesankan wajar); 3) pejuang baru (pemunculan pejuang baru yang biasanya dikaitkan dengan kemiliteran maupun olahraga yang dianggap dapat memberikan imaji akan petualangan dan kekuatan laki-laki; 4) otot dan ‘laki-laki ideal’ dengan tubuh berotot yang mencitrakan tubuh ideal laki-laki; 5) kekuatan teknologi sebagai alat bantu aksi laki-laki perkasa yang pandai olah tubuh, membela diri, menangkal, dan membasmi musuh, seperti senjata (pistol) mutakhir, jaket dan kaca mata hitam. Rahayu (2003) menggambarkan imaji maskulinitas peran tradisional laki-laki ditampilkan pada sosok yang agresif, pemberani, jujur, mandiri, kuat, tegar, berkuasa, pintar, dan rasional. Dijabarkan lebih lanjut, maskulinitas itu melalui sosok yang memegang kontrol, dominasi, dan kekuasaan baik secara seksual maupun

  .

  dalam ruang sosial (retro man) Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, tiga tokoh dalam cerpen Ayat Keempat tersebut memiliki simbol-simbol yang memenuhi kriteria maskulinitas. Syahbuddin berambisi mencalonkan diri menjadi anggota DPRD dengan pandangan bahwa melalui jabatan atau tahta di kursi DPRD, ia memiliki kuasa dan penentu kebijakan. Datuk Birahin sebagai kepala suku memanfaatkan kedudukannya untuk mengubah hukum adat. Datuk Birahin menggunakan wewenangnya untuk mendominasi atau mempengaruhi anggota adat supaya mendukung kemenakannya, Syahbuddin dalam pencalonan DPRD dengan menjual tanah ulayat sekali pun. Di sisi lain, tokoh Johan juga sangat menyimbolkan maskulinitas. Johan sebagai tulang punggung keluarga, membela hak keluarganya untuk tetap tinggal di daerah tanah ulayat yang sebenarnya memang miliknya dan keluarga. Sebagai laki-laki sejati Minangkabau, Johan berani berkata, “Langkahi dulu mayat saya baru bisa tanah itu dijual!” Ditambah lagi, di akhir cerita Johan membunuh lima datuk dengan keris pusaka peninggalan ayahnya.

  2. Peran Laki-laki dalam Adat Minangkabau Masyarakat Minangkabau (Sumatra Barat) menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki- laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Dalam sistem matrilineal, perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak “ninik mamak”.

  Foresyona (2008) menjelaskan mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Adapun peranan laki-laki di Minangkabau terbagi atas:

  a. Sebagai kemenakan Di dalam kaumnya seorang laki-laki berawal sebagai kemenakan. Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya. Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok: 1) Kemenakan di bawah daguak

  Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya. 2) Kemenakan di bawah pusek

  Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah). 3) Kemenakan di bawah lutuik

  Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.

  b. Sebagai mamak Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.

  c. Sebagai penghulu Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.

  Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual,menggadai atau menjadikan milik sendiri).

  d. Peranan laki-laki di luar kaum Dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum istrinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga keseimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.

  3. Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerpen Ayat Keempat Karya Joni Syahputra Berikut uraian temuan data yang mempresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra.

  Pendidikan karakter demokratis dalam cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra tampak pada saat rapat adat suku Caniago, Johan memiliki pandangan yang mencerminkan cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Diceritakan Johan tidak sependapat dengan Datuk Birahin yang hendak menjual rumah Gadang untuk biaya kampanye Syahbuddin. Nilai pendidikan karakter cinta damai dalam cerpen Ayat Keempat ditunjukkan oleh Nursyiah, ibu Johan. Nursiyah memilih tetap diam saat terjadi perdebatan antara Johan dan para tetua. Sedangkan nilai pendidikan rasa ingin tahu tampak pada saat para peserta mempertanyakan mengenai peraturan adat pada Datuk Birahin. Untuk nilai pendidikan karakter jujur ditunjukkan oleh tokoh Datuk Malenggang Alam. Datuk Malenggang Alam menceritakan kebenaran mengenai kepemilikan Johan atas rumah Gadang itu. Datuk Malenggang Alam bahkan berkata jujur bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya ayat keempat.

  4. Relevansi Cerpen Ayat Keempat Karya Joni Syahputra dengan Pembelajaran Sastra di SMP

Ayat Keempat karya Joni Syahputra jika dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia

  kelas IX Sekolah Menengah Pertama (SMP) semester I dengan standar kompetensi (SK) Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca buku kumpulan cerita pendek dengan kompetensi dasar (KD) antara lain: (a) Menganalis nilai-nilai kehidupan pada cerpen-cerpen dalam satu buku kumpulan cerpen, (b) Menganalisis nilai-nilai kehidupan pada cerpen-cerpen dalam satu buku kumpulan cerpen. Indikator yang harus dicapai oleh siswa antara lain: (1) siswa mampu menemukan tema syair berdasarkan inti pengungkapan syair, (2) siswa mampu mengungkapkan pesan syair dengan bukti yang meyakinkan (3) siswa mampu menemukan nilai-nilai kehidupan yang positif maupun negatif dalam kumpulan cerpen (4) siswa mampu membandingkan nilai kehidupan dalam cerpen dengan nilai kehidupan siswa, dan (5) siswa mampu menyimpulkan nilai kehidupan dalam cerpen yang dapat menjadi teladan siswa

  Berkaitan dengan hal tersebut cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMP. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam cerpen relevan dengan pembelajaran sastra di SMP. Selain itu, nilai-nilai sosial dan budaya yang ada di dalam cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra dapat dijadikan tambahan kajian pada kelas IX di SMP.

  Penutup

  Tiga tokoh dalam cerpen Ayat Keempat tersebut memiliki simbol-simbol yang memenuhi kriteria maskulinitas yaitu Johan, Datuk Birahin, dan Syahbuddin. Kedudukan perempuan dan laki-laki pada adat Minangkabau adalah sejajar. Selain itu, cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMP kelas IX karena cerpen tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan karakter demokratis, cinta damai, rasa ingin tahu, dan jujur.

  Berdasarkan penelitian ini diharapkan siswa hendaknya memanfaatkan cerpen Ayat

  Keempat

  karya Joni Syahputra untuk menambah wawasan mengenai peran laki-laki kehidupan sosial dan budaya pada adat Minangkabau di Indonesia, guru dapat memanfaatkan cerpen

  

Ayat Keempat karya Joni Syahputra sebagai bahan pembelajaran sastra di SMP, dan pembaca

  sebaiknya dapat mengambil nilai-nilai positif dan meninggalkan unsur-unsur negatif yang terdapat dalam cerpen Ayat Keempat karya Joni Syahputra.

  

Daftar Pustaka

https:/ / mer si.wor dpr ess.

  Floresyona, Dita. 2008. “Sistem Kekerabatan di Minangkabau” dalam

  com/ 2008/ 08/ 14/ sistem-keker abatan-di-minangkabau/

  . Diunduh pada hari Selasa, 20 Oktober 2015 pukul 02.24. Kurnia, Novi. 2004. “Representasi Maskulinitas dalam Iklan” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 8 (1). Hlm 17-36. Rahayu, M. TH. Esti. 2003. Representasi Citra Maskulin dalam Iklan Extra Joss, skripsi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Yogyakarta. Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yohyakarta: Kanisius. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penilaian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rutherford, Jonathan. 2014. Male Order: Menguak Maskulinitas. Yogyakarta: Jalasutra. Syahputra, Joni. 2008. “Ayat Keempat”. Cerpen Pilihan Kompas 2008. Jakarta: Kompas. Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai, dan Eksegenesis. Yogyakarta: Anindita. Suyitno dan Nugraha, Dipa. 2014. “Canonization of Four Indonesian Contemporary Novels Written st

  in the 21 Century: Questioning Public Recognition and Acceptance Towards The Ideas of Feminism ”. Journal of Language and Literature, Vol 5 (1).