TEORI DASAR Dan PENDEKATAN INDUKTIF
TUGAS : Metodologi Penelitian
DOSEN : Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc
TEORI DASAR
PENDEKATAN INDUKTIF
ARPAN TOMBILI
P1801213004
KONSENTRASI KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN
MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2014
TEORI DASAR PENDEKATAN INDUKTIF
Orientasi flosofs dari pendekatan penelitian kualitatif
adalah orientasi empirisme, idealisme atau subjektivisme.
Menurut Kirk and Miller dalam Moleong (2006), bahwa Istilah
penelitian kualitatif (qualitative research) awalnya bersumber
pada ‘pengamatan kualitatif’. Pada pengamatan kuantitatif
mendasarkan pada penghitungan angka dan statistik, sedangkan
pengamatan kualitatif mendeskripsikan realita alamiah dengan
kalimat atau narasi (Anonim, 2009). Teori secara umum dapat
diartikan sebagai serangkaian proposisi (pernyataan tentang
kebenaran) yang sudah diuji secara sistematis dan dikaitkan
secara logis, dibangun melalui serangkaian penelitian untuk
menjelaskan suatu fenomena sosial (Sarantakos, 1998 dalam
Sawitri, 2012).
Teorisasi dalam penelitian kualitatif merupakan dasar
untuk menyusun sebuah penelitian. Teori dalam penelitian
kualitatif memiliki peran sebagai alat dan tujuan. Teori sebagai
alat umumnya digunakan peneliti untuk mencapai tujuan
penelitian melalui usaha penelitian dalam melengkapi dan
menyediakan keterangan terhadap suatu fenomena, sehingga
memungkinkan si peneliti mengetahui sesuatu secara maksimal.
Teori sebagai tujuan karena teori menghasilkan petunjuk dan
kisi-kisi kerja yang harus diperhatikan oleh para peneliti. Dalam
Ilmu Sosial terdapat beberapa teori yang biasa digunakan
sebagai dasar dalam melakukan Penelitian Kualitatif, diantaranya
adalah Fenomenologi dan Interaksionisme Simbolik.
A. FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon
yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah
fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia.
Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. fenomenologi
dikenal sebagai aliran flsafat sekaligus metode berpikir yang
mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa
mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta
realitas objektif dan penampakannya. Fenomenologi sebagai
salah satu cabang flsafat pertama kali dikembangkan oleh
1
Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre.
Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi
dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk
sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Engkus
Kuswarno, 2009).
Cara
berpikir
fenomenologi
ditekankan
dengan
pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau
seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat
bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut
fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul
dari benda tersebut. Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala
yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejalagejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan
memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap gejala tersebut
kita bisa menangkap esensi benda tersebut. Semua benda punya
pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih
memahami benda tersebut apabila kita menganggap benda
sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui gejalagejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat
kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu
kursi bukan meja Kita hanya perlu menangkap gejala yang
muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa
dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa
kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain. pendekatan
ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada
dan bisa dikatakan sejalan dengan penelitian etnograf yang
menitikberatkan pandangan warga setempat, dimana realitas
dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori.
Fenomenologi
mencoba
menepis
semua
asumsi
yang
mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Fenomenologi
menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala
presuposisi dan karena itulah disebut sebagai cara berflsafat
yang radikal (Shidiqi, 2012).
Fenomologi sebagai Metode dan Filsafat
Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkahlangkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada
2
fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan
melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana
fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada
kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran
murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan
sehari-hari. Sebagai flsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa
yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan
sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen
Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. Filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala
sesuatu”.
Fenomologi sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk
mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena
disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara
tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu
sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah
pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan
fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang
fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan
serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana
adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya
sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah
menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari
manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau
menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
3
manusia”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang
harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode
epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa
Yunani,
yang
berarti:
“menunda
keputusan”
atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa
memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena
yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa
dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl
menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan
harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan
status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam,
yaitu :
1. Method
of
historical
bracketing;
metode
yang
mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang
pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari
adapt, agama maupun ilmu pengetahuan;
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau
abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam
dan menunda;
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang
kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam
kesadaran murni; dan
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam
menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau
intisari realitas itu.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya
juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi
untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada
pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang
absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi
bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida,
yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak
mempertimbangkan implikasi flosofs status pengetahuan. Kita
tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas
4
nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang
ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh
pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya,
tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
(Anonim, 2010).
B. INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori interaksi simbolik adalah hubungan antara simbol
dan interaksi. Menurut George Herbert Mead, orang bertindak
berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam sebuah situasi
tertentu. Sedangkan simbol adalah representasi dari sebuah
fenomena, dimana simbol sebelumnya sudah disepakati bersama
dalam sebuah kelompok dan digunakan untuk mencapai sebuah
kesamaan makna bersama. Simbol dibedakan menjadi dua, yakni
: Pertama Simbol verbal ( penggunaan kata-kata atau bahasa,
contohnya kata ‘motor’ itu merepresentasikan tentang sebuah
kendaraan beroda 2). Kedua Simbol nonverbal ( lebih
menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa isyarat) contoh:
lambaian tangan, anggukan kepala, gelengan kepala. Semua itu
tadi mempunyai makna sendiri-sendiri yang dapat dipahami oleh
individu-individu.
Ralph
Larossa
dan
Donald
C.Reitzes
mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah sebuah kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan
orang lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia
ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia. (Hanifah, 2012).
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang
merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini,
individu bersifat aktif, refektif, dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham
ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang
pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau
struktur yang ada diluar dirinya. Oleh karena individu terus
berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi
interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting yang
menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat.
Pada teori ini dijelaskan bahwa tindakan manusia tidak
disebabkan
oleh
“kekuatan
luar”
(sebagaimana
yang
dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula
5
disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang
dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan
pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses
yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses
self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang
dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya
makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna
tersebut. Lebih jauh Blumer
menyatakan bahwa interaksi
manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain,
bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model
stimulus-respons.
Interaksionisme
simbolis
cenderung
sependapat dengan perihal kausal proses interaksi sosial. Dalam
artian, makna tersebut tidak tumbuh dengan sendirinya namun
mucul berkat proses dan kesadaran manusia. Kecenderungan
interaksionime simbolis ini muncul dari gagasan dasar dari Mead
yang mengatakan bahwa interaksionis symbol memusatkan
perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada
proses mental yang terisolasi. Jadi sebuah symbol tidak dibentuk
melalui paksaan mental merupakan timbul berkat ekspresionis
dan kapasitas berpikir manusia.
Manusia
Bertindak
Terhadap
Manusia
Berdasarkan Makna yang Diberikan Orang Lain
Lainnya
Asumsi ini menjelaskan prilaku sebagai suatu rangkaian
pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara
rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan
tersebut. Teoritikus Interaksionisme Simbolik (IS) seperti Habert
Blumer tertarik dengan makna yang ada dibalik perilaku. Mereka
mencari makna dengan mempelajari penjelasan psikologis dan
sosiologis mengenai perilaku. Jadi, ketika Pengantar Teori
Komunikasi, Richard West seorang IS melakukan kajian
mengenai perilaku dari Roger Thomas, mereka melihatnya
membuat makna yang sesuai dengan kekuatan sosial yang
membentuk dirinya. Makna yang kita berikan pada simbol
merupakan produk dari interaksi simbolik dan menggambarkan
kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol
tertentu pula.
Makna Diciptakan dalam Interaksi Manusia
6
Mead menekankan dasar intersubjektiftas dari makna.
Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika orang-orang
memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka
pertukarkan dalam interaksi. Blumer menjelaskan bahwa
terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu
pendekatan mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang
bersifat intrinstik dari suatu benda. Pendekatan kedua terhadap
asal-usul makna melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh
seseorang bagi siapa benda itu bermakna”. Posisi ini mendukung
pemikiran bahwa makna terdapat didalam orang bukan didalam
benda. Dalam sudut pandang ini, makna dijelaskan dengan
mengisolasi elemen-elemen psikologis didalam seorang individu
yang menghasilkan makna. Interaksionisme Simbolik mengambil
pendekatan ketiga terhadap makna, melihat makna sebagai
suatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk
sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui
pendefnisian aktivitas mausia ketika mereka berinteraksi
(Blumer, 1969).
Makna Dimodifkasi Melalui Proses Imterpretif
Blumer menyatakan bahwa proses intepretif ini memiliki
dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda
yang memiliki makna. Blumer berargumen bahwa bagian dari
proses ini berbeda dari pendekatan psikologis dan terdiri atas
orang yang terlibat didalam komunikasi dengan dirinya sendiri.
Langkah kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek
dan melakukan transformasi makna didalam konteks dimana
mereka berada. (Yohanes, 2013).
7
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2010.
Teori Fenomenologi.
http://amacorablog.wordpress.com (online). Diakses
tanggal 19 Januari 2014
Anonim, 2011. Pola Berpikir Deduktif dan Induktif Pada Filsafat
Ilmu. http://henytik.blogspot.com (online). Diakses
tanggal 19 Januari 2014
Hanifah,
2012.
Teori
Interaksi
Simbolik.
http://oelhanifah.blogspot.com (online). Diakses tanggal
19 Januari 2014
Sawitri, Retno., 2012. Teorisasi dalam penelitian kualitatif. http://
retnosawitri.blogspot.com (online). Diakses tanggal 19
Januari 2014
Shidiqi, M.F., 2012. Pendekatan Fenomenologi. http://m-f-sfpsi08.web.unair.ac.id (online). Diakses tanggal 19
Januari 2014
Yohanes,
2013.
Teori
Interaksi
Simbolik.
http://www.yohanesari.com (online). Diakses tanggal 19
Januari 2014
8
DOSEN : Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc
TEORI DASAR
PENDEKATAN INDUKTIF
ARPAN TOMBILI
P1801213004
KONSENTRASI KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN
MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2014
TEORI DASAR PENDEKATAN INDUKTIF
Orientasi flosofs dari pendekatan penelitian kualitatif
adalah orientasi empirisme, idealisme atau subjektivisme.
Menurut Kirk and Miller dalam Moleong (2006), bahwa Istilah
penelitian kualitatif (qualitative research) awalnya bersumber
pada ‘pengamatan kualitatif’. Pada pengamatan kuantitatif
mendasarkan pada penghitungan angka dan statistik, sedangkan
pengamatan kualitatif mendeskripsikan realita alamiah dengan
kalimat atau narasi (Anonim, 2009). Teori secara umum dapat
diartikan sebagai serangkaian proposisi (pernyataan tentang
kebenaran) yang sudah diuji secara sistematis dan dikaitkan
secara logis, dibangun melalui serangkaian penelitian untuk
menjelaskan suatu fenomena sosial (Sarantakos, 1998 dalam
Sawitri, 2012).
Teorisasi dalam penelitian kualitatif merupakan dasar
untuk menyusun sebuah penelitian. Teori dalam penelitian
kualitatif memiliki peran sebagai alat dan tujuan. Teori sebagai
alat umumnya digunakan peneliti untuk mencapai tujuan
penelitian melalui usaha penelitian dalam melengkapi dan
menyediakan keterangan terhadap suatu fenomena, sehingga
memungkinkan si peneliti mengetahui sesuatu secara maksimal.
Teori sebagai tujuan karena teori menghasilkan petunjuk dan
kisi-kisi kerja yang harus diperhatikan oleh para peneliti. Dalam
Ilmu Sosial terdapat beberapa teori yang biasa digunakan
sebagai dasar dalam melakukan Penelitian Kualitatif, diantaranya
adalah Fenomenologi dan Interaksionisme Simbolik.
A. FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon
yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah
fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia.
Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. fenomenologi
dikenal sebagai aliran flsafat sekaligus metode berpikir yang
mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa
mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta
realitas objektif dan penampakannya. Fenomenologi sebagai
salah satu cabang flsafat pertama kali dikembangkan oleh
1
Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre.
Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi
dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk
sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Engkus
Kuswarno, 2009).
Cara
berpikir
fenomenologi
ditekankan
dengan
pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau
seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat
bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut
fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul
dari benda tersebut. Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala
yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejalagejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan
memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap gejala tersebut
kita bisa menangkap esensi benda tersebut. Semua benda punya
pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih
memahami benda tersebut apabila kita menganggap benda
sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui gejalagejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat
kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu
kursi bukan meja Kita hanya perlu menangkap gejala yang
muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa
dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa
kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain. pendekatan
ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada
dan bisa dikatakan sejalan dengan penelitian etnograf yang
menitikberatkan pandangan warga setempat, dimana realitas
dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori.
Fenomenologi
mencoba
menepis
semua
asumsi
yang
mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Fenomenologi
menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala
presuposisi dan karena itulah disebut sebagai cara berflsafat
yang radikal (Shidiqi, 2012).
Fenomologi sebagai Metode dan Filsafat
Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkahlangkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada
2
fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan
melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana
fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada
kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran
murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan
sehari-hari. Sebagai flsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa
yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan
sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen
Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. Filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala
sesuatu”.
Fenomologi sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk
mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena
disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara
tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu
sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah
pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan
fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang
fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan
serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana
adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya
sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah
menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari
manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau
menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
3
manusia”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang
harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode
epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa
Yunani,
yang
berarti:
“menunda
keputusan”
atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa
memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena
yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa
dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl
menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan
harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan
status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam,
yaitu :
1. Method
of
historical
bracketing;
metode
yang
mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang
pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari
adapt, agama maupun ilmu pengetahuan;
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau
abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam
dan menunda;
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang
kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam
kesadaran murni; dan
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam
menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau
intisari realitas itu.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya
juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi
untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada
pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang
absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi
bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida,
yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak
mempertimbangkan implikasi flosofs status pengetahuan. Kita
tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas
4
nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang
ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh
pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya,
tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
(Anonim, 2010).
B. INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori interaksi simbolik adalah hubungan antara simbol
dan interaksi. Menurut George Herbert Mead, orang bertindak
berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam sebuah situasi
tertentu. Sedangkan simbol adalah representasi dari sebuah
fenomena, dimana simbol sebelumnya sudah disepakati bersama
dalam sebuah kelompok dan digunakan untuk mencapai sebuah
kesamaan makna bersama. Simbol dibedakan menjadi dua, yakni
: Pertama Simbol verbal ( penggunaan kata-kata atau bahasa,
contohnya kata ‘motor’ itu merepresentasikan tentang sebuah
kendaraan beroda 2). Kedua Simbol nonverbal ( lebih
menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa isyarat) contoh:
lambaian tangan, anggukan kepala, gelengan kepala. Semua itu
tadi mempunyai makna sendiri-sendiri yang dapat dipahami oleh
individu-individu.
Ralph
Larossa
dan
Donald
C.Reitzes
mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah sebuah kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan
orang lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia
ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia. (Hanifah, 2012).
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang
merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini,
individu bersifat aktif, refektif, dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham
ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang
pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau
struktur yang ada diluar dirinya. Oleh karena individu terus
berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi
interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting yang
menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat.
Pada teori ini dijelaskan bahwa tindakan manusia tidak
disebabkan
oleh
“kekuatan
luar”
(sebagaimana
yang
dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula
5
disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang
dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan
pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses
yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses
self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang
dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya
makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna
tersebut. Lebih jauh Blumer
menyatakan bahwa interaksi
manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain,
bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model
stimulus-respons.
Interaksionisme
simbolis
cenderung
sependapat dengan perihal kausal proses interaksi sosial. Dalam
artian, makna tersebut tidak tumbuh dengan sendirinya namun
mucul berkat proses dan kesadaran manusia. Kecenderungan
interaksionime simbolis ini muncul dari gagasan dasar dari Mead
yang mengatakan bahwa interaksionis symbol memusatkan
perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada
proses mental yang terisolasi. Jadi sebuah symbol tidak dibentuk
melalui paksaan mental merupakan timbul berkat ekspresionis
dan kapasitas berpikir manusia.
Manusia
Bertindak
Terhadap
Manusia
Berdasarkan Makna yang Diberikan Orang Lain
Lainnya
Asumsi ini menjelaskan prilaku sebagai suatu rangkaian
pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara
rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan
tersebut. Teoritikus Interaksionisme Simbolik (IS) seperti Habert
Blumer tertarik dengan makna yang ada dibalik perilaku. Mereka
mencari makna dengan mempelajari penjelasan psikologis dan
sosiologis mengenai perilaku. Jadi, ketika Pengantar Teori
Komunikasi, Richard West seorang IS melakukan kajian
mengenai perilaku dari Roger Thomas, mereka melihatnya
membuat makna yang sesuai dengan kekuatan sosial yang
membentuk dirinya. Makna yang kita berikan pada simbol
merupakan produk dari interaksi simbolik dan menggambarkan
kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol
tertentu pula.
Makna Diciptakan dalam Interaksi Manusia
6
Mead menekankan dasar intersubjektiftas dari makna.
Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika orang-orang
memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka
pertukarkan dalam interaksi. Blumer menjelaskan bahwa
terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu
pendekatan mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang
bersifat intrinstik dari suatu benda. Pendekatan kedua terhadap
asal-usul makna melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh
seseorang bagi siapa benda itu bermakna”. Posisi ini mendukung
pemikiran bahwa makna terdapat didalam orang bukan didalam
benda. Dalam sudut pandang ini, makna dijelaskan dengan
mengisolasi elemen-elemen psikologis didalam seorang individu
yang menghasilkan makna. Interaksionisme Simbolik mengambil
pendekatan ketiga terhadap makna, melihat makna sebagai
suatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk
sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui
pendefnisian aktivitas mausia ketika mereka berinteraksi
(Blumer, 1969).
Makna Dimodifkasi Melalui Proses Imterpretif
Blumer menyatakan bahwa proses intepretif ini memiliki
dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda
yang memiliki makna. Blumer berargumen bahwa bagian dari
proses ini berbeda dari pendekatan psikologis dan terdiri atas
orang yang terlibat didalam komunikasi dengan dirinya sendiri.
Langkah kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek
dan melakukan transformasi makna didalam konteks dimana
mereka berada. (Yohanes, 2013).
7
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2010.
Teori Fenomenologi.
http://amacorablog.wordpress.com (online). Diakses
tanggal 19 Januari 2014
Anonim, 2011. Pola Berpikir Deduktif dan Induktif Pada Filsafat
Ilmu. http://henytik.blogspot.com (online). Diakses
tanggal 19 Januari 2014
Hanifah,
2012.
Teori
Interaksi
Simbolik.
http://oelhanifah.blogspot.com (online). Diakses tanggal
19 Januari 2014
Sawitri, Retno., 2012. Teorisasi dalam penelitian kualitatif. http://
retnosawitri.blogspot.com (online). Diakses tanggal 19
Januari 2014
Shidiqi, M.F., 2012. Pendekatan Fenomenologi. http://m-f-sfpsi08.web.unair.ac.id (online). Diakses tanggal 19
Januari 2014
Yohanes,
2013.
Teori
Interaksi
Simbolik.
http://www.yohanesari.com (online). Diakses tanggal 19
Januari 2014
8