Macam macam dan Karakterisasi Material

Jurnal Nanosains & Nanoteknologi

ISSN 1979-0880

Vol. 2 No.1, Februari 2009

Review: Karakterisasi Nanomaterial
Mikrajuddin Abdullah(a) dan Khairurrijal
Laboratorium Sintesis dan Fungsionalisasi Nanomaterial
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB
Jalan Ganeca 10 Bandung 40132
(a)
E-mail: din@fi.itb.ac.id
Diterima Editor
Diputuskan Publikasi

:
:

20 Mei 2008
2 Juni 2008


Abstrak
Pada paper ini akan dibahas sejumlah metode karakterisasi yang biasa digunakan dalam penelitian nanomaterial.

Kata Kunci: SEM, TEM, AFM, XRD, BET

1. Pendahuluan
dapat dibangun menggunakan program pengolahan
gambar yang ada dalam komputer.

Riset nanomaterial, khususnya bidang eksperimen,
tidak bisa lepas dari kegiatan karakterisasi atau
pengukuran. Dengan karakterisasi kita bisa yakin bahwa
material yang disintesis sudah memenuhi kriteria
nanostruktur, yaitu salah satu dimensinya berukuran
nanometer. Dalam kesepakatan umum sampai saat ini,
dimensi nanometer adalah ukuran yang kurang dari 100
nm. Karakterisasi juga memberikan informasi tentang
sifat-sifat fisis maupun kimiawi nanomaterial tersebut. Ini
sangat penting karena ketika dimensi material menuju

nilai beberapa nanometer (kurang dari 10 nm), banyak
sifat fisis maupun kimiawi yang bergantung pada ukuran.
Ini menghasilkan sejumlah kekayaan sifat dan peluang
memanipulasi atau menggenerasi sifat-sifat baru yang
tidak dijumpai pada material ukuran besar (bulk).

Berkas elektron

Elektron
pantulan
Permukaan material

2. Scanning electron micrsocopy (SEM)
SEM adalah salah satu jenis mikroskop elektron
yang menggunakan berkas elektron untuk menggambar
profil permukaan benda. Prinsip kerja SEM adalah
menembakkan permukaan benda dengan berkas elektron
bernergi tinggi seperti diilustrasikan pada Gbr. 1.
Permukaan benda yang dikenai berkas akan memantulkan
kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron

sekunder ke segala arah. Tetapi ada satu arah di mana
berkas dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detektor
di dalam SEM mendeteksi elektron yang dipantulkan dan
menentukan lokasi berkas yang dipantulkan dengan
intensitas tertinggi. Arah tersebut memberi informasi
profil permukaan benda seperti seberapa landai dan ke
mana arah kemiringan.
Pada saat dilakukan pengamatan, lokasi
permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron
di-scan ke seluruh area daerah pengamatan. Kita dapat
membatasi lokasi pengamatan dengan melakukan zoon-in
atau zoom-out. Berdasarkan arah pantulan berkas pada
berbagai titik pengamatan maka profil permukan benda

Gambar 1 Dalam SEM berkas elektron bernergi tinggi
mengenai permukaan material. Elektron pantulan dan
elektron sekunder dipancarkan kembali dengan sudut
yang bergantung pada profil permukaan material.
SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada
mikroskop optik. Hal ini disebabkan oleh panjang

gelombang de Broglie yang dimiliki elektron lebih
pendek daripada gelombang optik. Makin kecil panjang
gelombang yang digunakan maka makin tinggi resolusi
mikroskop. Panjang gelombang de Broglie elektron
adalah λ = h / p , dengan h konstanta Planck dan p
adalah momentum elektron. Momentum elektron dapat
ditentukan dari energi kinetik melalui hubungan

K = p 2 / 2m , dengan K energi kinetik elektron dan m
adalah massanya.
Dalam SEM, berkas elektron keluar dari filamen
panas lalu dipercepat pada potensial tinggi V. Akibat
percepatan tersebut, akhirnya elekton memiliki energi

1

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009

kinetik K = eV . Dengan demikian kita dapat menulis
momentum elektron sebagai p =


2meV , dan panjang

gelombang de Brogile λ = h / 2meV . Umumnya
tegangan yang digunakan pada SEM adalah puluhan
kilovolt. Sebagai ilutrasi, misalkan SEM dioperasikan
pada tegangan 20 kV maka panjang gelombang de
Broglie elektron sekitar 9 × 10-12 m.
Syarat agar SEM dapat menghasilkan citra yang
tajam adalah permukaan benda harus bersifat sebagai
pemantul elektron atau dapat melepaskan elektron
sekunder ketika ditembak dengan berkas elektron.
Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika
permukaan logam diamati di bawah SEM maka profil
permukaan akan tampak dengan jelas. Bagaimana dengan
material bukan logam seperti isolator?
Agar profil permukaan bukan logam dapat diamati
dengan jelas dengan SEM maka permukaan material
tersebut harus dilapisi dengan logam seperti diilustrasikan
pada Gbr. 2 [1-3]. Film tipis logam dibuat pada

permukaan material tersebut sehingga dapat memantulkan
berkas elektron. Metode pelapisan yang umumnya
dilakukan adalah evaporasi dan sputtering

2

yang digunakan harus yang memiliki titik lebur rendah.
Logam pelapis yang umumnya digunakan adalah emas.

a

33 µm
µm
b

Permukaan material

1 µm
c
Pelapisan (coating)


Lapisan tipis logam

300 nm

Gambar 2 Permukaan isolator perlu dilapisi logam agar
dapat diamati dengan jelas di bawah SEM.
Pada metode evaporasi, material yang akan
diamati permukaanya ditempatkan dalam satu ruang
(chamber) dengan logam pelapis. Ruang tersebut dapat
divakumkan dan logam pelapis dapat dipanaskan hingga
mendekati titik leleh. Logam pelapis diletakkan di atas
filamen pemanas. Mula-mula chamber divakumkan yang
dikuti dengan pemanasan logam pelapis. Atom-atom
menguap pada permukaan logam. Ketika sampai pada
permukaan material yang memiliki suhu lebih renda,
atom-atom logam terkondensasi dan membetuk lapisan
film tipis di permukaan material. Ketebalan lapisan dapat
dikontrol dengan mengatur lama waktu evaporasi. Agar
proses ini dapat berlangsung efisien maka logam pelapis


Gambar 3 Foto SEM sejumlah sampel: (a) partikel, (b)
nanotube, dan (c) partikel yang terorganisasi [1-3].

Prinsip kerja sputtering mirip dengan evaporasi.
Namun sputtering dapat berlangsung pada suhu rendah
(suhu kamar). Permukaan logam ditembak dengan ion gas
berenergi tinggi sehingga terpental keluar dari permukaan
logam dan mengisi ruang di dalam chamber. Ketika
mengenai permukaan sample, atom-atom logam tersebut
memmebtuk fase padat dalam bentuk film tipis. Ketebalan
lapisan dikontrol dengan mengatur lama waktu sputtering.
Pada saat pengukuran dengan SEM, lokasi di
permukaan sample tidak boleh terlalu lama dikenai berkas.
Elektron yang berenergi tinggi pada berkas dapat
mencabut atom-atom di permukaan sample sehingga
permukaan tersebut akan rusak dengan cepat. Film tipis di

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009


permukaan sample akan menguap dan kembali menjadi
isolator. Akhirnya bayangan yang terekam tiba-tiba
menjadi hitam.
Gambar 3 adalah beberapa contoh bayangan
material yang diamati dengan SEM. Seperti pada Gbr.
3(a) tampak jelas bahwa ukuran partikel yang dibuat tidak
seragam, tetapi bervariasi. Pernyataan selanjutnya adalah
bagaimana menentukan distribusi ukuran partikel?
Perhatikan, setiap foto SEM memiliki bar skala
yang panjangnya sudah tertentu. Bar tersebut menjadi
acuan penentuan ukuran partikel. Contohnya ada bar yang
tertulis panjangnya 0,5 µm. Jika diukur dengan penggaris
misalkan panjang bar tersebut adalah 1 cm maka 1 cm
pada gambar bersesuaian dengan panjang 0,5 µm ukuran
sebenarnya. Jika kita mengukur diameter partikel pada
gambar dengan menggunakan penggaris adalag 2,2 cm
maka diameter riil partikel tersebut adalah (2,2 cm/1 cm)
× 0,5 µm = 1,1 µm.

3


dan sumbu vertical adalah jumlah partikel. Diagram yang
kita peroleh tampak pada Gbr. 5.
Tabel 1 Tabulasi ukuran partikel
Jangkauan diameter (nm)
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800

Jumlah partikel
0
4
20

100
150
140
120
80
10
10

Jumlah partikel

160
120
80

40
0

0

m
33µµm

500

1000

1500

2000

Diameter partikel (nm)

Gambar 5 Diagram sebaran ukuran partikel.

Jumlah partikel

160
120
80

40
0
0

Gambar 4 Foto SEM yang difoto copy perbesar.
Agar pengukuran dapat dilakukan dengan teliti
maka foto SEM difoto copy perbesar beberapa kali lipat
seperti ilustrasi pada Gbr. 4. Kita lakukan pengukuran
pada gambar hasil foto copy. Kita lakukan pengukuran
diameter ratusan partikel kemudian membuat tabulasi
misalkan seperti pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 kita buatkan diagram titik dengan
menggunakan sumbu datar adalah titik tengah jangkauan

500
1000
1500
Diameter partikel (nm)

2000

Gambar 6 Fitting hasil pengukuran dengan fungsi
distrubusi log-normal.
Selanjutnya kita fiting titik-titik pada diagram
dengan menggunakan fungsi log-normal. Kita pilih
parameter distribusi σ dan rg yang memberikan kurva
fitting yang paling dekat dengan data pengamatan. Contoh

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009

4

kurva tampak pada Gbr 6. Dari nilai parameter kita dapat
menentukan diameter rata-rata partikel.
SEM yang paling canggih pun yang ada saat ini
tidak sanggup mengamati ukuran partikel dalam orde
beberapa nanometer. Bayangan jelas yang dapat diperoleh
SEM minimal hanya sekitar 50 nm. Gambar ini pun
biasanya diamati dengan field emission SEM (FE-SEM).
Di bawah ukuran tersebut SEM memberikan bayangan
yang kabur.
3. Transmission Electron Microscopy (TEM)
TEM adalah alat yang paling teliti yang digunakan
untuk menentukan ukuran partikel karena resolusinya
yang sangat tinggi. Partikel dengan ukuran beberapa
nanometer dapat diamati dengan jelas menggunakan TEM.
Bahkan dengan high resolution TEM (HR-TEM) kita
dapat mengamati posisi atom-atom dalam partikel.
Prinsip kerja TEM sangat mirip dengan prinsip
kerja peralatan rontgen di rumah. Pada peralatan roentgen,
gelombang sinar-X menembus bagian lunak tubuh
(daging) tetapi ditahan oleh bagian keras tubuh (tulang).
Film yang diletakkan di belakang tubuh hanya
menangkap berkas sinar-X yang lolos bagian lunak tubuh.
Akibatnya, film menghasilkan bayangan tulang.
Pada TEM, sample yang sangat tipis ditembak
dengan berkas electron yang berenergi sangat tinggi
(dipercepat pada tegangan ratusan kV). Berkas electron
dapat menenbus bagian yang “lunak” sample tetapi
ditahan oleh bagian keras sample (seperti partikel).
Detektor yang berada di belakang sample menangkap
berkas electron yang lolos dari bagian lunak sample.
Akibatnya detector menangkap bayangan yang bentuknya
sama dengan bentuk bagian keras sample (bentuk
partikel).
Dalam pengoperasian TEM yang paling sulit
dilakukan adalah mempersiapkan sample. Sampel harus
setipis mungkin sehingga dapat ditembus electron.
Sampel ditempatkan di atas grid TEM yang terbuat dari
tembaga atau karbon. Jika sample berbentuk partikel,
biasanya partikel didispersi di dalam zat cair yang mudah
menguap seperti etanol lalu diteteskan ke atas grid TEM.
Jika sample berupa komposit partikel di dalam material
lunak seperti polimer, komposit tersebut harus diiris tipis
(beberapa nanometer). Alat pengiris yang digunakan
adalah microtome.
Gambar 7 adalah contoh foto TEM sample partikel
dan carbon nanotube. Dari citra CNT tampak garis-garis
adalah barisan atom-atom karbon yang membentuk
dinding multiwall carbon nanotube. Jumlah lapisan kulit
dapat ditentukan dengan mudah hanya dengan
menghitung jumlah garis pada dinding.
Dengan menggunakan high resolution TEM (HRTEM) kita dapat menentukan lokasi atom-atom dalam
sample seperti tampak pada Gbr. 8. Titik-titik pada
gambar tersebut adalah atom-atom penyusun partikel.
Dari citra tersebut maka susunan kristal partikel dapat
ditentukan. Jika sample yang diamati dengan TEM
berbentuk partikel maka distribusi ukuran partikel dapat
ditentukan dengan cara yang sama dengan menentukn
distribusi ukuran partikel hasil foto SEM.

Gambar 7 Foto TEM partikel dan multi wall carbon
nanotube.

Gambar 8 Foto semuah
menggunakan HR-TEM.

nanopartikel

dengan

4. Atomic Force Microscopy (AFM)
AFM termasuk mikroskop cangih yang sederhana
pengoperasiannya. Prinsip kerja AFM juga sangat
sederhana dan dapat dipahami hanya dengan konsep-

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009

konsp fisika dasar. AFM tidak memerlukan sistem vakum,
tegangan tinggi, maupun fasilitas pendingin seperti pada
SEM dan TEM.
Perangkat utama sebuah AFM adalah sebuah tip
yang sangat tajam yang ditempatkan di ujung cantilever,
seperti tampak pada Gbr. 9. Cantilever beserta tip
digerakan sepanjang permukaan benda yang diamati.
Dengan adanya tekstur permukaan benda yang tidak rata
maka selama mengerakkan tip sudut kemiringan
cantilever berubah-ubah. Perubahan sudut tersebut
memberikan informasi kealaman tekstur permukaan
benda.

Gambar 9 Contoh tip AFM yang difoto dengan SEM.

Gambar 10 Contoh profil permukaan sample yang diamati
dengan AFM. Sampel berupa single wall carbon nanotube
yang ditempatkan di atas substrat.
Sudut yang dibentuk cantilever ditentukan dengan
mengarahkan berkas tipis sinar laser ke arah cantilever
dan sudut sinar pantul ditentukan. Perubahan sudut
cantilever menyebabkan perubahan arah sinar pantul. Ke
dua sudut tersebut berkaitan satu dengan lainnya. Dengan
kata lain, dengan mengetahui sudut sinar pantul maka
sudut cantlever dapat di ketahui, dan pada akhirnya

5

kedalaman tekstur permukaan benda dapat dketahui.
Sudut pantul sinar laser pada berbagai titik scan
ditentukan. Selanjutnya dengan program pengolahan citra
yang ada dalam computer, prfil permukaan sample dapat
dibangun.
Gambar 10 adalah contoh profil permukaan sample
yang diamati dengan AFM. Sampel berupa sebuah carbon
nanotube yang dipuntir. Luas permukaan sample yang
diamati adalah 4 µm × 4 µm. AFM memberikan informasi
yang teliti tentang dimensi tekstur arah normal (tegak
lurus permukaan) tetapi sering kurang teliti untuk dimensi
tekstur arah tangensial (sejajar permukaan).
Pergeseran posisi cantilever arah normal sedikit
saja (puluhan nanometer) dapat direkam dengan baik.
Kesalahan pengamatan arah sejajar sample sering terjadi
jika ada perubahan tekstur pada ukuran yang lebih kecil
daripada ukuran tip.

5. Karakterisasi Lebar Celah Pita Energi
Lebar
celah
pita
energi
semikonduktor
menentukan sejumlah sifat fisis semikonduktor tersebut.
Beberapa besaran yang bergantung pada lebar celah pita
energi adalah mobilitas pembawa muatan dalam
semikonduktor, kerapatan pembawa muatan, spektrum
absorpsi, dan spectrum luminisensi. Ketika digunakan
untuk membuat divais mikroelektronik, lebar celah pita
energi menentukan tegangan cut off persambungan
semikonduktor, arus yang mengalir dalam devais,
kebergantungan arus pada suhu, dan sebagainya.
Bagaimana cara menentukan lebar celah pita
energi dalam semikonduktor? Caranya adalah melaui
pengamatan spektrometri ultraviolet-visible (UV-Vis).
Alat yang digunakan adalah spectrometer UV-Vis.
Bagaimana metode ini bekerja? Mari kita diskusikan.
Dasar pemikiran metode tersebut cukup sederhana.
Jika material disinari dengan gelombang elektromagnetik
maka foton akan diserap oleh elektron dalam material.
Setelah menyerap foton, elektron akan berusaha meloncat
ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Perhatikan ilustrasi pada Gbr. 11. Jika energi foton
yang diberikan kurang dari lebar celah pita energi maka
elektron tidak sangggup meloncat ke pita valensi.
Elektron tetap berada opada pita valensi. Dalam keadaan
ini dikatakan elektron tidak menyerap foton. Radiasi yang
diberikan pada material diteruskan melewati material
(transmisi). Elektron baru akan meloncat ke pita konduksi
hanya jika energi foton yang diberikan lebih besar
daruipada lebar celah pita energi. Elektron menyerap
energi foton tersebut. Dalam hal ini kita katakana terjadi
absorpsi gelombang oleh material. Ketika kita mengubahubah frekuensi gelombang elektromagnetik yang
dijatuhkan ke material maka energi gelombang di mana
mulai terjadi penyerapan oleh material bersesuaian
dengan lebar celah pita energi material.
Lebar celah pita energi semikonduktor umumnya
lebih dari 1 eV. Energi sebesar ini bersesuaian dengan
panjang gelombang dari cahaya tampak ke ultyraviolet.
Oleh sebab itu pengamatan lebar celah pita energi
semikonduktor dilakukan dengan spektroskop UV-Vis.

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009

Pita konduksi

6

cahaya yang
atenuasi

ditransmisikan

memenuhi

persamaan

IT (ω ) = I o (ω ) exp[− σ (ω ) x ]

(1)

dengan σ (ω ) adalah koefisien absorpsi yang bergantung
pada frekuensi foton dan x adalah ketebalan material.
Persamaan di atas dapat ditulis ulang sebagai

1
x

⎡ IT (ω ) ⎤

⎣ I o (ω ) ⎦

σ (ω ) = − ln ⎢
Radiasi
EM dengan
energi kurang
dari lebar
celah energi

(2)

Pita valensi

Pita konduksi

Intensitas absorpsi (sembarang)

Spektrometer UV-Vis memungkinakan kita
menentukan intensitas absorpsi sebagai fungsi frekuensi
atau panjang gelombang. Gambar 12 adalah contoh
spektrum absorpsi UV-Vis partikel CdSe yang dambil
dengan spektroskop UV-Vis [4].

6

4
Sekitar band gap
2

400

500
700
600
Panjang gelombang (nm)

800

Gambar 12 Contoh spektrum absorpsi UV-Vis partikel
CdSe.

Radiasi
EM dengan
energi lebih
dari lebar
celah energi

Pita valensi

Gambar 11 Jika semikonduktor diradiase dengan EM
dengan energi foton kurang dari lebar celah energi maka
elektron tidak sanggup meloncat ke pita konduksi (kiri).
Elektron dapat mencapai pita konduksi jika material
diradiasi dengan gelombang EM dengan energi foton
lebih besar daripada lebar celah energi.

Misalkan
semikonduktor diradiasi
dengan
gelombang elektromagnetik dengan frekuensi ω dan
intensitas I o (ω ) . Sebagian energi gelombang dibasorpsi
oleh material dan sebagian ditransmisikan. Intensitas

Dari kurva tersebut kita dapat menentukan σ (ω )
sebagai fungsi ω dari daerah tampak hingga ultraviolet.
Untuk material semikonduktor dengan celah pita
energi langsung (direct band gap) ada hubungan yang
sederhana antara σ (ω ) dan ω, khususnya pada energi
foton berdekatan dengan nilai celah pita energi
semikonduktor. Pada jangkauan energi tersebut koefisien
absorpsi memenuhi persamaan

[σ (ω )hω ]2 = A(hω − Eg )

(3)

dengan Eg adalah lebar celah pita energi dan A sebuah
konstanta.
Dari fungsi σ (ω ) yang diperoleh dari eksperimen
kita plot nilai tersebut di daerah sekitar celah energi
semikonduktor dalam sebuah grafik yang sumbu
vertikalnya adalah

[σ (ω )hω ]2 dan sumbu datar adalah

hω . Kurva yang diperoleh tampak seperti Gbr. 13 [4].

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009

7

Perpotongan kurva dengan sumbu datar tidak lain
daripada lebar celah pita energi bahan.

3
Intensitas

(σhω)2 ×106

4

dihasilkan, seperti diilustrasikan pada Gbr. 14. Kristal
yang berukuran besar dengan satu orientasi menghasilkan
puncak difraksi yang mendekati sebuah garis vertikal.
Kristallites yang sangat kecil menghasilkan puncak
difraksi yang sangat lebar. Lebar puncak difraksi tersebut
memberikan informasi tentang ukuran kristallites

2
1
Eg
0,6

[

0,8
hω (eV)

1,0

1,2


]

Gambar 13 Kurva σ (ω )hω terhadap energi foton
untuk nanopartikel PbS. Kurva kiri untuk partikel yang
besar dan kurva kanan untuk partikel yang kecil.
2

Intensitas

0,4

Untuk semikonduktor yang memiliki indirect-band
gap, hubungan antara koesisien absorpsi dengan frekuansi
cahaya dapat didekati dengan persamaan

σ (ω ) = A[hω − Eg ]2

(4)

dengan A adalah konstanta.

6. Metode Scherrer
TEM adalah alat yang sangat mahal, baik dari segi
harga, biaya operasional, maupun pemeliharaan. Tidak
semua universitas di dunia memiliki fasilitas ini termasuk
universitas di negara-negara maju. Di beberapa negara
maju, TEM banyak yang ditempatkan di pusat penelitiaan
yang digunakan secara bersama-sama oleh beberapa
universitas atau lembaga riset. Bagaimana kita
menentukan ukuran partikel nanoi jika TEM tidak
tersedia?
Ketiadaan TEM tidak menghalangi kita untuk
menentukan ukuran partikel nano meskipun dengan
pendekatan yang tidak terlalu akurat. Metode yang sering
digunakan orang sebagai alternatif adalah metode
Scherrer. Ukuran kristallin ditentukan berdasarkan
pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Metode
ini sebenarnya memprediksi ukuran kristallin dalam
material, bukan ukuran partikel. Jika satu partikel
mengandung sejumlah kritallites yang kecil-kecil maka
informasi yang diberikan metiode Schrerrer adalah ukuran
kristallin tersebut, bukan ukuran partikel. Untuk partikel
berukuran nanometer, biasanya satu partikel hanya
mengandung satu kristallites. Dengan demikian, ukuran
kristallinitas yang diprediksi dengan metode Schreer juga
merupakan ukuran partikel.
Berdasarkan metode ini, makin kecil ukuran
kristallites maka makin lebar puncak difraksi yang



Gambar 14 Makin lebar puncak difraksi sinar-X maka
makin kecil ukuran kristallites. Ukuran kristallites yang
menghasilkan pola difraksi pada gambar bawah lebih
kecil daripada ukuran kristallites yang menghasilkan pola
difraksi atas.
Mengapa kristallites yang kecil menghasilkan
puncak yang lebar? Penyebabnya karena kristallites yang
kecil memiliki bidang pantul sinar-X yang terbatas.
Puncak difraksi dihasilkan oleh interferensi secara
konstruktif cahaya yang dipantulkan oleh bidang-bidang
kristal. Dalam kuliah tentang interferensi gelombang kita
mendapatkankan bahwa makin banyak jumlah celah
interferensi maka makin sempit ukuran garis frinji pada
layar. Interferensi celah banyak dengan jumlah celah tak
berhingga menghasilkan frinji yang sangat tipis tetapi
sangat terang. Jumlah celah yang sangat banyak identik
dengan kirtallites yang ukuran besar. Karena difraksi
sinar-X pada dasarnya adalah interferensi oleh sejumlah
sumber maka kita dapat memprediksi hubungan antara
lebar pucak difraksi dengan ukuran kristallites
berdasarkan perumusan interferensi celah banyak.
Hubungan antara ukuran ksirtallites dengan lebar
puncal difraksi sinar-X dapat diproksimasi dengan
persamaan Schrerer [5-7],

D≈

λ
B cos θ B

(5)

dengan D adalah ukuran (diameter) kristallites, λ adalah
panjang gelombang sinar-X yang digunakan, θB adalah
sudut Bragg, B adalah FWHM satu puncak yang dipilih

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009

8

Bentuk yang lebih umum lagi adalah
menggunakan parameter B bukan sebagai FWHM dari
puncak difraksi, tetampi menggunakan B dari persamaan
Warren, yaitu

dengan FWHMsp adalah lebar puncak difraksi sample
pada setengah maksimum dan FWHMst adalah lebar
puncak difraksi kristal yang sangat besar yang lokasi
puncaknya berada di sekitar lokasi puncak sample yang
akan kita hitung. Tetapi, umumnya FWHMst sangat kecil
sehingga persamaan (5) dapat diangap sebagai
aproksimasi yang cukup baik.
Sekarang kita coba melihat aplikasi rumus ini
untuk mencari ukuran kristallin suatu sample. Pertama
kita amati pola difraksi sinar-X untuk sample tersebut
pada jangkauan sudut yang cukup luas (antara 0o sampai
90o). Gambar 15 adalah contoh pola difraksi sinar-X
sample yttrium oksida (Y2O3) yang dibuat dengan
pemanasan dalam larutan polimer. Berdasarkan foto SEM
ukuran partikel beberapa ratus nanometer. Kita ingin
menentukan ukuran kristallin sehingga kita dapat
mengertahui apakah partikel tersebut adalah single
kristallin atau polikristallin. Kita melihat sejumlah puncak
difraksi. Dengan membandingkan dengan referensi dalam
powder diffraction file kita meyakini bahwa material yang
dibuat benar-benar merupakan Y2O3.
700
600
500

600
500
400
300
200
100
28.0

28.5

29.0
29.5
2θ [o]

30.0

30.5

Gambar 16 Difraksi sinar-X pada jangkauan sudut yang
sangat sempit, yaitu sekitar puncak yang berada pada
sudut antara 28,0o sampai 30,5º.

700
Count [sembarang]

(6)

Count [sembarang]

700

B = FWHM sp2 − FWHM st2

Count [sembarang]

616,83, pusat kurva = 29,205o, FWHM = 0,72371o, offset
= 391,91, dan tinggi = 542,60.

600
500
400
300
200
100

400

28.0

300

28.5

29.0
29.5
2θ [o]

30.0

30.5

200

Gambar 17 Fitting Lorentzian untuk puncak difraksi
sekitar sudut antara 28,0o hingga 30,5º.

100
0
20

30

40

50
2θ [o]

60

70

80

Gambar 15 Difraksi sinar-X untuk partikel Y2O3
Bagaimana menentukan ukuran kristallin. Yang
pertama yang dilakukan adalah menentukan FWHM.
Untuk maksud ini kita pilih satu puncak yang paluing
jelas. Di sini kita memilih puncak yang lokasinya sekitar
sudut 30o. Kita gambar ulang pola difraksi hanya dengan
melibatkan data sekitar sudut 30o. Gambar 16 adalah pola
difraksi yang kita peroleh dengan mengambil jangkauan
sudut antara 28o sampai 30,5o. Umumnya bentuk puncak
difraksi dianggap memenuhi fungsi Lorentzian. Dengan
fiiiting Lorentzian menggunakan software Origin
Microcal, kita dapatkan hasil seperti pada Gbr 17. Data
yang diperoleh dari fitting tersebut adalah luas kurva =

Yang terpenting bagi kita adalah data lokasi
puncak dan lebar puncak difraksi karena dapat tersebut
yang akan digunakan untuk memprediksi ukuran
kristalling dengan menggunakan persamaan Schreerer.
Karena sumbu datar adalah sudut dinyatakan dalam 2θ
maka yang digunakan sebagai B adalah setengahnya yaitu
B = 0,72371o/2 = 0,361855o = 0,361855×π/180 rad =
0,006312 rad. Panjang gelombang sinar-X yang
digunakan dalam eksperimen adalah 0,1540598 nm.
Dengan dmikian, perkiraan ukuran kristallin adalah D ≈
0,1540598/(0,006312 × cos(29,205º) ≈ 26 nm.

7. Metode BET
Teori BET diperkenalkan tahun 1938 oleh Stephen
Brunauer, Paul Hugh Emmett, dan Edward Teller. BET
adalah singkatan dari nama ketiga ilmuwan tersebut.

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009

9

1
c −1⎛ P

=
υ [( Po / P) − 1] υ m c ⎜⎝ Po

⎞ 1
⎟⎟ +
⎠ υmc

1/υmc

c

υm

ke m

gan
n
i
r
i

)/
c -1
(
=

Po/P
Gambar 18 Tipikal kurva BET.

Penutup
Sejumlah metode karakterisasi nanomaterial telah
dijelaskan. Karakterisasi sangat diperlukan untuk
memberi keyakinan bahwa kita telah berhasil mensintesis
material dengan struktur nanometer. Karakterisasi juga
akan memberikan informasi sifat-sifat material. Informasi
sifat-sifat tersebut memberi peluang rekayasa material
dalam skala nanometer untuk menghasilkan sifat khas
yang berguna.

(7)
Referensi

dengan P adalah tekanan keseimbangan, Po adalah
tekanan saturasi, υ adalah jumlah gas yang teradsopsi, υm
adalah jumlah gas yang teradsoprsi pada satu lapis, dan c
adalah konstanta BET yang memenuhi

⎡ E − EL ⎤
c = exp ⎢ 1

⎣ RT ⎦

permukaan total sample dapat dihitung. Luas permukaan
spesifik sama dengan luas permukaan total dibagi massa
sample. Jadi luas pemukaan spesifik adalah S = Stot/m,
dengan m adalah massa sample.

1/υ[(Po/P)-1]

Teori ini menjelaskan fenomena adsorpsi molekul gas di
permukaan zat padat (melekatnya molekul gas di
permukaan zat padat). Kuantitas molekul gas yang
diadsorsi sangat bergantung pada luas permukaan yang
dimiliki zat pada tersebut. Dengan demikian, secara tidak
langsung teori ini dapat dipergunakan untuk menentukan
luas permukaan zat padat.
Jika zat padat berupa partikel-partikel maka luas
permukaan untuk zat padat dengan massa tertentu makin
besar jika ukuran partikel makuin kecil. Dengan
mendefinisikan luas permukaan spesifik sebagai
perbandingan luas total pemukaan zat padat terhadap
massanya maka luas permukaan spesifik makin besr jika
ukuran partikel makin kecil. Metode BET memberikan
informasi tentang luas permukaan spesifik zat padat.
Dengan demikian metode ini dapat digunakan untuk
memperkirakan ukuran rata-rata partikel zat padat. Untuk
material berpori, luas permukaan spesifik ditentukan oleh
porositas zat padat. Dengan demikian metode BET juga
dapat digunakan untuk menentukan porositas zat padat.
Landasan utama teori BET adalah (a) molekul
dapat teradsoprsi pada permukaan zat padat hingga
beberapa lapis. Teori ini lebih umum dari teori adsorpsi
satu lapis molekul dari Langmuir. (b) Juga dianggap
bahwa tidak ada interaksi antar molekul gas yang
teradsorpsi pada permukaan zat padat. (c) Lalu, teori
adsorpsi satu lapis dari Langmuir dapat diterapkan untuk
masing-masing lapis gas. Dengan asumsi di atas, BET
mendapatkan persmaan umum yang menerangkan
keadaan molekul yang teradsorpsi pada permukaan zat
padat.

(8)

dengan E1 adalah kalor adsorpsi lapisan pertama dan EL
adalah kalor lebur
Plot BET adalah kurva dengan sumbu datar P/Po
dan sumbu tegak 1/υ[(Po/P)-1]. Kurva tersebut berbentuk
garis lurus seperti pada Gbr. 18. Dengan memperhatikan
persamaan (7) maka kemiringan kurva sama dengan (c1)/υmc, dan titik potong kurva dengan sumbe tegak sama
dengan 1/υmc. Dari dua nilai tersebut kita dapat
menentukan c dan υm.
Berdasarkan nilai υm maka dapat dihitung luas
permukaan total sample yang diukur, yaitu Stot = υmNs/V,
dengan N bilangan Avogadro, s adalah penampang lintang
adsorpsi, dan V adalah volum satu mol gas yang
diadsorpsi (volum molar). Nilai V dan s ada di referensi
sehingga berdasarkan nilai υm dari plot BET maka luas

[1] M. Abdullah, T. Isakndar, S. Shibamoto, T. Ogi, and
K. Okuyama, Acta Materialia, 52, 5151 (2004).
[2] M. Abdullah, F. iskandar, and K. Okuyama, Proc.
ITB. Eng. Sci. 36B, 125 (2004).
[3] M. Abdullah, F. Iskandar, and K. okuyama, Adv.
Mater. 14, 930 (2002).
[4] Y. Wang and N. Herron, J. Phys. Chem. 95, 525
(1991).
[5] M. Abdullah, F. Isakndar, K. Okuyama, and F.G. Shi,
J. Appl. Phys. 89, 6431 (2001).
[6] Y. Itoh, M. Abdullah, and K. Okuyama, J. Mater. Res.
19, 1077 (2004).
[7] M. Abdullah dan Khairurrijal, J. Nano Saintek. 1, 28
(2008).