Bea Anggraini dan Sri Wiryanti BU

DAFTAR ISI

Bramantio
BARBIE DALAM CERPEN INDONESIA:
KONSTRUKSI KECANTIKAN DAN PEREMPUAN ARTIFISIAL/FISIKAL/IDEAL
- 84
Gayung Kasuma
”WANITA PUBLIK” DALAM KUASA NEGARA: PROSTITUSI PADA PERIODE
KOLONIAL DI SURABAYA - 96
Muryadi
PENGUASA BARU MITOS BARU: STUDI TENTANG PEMANFAATAN MITOS
SEBAGAI ALAT LEGITIMASI DALAM SEJARAH KEKUASAAN DI INDONESIA
- 106
Shinta Devi Ika Santhi Rahayu
PENDIDIKAN ETNIS TIONGHOA DI SURABAYA
DALAM KEKUSAAN REZIM PEMERINTAH KOLONIAL JEPANG TAHUN 19421945 - 116
Johny A. Khusyairi
THE ROAD TRAFFIC OF SURABAYA IN 1920S: INSTALLING TRAFFIC SIGNS
AND DRIVER'S LICENCE - 125
Dewi Puspitasari
ANALISIS KONTRASTIF PEMARKAH ASPEK KONTINUATIF BAHASA

INDONESIA DENGAN BAHASA JEPANG (PREFIKS ME ~, TER ~, DAN
PARTIKEL TELAH DENGAN SUFIKS ~ TE ARU) - 137

Bea Anggraini dan Sri Wiryanti BU
DAYA HIDUP BAHASA DIALEK TENGGER - 148
Hariawan Adji
KONSEP WAKTU MENURUT PANDANGAN BARAT DAN PANDANGAN
TIMUR DAN PERJUMPAANNYA DALAM KEHIDUPAN ORANG JAWA
MODERN - 161
Dwi Handayani dan.Sri Ratnawati
PENGGUNAAN BAHASA TABU DALAM KONTEKS TUTURAN
JAWAPADA MASYARAKAT JAWATIMUR - 171
Ucapan Terima Kasih

BAHASA

BARBIE DALAM CERPEN INDONESIA: KONSTRUKSI
KECANTIKAN DAN PEREMPUAN ARTIFISIAL/FISIKAL/IDEAL
Bramantio*)
Abstract

“Barbie” by Clara Ng, “Bercinta dengan Barbie” (“Making Love with
Barbie”) by Eka Kurniawan and “Barbie dan Monik” (“Barbie and
Monik”) by Teguh Winasho A.S. are three Indonesian short stories that
present Barbie as a catalyst in building the structure of stories and fictional
worlds. Those three short stories, based on their ways in presenting Barbie,
can be considered as representations of the social and cultural conditions in
that time. Women are really adoring physical beauty, and men are examining
women by their surface appearances. The ideal women and beauty first of all
are examined physically and using western standards, or in other words the
ideal women and beauty are they who look like Barbie. Those three short
stories are critics on those conditions, whether it is expressed with symbol or
irony.
Keyword: barbie, kecantikan, artifisial, fisikal, ideal

Pendahuluan
Dalam satu dasawarsa terakhir ini,
dunia sastra Indonesia tampak begitu
hidup. Sejumlah karya sastra, dalam hal
ini genre prosa, baik novel maupun cerpen,
mampu memberikan warna tersendiri

dengan gayanya masing-masing. Di
antara karya-karya yang demikian,
meskipun tidak dalam jumlah besar, sosok
Barbie ternyata muncul menjadi sesuatu
yang menarik dan berperan sebagai
katalisator yang membangun struktur
cerita dan dunia fiktif.
Sejauh ini, ada tiga cerpen yang
mengusung Barbie dan telah dimuat di
media cetak atau diterbitkan dalam buku
kumpulan cerpen. Cerpen-cerpen yang
dimaksud yaitu “Barbie” karya Clara Ng
(pernah dimuat di Koran Tempo, Minggu,
9 September 2007, dan diterbitkan
kembali dalam buku kumpulan cerpen

Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya
pada 2008), “Bercinta dengan Barbie”
karya Eka Kurniawan (dalam buku
kumpulan cerpen Gelak Sedih dan Ceritacerita Lainnya, 2005), dan “Barbie dan

Monik” karya Teguh Winasho A.S.
(pernah dimuat di Kompas, Minggu, 17
Oktober 2004).
Pada dasarnya, karya sastra tidak
hanya berlaku sebagai artefak, tetapi
sekaligus sebagai objek estetis. Artefak
merupakan dasar material objek estetis,
sedangkan objek estetis merupakan
representasi artefak di dalam pikiran
pembaca.1 Pembentukan objek estetis
yang didasarkan pada artefak terjadi
dengan sarana peran aktif pembaca. Jadi,
pembacalah yang menciptakan objek
estetis. Pembentukan objek estetis yang
mendasarkan diri pada artefak disebut

)

* Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, telp (031) 5035676
1)

Jan Mukarovsky, “Asthetische Funktion, Norm und ästhetischer Wert als soziale Fakten,” Mukarovsky
1970, hlm. 7112 dalam Rien T. Segers, Evaluasi Teks Sastra, terj. Suminto A. Sayuti (Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 31.

84

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
konkretisasi.2 Sebuah artefak tunggal bisa
saja menimbulkan beberapa objek estetis
dan hal tersebut bergantung sepenuhnya
pada pembaca dan cara pembacaannya.
Sebagai sebuah karya sastra,
sebuah objek estetis, “Barbie”, “Bercinta
dengan Barbie”, dan “Barbie dan Monik”
memuat tanda-tanda yang perlu dimaknai
melalui proses konkretisasi. Pemaknaan
terhadap tanda-tanda tersebut bersifat
relatif dan tidak ada sebuah kebenaran
3

mutlak. Makna yang dihasilkan
bergantung pada cakrawala harapan
pembaca, yang di dalamnya termasuk
4
kompetensi kesastraan, yang terbentuk

2)

oleh pengalaman pembacaan masing5
masing pembaca. Dengan kata lain,
sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai
pembacanya dengan cara yang berbedabeda. Meskipun begitu, bukan berarti
bahwa makna yang pada akhirnya
diperoleh tidak objektif. 6 Dengan
demikian, dapat dikatakan di sini bahwa
karya sastra bukanlah suatu bentuk tindak
komunikasi yang biasa. Pemahaman yang
sesuai dan tepat atas gejala ini tidak
mungkin dilakukan tanpa memerhatikan
aspek komunikatif karya sastra, atau

dengan kata lain, tanpa mendekati karya
sastra sebagai tanda atau sebagai gejala

Istilah ini berasal dari Roman Ingarden dan diperkenalkan secara luas oleh Felix Vodicka. Menurut
Ingarden, karya sastra memiliki struktur yang objektif, yang tidak terikat pada pembaca, sekaligus
memiliki kemandirian terhadap kenyataan, bersifat skematik dan selektif, tidak pernah menciptakan
gambaran dunia yang sesungguhnya; A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 190191; cf. D. W. Fokkema dan Elrud Kunne Ibsch, Teori Sastra
Abad Kedua Puluh, terj. J. Praptadiharja dan Kepler Silaban, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 185,
mengutip Wolfgang Iser, Die Apellstruktur der Texte: Unbestimmtheit als Wirkungsbedingung
literarischer Prosa (Konstanz: Universitätsverlag, 1970), “Teks-teks fiksi tidak identik dengan situasi
nyata. Teks-teks itu tidak memiliki pasangan yang pasti di dalam kenyataan. Namun, sebenarnya
keterbukaan inilah yang menyebabkan teks-teks itu mampu membentuk berbagai situasi yang
dilengkapi oleh pembaca dalam bacaan-bacaan pribadinya. Keterbukaan teks fiksi bisa ditiadakan
hanya dalam tindakan pembacaan.”
3)
Juhl menyatakan bahwa interpretasi atas karya sastra tidak menekankan pada benar dan salah, melainkan
lebih pada dapat diterima atau tidak; P. D. Juhl, Interpretation: An Essay in the Philosophy of Literary
Criticism (Princeton: Princeton University Press, 1980), hlm. 197.
4)

Mengacu pada pendapat Culler, istilah kompetensi kesastraan atau literary competence dapat dipahami
sebagai perangkat konvensi untuk membaca teks sastra. Melalui kemampuan sistem konvensi itu kita
dapat mengembalikan keanehan-keanehan di dalam karya sastra kepada bentuk yang wajar, yang
disebut naturalization; Teeuw, ibid., hlm. 103104, mengutip Jonathan Culler, Structuralist Poetics
(London: Routledge and Kegan Paul, 1975). Secara lebih luas, cakrawala harapan bergantung pada
statistik personal tentang seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, agama, sikap dan norma pembaca,
kompetensi sastra dan linguistiknya, pengalaman analisisnya, luas-sempitnya keakraban dengan
pengirim dan sarana, serta situasi resepsi pembaca; Segers, op.cit., hlm. 42, mengutip Wolfgang Gast,
“Text und Leser im Feld der Massenkommunikation: Ûberlegungen zur Wirkungsanalyse von
Unterhaltungsliteratur,” Wirkendes Wort 25, 2:108128, 1975.
5)
Senada dengan hal tersebut, Iser menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas dua kutub, yaitu artistik dan
estetik. Kutub artistik mengacu pada teks ciptaan pengarang, sedangkan estetik pada konkretisasi atas
teks tersebut oleh pembaca. Lebih lanjut, makna sebuah karya bergantung pada kreativitas dan imajinasi
pembaca dalam mengisi “ruang-ruang kosong” di dalamnya; Wolfgang Iser, The Implied Reader
(Baltimore dan London: The Johns Hopkins University Press, 1980), hlm. 274 dan 279.
6)
Objektivitas cakrawala harapan disusun melalui tiga kriteria, yaitu pertama, konvensi yang berkaitan erat
dengan teks yang dibaca pembaca, kedua, pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap teks-teks
yang telah dibaca sebelumnya, dan ketiga, kontras antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan

pembaca untuk menerima teks baru di dalam cakrawala harapan yang “sempit” dan cakrawala
pengetahuan hidupnya yang “luas”; dapat dilihat pada Hans Robert Jauss, Toward An Aesthetic of
Reception (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1983), hlm. 24.

85

Barbie dalam Ceprpen Indonesia

semiotik.(Teeuw, 1988: 43).
Barbie dalam Cerpen “Barbie”
Karya Clara Ng.
Cerpen “Barbie” karya Clara Ng
dibuka dengan sebuah paragraf yang
diawali dengan kalimat “Ini kota luka.
Kota duka jika malam tiba. Kota yang
hitamnya menganga seperti langit-langit
mulut naga. Kota yang sudut-sudutnya
ditenun oleh bayangan kelam seperti
jaring laba-laba.” Kalimat-kalimat
pembuka tersebut yang menggabungkan

kata “luka” dan “duka” dalam kalimat
yang berurutan memberikan semacam
peringatan kepada pembacanya tentang
hal-hal yang akan muncul di dalam cerpen
ini, yang tentu saja berkaitan dengan
sesuatu yang mengerikan. Hal tersebut
masih ditambah dengan munculnya
“hitam” dan “bayangan” pada dua kalimat
sesudahnya, yang berkonotasi dengan halhal yang buruk atau negatif.
Cerpen yang menceritakan
kehidupan di sebuah toko mainan ini
memiliki dua tokoh sentral yang sekaligus
menjadi pusat penceritaan, yaitu Babi
Abu-abu dan Barbie. Cerita dibawakan
oleh narator yang berada di luar cerita
yang menjalin interaksi dengan pembaca.
Hal ini tampak pada bagian-bagian yang
secara langsung menyebut pembaca
sebagai “kau” serta sejumlah pertanyaan
dan komentar tentang yang sedang terjadi

pada tokoh di dalam cerita sebagai berikut,
“Kau pasti mengenalnya” (Ng, 2008:137)
dan “Apakah sesungguhnya dia diselimuti
cahaya rupawan ataukah ada yang salah
dengan mata Babi Abu-abu?” (Ng,
2008:139). Kalimat-kalimat tersebut
dapat dipahami sebagai usaha narator
untuk melibatkan pembaca di dalam
aktivitas berceritanya, seperti seorang

jurucerita yang sedang bercerita kepada
audiens, atau pendongeng yang bercerita
kepada anak-anak. Munculnya narator
yang demikian memperkuat kesan bahwa
cerpen “Barbie” berada di dalam koridor
cerita fantastik, sehingga peristiwaperistiwa yang terjadi di dalamnya pun
semestinya dibaca sebagai peristiwa
fantastik, bukan sebagai peristiwa real.
Lebih lanjut, sebagai konsekuensi atas hal
tersebut dan dipadukan dengan setting
toko mainan yang identik dengan anakanak, cerpen ini memunculkan asumsi
tentang pesan implisit yang diusungnya,
hal-hal yang muncul di permukaan
memiliki kemungkinan mewakili
gagasan-gagasan yang tidak sekadar
berkaitan dengan boneka dan sebuah
dunia bernama toko mainan. Relasi antara
Babi Abu-abu dan Barbie pun perlu
dipahami sebagai bukan sekadar relasi
antara dua boneka, tetapi bisa jadi sebagai
simbol relasi antarmanusia serta refleksi
realitas. Di samping itu, melalui kalimatkalimat yang dipakai oleh narator tersebut
juga dapat dipahami jarak yang dibangun
antara narator dengan pembaca, dan
dalam hal ini cerpen “Barbie” memiliki
jarak yang dekat dengan pembacanya
karena secara langsung menggunakan
kata ganti “kau”. Dengan adanya jarak
yang demikian, sejak awal cerpen ini
meskipun di satu sisi tampak sebagai
cerita fantastik, di sisi lain justru
memperlihatkan kedekatan dengan
realitas yang diwakili oleh pembacanya.
Babi Abu-abu adalah tokoh yang
merasa terbuang karena ia tidak lagi
disukai sebagai mainan dan ditinggalkan
karena para pengunjung toko mainan
lebih memilih Barbie. Sejak awal cerita
Babi Abu-abu dan Barbie ditempatkan

86

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
sebagai dua kubu yang berseberangan,
Babi sebagai yang terbuang dan Barbie
sebagai yang dicintai. Hal tersebut
diperkuat dengan penyebutan warna yang
mewakili keduanya, yaitu abu-abu yang
identik dengan kesuraman dan secara
langsung melekat pada diri Babi sebagai
nama belakangnya, dan “dinding yang
dicat warna-warni” sebagai tempat Barbie
yang tentu saja identik dengan keceriaan
dan kebahagiaan.
Munculnya anak-anak sebagai
pihak yang memberi nilai kepada Babi
dan Barbie dapat dimaknai sebagai bentuk
penilaian yang jujur. Dengan bekal
pemahaman yang masih sedikit tentang
kehidupan, anak-anak di dalam cerpen ini
telah membentuk nilainya sendiri tentang
yang buruk dan yang baik atau cantik.
Yang buruk dan yang cantik di sini pun
tampak hanya berkaitan dengan standarstandar fisikal. Barbie dianggap lebih baik
daripada Babi Abu-abu hanya
berdasarkan “rambut pirangnya yang
tergerai memesona, lekuk tubuhnya yang
langsing semampai, serta aneka baju
indah yang dikenakannya.” Berkaitan
dengan standar fisikal tersebut, yang
dianggap baik pun adalah “rambut
pirang,” “tubuh langsing semampai”, dan
“aneka baju indah”, yang tampak sangat
Barat.
Meskipun demikian,
Barbie sebagai sosok yang cantik ternyata
merasa bosan dengan kondisi tersebut. Ia
pun menemui dan berkeluh kesah kepada
BabiAbu-abu. Kebosanan Barbie menjadi
hal yang mengherankan bagi Babi Abuabu. Di dalam pernyataan Babi Abu-abu
terdapat penegasan tentang cara kota
tersebut menilai seseorang, yaitu
berkaitan dengan fisik dan materi, bukan
sifat dan perilaku, dan hal-hal itulah “yang

87

diinginkan oleh setiap mainan di kota ini.”
Rangkaian peristiwa dengan
bingkai suasana yang kelam tersebut
dapat dipahami sebagai kesepian yang
dialami oleh Babi Abu-abu dan Barbie.
Babi Abu-abu merasa kesepian karena ia
tidak memiliki teman atau jarang
mendapat tegur sapa dari mainan lain,
sedangkan Barbie merasa kesepian karena
ia merasa bosan dengan hal-hal di
sekitarnya. Kondisi yang demikian
mengantarkan mereka berdua pada
pertemuan melihat bulan yang bermuara
pada hubungan seks antara keduanya.
Adegan seks antara Barbie dan Babi Abuabu tersebut tampak menegaskan sikap
para perempuan di kota tersebut pada
bagian sebelumnya. Sejumlah kalimat di
dalam kutipan tersebut, meskipun juga
menggambarkan antusiasme Babi Abuabu, memperlihatkan bahwa Barbielah
yang tampak lebih menikmati hubungan
seks tersebut. Lebih lanjut, sebagai
perempuan ternyata Barbie tidak segan
berhubungan seks dengan Babi Abu-abu
yang jelas-jelas adalah babi. Pada bagian
tersebut, Barbie yang pada awalnya
tampak sebagai konotasi positif, semacam
standar penilaian tentang yang baik, mulai
mengalami pergeseran. Hal tersebut
diperkuat dengan bagian berikutnya yang
menyatakan bahwa hubungan seks
tersebut bagi Barbie ternyata bukan
sesuatu yang istimewa, hubungan seks
sama sekali tidak melibatkan perasaan dan
seolah tidak lebih daripada pengisi waktu
membunuh kebosanan. Barbie tidak mau
memberi kepastian kepada Babi Abu-abu
tentang kapan mereka bisa bertemu lagi.
Jawaban-jawaban Barbie juga dapat
dipahami bahwa Barbie sesungguhnya
tidak mau bertemu lagi dengan Babi Abu-

Barbie dalam Ceprpen Indonesia

abu. Hal tersebut terbukti benar ketika
pada suatu malam Babi Abu-abu
menyaksikan Barbie bersama laki-laki
lain. Peristiwa tersebut memperlihatkan
bahwa Barbie sesungguhnya tidak pernah
menganggap istimewa percintaan mereka
pada malam sebelumnya. Barbie pun
menganggap cinta sebagai sesuatu yang
menggelikan atau bahkan memuakkan.
Hal-hal fisikal sekali lagi menjadi yang
terpenting di dalam dunia Barbie. Hal
tersebut diperkuat dengan munculnya
laki-laki tinggi besar berotot sempurna
sebagai teman bercinta Barbie. Fisik yang
tinggi besar dan berotot sempurna
merupakan bentuk fisik ideal bagi lakilaki pada umumnya, dan dengan
dipertemukannya hal tersebut dengan
Barbie sebagai pemilik fisik ideal bagi
perempuan, semakin nyatalah kedudukan
keindahan fisik sebagai hal terpenting.
Kondisi yang demikian dan
perasaan disia-siakan menjadikan Babi
Abu-abu naik pitam. Amarah Babi Abuabu tersebut bermuara pada peristiwa
mengerikan. Melalui peristiwa tersebut
dan berdasarkan rangkaian peristiwa
sebelumnya, meskipun tidak ada
penyebutan nama, dapat diketahui bahwa
perempuan cantik yang menjadi korban
mutilasi adalah Barbie, sedangkan pelaku
pembunuhan dan mutilasi adalah Babi
Abu-abu. Motivasi pembunuhan tersebut
adalah perasaan disia-siakan yang dialami
oleh Babi Abu-abu sebagai akibat
perlakuan Barbie padanya. Di satu sisi,
Barbie sebagai pemiliki kecantikan dan
fisik yang dianggap ideal telah
memandang rendah Babi Abu-abu yang
tidak memiliki fisik yang dianggap ideal
seperti laki-laki tinggi besar berotot
sempurna. Di sisi lain, Babi Abu-abu pun
sesungguhnya juga menganggap rendah

Barbie, karena meskipun ia mencintainya,
Barbie bagi Babi abu-abu tampak tidak
lebih daripada objek untuk dimiliki,
s e h i n g ga k e t i ka i a t i d a k d a p a t
memilikinya, Barbie pun harus mati.
Akhir cerita yang demikian
memperlihatkan bagaimana cerpen ini
memandang Barbie. Meskipun pada
awalnya Barbie ditempatkan sebagai hal
yang tampak positif, melalui cara anakanak memandang Barbie yang berbeda
dengan cara mereka memandang Babi
Abu-abu, Barbie lambat laun
kedudukannya digeser sedemikian rupa
hingga menjadi sesuatu yang tidak
berharga. Ada semacam kritik atas Barbie
sebagai perwujudan kecantikan dan
perempuan ideal dengan standar Barat.
Kematian Barbie dengan cara
mengenaskan pada cerpen tersebut dapat
dipahami sebagai kematian atas simbol
kecantikan dan perempuan ideal, dan halhal fisikal tidak akan berumur panjang.
Lebih lanjut, kalimat “Ini zaman
edan” yang dilontarkan oleh salah satu
pengunjung tampak mengacu pada
konteks kekinian yang penuh dengan
peristiwa-peristiwa yang tampak absurd
dan jauh dari yang terbayangkan
sebelumnya. Koridor cerpen fantastik
yang digunakan cerpen “Barbie” tampak
tepat untuk menggambarkan segala
peristiwa dunia yang absurd. Munculnya
tokoh Barbie dan Babi Abu-abu yang
bunyinya secara sepintas memiliki
kemiripan, Barbie dan Babi, Babi dan
Barbie, juga menjadi penanda atas carutmarutnya dunia dan pola pemikiran
berkaitan dengan nilai, khususnya nilai
kecantikan, keindahan, dan perempuan,
yang tampak hanya dilihat secara fisik dan
seksual.

88

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
Barbie dalam Cerpen “Bercinta
dengan Barbie” Karya Eka Kurniawan
Cerpen “Bercinta dengan Barbie”
diceritakan oleh narator di luar cerita
dengan si lelaki sebagai pusat penceritaan.
Sebagai narator yang berada di luar cerita,
narator cerpen ini bertindak sebagai yang
mahamengetahui tindakan dan pikiran
tokoh sehingga peristiwa-peristiwa pun
terjadi dengan apa adanya, tidak muncul
komentar-komentar yang cenderung
memperlihatkan subjektivitas. Teknik
seperti ini dianggap mampu mendukung
keseluruhan cerpen yang meskipun ada di
dalam koridor fantastik tetap memiliki
lapisan lain yang berkaitan dengan realitas
masyarakat umum.
Cerpen ini menceritakan
sepenggal kehidupan seorang lelaki yang
memiliki hubungan khusus dengan
boneka Barbie. Cerpen ini diawali dengan
rangkaian kalimat yang menandai
sekaligus memberi pijakan kepada
pembacanya dalam menempatkan karya
ini sebagai sebuah cerita fantastik, “Suatu
malam ia berhasil menemukan mantra
yang sanggup membuat boneka Barbie
anaknya tumbuh membesar dan hidup”
(Kurniawan, 2005:21). Melalui kutipan
tersebut, selain memperoleh pijakan awal
tentang cerita yang akan dihadapi, di
dalam pikiran pembaca juga akan muncul
asumsi tentang yang akan terjadi pada
Barbie. Barbie di dalam cerpen ini
di hidup kan t idak sekadar untuk
dihidupkan, tetapi berkaitan erat dengan
sosoknya sebagai perempuan yang
dianggap ideal, termasuk dalam hal-hal
yang berkaitan dengan seksualitas. Yang
menjadi motivasi si lelaki menghidupkan
boneka Barbie adalah keputusaannya
melihat fisik istrinya. Seperti halnya pada

89

cerpen “Barbie” karya Clara Ng, cerpen
ini juga menempatkan Barbie sebagai
perwujudan kecantikan dan perempuan
ideal, meskipun ia sesungguhnya tidak
lebih daripada boneka atau benda artifisial.
Fisik alami seorang perempuan, dalam hal
ini diwakili oleh istri si lelaki, yang
berubah dan berkembang sedemikian
rupa dianggap sebagai monster. Lebih
parah lagi, si istri dianggap sebagai
monster tidak sekadar berkaitan dengan
bentuk dan bobot tubuhnya, tetapi juga
dalam kaitannya dengan memuaskan
nafsu berahi si lelaki. Melalui bagian kecil
cerpen tersebut, tampak jelas bagaimana
posisi si istri dan Barbie, manusia dan
boneka, yang pada hakikatnya memang
berbeda tetapi dianggap setara oleh si
lelaki dan dibandingkan dalam hal
kecantikannya, bahkan Barbie sebagai
boneka memiliki kedudukan lebih tinggi
daripada si istri.
Lebih lanjut, kesan yang tampak
bahwa Barbie di dalam cerpen tidak lebih
daripada objek pelampiasan nafsu secara
jelas muncul pada bagian berikutnya
ketika si lelaki menganggap bahwa Barbie
diciptakan tidak sebatas sebagai boneka
yang menjadi teman bermain bagi anakanak perempuan, tetapi lebih daripada itu
yaitu sebagai realisasi atas selera seksual
yang memadai. Dengan begitu, keindahan
fisik Barbie seolah tidak dirancang untuk
kepuasan Barbie sendiri, atau dengan kata
lain untuk kepentingan perempuan itu
sendiri, tetapi lebih pada tujuan untuk
memuaskan hasrat lelaki pada umumnya.
Hal tersebut senada dengan yang muncul
pada cerpen “Barbie.”
Si lelaki di dalam cerpen ini pun
tidak merasa puas dengan memiliki sosok
Barbie yang hidup dan bisa diajaknya

Barbie dalam Ceprpen Indonesia

berhubungan seks kapan pun. Ia pun
berbagi Barbie dengan lelaki-lelaki lain.
Menurut si lelaki, yang dapat dianggap
mewakili lelaki pada umumnya, pada
zaman ini banyak lelaki yang menderita
karena fisik istri mereka. Fisik alamiah
perempuan yang menjadi istri mereka
dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan
bisa berpengaruh buruk pada kehidupan
mereka. Perempuan lagi-lagi dinilai
berdasarkan fisiknya, dan perempuan
bernilai tinggi apabila ia memiliki fisik
seperti Barbie. Selain itu, Barbie yang
dapat dianggap mewakili perempuan pada
umumnya, dianggap tidak lebih daripada
komoditas yang dapat diperdagangkan,
dihargai dengan materi berdasarkan
kemampuan mereka melayani dan
memuaskan lelaki, tidak lagi dilihat
berdasarkan kepribadian atau sikapnya.
Hal tersebut semakin nyata pada bagian
selanjutnya yang memperlihatkan bahwa
para istri dan perempuan pada umumnya
di dalam kehidupan lelaki seolah tidak ada
bedanya dengan barang atau materi.
Mereka ada untuk dimiliki, dipakai, lalu
bisa ditinggalkan atau dibuang begitu saja
ketika lelaki bosan.
Meskipun pada awalnya bisnis si
lelaki tampak menguntungkan, “Bercinta
dengan Barbie” pada akhirnya mendapat
reaksi tajam dari para perempuan yang
menjadi istri para lelaki pemakai jasa
gadis-gadis Barbie. Hal tersebut semakin
memperkuat posisi Barbie dan perempuan
sebagai materi belaka. Bukan hanya lelaki
yang menganggap demikian, para
perempuan pun ternyata menganggap
Barbie sebagai materi. Hal tersebut
tampak pada peristiwa pembunuhan
gadis-gadis Barbie yang dilakukan oleh
para istri yang cemburu dan marah atas
perilaku suami mereka, para istri seolah

tidak lagi menghargai kehidupan gadisgadis Barbie. Gadis-gadis Barbie memang
berasal dari boneka mati, tetapi pada saat
itu mereka telah memiliki kehidupan dan
tentu saja dapat dianggap dapat
merasakan hal-hal yang terjadi pada
mereka. Lebih lanjut, di sisi lain, peristiwa
pembunuhan perempuan-perempuan
Barbie dapat dianggap sebagai peristiwa
pembunuhan atas idealisasi kecantikan
dan perempuan, seperti yang juga terdapat
pada cerpen “Barbie.” Barbie sebagai
simbol kecantikan dan perempuan ideal
terbantai habis oleh para istri sebagai
simbol kecantikan dan perempuan real.
Peristiwa pembunuhan massal
yang terjadi pada gadis-gadis Barbie
tersebut ternyata tidak membuat si lelaki
menghentikan aktivitasnya untuk
memberikan kepuasan kepada orangorang secara seksual dengan jasa para
boneka. Pada bagian tersebut juga terjadi
pergeseran bahwa bukan hanya lelaki
yang memiliki hasrat bercinta dengan
Barbie sebagai perempuan berfisik ideal,
tetapi para perempuan pun memiliki
berahi untuk berbagi ranjang dengan Ken
sebagai lelaki berfisik ideal. Ken dalam
kenyataannya diciptakan sebagai
pasangan Barbie, dan oleh karena itu ia
memiliki fisik yang setara dengan Barbie.
Barbie dan Ken adalah sosoksosok ideal yang artifisial, kecantikan dan
keindahan mereka sepenuhnya bersifat
fisikal dan sama sekali tidak berkaitan
dengan aspek kepribadian atau pun moral.
Dengan kegagalan kedua yang dialami si
lelaki dalam mempertahankan
kelangsungan bisnisnya, cerita
tampaknya bergerak ke arah usaha untuk
tidak lagi menilai manusia berdasarkan
fisiknya saja. Hal tersebut semakin
tampak pada bagian ini, “Ia tak punya

90

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
jalan keluar bagi orang-orang malang itu.
Dengan putus asa ia menutup tokonya [...]
Semua sudah berakhir, katanya kepada
para pelanggan. “Hadapilah kenyataan,
tidurlah dengan istri-istri gembrot kalian,”
[...] “Hadapilah kenyataan, bercintalah
dengan suami-suami kalian, meski
tombak mereka tak juga mau bangun”
(Kurniawan, 2005:27). Pada kutipan
tersebut, meskipun si lelaki menyatakan
“hadapilah kenyataan”, pernyataannya
tampak tidak tulus dan seolah masih
memendam kekesalan atas kegagalannya.
Ia meminta para pelanggannya kembali ke
realitas dan melupakan manusia-manusia
boneka rupawan, tetapi diikuti dengan
menyebut “istri gembrot” dan “meski
tombak mereka tak juga mau bangun.”
Arah yang dibangun cerita untuk kembali
ke realitas dan menerima para suami dan
istri apa adanya, kembali berbelok dengan
munculnya peristiwa di muara cerita, “Ide
buruknya seketika muncul, jahat dan
tanpa ampun. Ia membacakan mantra itu
dan mengubah istrinya menjadi boneka. Ia
mengambil boneka-berwujud-istrinya itu
dan memberikannya kepada si anak [...] Si
anak segera menerima boneka itu namun
segera membantingnya ke lantai dan
menjerit. Gak mau, ini boneka buruk
muka, aku mau Barbieku [...] Boneka sang
istri ia buang ke tong sampah sambil
berkata, “Bahkan anak-anak pun tak
menyukainya” (Kurniawan, 2005:28).
Pada kutipan tersebut tampak bagaimana
si lelaki tidak kuasa memenuhi katakatanya sendiri untuk kembali ke realitas.
Ia tetap menganggap bahwa fisik ideal
Barbie jauh lebih berharga dibandingkan
istrinya. Ia pun menyihir istrinya menjadi
boneka dan memberikannya kepada
anaknya untuk kemudian dibanting

91

dengan alasan “boneka buruk muka.” Si
istri pun, sang perempuan yang
sesungguhnya, berakhir di keranjang
sampah. Bahkan di akhir cerita hidupnya
pun, perempuan tidak mati lalu dikubur,
tetapi hanya serupa barang bekas yang
rusak dan menjadi konsumsi keranjang
sampah untuk digantikan oleh perempuan
Barbie.
Barbie dalam Cerpen “Barbie dan
Monik” Karya Teguh WinashoA. S.
Cerpen “Barbie dan Monik”
dibuka dengan rangkaian peristiwa
seorang perempuan bernama Lasmi yang
gelisah memikirkan Puput anaknya yang
sedang sakit, dan pada saat itu ia juga
membutuhkan uang pengobatan. Cerpen
ini berbeda dengan “Barbie” dan
“Bercinta dengan Barbie” karena ia
sepenuhnya ada di dalam koridor realisme.
Cerpen ini diceritakan oleh narator di luar
cerita dengan Lasmi dan Mantosam
sebagai fokus penceritaan yang muncul
bergantian. Pergantian fokus ini
berimplikasi pada pembentukan suasana
di sekeliling Puput yang sakit, yang dilihat
melalui perspektif Lasmi sebagai ibu yang
begitu mengkhawatirkan Puput, dan
Mantosam yang tidak terlalu peduli dan
justru asyik dengan urusannya sendiri.
Dengan bergerak di dalam koridor
realisme, cerpen ini juga tampak lebih
tegas dalam mengusung ironi, khusunya
di dalam kehidupan masyarakat kelas
menengah ke bawah.
Kegelisahan Lasmi berkaitan
dengan keterbatasan dana untuk
pengobatan anaknya semakin menjadi
ketika ia teringat akan Mantosam yang tak
kunjung pulang memenuhi janji. Pada
bagian tersebut boneka Barbie tampak
sekadar disebut sebagai boneka, bukan

Barbie dalam Ceprpen Indonesia

sebagai sesuatu yang memiliki fungsi lain
yang lebih signifikan di dalam cerita.
Meskipun demikian, pada bagian-bagian
berikutnya posisi boneka Barbie akan
berubah. Hal tersebut mulai tampak pada
bagian berikut ini, “Aroma alkohol
mengendap dalam kamar lima kali empat
meter […] Laki-laki itu, Mantosam,
menggosok-gosok mata baru bangun tidur.
Jengah, menggerak-gerakkan tubuhnya
yang terasa pegal Mantosam melirik
perempuan di sebelahnya […] Perempuan
itu, Monik, selimutnya tersingkap hingga
p a ha ny a y a n g p u t i h m e n a nt a n g
Mantosam. Berkali-kali Mantosam
menelan ludah, tak kuat menahan hasrat”
( Wi n a r s ho , 20 0 4) . P a d a ba g i a n
sebelumnya telah diketahui bahwa
Mantosam adalah suami Lasmi dan ayah
Puput, tetapi pada kutipan tersebut di atas
muncul fakta bahwa Mantosan
mempunyai hubungan dengan perempuan
lain bernama Monik. Seperti halnya yang
terjadi pada tokoh lelaki di dalam cerpen
“Bercinta dengan Barbie”, kemunculan
p e r i s t i w a - p e r i s t i w a ya n g s a l i n g
mendukung dan memperkuat asumsi awal
seperti ini akan mengarahkan pembaca
pada pemahaman bahwa Barbie di dalam
cerpen tersebut memiliki kedudukan yang
lebih daripada sekadar boneka mainan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Barbie di
dalam cerpen ini dapat dianggap memiliki
dua wujud, yaitu boneka Barbie yang
sebenarnya yang diidam-idamkan Puput,
dan Monik sebagai Barbie mainan
Mantosam.
Mantosam pun pada akhirnya
mengetahui yang sebenarnya terjadi pada
anaknya, dan menyadarai kelalaiannya
sebagai seorang ayah yang telah
menjanjikan boneka Barbie untuk Puput,
“Tapi tiba-tiba Mantosam gugup,

menunduk, sembari menyembunyikan
boneka barbienya. Tampak di atas meja
boneka barbie cantik ukuran besar.
Mantosam tahu siapa yang membawa
boneka barbie itu. Darah Mantosam
kembali berdesir. Tapi selain menunduk,
Mantosam nyaris tak memiliki ruang
untuk melepas pandang matanya di kamar
yang mulai terasa panas itu. Mantosam
tiba-tiba teringat Monik, boneka barbie
besarnya yang juga tak kalah cantik…
(Winarsho, 2004). Kehadiran Mantosam
di rumah sakit menghadirkan perasaan
yang saling bertolak belakang. Di satu sisi
ia tampak sebagai sosok ayah yang
bertanggung jawab, karena meskipun
terlambat ia pada akhirnya bisa memenuhi
janjinya membelikan boneka Barbie
untuk Puput. Di sisi lain ia tidak lebih
daripada lelaki hidung belang yang
dengan begitu saja membagi hati untuk
perempuan lain bernama Monik.
Kedudukan Barbie di dalam
cerpen ini pun tampak kontradiktif. Di
satu sisi ia adalah semacam kebaikan yang
tersembunyi di dalam wujud boneka mati,
yang kehadirannya bisa mendatangkan
kegembiraan dan meringankan
penderitaan seorang anak bernama puput.
Di sisi lain ia adalah metafora dari sosok
perempuan yang kehadirannya tidak lebih
daripada sebentuk fisik yang berfungsi
sebagai pemuas hasrat seksual, semacam
barang yang dinilai hanya berdasarkan
kegunaannya, bukan berdasarkan
hakikatnya sebagai manusia.
Sikap kikuk Mantosan yang batal
menyerahkan boneka Barbie yang
dibelinya untuk Puput karena melihat
boneka Barbie yang lebih besar pun dapat
dipahami sebagai sebuah cara menilai
sesuatu hanya berdasarkan kuantitas dan
bentuk luarnya, berdasarkan fisiknya.

92

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
Terlepas dari perasaan bersalahnya karena
sempat menelantarkan anak dan istrinya,
bagi Mantosan yang lebih penting adalah
besar-kecilnya pemberian, bukan makna
pemberian itu sendiri yang bisa
mendatangkan seulas senyum pada bibir
anaknya.
Barbie: Konstruksi Kecantikan dan
PerempuanArtifisial/Fisikal/Ideal
Sebagai salah satu ikon budaya
populer, boneka Barbie memiliki
jangkauan yang sangat luas. Barbie tidak
hanya berkedudukan sebagai sebuah
komoditas, baik sebagai boneka itu
sendiri maupun menyatu dengan produkproduk lainnya. Barbie telah menjelma
sebagai sosok yang mewarnai kehidupan
manusia selama kurang lebih setengah
abad terakhir. Boneka perempuan
berambut pirang dan sejumlah boneka lain
yang berkedudukan sebagai teman Barbie
adalah produksi Mattel Inc. yang telah
mendedahkan sejumlah konsep tentang
perempuan ideal, khususnya secara fisik.
Kemunculan Barbie di dalam sejarah
dunia telah memengaruhi pembentukan
gambaran tentang perempuan ideal:
berwajah cantik, bertubuh tinggi dan
ramping, berambut pirang, berpakaian
bagus dengan model-model mutakhir.
Cerpen “Barbie” karya Clara Ng,
“Bercinta dengan Barbie” karya Eka
Kurniawan, dan “Barbie dan Monik”
karya Teguh Winarsho A. S. memiliki
caranya masing-masing dalam
menghadirkan Barbie. Ketiga cerpen
tersebut juga bergerak pada koridor genre
prosa yang berbeda, “Barbie” dan
“Bercinta dengan Barbie” berupa cerita
fantastik, sedangkan “Barbie dan Monik”
berupa cerita realis.
Di dalam ketiga cerpen tersebut,

93

dalam perspektif Riffeterrian, modelmodel yang muncul memiliki persamaaan,
yaitu “Barbie,” “seksualitas,”
“kesempurnaan fisik,” “komoditas”, dan
“dunia anak-anak”. Barbie di dalam
ketiga cerpen tersebut secara fisik hadir
seperti wujud Barbie yang sebenarnya,
yang memiliki kesempurnaan fisik yang
bahkan tidak mungkin disamai oleh
perempuan mana pun. Barbie tidak lebih
daripada perwujudan kecantikan dan
perempuan artifisal karena ia adalah
boneka. Barbie juga hadir sebagai simbol
seksualitas perempuan sekaligus
komoditas. Seksualitas Barbie bukanlah
seksualitas yang apa adanya, tetapi
seksualitas yang sepenuhnya
diasosiasikan dengan pemenuhan hasrat
para lelaki. Bukan Barbie yang
memperoleh kepuasan seksual dari
berhubungan seks, tetapi lelakilah yang
mendapatkannya. Seksualitas Barbie pun
adalah seksualitas yang bernilai jual,
sebuah komoditas, sesuatu yang ada atau
tidak adanya tergantung pada permintaan
pasar.
Dunia anak-anak yang pada
kenyataannya memang dunia yang
mendukung keberadaan Barbie juga
muncul di dalam ketiga cerpen tersebut
dengan intensitas yang berbeda. Pada
cerpen “Barbie” dunia anak-anak
diwujudkan dalam bentuk toko mainan
tempat Barbie dan Babi Abu-abu hidup,
pada cerpen “Bercinta dengan Barbie”
dunia anak-anak muncul dalam wujud
tokoh anak si lelaki yang darinya ia
mengawali obsesinya memiliki Barbie
hidup, dan pada cerpen “Barbie dan
Monik” dunia anak-anak dihadirkan
melalui sosok Puput yang menjadi pusat
perhatian Lasmi sebagai ibunya, dan

Barbie dalam Ceprpen Indonesia

mengingkan sebuah boneka Barbie dari
ayahnya. Dunia anak-anak di dalam
ketiga cerpen tersebut tampak tidak
memiliki peran besar dalam membangun
cerita dan makna di baliknya. Dunia anakanak hanya dijadikan semacam latar
belakang bagi Barbie dan para orangtua
untuk bermain-main dengan kecantikan
artifisial, fisikal, dan sekaligus ideal.
Keluguan anak-anak dalam menilai
sesuatu pun tampak cemar di dalam ketiga
cerpen tersebut. Anak-anak mulai
membuat standar tentang yang baik dan
yang buruk berdasarkan standar yang
lebih besar yang secara tidak disadari
telah didedahkan ke dalam pikiran mereka.
Mereka sejak dini telah belajar menilai
malalui aspek-aspek fisikal yang kasat
mata.
Simpulan
Sebagai salah satu ikon budaya
p o p u l e r, B a r b i e t i d a k h a n y a
berkedudukan sebagai sebuah komoditas,
baik sebagai boneka itu sendiri maupun
menyatu dengan produk-produk lainnya.
Boneka perempuan berambut pirang
produksi Mattel Inc. ini telah
mendedahkan sejumlah konsep tentang
perempuan ideal, khususnya secara fisik.
Kemunculan Barbie di dalam sejarah
dunia telah memengaruhi pembentukan
gambaran tentang perempuan ideal:
berwajah cantik, bertubuh tinggi dan
ramping, berambut pirang, berpakaian
bagus dengan model-model mutakhir.
Barbie di dalam cerpen “Barbie”
karya Clara Ng, “Bercinta dengan Barbie”
karya Eka Kurniawan, dan “Barbie dan
Monik” karya Teguh Winarsho A. S. hadir
seperti wujud Barbie yang sebenarnya,
yang memiliki kesempurnaan fisik yang
bahkan tidak mungkin disamai oleh

perempuan mana pun. Barbie tidak lebih
daripada perwujudan kecantikan dan
perempuan artifisal. Barbie juga hadir
sebagai simbol seksualitas perempuan
sekaligus komoditas. Seksualitas Barbie
bukanlah seksualitas yang apa adanya,
tetapi seksualitas yang sepenuhnya
diasosiasikan dengan pemenuhan hasrat
para lelaki. Seksualitas Barbie pun adalah
seksualitas yang bernilai jual, sebuah
komoditas, sesuatu yang ada atau tidak
adanya tergantung pada permintaan pasar.
Ketiga cerpen yang sama-sama
hadir pada periode 2000-an tersebut,
berdasarkan caranya masing-masing
dalam mengusung Barbie, dapat dianggap
sebagai representasi kondisi sosial budaya
masanya. Sudah bukan menjadi rahasia
bahwa para perempuan tampak begitu
memuja kecantikan dan keindahan fisikal,
dan para lelaki menilai perempuan
pertama-tama dari penampilan luarnya.
Kecantikan dan perempuan yang
dianggap ideal cenderung dinilai pertamatama dari segi fisik dan menggunakan
standar Barat, dengan kata lain kecantikan
dan perempuan ideal adalah yang seperti
Barbie. Ketiga cerpen tersebut tampak
sebagai kritik atas kondisi yang demikian,
baik dihadirkan secara terbuka maupun
melalui simbol-simbol dan ironi.
DAFTAR PUSTAKA
Fokkema, D. W. dan Elrud Kunne-Ibsch.
1998. Teori Sastra Abad Kedua
Puluh, terj. J. Praptadiharja dan
Kepler Silaban. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Genette, Gerard. 1986. Narrative
Discourse. Oxford: Basil

94

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
Blackwell Ltd.
Iser, Wolfgang. 1980. The Implied Reader.
Baltimore dan London: The Johns
Hopkins University Press.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward An
Aesthetic of Reception.
Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Juhl, P. D. 1980. Interpretation: An Essay
in the Philosophy of Literary
Criticism. Princeton: Princeton
University Press.
Kurniawan, Eka. 2005. “Bercinta dengan
Barbie,” Gelak Sedih dan Ceritacerita Lainnya. Jakarta: Grmedia
Pustaka Utama.
Ng, Clara. 2008. “Barbie,” Malaikat Jatuh
dan Cerita-cerita Lainnya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of
Poetry. Bloomington: Indiana
University Press.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra,
terj. Suminto A. Sayuti.
Yogyakarta:Adicita Karya Nusa.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Winarsho, Teguh. 2004. “Barbie dan
Monik”, Kompas. 17 Oktober.

95

”WANITA PUBLIK” DALAM KUASA NEGARA:
PROSTITUSI PADA PERIODE KOLONIAL DI SURABAYA
Gayung Kasuma*)
Abstract
Footsteps of prostitution in Surabaya could be traced back related to its
position as main road of trade in eastern Indonesia. The development in this
area served as primary destination for job searchers from rural areas. In
addition, in the period of colonialism government by Netherlands, it has
turned into a notable port city, naval basis, army basis and final destination
of railroad. It was not surprising, thereby; that if there were many
prostitution activities rapidly growth in various places that became the
center activities areas. The development of prostitution activities in
Surabaya at colonialism period was supported also through new law by the
Holland government in 15 July 1852. This law was agreed on sex
commercialization, essentially allowed the organized practice of
prostitution in Hindia Belanda by requirements and under closed
supervision.
Keywords: 'Public Women', Prostitution, Surabaya.

Pendahuluan
Sistem negara dan penguasanya
identik dengan kekuatan yang dapat
mengatur segalanya. Rakyat adalah
bagian dari objek kekuasaan tersebut,
tanpa dapat berbuat banyak dalam hal
kebijakan dan mengartikulasikan
kepentingannya. Periode kolonial
Belanda merupakan rezim imperialisme
dengan berbagai mekanisme dan sistem
penyelenggaraan telah merenggut hakhak kebebasan dan demokrasi. Politik
liberal dan masuknya kapitalisme tidak
memakmurkan masyarakat secara
keseluruhan. Kesejahteraan yang tidak
dapat dinikmati oleh kalangan tertentu
berdampak pada gejolak sosial. Akibat
terdesak secara ekonomi, ada yang
menjadi pencuri, pelacur, (Lombard:
2000) serta banyak keluarga pribumi yang

mempunyai anak wanita secara tidak
langsung menjualnya kepada laki-laki
Belanda untuk dijadikan gundik atau nyai.
Keberadaan gundik atau nyai bagi orang
Eropa lebih menguntungkan
dibandingkan pergi ke tempat prostitusi
(Abeyasekere: 1987). Sisi lainnya yang
mendorong tindakan pergundikan dan
prostitusi tersebut disebabkan pada masa
itu permintaan pelayanan seks (Hull:
1997) meningkat sejak kedatangan lakilaki Belanda yang tanpa istri atau belum
menikah (Soekiman: 2000) ke pulau Jawa.
Bentuk dan perilaku prostitusi
menurut berbagai pendapat meningkat
drastis pada abad ke-19 terutama setelah
1870 sampai menjelang awal abad ke-20
ketika ekonomi kolonial dibuka untuk
modal swasta. Ekonomi kolonial untuk
modal swasta berupa pengembangan

*)

Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Kampus B, Jl. Dharmawangsa
Dalam Surabaya 60286, e-mail:gekasuma@yahoo.com

96

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
perkebunan, terutama di Jawa Barat
yang penduduknya jarang, industri gula
di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang
memerlukan banyak buruh lelaki dari
daerah lain. Pengembangan sektor
perkebunan diringi juga pembuatan jalan
dan rel kereta api yang menghubungkan
desa dan kota serta semua areal
perkebunan yang dihuni oleh sejumlah
besar buruh yang tidak tetap. Para buruh
tersebut tidak membawa keluarga
mereka, dan dengan uang yang dimiliki
mencari wanita di wilayah sekitar tempat
tinggalnya. Beberapa tulisan
menjelaskan hal ini, pada tahun 1906
Residen Batavia melaporkan bahwa
pelacuran di Krawang meningkat ketika
dibangun rel kereta api antara Krawang
dan Padalarang (Soekiman: 2000, Hull:
1997). Begitu juga dengan
pembangunan jalan kereta api di wilayah
Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung,
Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya tahun
1884 terjadi prostitusi. Lokalisasi ini
tidak hanya melayani para pekerja buruh,
tetapi juga tiap kota besar yang dilalui
jalan kereta api, penumpang
berdatangan ada yang tinggal di
penginapan dan sekaligus juga
menyediakan pelayanan seks (Jones,
1995).
Merujuk kenyataan di atas,
perubahan yang semakin pesat bagi
masyarakat Surabaya dan juga tata ruang
kotanya sejak masa kolonial menjadikan
kota tersebut sebagai tujuan para pencari
kerja dari daerah pedesaan. Terjadinya
urbanisasi penduduk dan buruh kerja

menuju ke Surabaya sejak adanya perluasan
areal perkebunan swasta tahun 1870-an,
per kem ba ngan in dus t ri da n j al ur
transportasi berdampak berkembangnya
praktek-praktek prostitusi. Pendapat ini
didukung oleh John Igleson (1986) bahwa
sampai pertengahan abad ke-19 para
“wanita publik”1) di Surabaya diijinkan naik
ke kapal milik angkatan laut, dengan
pertimbangan bahwa lebih baik mengawasi
awak kapal melakukan aktivitas pribadinya
tetap berada di dalam kapal daripada
membiarkan mereka berkeliaran di dalam
kota untuk mencari wanita penghibur.
Akibatnya banyak kapal barang dan kapal
angkatan laut yang memasuki pelabuhan
Surabaya dengan segera dikelilingi oleh
perahu-perahu kecil yang berisi para
pelacur untuk mencari laki-laki yang
membutuhkan (John Ingleson, 1986: 126).
Berbagai praktek-praktek prostitusi di kota
Surabaya terus bermunculan, sejalan
dengan pembangunan dan pertumbuhan
tata ruang kota yang pesat pada masa
kolonial sampai periode akhir
kekuasaannya.

Jejak Prostitusi Periode Akhir Kolonial
di Surabaya
“Tandjung Perak Mas, Kapale Kobong.....
Monggo Pinarak Mas, Kamare
Kosong...” (Dukut Imam W, 2002: 433)

Ungkapan di atas melukiskan
bagaimana merebaknya dunia prostitusi di
Surabaya yang telah berkembang pesat dari
masa kolonialisme sampai kontemporer.

1) Pada tanggal 15 Juli 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi
industri seks. Pada waktu itu istilah Wanita Tuna Susila (WTS) adalah “wanita publik.” Wanita ini menjual
atau menyewakan tubuhnya untuk kenikmatan orang lain dengan mengharapkan imbalan uang atau barang
berharga lainnya.

97

“Wanita Publik” dalam Kuasa Negara

Jejak prostitusi di Surabaya dapat
ditelusuri terkait dengan posisinya
sebagai jalur utama perdagangan di
Indonesia bagian Timur, perkembangan
tersebut menjadi tujuan para pencari kerja
dari pedesaan. Selain itu, pada periode
pemerintahan kolonialisme Belanda kota
ini berkembang sebagai kota pelabuhan
terkemuka, pangkalan angkatan laut,
pangkalan para tentara garnisun dan
sebagai daerah tujuan akhir lintasan kereta
api. (Hull, 1997: 7). Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila munculnya
aktivitas prostitusi di berbagai tempat.
Bentuk-bentuk prostitusi yang
berkembang pesat di masyarakat dapat
dikategorikan terselebung dan legal
(resmi). Prostitusi terselebung yang
terjadi adalah pergundikan, nyai, selir dan
sejenisnya. Sementara lokalisasi yang
resmi, adanya rumah bordil dan tempatt e m p a t p e l a c ur a n . S e b a g a i m a n a
prakteknya, keduanya sama-sama
memiliki unsur keterkaitan dengan watak
moral dan kepribadian pelaku. Budaya
asing yang datang juga memberikan
kontribusi besar terhadap perubahan itu
dengan gaya hidup, pergaulan dan cara
berpakaian yang semakin terbuka bagi
wanita pribumi.
Pada tanggal 15 Juli 1852,
pemerintah mengeluarkan peraturan baru
yang menyetujui komersialisasi industri
seks, tetapi dengan serangkaian aturan
untuk menghindari tindak kejahatan yang
timbul akibat dari aktivitas prostitusi ini.
Pada mulanya peraturan ini
diperuntukkan pada 3 kota besar di Jawa;
Batavia, Semarang dan Soerabaya.
Selanjutnya menyebar ke seluruh
daerah/kepulauan, termasuk Padang dan
Ambon.

Peraturan 15 Juli 1852 berbunyi
antara lain; bahwa wanita publik diawasi
secara langsung dan ketat oleh polisi.
Semua wanita publik yang terdaftar
diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan
secara rutin menjalani pemeriksaan
kesehatan untuk mendeteksi adanya
panyakit syphilis atau penyakit kelamin
lainnya. Apabila ditemukan seorang
wanita berpenyakit kelamin, harus segera
menghentikan prakteknya dan harus
diasingkan dalam suatu lembaga yang
didirikan khusus untuk menangani
perempuan yang terkena penyakit
tersebut.
Untuk memudahkan polisi dalam
menangani industri seks, para wanita
publik dianjurkan sedapat mungkin
melakukan aktivitasnya di rumah-rumah
bordil. Peraturan tersebut ternyata
membingungkan para pelaku di industri
seks, termasuk juga pemerintah sendiri.
Dampak dari itu, tahun 1858 disusun
penjelasan berkaitan dengan peraturan
tersebut dengan maksud untuk
menegaskan bahwa peraturan tanggal 15
Juli 1852 tidak diartikan sebagai
pengakuan bordil sebagai lembaga
komersil. Sebaliknya rumah, rumah
bordil diidentifikasi sebagai tempat
konsultasi medis untuk membatasi
dampak negatif adanya pelacuran.
Meskipun perbedaan “pengakuan” dan
“persetujuan” sangat jelas bagi aparat
pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi
masyarakat umum dan wanita publik itu
sendiri. Tanggungjawab pengawasan
rumah bordil dialihkan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah, sesuai
dengan Memory van Toelichting tanggal 1
Januari 1873.
Hal ini membuktikan bahwa

98

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 8, No.2
Juli - Desember 2010: 84 - 186
peraturan pemerintah tahun 1852 secara
efektif dicabut digantikan dengan
peraturan penguasa setempat. Pengalihan
tanggungjawab pengawasan rumah bordil
tersebut menghendaki upaya tertentu agar
setiap lingkungan pemukiman membuat
sendiri peraturan untuk mengendalikan
aktivitas prostitusi setempat. Aktivitas
pelacuran terus meningkat secara drastis
meskipun telah dikeluarkan banyak
peraturan.
Sejak diadakannya pembenahan
hukum Agraria pada tahun 1870,
membuka perekonomian negara jajahan
terbuka bagi para penanam modal swasta.
(Djoko Utomo, 2001: xix-xxi). Juga
masyarakat telah mengenal sistem
monetisasi, alat pembayaran dan transaksi
berupa uang resmi dari pemerintah. Hal
ini juga memudahkan para buruh
perkebunan dan pekerja lainnya dapat
menggunakan gaji atau upah mereka
untuk kebutuhan hidup dan hiburan serta
bagi yang masih bujangan pergi ke
tempat-tempat pelacuran.
Pembangunan jalan kereta api
yang menghubungkan kota-kota di Jawa
seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung,
Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya pada
tahun 1884 telah menyuburkankan
berkembangnya pelacuran. Keberadaan
wanita penghibur seiring dengan
pembangunan tempat-tempat penginapan,
konstruksi jalan kereta api dan fasilitas
lainnya. Perkembangan selanjutnya
tidaklah mengherankan bahwa banyak
kompleks pelacuran tumbuh di sekitar
stasiun kereta api hampir di setiap kota.
Contohnya di Bandung, kompleks
pelacuran berkembang di beberapa lokasi
di sekitar stasiun kereta api termasuk
Kebon Jeruk, Kebon Tangkil, Sukamanah

99

dan Saritem. Di Yogyakarta kompleks
pelacuran muncul di daerah Pasar
Kembang, Mbalokan, dan Sosrowijayan.
Di kota Surabaya, lokalisasi
pelacuran berada di kawasan lampu merah
pertama adalah dekat stasiun Semut dan
dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes
dan Bangunsari. Beberapa lokasi
kompleks pelacuran tersebut sampai
sekarang masih beroperasi, walaupun
keberadaan tempat-tempat penginapan
atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta
api juga telah berubah. (Hull, 1997: 7).
Laporan dari John Ingleson tidak
jauh beda dengan Terence H. Hull maupun
Peter Boomgaard yang menggambarkan
bagaimana prostitusi di Surabaya sangat
kompleks dan popular. Sebagai kota
kedua terbesar di Indonesia setelah
Jakarta, dan sebagai jalur perdagangan
utama di Indonesia Timur.
Akibat dari perkembangan kota ini,
pada abad ke-19 Surabaya menjadi
terkenal karena aktivitas pelacurannya.
Kondisi tersebut juga dinyatakan Ingleson
dalam tulisannya. Banyak kapal barang
dan kapal angkatan laut yang memasuki
pelabuhan dengan segera dikelilingi
perahu-perahu kecil berisi para pelacur
setempat yang mencari pelanggan baru.
Hingga pertengahan abad ke-19 para
pelacur diperbolehkan naik ke kapal milik
angkatan laut dengan pertimbangan
bahwa lebik baik mengawasi awak kapal
yang mempunyai aktivitas pribadi di
dalam kapal daripada membiarkan
mereka berkeliaran di dalam kota untuk
mencari para wanita penghibur. Menurut
catatan resmi sejarah kota Surabaya
dinyatakan bahwa pada tahun 1864
terdapat 228 wanita yang mempunyai
profesi sebagai pelacur di bawah

“Wanita Publik” dalam Kuasa Negara

pengawasan 18 pemilik rumah bordil.
An