PENGAWASAN BUKU KEJAGUNG 18.08.2017. pdf

2017

RAPAT PERSIAPAN PENYUSUNAN RPP, KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

oleh Bambang Trimansyah

1

DUNIA perbukuan Indonesia memasuk babak baru dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 3
Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan sebagai inisiatif dari DPR. Sistem perbukuan didefinisikan
sebagai tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungiawabkan secara menyeluruh dan terpadu,
yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik,
pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku. Adanya poin pengawasan buku
tidak terlepas dari dinamika dalam perumusan RUU terkait terbitnya buku-buku berkonten tidak
patut yang meresahkan masyarakat, bahkan membahayakan negara.
Sebelumnya, Indonesia pernah memiliki UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan
terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum sebagai dasar
dilakukannya pengawasan buku oleh Kejaksaan Agung. Namun, pada 13 Oktober 2010, Mahkamah
Konstitusi melalui putusan Nomor 6-13-20/PUU-VII/2010 telah membatalkan UU tersebut karena
dianggap melanggar kebebasan berkspresi serta bertentangan dengan UUD 1945. Walaupun
demikian, MK tidak mengabulkan pernyataan inskonstitusional terhadap Pasal 30 ayat (3) terhadap

UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Frasa “pengawasan” dalam Pasal 30 ayat (3), menurut

majelis, tidak boleh dimaknai sebagai “pengamanan” atau “pelarangan” sebagaimana tertera dalam
Pasal 1 ayat (1) UU No 4/PNPS/1963. Pengawasan dapat merupakan penyelidikan, penyidikan,

penyitaan, penggeledahan, penuntutan dan penyidangan yang kesemuanya dalam konteks due
process of law.
Atas dasar terjadinya fenomena terbitnya buku-buku berkonten tidak patut yang menjadi
kasus berulang, bab Pengawasan (terhadap buku) kembali dibunyikan di dalam UU No. 3 Tahun 2017
tentang Sistem Perbukuan sebagai berikut.

2

1)
2)
3)
4)

5)


BAB XI PENGAWASAN
Pasal 69
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku perbukuan, dan masyarakat
melakukan pengawasan atas Sistem Perbukuan.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjamin agar
Sistem Perbukuan terselenggara dengan baik.
Kejaksaan Republik Indonesia turut melakukan pengawasan terhadap substansi
Buku untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman umum.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip
transparansi dan akuntabilitas publik dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi
dan berkreasi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Di dalam penjelasan Pasal 69 tersebut diterangkan bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh
Kejaksaan Republik Indonesia dimaksudkan sebagai pencegahan terjadinya tindak pidana dalam
rangka mendukung penegakan hukum, baik preventif maupun edukatif di bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan sehingga tercipta ketertiban dan ketenteraman
umum. Dengan demikian, keterlibatan Kejaksaan RI menjadi penting dalam penerbitan dan
peredaran buku-buku di Indonesia, baik buku terbitan lokal maupun terbitan internasional.

Makalah ini menjadi pengantar pembahasan lebih lanjut tentang pengawasan terhadap bukubuku yang dilakukan oleh Kejaksaan RI bersama-sama dengan unsur pemerintah lainnya dan
masyarakat. Penulis mengistilahkan buku-buku berbahaya dengan frasa ‘buku berkonten tidak
patut’ yang dampaknya membahayakan baik bagi masyarakat maupun bagi negara. Untuk itu, perlu
didalami berbagai latar belakang munculnya buku-buku berkonten tidak patut tersebut.

Munculnya penolakan masyarakat terhadap buku anak yang memuat konten tidak patut pada akhir
Februari 2017 lalu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, seperti KPAI, Kemenko PMK,
Kemendikbud, dan juga Kemenkominfo. Kasus buku berkonten tidak patut ternyata telah terjadi
berkali-kali dalam satu dekade terakhir ini yang menunjukkan adanya kecenderungan pelanggaran
dan pengabaian terhadap norma yang dilakukan oleh para pelaku perbukuan, baik disengaja maupun
tidak disengaja. Di sisi lain, lemahnya pengawasan juga menjadikan aktivitas penerbitan buku pada
beberapa kasus menunjukkan tidak terkontrol dengan baik.
Sebagai upaya preventif terhadap terbitnya buku-buku berkonten tidak patut, terutama yang
digunakan sebagai buku pendidikan (teks/nonteks) pada satuan pendidikan maka Pusat Kurikulum
dan Perbukuan di bawah Balitbang Kemendikbud telah membentuk Satuan Kerja Pencegahan Buku
Berkonten Tidak Patut. Beberapa diskusi telah dilakukan terkait hal ini yang memunculkan gagasan
perlunya sebuah sistem pengawasan sebagai bagian dari sistem perbukuan.

3
Asas kepatutan sebuah konten buku termasuk dalam ranah penilaian editing terhadap naskah

buku, di samping asas lainnya, yaitu 1) keterbacaan; 2) ketaatasasan; 3) kebahasaan; 4) kejelahan
gaya bahasa (penyajian); 5) ketelitian data dan fakta; dan 6) kelegalan (legalitas). Segi kepatutan jika
dilanggar oleh pencipta ataupun pengembang konten (substansi) maka dapat menimbulkan dampak
berbahaya bagi para pembaca, termasuk konsekuensi hukum bagi para pelakunya.
Ketidakpatutan sebuah buku dapat dinilai dari muatannya (konten) yang ditujukan untuk
pembaca sasaran tertentu. Selain itu, ketidakpatutan juga dapat dinilai dari penggunaannya. Dalam
konteks makalah ini yang akan disoroti adalah asas kepatutan buku dari sisi kontennya.
Kategori konten tidak patut yang harus dihindarkan dalam sebuah naskah buku, yaitu
1. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap agama, kitab suci, atau tokoh suci dalam agama;
2. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap suku, ras, atau golongan tertentu (SARA);
3. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap simbol-simbol negara;
4. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap profesi tertentu;
5. penyajian pornografi dan sejenisnya, termasuk penyimpangan seksual;
6. penyajian ekstremisme, sadisme, dan radikalisme;
7. penyajian bias gender;
8. penyajian dan penyebaran berita bohong (hoax), fitnah, dan ujaran kebencian;
9. penyajian dan penyebaran propaganda/ideologi/paham berbahaya bukan dalam konteks kajian
akademis;
10. penyajian dan penyebaran sejarah yang tidak benar (penyesatan sejarah);
11. penyajian dan penyebaran rahasia negara atau hal yang membahayakan pertahanan dan

keamanan;
12. pelanggaran hak kekayaan intelektual dan hak cipta.
Beberapa kasus buku berkonten tidak patut yang pernah terjadi di Indonesia di antaranya
adalah sebagai berikut.
Kasus Buku

Penerbit

Tindakan

Adik Baru: Cara Menjelaskan Midas Surya Grafindo

Buku hasil terjemahan ini dilarang

Seks kepada Anak

beredar

oleh


dengan

Kejaksaan

keputusan

012/J.A./2/1989
masyarakat

atas

karena

Agung
Nomor
protes

dianggap

mengandung pornografi meskipun

buku ini ditujukan sebagai panduan
orangtua untuk pendidikan seks.
5 Kota Paling Berpengaruh

Gramedia
Utama

Pustaka Buku hasil terjemahan yang ditarik
dan dimusnahkan penerbit terkait

4
dengan

protes

kaum

Muslim

terhadap konten yang berisikan

penghinaan

terhadap

Nabi

Muhammad Saw.
Why: Puberty Pubertas

Elexmedia

Ditarik

dari

peredaran

penerbitnya
masyarakat


atas
karena

oleh

desakan
mengandung

konten tidak patut yaitu tentang
lesbian,

gay,

biseksual,

dan

trasgender (LGBT). Terjadi tahun
2014.
Saatnya Aku Belajar Pacaran


Brilian Internasional

Buku

yang

diperuntukkan

bagi

remaja dengan kategori psikologi
remaja

ini

masyarakat

memancing
karena


reaksi

mengandung

konten yang menganjurkan seks
bebas.

Penulis

dan

penerbitnya

dilaporkan ke polisi. Penulisnya
meminta maaf melalui Facebook dan
berjanji menarik bukunya.
Pendidikan Lingkungan dan Yudhistira

Buku ditarik oleh penerbitnya dari

Budaya Jakarta untuk Kelas 2

peredaran karena memuat cerita

SD

rakyat “Bang Maman dari Kalipasir”
yang berisikan istilah dan peristiwa
tidak patut dalam buku teks siswa
SD.

Jokowi Undercover: Melacak Diterbitkan sendiri

Penulisnya, Bambang Tri Mulyono,

Jejak Sang Pemalsu Jatidiri

diamankan oleh Bareskrim Polri.
Buku ini berisikan data dan fakta
yang

tidak

dapat

dipertanggungjawabkan
ilmiah

serta

penghinaan

secara

menjurus

simbol

negara

pada
dan

ujaran kebencian.
Aku Bisa Tidur Sendiri: Aku Tiga
Belajar Mengendalikan Diri

Ananda

Serangkai)

(Tiga Buku ditarik oleh penerbitnya dari
peredaran karena memuat konten
tidak ramah anak terkait pendidikan

5
seks setelah mendapat gelombang
protes

dari

masyarakat,

KPAI,

Kemenko PMK, dan Kemendikbud.
Munculnya fenomena buku-buku berkonten tidak patut umumnya terjadi karena laporan
pengguna/pembaca dan masyarakat. Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa rendahnya sensitivitas
para penulis, editor, dan penerbit sehingga menyebabkan terbitnya buku-buku yang berpotensi
menimbulkan masalah pada pembaca. Terbitnya buku berkonten tidak patut ini bukan hanya terjadi
pada buku yang diterbitkan oleh swasta, melainkan juga terjadi pada buku yang diterbitkan oleh
pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud.
Masalah buku berkonten tidak patut yang dikhawatirkan terjadi pada pembaca, terutama
pembaca usia anak-anak dan remaja, di antaranya
1. terjadi penyesatan pemikiran, pemahaman, ataupun keyakinan;
2. terjadi penghasutan, ajakan, atau dorongan untuk melakukan hal-hal tidak patut atau melanggar
hukum;
3. terjadi penyerapan informasi yang tidak benar sehingga memengaruhi pola pikir dan mental;
4. terjadi penyusupan kosakata, peristiwa, dan pemikiran tidak senonoh;
5. terjadi pergeseran terhadap nilai-nilai yang telah dipegang teguh oleh masyarakat.
Dengan demikian, penyebaran buku-buku berkonten tidak patut akan berdampak pada
tumbuh kembang mental dan spiritual, terutama bagi generasi muda. Karena itu, tersebarnya
konten-konten tidak patut melalui buku harus dicegah dalam bentuk pengawasan. Selain itu,
penyebaran buku berkonten tidak patut semestinya berkonsekuensi pada hukum yang berlaku
sehingga para pelakunya dapat diberikan sanksi, baik sanksi administratif, perdata, maupun pidana
untuk menimbulkan efek jera.
Beredarnya banyak buku berkonten tidak patut dalam hipotesis penulis adalah disebabkan
beberapa hal berikut ini:
1. belum adanya aturan tentang pendirian penerbit sehingga setiap orang dapat menerbitkan buku
secara bebas, baik dalam bentuk usaha maupun secara perseorangan (self-publisher);
2. belum adanya sertifikasi dan akreditasi di dunia penerbitan sehingga penerbit banyak yang
terbentuk dengan mengabaikan pemenuhan personel penerbitan yang terstandardisasi;
3. belum adanya organisasi profesi untuk semua pelaku perbukuan sehingga tidak ada penerapan
terhadap kode etik profesi;
4. belum diketahui/dipahaminya standar prosedur operasional sebuah penerbitan buku yang
melibatkan beberapa pelaku perbukuan;
5. belum diketahui/dipahaminya konsekuensi hukum dari penerbitan buku berkonten tidak patut;
6. belum terjadinya pembinaan yang masif oleh organisasi profesi terhadap anggotanya atau
pemerintah terhadap pelaku perbukuan karena beberapa faktor di antaranya keterbatasan dana,
termasuk juga organisasi profesi pelaku perbukuan memang belum ada;

6
7. belum adanya kesadaran pelaku perbukuan bahwa buku adalah produk budaya yang dapat
berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir, mental, dan spiritual generasi muda.
Asumsi yang mengatakan bahwa para penulis dan penerbit adalah “orang-orang

cerdas/pintar” juga tidak sepenuhnya benar karena pada kenyataannya banyak orang yang menjadi

penulis atau penerbit karena faktor bisnis semata, faktor keterpaksaan, faktor kenekatan, dan faktorfaktor lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan, terutama dalam berpikir dan

bertindak. Selain itu, organisasi bagi para pelaku perbukuan juga dapat dikatakan minim. Dari
kalangan penerbit kini terdapat Ikapi dan APPTI (yang menaungi penerbit perguruan tinggi), tetapi
tidak semua penerbit menggabungkan diri kepada Ikapi atau APTTI, bahkan banyak penerbit
merupakan penerbit mandiri (self-publisher) yang dijalankan perseorangan.
Gejala vanity publisher (penerbit bersubsidi) juga berkembang di Indonesia yaitu penerbit
yang menyediakan jasa penerbitan (editing, desain, ISBN) kepada para penulis yang
membutuhkannya. Penerbit semacam ini umumnya juga menarik keuntungan dari pencetakan buku
dengan tidak benar-benar memperhatikan segi editorial. Penerbit Brilian Internasional yang
menerbitkan buku Saatnya Aku Belajar Pacaran karya Toge adalah contoh vanity publisher. Penerbit
seperti ini terkadang tidak jelas badan hukumnya, kantornya, dan juga personelnya.

Sebagai dasar atau landasan hukum Satuan Kerja Pencegahan Buku Berkonten Tidak Patut, yaitu
1. KUHP;
2. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
3. UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
4. UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
5. UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
6. UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial;
7. UU Nomor 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
8. UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

9. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis
Penanganan Konflik Sosial; dan
10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016
tentang Buku yang Digunakan pada Satuan Pendidikan.
Landasan hukum yang terbaru digunakan adalah UU Sistem Perbukuan (Sisbuk) yang memuat
pasal sanksi terhadap pelaku perbukuan, khususnya penerbit dalam bentuk sanksi administratif—

7
adapun sanksi pidana telah diakomodasi di dalam UU lain. Pada tanggal 8 Oktober 2015, Kapolri juga
telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) dengan nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (hate speech).
Sebuah contoh pelarangan penyebaran konten tidak patut dapat diambil dari UU No. 8/2014
tentang Hak Cipta.

Setiap orang dilarang melakukan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi Ciptaan yang
bertentangan dengan moral, agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau pertahanan dan keamanan
negara.

Dengan demikian, konten tidak patut di dalam buku yang dapat memberi dampak berbahaya
dan berkonsekuensi hukum dapat dirumuskan dalam bagan berikut ini.

Konten Tidak Patut

bertentangan
dengan ajaran
agama

Contoh: radikalisme

bertentangan
dengan moral

Contoh: LGBT

bertentangan
dengan ideologi
negara

Contoh: komunisme

bertentangan
dengan kesusilaan

Contoh: pornografi

bertentangan
dengan ketertiban
umum

Contoh: hoax

bertentangan
dengan pertahanan
dan keamanan

Contoh: hasutan
makar

bias gender

Contoh: pelecehan
terhadap perempuan

FAKTOR kesengajaan dan ketidaksengajaan terhadap terbitnya buku berkonten tidak patut sulit
untuk diidentifikasi karena harus dilakukan investigasi terhadap proses penerbitan buku secara

8
menyeluruh. Faktor kesengajaan tentunya faktor yang sangat diwaspadai karena kesengajaan
berkolerasi dengan tindakan merusak. Kategori kesengajaan dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1. keisengan dengan maksud bercanda;
2. sabotase dengan maksud merugikan penulis/penerbit;
3. merusak pemikiran pembaca dengan latar belakang maksud tertentu, seperti bisnis, politis, dan
ideologis atau bagian dari agenda perang asimetris.

Adapun faktor ketidaksengajaan biasanya terkait dengan
1. keteledoran karena kelemahan manajemen editorial, termasuk menentukan jenis buku dan
pembaca sasaran buku;
2. ketidaktahuan penulis/editor (penerbit) terhadap dampak konten buku tidak patut;
3. ketidakkompetenan penulis/editor (penerbit) untuk menerbitkan buku yang layak baca;
4. ketiadaan komunikasi yang optimal antara penulis dan penerbit.

RENDAHNYA kompetensi seorang penulis dapat menjadi jalan terbitnya buku-buku berkonten tidak
patut. Banyak penulis dengan keterbatasan wawasan pengetahuannya tidak memiliki kendali diri
terhadap masuknya konten-konten tidak patut ke dalam tulisannya atau juga dapat dikatakan secara
nekat menulis sesuatu yang tidak dikuasainya dengan baik. Sang penulis menyangka bahwa konten
atau substansi naskahnya masih pada taraf kewajaran, termasuk ketika dia mengutip suatu sumber
untuk naskahnya.
Di Indonesia memang belum ada sebuah standar yang dapat menjadi indikator kelayakan atau
kepatutan seseorang menulis buku, apalagi menulis untuk pembaca sasaran anak-anak. Para
penerbit juga sering merekrut penulis atau menugaskan suatu proyek penulisan hanya dengan
melihat portofolio karya penulis tanpa mempertimbangkan kompetensi penulis.
Karena itu, adanya SKKNI bidang penerbitan, khususnya penulisan, sudah sangat mendesak
untuk diadakan. SKKNI akan melahirkan program sertifikasi penulis. Selain itu, pelatihan-pelatihan
untuk penulis bersertifikat juga perlu digalakkan, baik oleh asosiasi penerbit maupun asosiasi
penulis dengan dukungan pemerintah tentunya. Pelatihan-pelatihan sebaiknya berfokus pada
penguatan kompetensi penulis di bidang penyuntingan (editing) untuk membangun “alarm
kesadaran” para penulis tentang konten-konten tidak patut. Demikian pula jika penulis mendapatkan
pesanan dari penerbit untuk menulis buku tertentu, alarm itu dapat digunakan untuk menimbang
apakah pekerjaan menulis dapat diterima atau ditolak.

9

SETALI tiga uang dengan kondisi para penulis, kondisi editor-editor di penerbit juga lemah karena
sebagian besar editor adalah autodidak dan belum pernah mendapatkan pendidikan editing,
termasuk secara nonformal. Para editor yang ada banyak hanya mengandalkan kemampuannya
mengedit materi sesuai dengan bidang ilmunya, terutama editor buku teks. Adapun terkait unsur
kepatutan, mereka sering luput melakukan pengeditan.
Dalam ilmu editing dikenal 7 fokus pengeditan, yaitu
1. keterbacaan;
2. ketaatasasan;
3. kebahasaan;
4. kejelahan gaya bahasa;
5. kelegalan dan kepatutan;
6. ketelitian data dan fakta;
7. ketepatan rincian produksi.
Poin nomor 5 adalah poin yang tidak boleh luput karena menyangkut keamanan bagi penulis
dan penerbit serta masyarakat pembaca. Dalam beberapa kasus, penarikan buku yang bermasalah
atau berkonten tidak patut sering sulit dilakukan jika sudah tersebar pada masyarakat pembaca. Jadi,
penyesalan yang sering terjadi setelah buku beredar memang tiada guna karena daya buku sangat
tinggi memengaruhi pembacanya, apalagi yang masih anak-anak.
Pada sisi penerbit sendiri, idealnya editing naskah dilakukan berlapis minimal sebanyak tiga
kali sebelum editor kepala (chief editor) mengeluarkan keputusan naik cetak dan buku sudah dapat
dipublikasikan. Dalam terminologi ilmu editing dikenal istilah comprehensive editing ‘editing

menyeluruh’. Editing menyeluruh dilakukan oleh seorang editor pengelola (managing editor) atau

editor kepala dengan mencermati seluruh aspek editorial mulai awal hingga akhir. Dalam melakukan

editing menyeluruh, seorang editor kepala dapat mengeluarkan keputusan “radikal” seperti

menghentikan pencetakan buku atau mencegah buku beredar. Salah satu pertimbangan
comprehensive editing adalah asas kepatutan.

BEBERAPA jenis buku memang rentan tersusupi oleh konten tidak patut. Konten-konten tidak patut
secara sadar atau tidak justru termuat pada bagian teks buku atau visualisasi buku (ilustrasi, foto,
gambar). Dalam satu kasus dapat diambil contoh dongeng dari cerita rakyat. Banyak penulis atau
penerbit yang kurang menyadari bahwa cerita rakyat di Indonesia tidaklah identik dengan cerita
anak. Dengan keterbasan kemampuan dan minimnya wawasan terkait sastra anak, sering kali
dongeng atau cerita rakyat tersaji dengan memuat konten tidak patut. Contohnya, cerita rakyat

10
Sangkuriang tidaklah patut menjadi cerita anak-anak karena ada peristiwa Sangkuriang hendak
menikahi ibu kandungnya. Contoh lain adalah dongeng Jaka Tarub dan 7 Bidadari yang juga
mengandung konten dewasa.
Di negara seperti Eropa, cerita rakyat yang juga bukan dimaksudkan sebagai cerita anak
didekonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang layak dikonsumsi oleh anak-anak. Jadi,
salah satu yang patut dicermati pada buku-buku yang tersebar adalah penyajian konten dongeng
atau cerita rakyat pada buku-buku anak di Indonesia dengan embel-embel diceritakan kembali—
apakah penceritaan kembali ini dengan dekonstruksi (modifikasi) atau apa adanya?
Buku lain yang sering tersisipi konten tidak patut adalah buku-buku sejarah, baik itu penyajian
data dan fakta yang dibelokkan atau penyajian versi sejarah yang tidak standar sehingga
memengaruhi pemahaman pembacanya, terutama anak-anak terhadap kebenaran sejarah.
Penyesatan sejarah ini dapat dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja.
Dalam menimbang kelayakan sebuah buku memang ada jenis-jenis buku tertentu yang harus
diberi perhatian lebih oleh penulis atau editor penerbit terkait potensi termuatnya konten tidak
patut. Jenis-jenis buku itu di antaranya
1. buku dongeng/cerita rakyat;
2. buku sastra atau fiksi;
3. buku teks/nonteks sejarah;
4. buku biografi/autobiografi/memoar;
5. buku teks/nonteks religi (agama);
6. buku teks/nonteks PPKn;
7. buku teks/nonteks pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (termasuk psikologi);
8. buku nonteks pendidikan seks (pubertas, kesehatan reproduksi);
9. buku ideologi dan politik;
10. buku gaya hidup modern;
11. komik anak dan remaja; dan
12. buku terjemahan (terkait dengan tema tersebut sebelumnya).

11
Terkait dengan PENCEGAHAN BUKU BERKONTEN TIDAK PATUT dapat dilakukan langkahlangkah berikut ini sebagai sebuah sistem.

Peraturan

Pembinaan
Pencegahan
Buku Berkonten
Tidak Patut

Penilaian &
Pengesahan

Pelaporan

Sertifikasi &
Akreditasi

Peraturan adalah perangkat hukum yang digunakan untuk mencegah munculnya buku-buku
berkonten tidak patut. Dalam hal ini, beberapa UU, PP, ataupun Permen dapat menjadi dasar hukum.
Terkait dengan hal tersebut RPP dari UU No. 3 Tahun 2017 dapat dirumuskan secara detail untuk
membangun sistem pengawasan terhadap buku-buku berkonten tidak patut.
Pembinaan adalah aktivitas yang terkait dengan pendidikan dan pelatihan para pelaku
perbukuan yang dapat diinisiasi oleh asosiasi profesi ataupun bekerja sama dengan pemerintah.
Pembinaan bertujuan meningkatkan kompetensi, kapasitas, dan profesionalitas pelaku perbukuan
dalam menangani naskah, termasuk kesadaran buku sebagai produk budaya yang harus terjaga dari
konten-konten tidak patut. Dalam kategori pembinaan juga termasuk sosialisasi kepada para
penerbit terkait imbauan untuk memperkuat manajemen editorial dan konsekuensi hukum apabila
hal-hal sensitif terkait konten diabaikan.
Penilaian dan Pengesahan adalah aktivitas yang sudah berjalan selama ini di Kemendikbud
untuk mendorong penerbit menilaikan buku teks/nonteks sehingga mendapatkan rekomendasi
layak pakai dari pemerintah. Program ini semestinya dapat lebih digiatkan dengan penyelengaraan
penilaian secara triwulan atau caturwulan sehingga buku yang dinilai dan disahkan penggunaannya
meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Walaupun demikian, faktor paling penting adalah
menyiapkan tim penilai yang berkompeten, terutama dalam substantive editing (penilaian
substantif).

12
Terkait penilaian dan pengesahan, Kemendikbud juga dapat menetapkan adanya buku-buku
berkonten tertentu yang wajib dinilaikan dan disahkan penggunaannya oleh pemerintah meskipun
masuk kategori buku umum. Jika ke depan akan diadakan oleh suatu lembaga perbukuan, ketentuan
ini sangat relevan. Contoh konten buku yang wajib dinilai dan disahkan adalah pendidikan seks untuk
anak-remaja dan cerita rakyat.
Pelaporan adalah memberi akses kepada masyarakat pembaca untuk melaporkan buku
berkonten tidak patut yang beredar di masyarakat. Bagaimanapun fungsi pengawasan lebih efektif
jika melibatkan masyarakat luas. Pembukaan akses pelaporan dapat dilakukan dengan pengadaan
hotline ataupun fitur pelaporan pada situs internet atau aplikasi yang dikembangkan. Dengan adanya
akses pelaporan yang terbuka maka akan membuat pelaku perbukuan semakin berhati-hati untuk
memublikasikan buku-bukunya.
Sertifikasi dan Akreditasi adalah upaya paling relevan yang dapat dilakukan terkait
penilaian terhadap kompetensi penulis dan editor. Dengan demikian, penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia bidang penerbitan sudah mendesak untuk dilakukan,
khususnya bagi penulis buku anak, penulis buku teks, editor buku anak, dan editor buku teks. SKKNI
menjadi dasar diadakannya program sertifikasi. Kemendikbud bersama-sama dengan kementerian
lain seperti Kemenkominfo atau Bekraf dapat menginisiasi pembahasan SKKNI ini (prakonvesi dan
konvensi) untuk menyegerakan sertifikasi para pelaku perbukuan. Lebih jauh Kemendikbud juga
dapat mengembangkan program akreditasi penerbit buku pendidikan dengan kriteria tertentu
seperti yang dilakukan LIPI melalui program akreditasi penerbit buku ilmiah. Sertifikasi dan
akreditasi dapat menjadi filter agar tidak semua orang dapat mengaku sebagai penulis, editor, dan
penerbit buku pendidikan.

SUNGGUH diperlukan keseriusan untuk membangun sistem pengawasan terhadap buku-buku
berkonten tidak patut mengingat penerbitan buku adalah aktivitas bebas bagi semua orang di
Indonesia yang menjadi bagian dari industri kreatif. Sering kali kata ‘kreativitas’ menjadi dasar

terbitnya sebuah buku berkonten tidak patut yang dimaknai sebagai sebuah terobosan pendidikan
untuk masyarakat, terutama generasi muda serta kebebasan berekspresi. Namun, jika lebih
dicermati, dasar kreativitas sering hanya menjadi tameng untuk berlindung dari keteledoran
melakukan manajemen editorial yang standar di dalam penerbitan atau bahkan kesengajaan untuk
merusakkan generasi muda.
Makalah ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi awal bagi pengembangan sistem pengawasan
yang akan dilakukan pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung. Pada ujung kalam, penulis berharap
kasus-kasus buku berkonten tidak patut dapat berkurang atau dicegah tidak beredar meluas di
dalam masyarakat melalui penerapan sistem yang dapat dijalankan oleh semua pihak yang
berkepentingan, terutama terkait sanksi yang harus ditegakkan.

13

*Penulis adalah praktisi dunia penulisan dan penerbitan dengan latar pendidikan tinggi di bidang
ilmu penerbitan (editing). Ia telah berpengalaman lebih dari 25 tahun sebagai penulis, editor, dan
penerbit. Kini ia menjabat sebagai Direktur Institut Penulis Indonesia, Direktur Akademi Literasi
dan Penerbitan Indonesia (Alinea) Ikapi, dan juga Ketua Umum Perkumpulan Penulis Profesional
Indonesia (Penpro). Bambang Trim telah menulis lebih dari 160 judul buku dan memperoleh
beberapa penghargaan dalam dunia penulisan. Ia juga ditunjuk oleh Komisi X DPR-RI sebagai Tim
Pendamping Ahli perumusan RUU Sistem Perbukuan. Aktivitasnya kini sebagai penulis, trainer,
dan konsultan penulisan-penerbitan untuk perseorangan maupun berbagai lembaga/institusi di
Indonesia. Kontak: 081519400129 | bambangtrim72@gmail.com

14

Soal buku berkonten tidak patut telah menjadi kajian penulis dalam bentuk artikel di blog/situs.
Berikut ini terlampir dua tulisan yang terbit berdekatan pada tahun 2013. Ini pandangan penulis
pada empat tahun lalu.

Bambang Trim | Manistebu.com 12 Juli 2013
UNTUK kesekian kalinya dunia pendidikan kita didera buku bermasalah, terutama terkait muatan
(konten) buku tersebut. Beberapa waktu lalu terjadi di Jawa Barat ketika sebuah buku berbahasa
Sunda berjudul Ngeunah Keneh Inem dianggap mengandung konten pornografi dan tidak tepat
pembaca sasaran. Sang penulis berkilah bahwa buku tersebut bukan ditujukan untuk siswa,
melainkan untuk para guru. Alhasil, buku yang telah dinyatakan lolos sebagai buku muatan lokal
yang layak digunakan oleh para siswa dengan SK Gubernur Jabar itu mencuatkan pertanyaan tentang
mekanisme penilaian buku itu sendiri.
Selanjutnya, yang terbaru adalah kasus buku pelajaran berjudul Aku Senang Belajar Bahasa
Indonesia, untuk SD MI kelas 6 terbitan Graphia Buana. Nama penulis jelas tercantum, termasuk
nama editornya. Buku ini memuat sebuah cerpen yang mengandung konten dewasa pada halaman
57-60 dari cerita “Anak Gembala dan Induk Serigala”. Tampaknya kisah di dalamnya hasil copy paste
dari cerpen dewasa karya orang lain yang tidak berhubungan dengan judul. Entah ini disengaja atau
keteledoran semata.

Belajar dari banyak kasus serupa seperti kasus istilah “istri simpanan” dalam buku mulok

untuk DKI Jakarta yang termuat dalam cerita Bang Maman dari Kalipasir

memang terdapat

pengabaian faktor kesopanan atau asas kepatutan dalam penggarapan sebuah buku pendidikan
(edukasi) untuk pembaca sasaran tertentu. Pelanggaran ini dapat terjadi karena keteledoran
beberapa pihak yang terlibat dalam sebuah proses penerbitan buku: penulis, editor,
penataletak/desainer, dan juga termasuk penilai buku. Pelanggaran utama adalah pengabaian
terhadap ketepatan sebuah muatan/konten terhadap pembaca sasaran yang dituju.
Pembaca sasaran adalah istilah yang kerap digunakan kalangan penulisan-penerbitan untuk
menyebut calon pembaca yang dituju dari sebuah buku. Pembaca sasaran dapat dibedakan paling
umum adalah dari tingkat usia, kemudian ada juga yang dibedakan dari tingkat pendidikan atau latar
belakang pendidikan, latar belakang sosial-budaya, dan juga dari sisi gender. Adalah sebuah
kelaziman jika naskah yang diajukan penulis ke penerbit sudah terlebih dahulu ditetapkan pembaca
sasaran yang dituju secara spesifik.

15
Karena itu, mengapa dapat terjadi sebuah buku yang seharusnya ditujukan untuk pembaca
dewasa malah dinilaikan untuk pembaca yang masuk dalam kategori anak-anak atau remaja? Di sisi
lain mengapa masih ada penulis dan editor yang tidak peka terhadap muatan/konten sebuah buku
sehingga mereka memilih materi-materi yang tidak tepat untuk pembaca sasaran tertentu? Lagi-lagi
hal ini dapat dikaitkan dengan profesionalitas penanganan sebuah buku karena penerbitan buku
termasuk industri kreatif yang melibatkan beberapa profesi dengan tugas yang saling mengait antara
satu dan lainnya.

Sejak setahun lalu, rentetan kasus buku pendidikan yang bermasalah patut menjadi cerminan kita.
Berikut ini beberapa kasus yang sempat mencuat dengan indikasi kesalahannya.
1. Kasus pemuatan kisah Bang Maman dari Kalipasir dalam buku pendidikan untuk SD adalah
ketidakcermatan pemilihan kata (diksi) “istri simpanan” serta pemuatan peristiwa hingga
melanggar kesopanan norma dan ketidaktepatan disajikan kepada pembaca sasaran siswa SD.

2. Kasus pemuatan soal dengan kunci jawaban yang mengarahkan pada jawaban ideologi komunis
dalam buku LKS adalah ketidakcermatan menyajikan pilihan jawaban dan verifikasi silang kunci
jawaban sehingga melanggar kepatutan yang membahayakan ideologi negara.

3. Kasus pemilihan gambar dengan menampilkan gambar artis porno asal Jepang meskipun dalam
konteks berpakaian sopan dalam buku LKS bahasa Inggris adalah ketidakcermatan
(kesengajaan) pemilihan gambar yang kerap dilakukan penulis, editor, atau layouter dengan
mengambil sumber internet secara sembarangan sehingga kasus ini pun berkembang melanggar
kesopanan hingga ditengarai mengandung unsur pornografi.
4. Kasus buku pengayaan fiksi bermuatan konten dewasa disebabkan salah peruntukan dalam
proyek pengadaan buku dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk siswa SMP,
padahal lebih tepat kepada siswa SMA.
5. Kasus buku pengayaan bermuatan religi Islam yang memuat ilustrasi Nabi Muhammad saw
merupakan ketidakcermatan penanganan oleh editor maupun ilustrator terkait norma penyajian
buku-buku bermuatan religi Islam yang melarang penggambaran sosok Nabi Muhammad saw.
6. Kasus buku belajar membaca untuk SD yang mengandung pilihan kata “waria” pada contoh katakata yang dimulai dengan huruf /w/ adalah ketidakcermatan dalam pemilihan kata (meskipun
kata waria sendiri adalah akronim) yang dihubungkan dengan pembaca sasaran sehingga

berkembang melanggar kesopanan dalam konteks kepatutan sesuai dengan norma di dalam
masyarakat.
Profesionalitas menjadi kata kunci untuk menyikapi persoalan ini, apalagi menyangkut buku
pendidikan. Boleh jadi dalam kasus seperti pencantuman foto bintang porno asal Jepang ataupun

16
pencantuman kata ‘waria’ dalam buku belajar membaca ada indikasi faktor kesengajaan dari

keisengan pihak-pihak yang terlibat dalam penggarapan buku. Namun, tentu ini kesengajaan yang

tidak lucu dan fatal bagi sebuah eksistensi penerbit dan juga dunia pendidikan. Kita tentu masih ingat
kasus buku rapor di Jawa Barat yang di dalamnya tercantum pilihan status “anak haram”; terindikasi

keisengan dari layouter yang kemudian lupa menghapus dan akhirnya tercetak massal.

Hal yang perlu disoroti adalah pertanggungjawaban profesional dalam penggarapan sebuah buku
karena penulis buku adalah sebuah profesi mulia, begitupun editor buku, layouter/desainer buku,
ilustrator, dan penerbit. Kesemuanya berusaha untuk menyajikan bahan bacaan yang sehat sekaligus
mencerdaskan untuk anak bangsa.
Tidak boleh ada materi buku yang error dari segi bahasa karena bahasa menunjukkan bangsa
sehingga soal tata bahasa menjadi perhatian utama para editor. Sebuah buku pun tidak boleh
mengandung kekeliruan dari sisi fakta dan data (Ingat, dulu ada kasus buku pelajaran yang
menyatakan Gedung Sate berada di Kabupaten Bandung). Hal yang paling penting juga bahwa sebuah
buku tidak boleh mengandung materi yang membahayakan dari sisi ideologi, budaya, religi, dan
karakter mulia bangsa Indonesia, apalagi buku-buku itu berlabel buku pendidikan.
Lalu, bagaimana tanggung jawab profesional penggarapan buku itu dapat tercirikan? Berikut
beberapa upaya kecil yang bermanfaat.
Dari sisi penulis adalah sebuah kelaziman dalam prakata buku disebutkan untuk siapa buku
itu ditulis atau disusun. Gambaran pembaca sasaran yang tepat menunjukkan profesionalitas penulis
terhadap bahan yang ditulisnya, apalagi dalam konteks pendidikan. Misalnya, untuk buku SD dari sisi
usia dapat dibedakan siswa SD kelas rendah (7-9 tahun) dan siswa SD kelas tinggi (10-12 tahun),
muatan yang disajikan untuk kedua segmen pembaca sasaran ini akan berbeda dari sisi kedalaman
atau kompleksitas konten, bahasa dan pilihan kata, serta termasuk juga pilihan contoh-contoh
pengayaan seperti cerita. Konten cerita seperti Sangkuriang walaupun merupakan foklor (cerita
rakyat) tidaklah tepat untuk disajikan kepada anak-anak SD karena mengandung konten dewasa.
Masalahnya, kebiasaan menyebutkan siapa pembaca sasaran sebuah buku, terutama terkait
usia tampaknya masih jarang dilakukan penulis maupun penerbit. Para penilai buku pun dapat
kehilangan orientasi terhadap sebuah buku karena dapat “mengecoh” mereka dari segi tampilannya
seolah-olah untuk anak-anak atau remaja.

Dari sisi editor juga harus tanggap terhadap editing naskah secara total, tidak pada satu sisi

saja misalnya hanya memperhatikan penerapan EYD. Ada 7 fokus editing pada sebuah naskah, yaitu
1) keterbacaan /kejelasan, 2) ketaatasasan (konsistensi), 3) tata bahasa, 4) gaya bahasa, 5) ketelitian
data dan fakta, 6) legalitas dan kesopanan, serta 7) rincian produksi. Editor terutama harus
berkonsentrasi dalam hal legalitas yaitu bersihnya naskah dari unsur-unsur plagiat atau pelanggaran
hak cipta orang lain serta bersihnya naskah dari unsur pornografi, fitnah, pencemaran nama baik,

17
pelanggaran SARA, dan masuknya ideologi yang membahayakan stabilitas negara. Kasus buku-buku
edukasi yang bermasalah umumnya berada pada area pelanggaran kesopanan atau asas kepatutan
terkait dengan pembaca sasaran.
Editor akan menjadi “palang pintu” terakhir bagi penulis dan penerbit. Editor dapat

mengusulkan hal yang dapat memudahkan banyak pihak, termasuk calon pembaca yaitu
mencantumkan kategori usia pembaca sasaran di halaman belakang buku seperti yang lazim juga

dilakukan para penerbit buku edukasi luar negeri. Dengan demikian, ada pertanggungjawaban
profesional bahwa buku edukasi tersebut memang cocok dan tepat untuk anak atau remaja usia
tertentu.
Dari sisi penerbit tentulah penting melakukan pembinaan terus-menerus kepada stakeholders
utamanya yaitu para penulis dan juga editor. Penerbit jangan pelit untuk mengirimkan para penulis
dan editor mengikuti pelatihan-pelatihan teknis di bidang penulisan, editing, dan penerbitan buku
karena teknologi serta informasi terus berkembang sedemikian rupa. Hal utama bagi para penerbit
juga adalah memahami secara utuh proses kreatif sebuah penerbitan buku yang melibatkan banyak
profesi. Ada faktor-faktor yang patut diperhatikan dalam penanganan sebuah buku secara
profesional, seperti faktor kelelahan/kejenuhan editor dan layouter, faktor munculnya keisengan
editor dan layouter (kadang menjadi sangat membahayakan seperti pemilihan foto, memasukkan
satu kata yang tidak sopan, dsb.), faktor wawasan editor dan layouter, serta kemampuan teknis
editing dan tata letak yang mereka kuasai.
Dari sisi penilai buku tentu memang harus mengedepankan profesionalitas penilaian dengan
benar-benar membaca keseluruhan isi buku, meneliti daftar isi, dan menaruh perhatian terhadap
judul-judul materi yang tampaknya kurang tepat untuk pembaca sasaran buku. Adanya syarat
melengkapi buku dengan anatomi buku standar seperti halaman pendahulu (prelims) dengan
mencantumkan “pengantar penerbit” dan “prakata”, serta menyebutkan di dalamnya kategori

pembaca sasaran akan menjadi satu bentuk pertanggungjawaban profesional penerbit dan penulis
terhadap jaminan konten buku tepat dan aman untuk pembaca sasaran usia tertentu. Jadi, tidak akan

ada lagi kilah bahwa buku tersebut memang tidak ditujukan untuk siswa SD atau siswa SMP,
sedangkan di sisi lain buku itu justru turut dinilaikan sebagai buku pengayaan siswa kategori
tertentu.
***
Bukunya (baca: konten) mungkin tidaklah salah, yang salah adalah peruntukan pembaca sasarannya.
Namun, dapat terjadi juga materi/konten bukunya memang benar-benar tidak tepat atau salah untuk
pembaca sasaran tertentu. Di sinilah profesionalitas penulisan, penerbitan, dan pengedaran sebuah
buku, apalagi buku pendidikan sangat dipertaruhkan karena menyangkut masa depan anak bangsa.
Pemerintah sempat memberikan respons terhadap hal ini yang ujungnya menyalahkan
penerbit swasta atau mungkin juga Ikapi sebagai asosiasi penerbit. Namun, perlu dijernihkan bahwa
dalam kasus terakhir, penerbit tersebut bukanlah anggota Ikapi yang automatis tidak dalam
pembinaan Ikapi. Ini adalah persoalan profesionalitas penanganan industri buku yang tidak lantas

18
dapat direspons bahwa sebaiknya pemerintah yang menyiapkan buku sendiri untuk buku pelajaran,
terutama pada momentum Kurikulum 2013. Apakah pemerintah juga bisa menjamin profesionalitas
menangani sebuah penerbitan buku sementara pemerintah tidak memiliki pengalaman soal itu?
Tentu masih ada penerbit yang profesional dan kasus ini menyebabkan para penerbit
profesional juga terkena getahnya. Soal profesionalitas inilah yang semestinya diatur negara. RUU
Perbukuan yang sudah mengendon di DPR tidak kunjung diselesaikan. Lalu, DPR pun “naik darah”

dan mengancam Kemendikbud. Padahal, di dalam draf RUU Perbukuan itu jelas diatur siapa yang
disebut penerbit dan tentu akan ada konsekuensinya jika penerbit dan pemangku kepentingan
melakukan pelanggaran. Jika memang tidak ada undang-undang yang mengatur, semua orang berhak
membuat penerbit dan mengedarkan buku.
Pemerintah tidak akan mampu bekerja sendiri menerbitkan buku untuk jutaan siswa di
Indonesia ini; tetap ada celah yang dapat dimasuki penerbit swasta. Apakah kita tetap melakukan
pembiaran terhadap industri buku ini tanpa terkendali?

19

Bambang Trim | Manistebu.com 16 Juli 2013

Tokoh Azzam di sinetron PPT edisi VII tampak gundah gulana. Pasalnya, buku yang dia terbitkan
mengandung kesalahan fatal yaitu kesalahan penulisan khat Arab pada surah al-Fatihah. Hanya salah
penempatan tanda dan mengubah makna secara drastis.
Azzam gundah apakah harus menarik seluruh buku-bukunya di toko buku yang sudah tersebar
dan dicetak 10.000 eksemplar. Sebenarnya kegundahan tokoh Azzam ini yang bahkan didramatisasi
dengan permintaan sang ibu agar segera menarik bukunya dan Azam masih berkilah, tampak lebay
bagi saya. Ingin sekali saya masuk ke meeting-nya Azam dan timnya, tetapi jelas tidak bisa :).
Dalam kasus seperti ini, apalagi Quran, tidak ada kata lain keputusan yang diambil adalah
menarik seluruh buku dan memperbaiki halaman yang salah dengan cara menghapus titik atau
mencetak ulang halaman yang benar dan menyisipkannya. Kita memang tidak hidup seperti zaman
dulu yang bisa menyisipkan secarik kertas bertuliskan ralat atau errata maka masalah akan selesai.
Jangankan Quran, bahkan teks-teks pada buku religi pun sangat sensitif jika berubah. Dalam
kasus lain di MQS, saya pun pernah memerintahkan penarikan dan perubahan semua buku karena
pada satu halaman ada judul yang salah. Itu bukunya Kang Abik dan pada salah satu tulisan ada judul
Kalimat Pengusir Malaikat. Judul sebenarnya adalah Kalimat Pengusir Maksiat. Semua pasti setuju
bahwa berbeda jauh makna malaikat dan maksiat dan mengapa pula malaikat harus diusir. Buku itu
kalau tidak salah sudah dicetak 5.000 eksemplar dan akhirnya dibongkar ulang di percetakan.
Kesalahan konten semacam ini bisa disebabkan keteledoran editor atau keteledoran layouter
dan juga terlewatnya penyelia (supervisor) untuk memeriksa hasil pekerjaan keduanya. Editor
kadang bisa tergelincir karena sibuk memperhatikan hal kecil (teks), lupa pada hal besar yaitu judul
bab sendiri. Kadang bisa terjadi sebuah kover berbeda antara judul kover dan judul di dalamnya.
Ternyata judul di dalamnya sudah direvisi, tetapi editor lupa menginformasikannya kepada desainer
kover.
***
Kita beralih ke kasus lain….
Berita tentang buku pelajaran berkonten porno dari Penerbit Graphia Buana jelas
menyinggung-nyinggung editornya. Tentulah yang berprofesi sebagai editor buku juga ikut tersentil
jika sesama orang yang seprofesi ada yang tergelincir.
Editor banyak tergelincir biasanya karena kasus kelemahan dan kegagalan editing pada poin
ketelitian data dan fakta serta poin legalitas dan kesopanan. Kita ketahui bahwa fokus editing itu ada
tujuh: 1) keterbacaan dan kejelasan; 2) konsistensi; 3) tata bahasa; 4) kejelasan gaya bahasa; 5)

20
ketelitian data dan fakta; 6) legalitas dan kesopanan; 7) rincian produksi. Poin nomor 5 dan 6-lah
yang sensitif jika mengandung kesalahan dibandingkan poin lain seperti bahasa atau konsistensi.
Belum lama terjadi juga ada kasus konten tidak layak tentang Nabi Muhammad saw di buku 5
Kota Paling Berpengaruh karya Douglas Wilson terbitan Gramedia. Gramedia tidak mau ambil risiko
dan membakar semua sisa stok dan buku yang ditarik. Buku itu tak hendak diterbitkan ulang. Editor
nya pun terkena sanksi dan konon memang baru dua bulan menjadi editor.
Lebih jauh ke belakang, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika menjadi manajer
penerbitan. Salah seorang editor saya di penerbit buku pelajaran tergelincir karena kesalahan konten
data dan fakta atau lebih tepatnya salah dalam rumus hitungan. Buku pelajaran matematika untuk
SD justru mengandung kesalahan hitung dan sangat berakibat fatal jika beredar di pasar. Alhasil,
buku tersebut harus ditarik dari pasar setelah dicetak 10.000 eksemplar dan diperbaiki ulang.
Tentulah ada hitungan kerugian untuk ini.

Pertanyaannya mengapa editor bisa tergelincir? Banyak faktor yang ditengarai bisa menjadi
penyebabnya. Ada faktor kelelahan juga manakala penerbit tidak memperhatikan pekerjaan yang
dibebankan kepada editor dan tenggat (deadline) yang ditetapkan. Bukan rahasia lagi jika di sebuah
penerbit buku pelajaran yang hanya memiliki editor minim, para editor itu diberi tugas mengedit 23 judul buku untuk dikerjakan secara simultan. Di satu sisi kemampuan mereka sangatlah minim
untuk melakukan 2-3 pekerjaan sekaligus.
Dari informasi saya ketahui bahwa editor buku bermasalah dari Graphia Buana itu juga
mengedit buku PPKn, IPA, dan Matematika untuk SD. Bayangkan, super sekali editor yang melakukan
hal ini sendirian dengan berbagai objek editing yang berbeda dari bahasa ke sosial dan dari sosial ke
sains. Apakah dia memang sempat mengedit dengan sebenar-benar mengedit?
Kedua, bisa juga faktor nonteknis yang sepengalaman saya juga dapat ditemukan pada editor
yang bekerja. Contohnya, bentrok dengan teman sekantor, impitan ekonomi, menyambi pekerjaan
lain di luar kantor. Hal ini kadang mengganggu konsentrasi si editor dan bisa berakibat fatal pada
hasil editing. Karena itu, dalam banyak kasus, saya memberlakukan editing silang untuk menjaga
kualitas editing dan para kabag editor (managing editor) harus melakukan lagi pemeriksaan hasil
pekerjaan editor di bawahnya.
Dalam sebuah organisasi penerbit buku pelajaran jelas harus dipisah antara editor buku sains,
editor buku sosial, dan editor buku bahasa. Pemisahan objek editing berdasarkan latar belakang ilmu
yang mereka miliki ini juga penting untuk meminimalkan kesalahan. Jangan samakan editor dengan
guru SD yang bisa mengajar pelajaran apa pun.
Selain soal memahami kompetensi editor berdasarkan latar belakang ilmu masing-masing,
tentulah penerbit juga perlu memperhatikan faktor nonteknis, seperti memberikan editor
kesempatan untuk beristirahat, memperhatikan kesehatan mereka, mengadakan suplemen makanan

21
untuk editor yang bekerja lembur, mengadakan dialog (personal touch) ketika melihat ada editor
yang kurang berkonsentrasi, serta juga meningkatkan kesejahteraannya.
Jangan anggap sepele persoalan toilet atau kamar mandi di ruangan editorial. Jika toilet cuma
satu dan para editor itu harus mengantre, itu mengganggu konsentrasi. Demikian pula jika mereka
harus bekerja lembur, tetapi tidak tersedia sarana buat mandi yang menyenangkan. Alamat editor
akan makin stres dan kuyu sepulang dari kantornya.

Editor itu bukan profesi sekonyong-konyong yang bisa dikerjakan seseorang asalkan punya ijazah
sarjana, apalagi S1 atau S2 dalam suatu bidang. Editing adalah sebuah ilmu sekaligus seni bagaimana
menyajikan sebuah tulisan/naskah menjadi nyaman dibaca sekaligus aman buat pembaca
sasarannya. Dalam hal ini tentulah diperlukan pendidikan bagi seorang editor pemula di bidang
publishing science dan editologi. Hal lain bahkan editor itu pun semestinya bisa menulis buku.
Saya melihat keremehan memandang hal ini bagi penerbit sering berbuah celaka, salah
satunya adalah kasus buku pelajaran berkonten tidak patut yang berkali-kali terjadi. Profesi editor
sepertinya rentan mendapatkan celaan karena sebenarnya editor tersebut belumlah layak disebut
editor. Namun, para penerbit memaksakan mereka bisa menjadi editor tanpa latar belakang
wawasan editorial sedikit pun.
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2013 ini mulai menggencarkan pelatihan untuk
para editor. Namun, tingkat partisipasi penerbit anggotanya masihlah kecil untuk mau mengirimkan
editornya berlatih dan mendapatkan ilmu editing yang standar. Namun, pada setiap musyarawah
kerja sering didengungkan pentingnya pendidikan untuk para editor, tetapi giliran pendidikan dan
pelatihan itu sudah ada dan para penerbit memang harus berinvestasi untuk itu, kebanyakan enggan
melakukannya.
Tentulah lebih mending jika di dalam suatu penerbit terdapat editor senior sehingga ia bisa
mengadakan pelatihan internal di penerbitnya untuk para editor pemula. Namun, kebanyakan
penerbit memang tidak memiliki sistem pendidikan dan pelatihan seperti ini untuk editornya.
Editor-editor yang direkrut dibiarkan berkembang begitu saja tanpa perlu dibina.
Dahulu di Penerbit Grafindo saya kerap mengisi forum pelatihan bernama OBSESI 2000,
singkatan dari Obrolan Sekitar Editorial dengan Visi 2000. Di sini kami membina para editor yang
baru masuk untuk memahami dunia penerbitan buku dan editing itu sendiri. Grafindo dulu memang
mengelola sumberdaya editor yang besar hingga 50 orang yang jumlahnya selalu sama dengan
layouter. Satu editor dipasangkan dengan satu layouter dan pada masa tertentu dilakukan rolling
antara editor dan layouter itu.

22

Selain mendorong segera diberlakukannya UU Perbukuan Nasional, kita juga perlu memikirkan
standar kompetensi sehingga seseorang layak disebut editor dan bagaimana penerbit memahami
profesi ini dalam pengaturan pekerjaannya. Membuat buku memang tidak seperti membuat kue bolu,
dapat sehari sekali jadi.
Sah-sah saja penerbit itu berburu tenggat (deadline) karena momentum tertentu dan
mendesak editornya bekerja secepat mungkin. Hal ini biasa, tetapi penerbit perlu melihat
kompetensi editornya; apakah ia bisa bekerja cepat tanpa cacat atau ia malah akan keteteran dan
mengambil jalan pintas asal jadi. Memaksakan editor pemula untuk bekerja layaknya editor terlatih
adalah sebuah keputusan fatal yang dapat melahirkan kesalahan fatal pula.
***
Catatan pagi ini memang saya buat karena terganggu pikiran soal editor dan bagaimana editor itu
paling mudah disalahkan seperti kenyataan berikut: “Apabila ada buku bagus dan sukses, penulislah
yang dielu-elukan. Namun, apabila ada buku mengandung kesalahan, editorlah yang dikeluhkan.”

Kita memang tidak memerlukan sorak sorai untuk hasil pekerjaan kita. Editor adalah tokoh di

belakang layar. Namun, jika Anda ke Frankfurt Book Fair dan menyebut diri Anda seorang editor,
para tuan rumah booth di sana akan memandang Anda dengan penuh hormat–beberapa di antara
mereka juga ada yang editor. Mereka tahu ini adalah profesi yang tidak gampang dan penuh
kehebatan untuk melakoninya.
Kita tidak boleh membiarkan diri kita sebagai editor tergelincir ataupun membiarkan para
editor muda atau pemula itu tergelincir karena memang tidak tahu apa itu editing sebenarnya.
Cukuplah kasus-kasus buku pelajaran tak layak itu hanya sampai pada kasus Graphia Buana dengan
penghujatan juga kepada penulis dan editornya. Editor di negeri ini haruslah dibina.
Saya tidak ingin pula Iwan Fals mengubah lagu Temanku Punya Kawan sehingga syairnya
menjadi seperti ini: editor (tadinya sarjana) begini banyaklah di negeri ini tiada bedanya dengan roti.