RESENSI BUKU PENDIDIKAN KARAKTER

RESENSI BUKU PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS SASTRA
Judul

:

Pendidikan

Karakter

Berbasis

Sastra,

Solusi

Pendidikan Moral yang Efektif
Pengarang

: Rohinah. M. Noor


Penerbit

: Ar-Ruzz Media

Tahun terbit, cetakan

: 2011, Cetakan I

Tebal buku

: 175 halaman

Harga

: Rp. 25.500
Arus modernisasi tak pelak lagi mengakibatkan banyak perubahan

dalam

masyarakat.


Perubahan

ini

menyimpan

potensi

negatif

yaitu

tereduksinya nilai-nilai yang ada di masyarakat berupa kemerosotan moral
dan akhlak. Hal ini sebagai akibat tidak adanya kesiapan dan filtrasi
terhadap nilai-nilai kebudayaan baru yang dibawa arus modernisasi tersebut.
Tampaknya reduksi nilai-nilai yang ada di masyarakat sekarang ini sudah
mulai menggejala. Masih hangat di ingatan kita kasus Gayus Tambunan yang
menelanjangi tatanan birokrasi dan penegakan hukum yang ada selama ini.
Atau kisah para wakil rakyat yang ingin membangun kembali gedung

perwakilannya dengan megah yang menciderai rasa keadilan masyarakat.
Belum lagi kasus korupsi yang melingkupi banyak instansi pemerintah,
permainan

proyek,

budaya

anarkis,

penyalahgunaan

wewenang,

tipu

menipu, kriminaliltas, dan lain-lain.
Lalu muncul pertanyaan di benak kita apakah sistem pendidikan
yang ada selama ini gagal dalam membentuk kepribadian anak-anak
bangsa? Jika kita menilik pada hasil penelitian Taufik Ismail, penyair senior

Indonesia pada tahun 1997 – 2005, tampaknya minimnya pembelajaran
apresiasi sastra adalah salah satu penyebab mengapa kemerosotan moral

yang terjadi. Taufik Ismail memaparkan ‘TRAGEDI NOL BUKU’ bahwa siswasiswi di Indonesia berhasil menyelesaikan ‘NOL’ karya sastra sampai mereka
menginjak SMA. Hal ini begitu memilukan jika dibandingkan dengan budaya
literasi yang berkembang di negara-negara maju, bahkan di Malasya
sekalipun. Dari sinilah muncul kesadaran bahwa pendidikan karakter
(pendidikan yang berorientasi pada jiwa, pada penanaman kebenaran
universal sebagai pemenuhan fitrah manusia) yang berbasis sastra menjadi
sebuah keniscayaan.
Sastra memang tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu medium
yang efektif dalam pendidikan karakter. Mengapa? Karena sastra mengasah
rasa, mengolah budi, membukakan pikiran dan mengajak manusia berdialog
dengan dirinya sendiri. Namun, tidak semua hasil karya sastra dapat
digunakan

sebagai

sarana


membangun

karakter.

Sastra

yang

dapat

digunakan adalah sastra yang ‘baik’. Menurut YB Mangunwijaya, sastra yang
baik

adalah

yang

mampu

membuat


pembacanya

melakukan

suatu

perenungan, mendapatkan pencerahan, dan mengajak kepada kehidupan
yang lebih baik dan benar.
Penanaman dan pembentukan karakter berbasis sastra dapat
dilakukan di dua lembaga yaitu keluarga dan sekolah sebagai bagian dari
lingkungan sosial. Di lingkungan keluarga peletak batu pertama pembentuk
watak dan kepribadian seseorang adalah para orang tua. Oleh karena itu,
harus disadari bahwa masa anak-anak adalah masa krusial dimana setiap
orang tua harus menanamkan nilai-nilai karakter yang baik kepada anaknya.
Sehingga, saat dewasa nanti anak-anak sudah memiliki karakter yang
mantap, kuat dan siap menghadapi tantangan zaman yang semakin
kompleks. Disamping teladan yang baik, orang tua bisa memanfaatkan karya
sastra dalam upaya menanamkan karakter yang baik pada anak.
Upaya tersebut salah satunya dengan kegiatan mendongeng. Tiga

peneliti

dari

Jerman

(H.G.

Wahn,

W.Hesse,

dan

U.Schaefer

dalam

Suddeutsche Zeitung, 24 Juni 1980) mengungkapkan bahwa anak yang
sering didongengi tumbuh menjadi anak yang lebih pandai, lebih tenang,


lebih terbuka, dan lebih seimbang dibandingkan dengan anak yang tidak
didongengi. Para pakar telah merumuskan manfaat yang dapat digali dari
kegiatan mendongeng ini.

1. Mengasah daya pikir dan imajinasi anak
Berbeda dengan media televisi yang visual, dongeng akan menumbuhkan
daya imajinasi anak. Karena ketika didongengi anak akan membentuk
visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarkan.
2. Merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan
etika pada anak
Dongeng mengandung nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawan, kerja
keras, dan nilai positif lain yang terselip dalam setiap cerita. Anak-anak
mudah menyerap nilai-nilai tersebut karena disajikan dalam bentuk cerita.
Dan ini akan tertanam dalam alam bawah sadar mereka sampai mereka
dewasa.
3. Langkah awal untuk menumbuhkan minat baca pada anak
Dari dongeng yang dibacakan inilah anak akan memulai ketertarikan
dengan buku. Diawali dengan buku dongeng-dongeng atau cerita yang
kemudian akan berlanjut ke buku-buku lain seperti sains, pengetahuan

umum, dan lain-lain.
4. Sarana mendekatkan anak dengan orang tua
Tanya jawab, interaksi antara orang tua dan anak pada saat mendongeng
merupakan sarana untuk mempererat tali kasih sayang. Selain itu, tertawa
bersama, duduk bersama, akan mendekatkan emosional antara keduanya.
Dari pemaparan diatas nampak jelas peran karya sastra dalam hal ini
dongeng dalam penanaman karakter pada anak. Lalu bagaimana dengan
remaja dan siswa sekolah? Pendidikan karakter melalui pembelajaran
apresiasi sastra nampaknya belum banyak diterapkan institusi pendidikan

kita. Pembelajaran apresiasi sastra sebagai bagian dari mata pelajaran
Bahasa Indonesia agaknya tidak banyak mendapat perhatian. Ada beberapa
kritik terhadap pembelajaran apresiasi sastra disekolah.
5. Peran guru yang belum maksimal
Pembelajaran sastra di sekolah sekarang ini kurang diminati oleh
para guru. Karena beban kurikulum dan Ujian Nasional, mereka lebih sering
menitikberatkan pada materi yang ada pada setiap ujian. Jikapun ada
pembelajaran sastra, porsinya sedikit dan seringkali menjadi kegiatan yang
kurang menarik dan terbatas pada sekat-sekat ruangan kelas. Dapat
disimpulkan bahwa guru khususnya guru Bahasa Indonesia hendaknya orang

yang ‘melek’ karya sastra serta dibekali dengan keterampilan, kemampuan
dalam mencipta karya sastra atau setidaknya mengapresiasi karya sastra. Ini
dimaksudkan agar guru dapat menciptakan suasana belajar yang aktif dan
kreatif yang akan menumbuhkan minat dan potensi anak didik terhadap
sastra. Sehingga tujuan akhirpun dapat tercapai yaitu menanamkan nilai
karakter pada anak didik.
6. Minimnya (pemanfaatan) buku sastra di sekolah
Ada dua kemungkinan yang terjadi atas buku sastra di sekolah yaitu
minimnya jumlah buku yang ada di perpustakaan sekolah atau minimnya
penggunaan buku-buku tersebut. Ketika minim buku sastra tentunya guru
dan pihak sekolah secara aktif dapat mengajukan permintaan kepada
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah telah mempunyai program yaitu
proyek pengadaan buku bacaan. Namun akan tidak bermanfaat ketika di
perpustakaan sekolah telah banyak buku sastra tetapi semuanya menjadi
pajangan saja. Jadi tidak hanya berhenti pada pengadaan saja, pemanfaatan
buku tersebut pun perlu digalakkan.
Penelitian Taufik Ismail dalam ‘TRAGEDI NOL BUKU’ menunjukkan
betapa minimnya pengenalan sastra kepada siswa-siswi di Indonesia.
Terungkap bahwa pasca era Algemeene Middlebare School (sekolah lanjutan
tingkat atas pada masa Belanda) pelajar SMA Indonesia hanya membaca 0 –

2 judul buku sastra saja. Padahal pada era AMS tersebut pelajar diwajbkan

membaca 15 – 25 judul buku sastra. Jika kita bandingkan dengan negara
lain, Indonesia jauh ketinggalan. Malasya mewajibkan 6 judul, Swiss dan
Jepang 15 judul, dan Amerika Serikat 32 judul karya sastra.
Sejarah menuturkan bahwa negara-negara maju seperti Inggris,
Jerman, Perancis, Amerika Serikat menjadikan sastra sebagai bagian yang
tak terpisahkan dalam pengembangan kepribadian dan pembangunan
bangsa. Dikala sistem pendidikan kontemporer tidak berhasil membekali
generasi penerus dengan nilai-nilai luhur pembentuk watak bangsa, sastra
sepatutnya dilihat sebagai jalan alternatif.
Pembahasan tentang praktek dan penerapan pendidikan karakter
berbasis sastra dikupas dalam buku setebal 175 halaman ini. Bab pertama
memberi pijakan kepada pembaca tentang apa itu sastra, peran dan
hubunganya sebagai kontrol sosial, bahkan peran sastra sebagai jalan
menuju revolusi sosial. Bab kedua membahas tentang fungsi sastra dalam
membentuk kepribadian, dilanjutkan dengan pembinaan karakter pada anak
usia dini berbasis sastra anak di bab ketiga. Di bab ini dibahas pula tentang
apa itu sastra anak dan tahapan perkembangan minat sastra pada anak. Bab
keempat membahas tentang kritik pendidikan sastra di sekolah, dan metodemetode pembelajaran sastra yang ditawarkan sebagai solusi. Pembandingan
pendidikan sastra dengan negara lain dibahas di bab lima, dan terakhir
diselipkan lampiran mengenai perkembangan sastra Indonesia dan sastra
Arab.
Buku ini membahas secara menyeluruh mengenai ruang lingkup
sastra dikaitkan dengan perannya sebagai media dalam pendidikan karakter.
Namun, pembahasan mengenai pendidikan karakter, pentingya moral itu
sendiri sedikit kurang jika dibandingkan dengan pembahasan mengenai
sastra. Disamping itu karena buku ini merupakan cetakan yang pertama
terdapat beberapa kalimat yang tidak lengkap. Begitu pula dengan paragraf
yang isinya tidak sesuai dengan judul sub babnya.
Terlepas dari hal teknis diatas, buku ini merupakan rujukan awal
pendidikan karakter berbasis sastra bagi orang awam, para orang tua pada

umumnya dan orang yang berkecimpung dalam pendidikan karakter atau
pengajaran sastra pada khususnya. Bahwa pendidikan karakter yang
esensial bisa dilakukan dengan medium sastra. Dan hal ini akan menjadi
terobosan ditengah gejala merosotnya moral di masyarakat. Selamat
membaca!
By : Kurnia Nur Ainy, S. Pd.