Konflik Minoritas dan Hak Asasi Manusia

Konflik, Minoritas dan Hak Asasi Manusia Internasional: Pelajaran Untuk Koeksistensi Damai
Dr. Fernand de Varennes
I.

Pendahuluan

Suatu negara dinilai pada bagaimana negara itu memperlakukan kelompok
minoritasnya.
– Gandhi
Kebenyakan pendekatan terhadap kajian konfik etnis berpusat pada personal,
geopolitik dan berbagai faktor lain. Hanya sedikit pertimbangan analisis yang
berpusat pada hukum internasional dan hak asasi serta hak minoritas untuk
mengidentifikasi kebijakan dan perundang-undangan suatu negara yang bisa saja
menjadi kontribusi langsung bagi meletusnya konfik etnis.
Seperti yang akan diuraikan berikut ini, mempertimbangkan hak minoritas akan bisa
membantu memberikan suatu pendekatan yang bermanfaat untuk menggeser
miskonsepsi tentang sebab-sebab dan alasan-alasan terjadinya konfik, khususnya
dalam kaitan dengan preferensi/ favoritisme negara dan keseimbangan yang ingin
dicapai melalui konsep hak asasi manusia. Diantara pokok kajian yang ingin dibahas
adalah sampai sejauh mana pemerintah negara telah bertindak netral dalam konteks
fovoritisme etnik di mana terdapat konfik etnis dan bagaimana standar hak asasi

manusia internasional telah menjadi faktor “penengah” dalam konfik tersebut.
II.

Prekondisi Suatu Konfik

Meskipun dianggap sebaliknya, konfik etnis bukanlah suatu fenomena yang umum.
Sekalipun terdapat puluhan ribu kelompok etnis yang hidup berdampingan diseluruh
bagian dunia, pada kenyataannya relatif sedikit saja situasi di mana terdapat konfik
kekerasan yang nyata. Dengan kata lain, kaidah umum yang ada sepertinya bahwa
terbanyak dari kelompok masyarakat tersebut secara relatif hidup harmonis dengan
kelompok etnis di sekitarnya, walaupun tentunya terdapat juga beberapa kaidah
pengecualian, seperti yang bisa terlihat pada beberapa konfik etnis yang meminta
korban jiwa yang terjadi di beberapa bagian dunia ini.
Tulisan ini difokuskan pada dimensi hukum tentang bagaimana timbulnya konfikkonfik etnis dan bagaimana konfik-konfik tersebut bisa dihindari dengan mengacu
pada aturan-aturan hukum internasional. Namun ada juga faktor-faktor lain yang
harus diperhatikan yang dapat digambarkan sebagai prekondisi dalam arti bahwa
faktor-faktor tadi dalam kebanyakan kasus konfik etnis cenderung untuk terjadi
kembali.
1. Konfik etnis lebih memungkinkan timbul di mana terdapat kelompok etnis
minoritas yang persentasi dari keseluruhan penduduk cukup besar.

2. Konfik etnis lebih memungkin timbul jika satu kelompok etnis terkonsentrasi
pada satu wilayah tertentu yang dianggap “wilayah tradisional” atau tanah
leluhur/pusaka.
3. Konfik etnis yang terjadi cenderung melibatkan satu kelompok etnis tertentu
yang merupakan suku asli atau masyarakat minoritas.
4. Konfik etnis yang terjadi cenderung melibatkan kelompok etnis tertentu yang
memiliki keunggulan demografis, ikatan yang kuat dengan bahasa asli mereka,
agama, budaya, atau yang memiliki tradisi hukum khusus baik terhadap anggota
Direktur Asia-Pacific Centre for Human Rights and the Prevention of Ethnic Conflicts, Senior Lecturer,
School of Law, Murdoch University, Australia.


2

kelompok dan juga wilayah, dan penguasa mengabaikan atau merendahkan
faktor-faktor ini.
5. Semakin pemerintah memperlakukan kelompok masyarakat mayoritas secara
lebih khusus baik melalui perundang-undangan maupun kebijakan, semakin besar
risiko timbulnya konfik kekerasan, khususnya yang datang dari kelompok
masyarakat asli yang cukup besar atau warga negara minoritas.

III.

Cikal Bakal Sejarah dan Akar Hukum Suatu Konfik Etnis

Konfik etnis- atau pembersihan etnis- bukanlah fenomena yang baru. Konfik-konfik
seperti ini mungkin sudah setua umur manusia itu sendiri, meskipun bukan berarti
sering terjadi.
Banyak contoh yang bisa diberikan di sini, mulai dari pembantaian umat Kristen di
abad XVI di Jepang sampai ke upaya mengeliminasi kaum Muslim di semenanjung
Iberia sesudah Reconquista orang Katolik. Orang bisa juga menyebut beberapa akar
konfik yang melibatkan kelompok Muslim Moro di Filipina yang sejak kira-kira abad
XVI telah berjuang menentang penjajah Spanyol dan kelompok Kristen Filipina.
Situasi di sana tidak sekedar berupa konfik satu etnik dengan etnik lainnya. Konfik
tersebut melibatkan penguasaan tanah/wilayah tradisional mereka di Mindanao,
tidak diakuinya sistem hukum kebiasaan yang berlaku bagi orang Moro, penerapan
hukum kolonial Spanyol dan hukum agama Katolik Filipina.
Pemerintah Spanyol waktu itu dan untuk seterusnya pemerintah Filipina telah
bertindak secara langsung untuk menghapus hukum kebiasaan masyarakat Moro,
merampas tanah yang secara tradisional milik mereka, menghukum orang-orang
yang melakukan pelanggaran atas aturan hukum kolonial dan Katolik,

mengupayakan agar masyarakat meninggalkan agama dan kebudayaan Islam dan
memaksa anak-anak Moro untuk bersekolah di sekolah-sekolah yang kebanyakan di
bawah kontrol orang Kristen.
Jadi apa yang kita lihat pada masa kurang lebih 400 tahun yang lalu adalah praktekpraktek kenegaraan, hukum, ketetapan-ketetapan dan kebijakan-kebijakan yang
pada tingkat paling rendah berusaha untuk membuat orang-orang tunduk dan
menerima preferensi negara yang merupakan preferensi kelompok mayoritas yang
menguasai pemerintahan.
Banyak kesamaannya terjadi juga pada kelompok-kelompok etnis sepanjang sejarah
di banyak bagian dunia lainnya seperti kelompok masyrakat Basque di Spanyol,
masyrakat kulit hitam di Sudan, masyarakt asli di Amerika utara dan selatan dan juga
seperti yang terjadi pada orang Aborijin di Australia.
Terdapat cukup banyak perlawanan bersenjata yang dilakukan orang Aborirjin sejak
abad XVIII terhadap pendatang dari Eropah yang hendak menduduki benua yang kita
kenal sekarang sebagai Australia. Dalam hal inipun sekali lagi, konfik yang terjadi
bukan sekedar pertentangan antara kelompok masyrakat tertentu melawan kelompk
lainnya yang secara etnis berbeda, tetapi lebih merupakan konfik antara satu
kelompok masyarakat etnis tertentu melawan kekuasan dari satu negara yang
sedang dibangun dan aturan-aturan hukumnya. Konfik atas tanah/benua Australia
adalah konfik etnis yang melibatkan faktor hukum dan politik di samping kekuatan
fisik. Orang-orang Aborijin mempunyai hukum komunal dan bentuk pemerintahan

tradisional yang menjadikan mereka sebagai pemilik tanah di mana mereka berada
termasuk sumber-sumber alamnya. Penguasa kolonial Inggris waktu itu menolak
mengakui adanya hukum kebiasaan ini dengan menggunakan suatu fiksi hukum

3

yang disebut terra nullius, yang menentukan bahwa tidak ada hukum lain yang
diterapkan selain hukum Inggris di atas benua Australia karena secara hukum
seluruh tanah dan wilayah di Australia kosong (tidak bertuan).
Dengan diterapkannya hulum kolonial dan kemudian hukum negara Australia ini,
orang-orang Aborijin kehilangan hak mereka atas tanah, dipaksa berbicara bahasa
Inggris, dilarang menjalankan kebiasaan dan praktek keagamaan serta kebudayaan
mereka (kecuali akhir-akhir ini mulai diizinkan lagi). Hukum kolonial dan kemudian
hukum negara Australia itulah yang memberikan kepada orang Australia putih hak
atas tanah dan pada saat yang bersamaan menghalangi orang-orang Aborijin
berburu, menangkap ikan dan menduduki tanah yang selama ribuan tahun
merupakan tanah pusaka mereka. Dengan sarana-sarana legislasi dan pengaturan
pemerintah memberikan lisensi penambangan di atas lokasi-lokasi keramat/suci dan
secara esensial memusnahkan hak-hak dan praktek-praktek tradisional orang
Aborirjin yang selama ini dinikmati berdasarkan hukum komunal mereka.

Bagi orang-orang Moro di Filipina, penduduk asli Amerika dan orang Aborijin di
Australia serta banyak lagi kelompk etnis lainnya di dunia ini, konfik kekerasan
sering terjadi dan telah berlangsung ratusan tahun. Dalam konfik-konfik tersebut
sering kali melibatkan aparat hukum negara atau penguasa kolonial yang dibantu
oleh militer dan keunggulan teknis dengan tujuan untuk menundukkan dan
menguasai kelompok-kelompok etnis tersebut dan akhirnya mengambil alih tanah
dan sumber alam milik mereka.
Namun berdasarkan kenyataan ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa
konfik-konfik etnis ini bisa dijelaskan dengan hanya melihat pada faktor-faktor
hukum, perundang-undangan dan kebijakan negara semata yang menjadi
penyebabnya. Kiranya lebih tepat jika dikatakan bahwa faktor-faktor ini merupakan
unsur-unsur penting dan merupakan penyebab utama ditambah dengan sejumlah
faktor lain yang ikut menjadi faktor pendukung timbulnya konfik, termasuk di
dalamnya unsur sosiologis, politik dan bahkan faktor psikologis.
IV.

Negara dan Netralitas Etnis

Kadang-kadang terdapat kecenderungan untuk menganggap bahwa suatu negara
modern, yang dicirikan dengan adanya lembaga dan konsep hukum dan politik Barat

seperti partisipasi demokrasi, liberalisme ekonomi, dst., entah bagaimana sepertinya
dapat terluput (atau meluputkan dirinya) dari masalah-masalah etnis. Juga ada
pandangan yang mengatakan bahwa negara-negara yang di perbatasannya terjadi
konfik etnis berbuat yang sama dengan alasan penduduknya bertindak “irasional”.
Biasanya isyu etnis seperti ini dimanfaatkan untuk tujuan dan keuntungan politis.
Pandangan semacam ini lebih bersifat simplistik dan mengabaikan beberapa unsur
krusial. Filsuf Yael Tamir menggambarkan tentang hal ini sebagai berikut:
Dengan demikian, suatu negara liberal yang menekankan peranannya
sebagai mediator yang netral dan sebagai calo yang jujur bagi kepentingankepentingan individu, dilarang untuk mempromosikan atau mengekspresikan
suatu rancangan hidup atau konsepsi tentang baik-buruk, dan menjamin
semua anggota masyarakatnya memperoleh kesempatan yang sama untuk
mengejar tujuan-tujuan yang telah mereka tetapkan. Negara tidak hanya
diharuskan untuk bertindak seolah-olah tidak berpihak pada suatu warna kulit,
atau budaya, gender, atau agama tertentu, namun negara juga sudah
seharusnya bebas dari segala sikap yang mengidentifikasikan dirinya hanya
sebagai wakil dari kelompok atau individu tertentu. Itulah sebabnya negara

4

dipandang sebagai suatu perwujudan dari humanitas abstrak, yang mewakili

citra kemanusiaan universal yang mempersatukan semua manusia. 1
Sekalipun bisa terdapat beberapa elemen kebenaran dalam pandangan ini, namun
dalam pengertian ini ada satu premis yang harus digarisbawahi, yaitu bahwa
pemikiran semacam ini menganggap bahwa di dalam suatu masyarakat yang
modern, maju dan demokratis kita tidak perlu merasa prihatin dengan isyu-isyu etnis.
Suatu hal yang luput dari pandangan tentang kemanusiaan ini adalah bahwa
manusia bukan hanya sekedar unit produksi ekonomi: setiap individu mengejar
tujuan hidupnya dan mempunyai cita-cita yang tidak terbatas hanya pada mengejar
kesenangan dan menghindari kesakitan. Manusia dan juga masyarakat mempunyai
gagasan tentang adil dan tidak adil. Konfik-konfik etnis sangat sering melibatkan
tujuan-tujuan yang non-utilitarian karena bagi banyak individu hal-hal seperti agama,
bahasa dan bahkan budaya bisa merupakan sesuatu yang sama pentingnya dengan,
atau bahkan dalam kondisi tertentu lebih penting dari pada, upaya-upaya mendapat
kesenangan hedonistis.
Di mana ada komunitas, di situ anggota-anggotanya akan memiliki kepentingan atas
hakekat kolektif yang akan diusahakan pengembangannya sebagian karena hal
tersebut membantu mereka untuk bertahan hidup sebagai suatu komunitas dan
melanggengkan apa yang dinilai sesuai dengan yang telah ditentukan, dan sebagian
lagi demi kepentingan pribadi atau individu dari setiap anggota masyarakat tersebut.
Namun demikian hubungan antara pemerintah dan individu dalam suatu negara

modern sering ditempatkan berbeda, khususnya dalam kaitan dengan demokrasi.
Pemerintahan yang representatif dalam suatu negara yang demokratis dikatakan
harus mewakili semua masyarakat karena setiap anggota masyarakat berhak ikut
serta dalam pembentukan pemerintahan, baik melalui pemilihan umum bebas atau
mekanisme lain, dan mereka dapat secara bebas menyuarakan keprihatinan dan
ketidakpuasan mereka. Oleh karena semua individu turut ambil bagian dalam hal ini
tanpa memandang latar belakang etnis, maka negara itu sendiri dipandang sebagai
sesuatu yang netral dan universal, dalam mana aturan-aturan hukum dan kebijakankebijakannya berlaku bagi setiap individu tanpa perbedaan. Itulah sebabnya secara
esensial suatu negara itu seharusnya bukanlah suatu kesatuan etnis atau komunitas
politis.
Akan tetapi, pandangan tentang individu dalam suatu negara modern seperti ini
adalah merupakan abstraksi yang memiliki kaitan yang kecil saja dengan cara
individu-individu itu berinteraksi dengan pemerintahnya. Kemusykilan pandangan
atau fiksi semacam ini telah banyak dituding oleh sejumlah pakar. Sebagai contoh,
Tamir menekankan bahwa pada kenyataannya tidak terdapat jalan untuk
menghindari, setidaknya secara tidak langsung, identifikasi negara, lembagalembaga dan hukum-hukumnya dengan kepentingan kolektif dari kelompok manapun
yang menguasai negara tersebut. Biasanya, ini berarti juga bahwa kelompok
masyarakat mayoritas akan bisa menikmati penggunaan bahasa mereka yang
dijadikan sebagai bahasa resmi dalam lingkungan pemerintahan, agama mereka
akan di-“institusionalisasi”kan oleh negara baik itu secara resmi maupun tidak, dan

secara langsung atau tidak, dalam berbagai cara dan jalan, budaya, bahasa, tradisi
dan bahkan agama dari kelompok mayoritas ini secara “alamiah” akan lebih
difavoritkan.:
Mereka yang menciptakan sistem politik, menetapkan peraturan, menduduki
posisi kunci dan yang menjalankan birokrasi negara terikat dengan suatu
1

Tamir, Yael. 1993. Liberal Nationalism. Princeton. Princeton University Press, hal. 145.

5

budaya yang oleh mereka tidak dapat dihindari akan terbawa ke dalam
domain politik, sehingga pemisahan antara negara dan budaya menjadi
sesuatu yang tidak mungkin. Yang terjadi kemudian adalah anggota
masyarakat minoritas merasa diasingkan…kelompok minoritas …akan
dikalahkan dalam pemungutan suara atau penentuan pendapat mengenai
isyu-isyu yang genting bagi kelangsungan hidup komunitas mereka, suatu
ancaman yang tidak dihadapi oleh kelompok masyarakat mayoritas. Hasilnya,
“mereka terpaksa harus menggunakan segala sumber daya yang ada di
tangan mereka untuk mengamankan keanggotaan budaya mereka yang

memberikan makna bagi kehidupan mereka, sementara kelompok
masyarakat mayoritas mendapatkan semua ini secara cuma-cuma.” 2
Pandangan ini dapat dikatakan didukung oleh seorang pakar hukum yang juga
menulis tentang masalah konfik etnis. Donald Horowitz bahkan lebih jauh
mengatakan bahwa kontrol negara sering merupakan isyu sentral dalam konfik
etnis. “… karena jumlah menentukan siapa yang memegang kekuasaan dominan
atas politik …Jumlah merupakan indikator tentang siapa yang menguasai negara.”
Yang mungkin lebih baik penggambarannya tentang isyu sentral ini adalah bahwa di
kebanyakan negara-negara di dunia, “pemerintahan oleh mayoritas” biasanya juga
berarti pemerintahan kelompok mayoritas, yang konsekwensinya bahwa kelompok
etnis minoritas didominasi oleh kelompok mayoritas yang menguasai negara, seperti
dikatakan oleh Horowitz:
Di Sri Lanka pernah dicoba diputuskan dalam suatu perundingan apakah
negara tersebut “milik” kelompok Sinhala atau Tamil… Asumsi dasar di atas
mana persoalan ini diletakkan ialah bahwa kekuasaan politik suatu kelompok
akan dipakai untuk kepentingan eksklusif kelompok tersebut dan untuk
menggeser kelompok yang lain…Di setiap tempat dominasi berarti kontrol
politik. Di mana-mana dipertanyakan tentang siapa “pemilik sesungguhnya
dari negara” dan dipersoalkan tentang siapa akan menguasai siapa. 3
Dalam hal ini kontrol politik suatu kelompok etnis tertentu penting karena negara
ternyata tidak netral. Kebanyakan anggota-anggota kelompok minoritas menyadari
bahwa negara, terutama dalam tatanan demokratis, akan cenderung melayani
kepentingan kelompok mayoritas yang memilih dan membentuk pemerintahan
secara lebih khusus dan dengan cara tertentu akan mengenyampingkan kelompok
minoritas.
Seseorang dapat mengilustrasikan kenyataan ini dengan melihat kondisi yang terjadi
pada masyarakat Aborijin di Australia. Seandainya orang Aborijin masih merupakan
mayoritas di Australia, maka sangat mungkin mereka akan mampu mempertahankan
apa yang menjadi bagian dari agama, budaya, bahasa dan kepentingan mereka
terhadap tekanan institusi dan aturan hukum negara Australia yang didominasi oleh
kulit putih/orang Eropah. Segera sesudah orang Eropah menjadi kelompok mayoritas
di Australia, pilihan tersebut hilang, karena dalam suatu negara yang mayoritasnya
orang Eropah, maka sudah tentu hukum negara tersebut akan merefeksikan budaya,
kebiasaan dan kepercayaan agama kelompok mayoritas tersebut, sementara
kebudayaan, hukum dan agama kelompok minoritas Aborijin akan tersingkir.
Orang bisa memperluas pandangan ini dengan mengatakan bahwa negara modern
tidak akan pernah secara etnis bersikap netral sepenuhnya apabila melihat contoh
tentang agama negara di dalam satu negara modern dan sekular seperti Australia.
2
3

Lihat catatan kaki no. 1, hal. 149
Horowitz, Donald. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley. University of California Press, hal. 188.

6

Australia sebenarnya tidak memiliki agama resmi negara, dan sistem hukum dan
politiknya berdasarkan pada prinsip pemisahan antara negara dan gereja. Sekalipun
sebagai satu negara sekuler Australia tidak memiliki agama resmi negara, namun di
sejumlah daerah pedesaan (country) pada tingkat pemerintahannya, agama Kristen
diperlakukan lebih khusus melalui penatapan aturan-aturan hukum dan kebijakankebijakan pemerintah.
Sebagai contoh ketentuan hukum yang menetapkan bahwa pada hari Minggu dan
hari libur Kristen (misalnya Natal) pekerja/buruh mendapat bayaran sekalipun tidak
bekerja. Kelompok lain seperti masyarakat Yahudi dan Islam tidak menikmati
keuntungan seperti ini. Kalau salah satu dari hari-hari penting kelompok mereka
jatuh tidak bersamaan dengan hari Natal Kristen/Australia, mereka tidak secara
atomatis memiliki pilihan untuk tidak bekerja dengan tetap mendapat bayaran.
Karena mereka akan harus mengganti hari tersebut dengan hak mereka untuk
berlibur/cuti atau upah mereka akan dipotong. Jadi kelompok non-Kristen akan
dirugikan sementara kelompok Kristen menikmati keuntungan tersebut secara cumacuma.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan dengan cara-cara lain, satu
negara modern dan sekuler tidak pernah bersikap netral termasuk dalam hal
keagamaan. Seperti argumentasi Tamir, adalah sesuatu yang tidak mungkin bahwa
satu negara akan bersikap netral menghadapi isyu-isyu yang berkaitan dengan etnis/
kesukuan. Budaya, bahasa, agama atau preferensi lain yang dimiliki oleh kelompok
mayoritas yang mengontrol jalannya pemerintahan dan politik negara termasuk
institusi hukumnya akan selalu dijabarkan atau diperlakukan lebih khusus di dalam
kelembagaan politik dan hukum suatu negara.
V.

Negara, Preferensi Etnis dan Hak Asasi Manusia
[Adalah sesuatu] yang tidak sulit untuk menentukan bahwa pelanggaran
terhadap hak-hak atas kebebasan dan non-diskriminasi akan memperburuk
konfik di dalam masyarakat yang secara etnis terbelah, dan juga tidak sulit
untuk mengetahui bahwa pelaksanaan dan ketaatan pada norma-norma
tersebut akan mengurangi konfik.4

Sejak kira-kira bad XVII di Eropah dan kemudian di beberapa bagian dunia lain,
konsep tentang negara dan pemerintah telah bergeser ke arah pemusatan
kekuasaan. Kalau sebelumnya masih bisa dilihat adanya bentuk-bentuk
kontrol/pengawasan atas kebijakan negara yang dilaksanakan oleh pemimpinpemimpin agama dan masyarakat setempat, saat ini suatu nation-state secara
bertahap telah berevolusi menjadi negara yang bersifat “all-inclusive” dan “allintrusive”, artinya negara ikut serta dan turut campur tangan dalam semua segi
kehidupan masyarakat). Hampir di semua negara sekarang ini para pemimpin agama
dan tokoh masyarakat telah kehilangan peran dan pengaruhnya terhadap negara.
Dengan kata lain, suatu nation-state modern sekarang ini secara bertahap telah atau
sedang mengganti atau menguasai banyak segi dan bentuk kehidupan sosial
masyarakat atau paling tidak mengaturnya.
Fenomena modern ini mempunyai dampak yang mengancam terutama terhadap
keberadaan kelompok minoritas. Semakin suatu negara ikut campur dalam
kehidupan individu suatu masyarakat, semakin terbuka kemungkinan bahwa negara
tersebut akan menjalankan kebijakan yang menguntungkan kelompok mayoritas
dalam hal agama, bahasa dan budaya.
4

Little, David. 1996. Belief, Ethnicity, and Nationalism. Washington, D.C. United States Institute of Peace.
http://www.usip.org/research/rehr/belethnat.html, alinea 12.

7

Sebagai contoh, kurang lebih satu abad yang lalu di Myanmar tidak ada sistem
pendidikan umum yang wajib. Hal ini berarti kebanyakan anak-anak suku minoritas
akan dididik di dalam dan menurut kebiasaan kelompok tersebut baik dalam hal
bahasa, budaya dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Karen dan Chin,
dan kelompok lainnya. Bahkan pada masa pemerintahan Ingrris dan kelompok
mayoritas Burma, hal pendidikan tidak menjadi persoalan, karena pemerintah waktu
itu termasuk aturan hukumnya tidak mempunyai pengaruh atau peran yang berarti
terhadap eksistensi dan aktivitas orang-orang Karen dan Chin. Pada masa itu juga
sangat sedikit keterlibatan pemerintah atau negara dalam masalah-masalah ekonomi
dan pemanfaatan tanah.
Namun pada saat ini apa yang terjadi di Myanmar berbeda sekali dengan yang dulu.
Sejalan dengan berkembangnya Myanmar menjadi suatu negara yang modern,
banyak hukum dan program pemerintah yang mengatur dan mencampuri hampir
setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan kelompok minoritas. Pada
saat pemerintahan menjadi lebih modern, maka mulailah pemerintah ikut terlibat di
dalam lebih banyak lagi segi kehidupan masyarakat. Jasa pelayanan umum menjadi
semakin besar yang juga berarti penciptaan kesempatan kerja di sektor publik. Hal
ini berarti pula meningkatnya campur tangan kelompok mayoritas melalui
pemerintah dalam hal bahasa, budaya dan agama: Budisme menjadi agama resmi
negara, pendidikan umum wajib diterapkan, bahasa resmi negara adalah bahasa
kelopmok mayoritas, yang kesemuanya mencerminkan budaya mayoritas, bahkan
kesempatan kerja di sektor publik dan pemerintahan kebanyakan diberikan kepada
masyarakat yang mempunyai budaya, bahasa dan agama seperti yang dimiliki oleh
kelompok mayoritas.
Tamir, dalam bagian lain mengatakan:
Suatu negara minimal, oleh karena “kekecilannya”, masih dapat dilihat
sebagai netral, bahkan meskipun negara tersebut menentukan konsepsi
tentang baik-buruk, asalkan negara tersebut dalam batas-batas tertentu
menahan diri dari ikut campur tangan di dalam kehidupan anggota
masyarakatnya. Yang dibutuhkan hanyalah bahwa negara minimal tadi bisa
menunjukkan toleransi dan dapat menahan diri untuk tidak ikut campur
tangan dalam urusan mereka yang memiliki konsepsi tentang baik dan buruk
(budaya, bahasa, agama) yang berbeda. Tapi dalam negara kesejahteraan
yang dikenal dengan welfare state (negara modern yang lebih “usil”) yang
komitmennya ialah menjamin agar setiap anggota masyarakat memperoleh
kesempatan yang sama dan adil dalam mengejar kebahagiaan hidup dan
dalam mengembangkan konsepsi baik-buruk, netralitas harus lebih dari
sekedar menahan diri dan toleransi.5
Di beberapa bagian dunia lain seperti Asia dan Afrika, pandangan seperti ini mungkin
hanya mengena sebagian pada saat kita mengamati bahwa akhir-akhir ini jumlah
konfik etnis yang terjadi semakin besar dibandingkan abad sebelumnya.
Namun bagaimana sebenarnya norma-norma atau standard hak asasi manusia dan
minoritas ini dapat membantu mencegah konfik etnis? Jawabannya adalah bahwa
norma-norma tersebut dapat berperan sebagai mercu suar atau rambu-rambu tanda
bahaya yang memberikan peringatan dini kepada negara akan adanya bahaya
meletusnaya konfik etnis dan meunjukkan arah yang sebaiknya diambil apabila
konfik tersebut telah meletus. Dalam kaitan berfungsinya norma-norma hak asasi
dan hak minoritas ini Stavenhagen mengatakan:
5

Lihat catatan kaki no. 1, hal. 145-146.

8

Konfik etnis umumnya merupakan perselisihan tentang kepentingan
(interest) atau perjuangan menuntut hak: hak atas tanah, pendidikan,
penggunaan bahasa, perwakilan dalam politik, kebebasan beragama,
pengakuan dan pelestarian identitas etnis, hak otonomi, hak menentukan
nasib sendiri dan sebagainya. Pada waktu-waktu tertentu, kelompok minoritas
merasa dirugikan secara ekonomi dan politik oleh kelompok mayoritas yang
lebih unggul dalam hal ekonomi dan politik. Apabila ini terjadi, maka
kelompok mayoritas mulai mengatur barisan untuk mempertahankan
kepentingan dan hak-hak mereka dari ancaman kelompok mayoritas yang
pada saat bersamaan justru berbicara soal hak, kepemilikan bersama dan
kepentingan nasional.6
Norma hak asasi manusia akan menjadi garis pertahan pertama menghadapi
penyimpangan negara dan dalam fungsi seperti itu norma HAM dapat juga
membatasi penerapan preferensi etnis mayoritas oleh penguasa negara. Kesimpulan
seperi ini mungkin mengejutkan, namun sebenarnya hal itu tidaklah luar biasa. Salah
satu prinsip HAM yang pertama-tama diakui dan diterima sebagai prinsip hukum
kebiasaan internasional adalah kebebasan beragama (freedom of religion). Norma
HAM ini dirumuskan sebagai reaksi dari prinsip yang sebelumnya diterapkan yaitu
cuius regio, eius religio yang pada prinsipnya berarti satu penguasa satu agama.
Dengan prinsip ini dimungkinkan adanya penerapan agama resmi negara (yang
biasanya merupakan agama kelompok mayoritas) terhadap semua penduduk
(termasuk kelompok minoritas yang biasanya beragama lain), prinsip mana, jika
terus dipaksakan penerapannya, pada gilirannya akan menciptakan ketegangan dan
konfik. Oleh karena itu pengakuan tentang kebebasan beragama yang di Eropah
telah diterima sejak lima abad yang lalu itu adalah merupakan pengakuan atas
prinsip bahwa negara seharusnya tidak lagi mempunyai “carte blanche” (kekuasaan
penuh) di dalam aspek kehidupan tertentu warganya.
Dalam konteks inilah norma-norma hak asasi dan hak minoritas tersebut harus
dipahami. Bagi anggota kelompok masyarakat minoritas, pengakuan atas hak-hak
tersebut berarti memiliki garis pertahanan menghadapi tindakan negara yang
opresif, intoleran dan indifferent. Kebebasan beragama, kebebasan menyatakan
pendapat dan non-diskriminasi dalam hal agama, budaya, bahasa dan ras serta etnis
–hak untuk menggunakan bahasa, menjalankan ajaran agama dan budaya serta hak
untuk menguasai tanah leluhur/tradisional- dari kelompok minoritas jika diakui dan
dihormati oleh negara, maka ini merupakan kemenangan bagi usaha-usaha untuk
mencegah kelompok mayoritas menguasai dan menjalankan pemerintahan negara
yang hanya dipakai untuk memberikan keuntungan begi kelompok mayoritas
tersebut. Norma-norma tersebut berpotensi untuk mengekang negara dalam
menerapkan preferensi-preferensi etnis.
Interaksi antara penggunaan bahasa dan kebebasan mengeluarkan pendapat
merupakan contoh konkrit mengenai relevansi hak-hak asasi individu ini khusus bagi
anggota masyarakat minoritas. Di beberapa negara, antara lain Turki dan Indonesia,
terdapat peraturan yang melarang penggunaan bahasa tertentu. Hanya baru-baru ini
saja larangan tersebut dicabut dengan pemberitahuan biasa atau melalui media
massa. Di Indonesia dengan Keppres bulan Mei 1999 ditetapkan pencabutan
larangan menggunakan bahasa Cina di hadapan umum.

6

Stavenhagen, R. 1988. “Ethnic Conflict and Human Rights: Their Interrelationship”, dalam K.
Rupesinghe, ed. Ethnic Conflict and Human Rights. Tokyo: United Nations University Press: 17-24, hal.
19-20.

9

Pemerintahan di negara-negara seperti ini menganggap bahwa ketentuan-ketentuan
yang melarang seperti itu dibutuhkan untuk pengembangan dan perlindungan
bahasa nasional mereka yang pada kenyataanya adalah merupakan bahasa
kelompok mayoritas negara tersebut. Dan justru hal semacam inilah yang dilihat oleh
kelompok minoritas, yang secara jumlah cukup besar, sebagai suatu tindakan yang
menyerang identitas budaya dan etnis mereka dan juga merupakan campur tangan
negara yang tidak sah di dalam upaya pelestarian identitas mereka serta merupakan
tindakan yang tidak menghormati atau menghargai eksistensi kelompok minoritas
tersebut.
Hak asasi manusia internasional dalam hal ini menjadi semacam batu petunjuk arah
dan jalan yang akan mencegah diterapkannya bentuk-bentuk peraturan yang tidak
akseptabel dan bersifat preferensi terhadap etnis tertentu dan dengan demikian
dapat menghindari masuknya unsur tambahan yang akan menimbulkan kemarahan
dan frustrasi etnis.
Sekalipun mungkin hak-hak ini tidak secara spesifik ditujukan untuk melindungi
kelompok minoritas, namun secara tidak langsung hak-hak tersebut menyediakan
perlindungan bagi kelopmpok minoritas dalam menghadapi serangan negara atas
karakteristik-karakteristik minoritas yang berkaitan dengan agama, bahasa dan
budaya. Bentuk-bentuk serangan negara terhadap karakteristik-karakteristik tersebut
dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Menerapkan secara paksa nilai-nilai kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas.
2. Pembatasan penggunaan bahasa, praktek keagamaan dan penyebaran nilai-nilai
budaya kelompok minoritas, bahkan sekalipun hal ini hanya dilakukan di dalam
lingkungan kelompok tersebut.
3. Penerapan secara tidak sah dan tidak adil syarat-syarat yang berkaitan dengan
agama, budaya dan bahasa terhadap kelompok masyarakat tertentu (minoritas)
terutama pada waktu meng-claim jasa-jasa pelayanan umum dan bantuanbantuan yang sebenarnya oleh negara disediakan bagi seluruh warga
masyarakat.
Inilah beberapa dari norma-norma internasional khususnya yang berkaitan dengan
hak asasi dan hak minoritas yang harus diperhatikan oleh negara dalam
memperlakukan kelompok minoritasnya. Meskipun norma-norma dan standar ini
hanya bersifat umum, namun dengan itu dapat juga dikonstruksi suatu teori yang
merupakan blueprint yang akan memberikan pengertian tentang bagaimana suatu
konfik etnis itu bisa terjadi:
1. Dalam kadar tertentu, negara sering menunjukkan pilihan pertamanya
(preferensi) khususnya dalam kaitan dengan bahasa, agama dan budaya. Dengan
menggunakan sarana seperti kelembagaan, kebijakan dan hukum, negara lebih
mangakui dan melindungi karakteristik dan kepentingan kelompok masyarakat
tertentu (mayoritas) dan bahkan menganggap bahwa karakteristik kelompok
mayoritas itulah yang merupakan karakteristik negara. Sikap negara ini
berdampak pada kelompok minoritas setidaknya dalam dua cara/dimensi: secara
emosi/perasaan atau simbolis dan dalam hal materi.
2. Dengan menunjukkan sikap preferensi, atau merugikan atau mengenyampingkan
kelompok lain dalam memperoleh kesempatan atau keuntungan seperti ini, dapat
mempunyai konsekwensi materi dan ekonomi.
3. Karena hakekat negara yang ‘harus terus berbuat sesuatu’ bagi indvidu, maka
terdapat hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi yang berkaitan dengan agama,
bahasa dan budaya ini yang mempunyai akibat secara materi.

10

4. Dalam banyak kasus konfik etnis di Asia dan juga bagian dunia lainnya, terdapat
cukup bukti bahwa kelompok etnis minoritas merasa “ditekan” atau
“didiskriminasi”. Dalam situasi seperti ini peran kebijakan negara ikut terlibat di
dalamnya yang dapat digolongkan sebagai pengingkaran terhadap hak-hak asasi
dasar individu dalam bidang agama, budaya dan bahasa.
5. Kemungkinan penyelesaian “terbaik” atas kasus konfik etnis adalah
mengupayakan cara-cara yang didasarkan pada model atau contoh yang
cenderung mampu membatasi sikap preferensi negara yang diarahkan untuk
menentang kepentingan kelompok minoritas, termasuk di dalamnya penetapan
aturan hukum dan konstitusi negara yang membatasi penggunaan bahasa dan
ajaran agama minoritas serta sistem pendidikan/persekolahan bagi kelompok
minoritas.
Garis-garis besar pedoman di atas menunjukkan bahwa ada kaitan antara
pelanggaran hak asasi dalam bidang agama, bahasa dan budaya dengan konfikkonfik etnis, seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
VI.

Preferensi Etnis dan Meletusnya Konfikk Kasus Sri Lanka
Satu-satunya pendekatan konstruktif terhadap nasionalisme yang dikaitkan
dengan kecemasan kelompok minoritas bahwa secara budaya dan politik
mereka akan diasimilasi oleh kelompok mayoritas adalah perlindungan yang
memadai atas hak-hak minoritas. Untuk tujuan ini, setidaknya persyaratan
berikut ini harus dipenuhi: perlindungan aktif terhadap kelompok minoritas,
dengan tujuan tidak hanya sekedar toleransi namun juga secar aktif
mengembangkan identitas minoritas, hak otonomi yang luas atas budaya
seperti dalam hal bahasa, pendidikan dan media, terjaminnya hak-hak untuk
ikut dalam politik dan pemerintahan, seperti perwakilan yang proporsional di
dalam pemungutan suara atau pemilu, adanya jaminan hak veto, jaminan
perlakuan hukum sesuai prosedur yang sah dan perlindungan hukum lainnya. 7

Situasi di Sri Lanka adalah salah satu contoh di mana banyak terdapat sumber konfik
dan akhirnya akan menjadi konfik jika pemerintah tidak berhati-hati dalam sikap
preferensinya dan dengan itu melanggar hak asasi. Kelompok masyarakat Tamil
yang kebanyakan menempati wilayah di utara dan timur negara tersebut, mewakili
kira-kira 18% jumlah penduduk dalam mana 5 di antara 6% merupakan “imigran”
yang dibawa oleh penguasa kolonial Inggris dulu dan sampai sekarang oleh
pemerintah Sri Lanka tidak diakui sebagai warga negara .
Pada masa penjajahan Inggris di negara yang waktu itu disebut Ceylon, orangorang
Tamil –atau setidaknya sebagian kelompok elitnya- mampu untuk secara relatif
menghidupi dirinya dengan sangat baik. Mereka dulu mempunyai akses yang lebih
besar ke pusat-pusat pelayanan dan jasa umum di bawah pemerintahan penjajah
Ingrris dari pada kelompok Sinhala, karena orang Tamil lebih bisa berbahasa Inggris
dari pada orang Sinhala. Lagi pula, kebijakan seperti ini memang merupakan politik
Inggris untuk mencegah kemungkinan usaha perlawanan yang akan dilakukan oleh
kelompok mayoritas, yang tentunya akan lebih sulit diatasi.
Pada masa itulah kelompok Sinhala yang merupakan 74% dari penduduk merasa
bahwa kepentingan mereka tidak diperhatikan dan bahkan dirugikan, terlebih dalam
hal pekerjaan. Keadaan ini perlahan-lahan mulai berubah sejalan dengan makin
banyaknya orang Sinhala yang ikut dalam pemerintahan. Pada waktu penguasa
Inggris menerapkan prinsip pemungutan suara universal di dalam Dewan Negara
7

Senghaas, Dieter. 1993. Les conflits etniques ou le retour des nationalismes. Paris. Institute for Security
Studies of the Western Europe Union, hal. 26.

11

pada tahun 1931, kelompok-kelompok minoritas khususnya Tamil, berkeberatan
dengan mengatakan bahwa harus ada perlindungan kelompok minoritas dalam
konstitusi. Namun hal ini ditolak oleh penguasa Inggris.
Dengan presentase sebesar 74% dari jumlah penduduk, maka tidak heran jika
jabatan “dewan menteri” menjadi hak ekslusiv orang Sinhala. Keadaan ini tidak
menjadi lebih baik pada waktu negara ini merdeka dari kekuasaan penjajah Inggris
dan memiliki pemerintahan demokratis. Salah satu dari undang-undang negara
pertama yang dibuat di negara Sri lanka pada tahun 1948 adalah undang-undang
yang menghapus hak suara kelompok minoritas orang Tamil (yang berjumlah 5%)
yang dulu di bawa oleh penguasa Inggris, karena dianggap bukan warga negara Sri
Lanka.
Walalupun isyu kewarganegaraan ini dalam hukum internasional sangat sensitif,
namun jelas bahwa prinsip non-diskriminasi berlaku juga bagi proses naturalisasi,
sehingga undang-undang kewarganegaraan 1948 negara Sri Lanka ini, untuk saat ini,
dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap pasal 26 International Covenant on
Civil and Political Rights (Konvensi Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik).
Dan ini bukan satu-satunya tindakan negara yang menunjukkan adanya preferensi
etnis yang merupakan kontribusi bagi merosotnya situasi yang secara bertahap
menuju konfik etnis, yang mana hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia internasional.
Kondisi ini masih diikuti dengan yang lain. Sekalipun telah disepakati dan menjadi
komitmen negara bahwa bahasa Tamil dan Sinhala akan menjadi bahasa resmi di
samping Inggris, pemerintah saat ini mulai melakukan upaya untuk
mengenyampingkan penggunaan bahasa Tamil dan hanya mengakui bahasa Sinhala
dan Inggris sebagai bahasa resmi negara. Keadaan ini bahkan lebih dipertegas
(diperburuk) setelah pada tahun 1956 pemerintahan baru terbentuk yang sangat
dekat dan bahkan diidentikkan dengan etnis mayoritas Sinhala. Pada waktu itu
bahkan bahasa Inggrispun dihapus sebagai bahasa resmi, dan yang tinggal hanyalah
bahasa Sinhala.
Praktisnya, orang-orang Tamil digeser dari banyak, kalau tidak kebanyakan, posisi
dalam pemerintahan dan pekerjaan hanya karena preferensi bahasa, yang pada
tahun 1970-an kelompok Tamil ini hanya terwakili sedikit sekali dalam pemerintahan
dan kepegawaian.
Dalam artian hukum, tindakan negara/pemerintah semacam ini, dalam mana
kelompok masyarakat minoritas yang sebenarnya cukup besar ini dirugikan dan
dikesampingkan dalam hal pekerjaan, pemerintahan, dan kepegawaian berdasarkan
preferensi bahasa seperti yang dialami orang Tamil ini, sudah merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan internasional seperti yang terkandung dalam pasal
26 Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.
Ada lagi tindakan-tindakan lain dalam kaitan mencari pekerjaan dan memperoleh
pendidikan yang terus menciptakan situasi tegang dan konfik. Dalam hal pendidikan
misalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menuntut orang Tamil untuk
memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada orang Sinhala apabila hendak masuk ke
universitas. Ini bisa merupakan bentuk diskriminasi dilihat dari hukum internasional.
Ada juga kebijakan pemerintah yang dikenal dengan transmigrasi yang diterapkan
pada tahun 1930-an. Dengan kebijakan pemrintah ini, orang-orang Sinhala dibawa
(ditransmigrasikan) ke daerah-daerah yang secara tradisional milik orang Tamil.
Program ini disertai dengan bantuan negara bagi para transmigran yang nanti akan

12

menduduki tanah-tanah yang diberikan pemerintah/negara kepada mereka.
Kebijakan ini tentu saja dilihat oleh orang Tamil sebagai suatu tindakan yang akan
mengancam eksistensi dan integritas etnis serta budaya mereka. Sekali lagi,
tindakan negara ini dilihat dari sudut pandang hukum internasional bisa merupakan
pelanggaran atas prinsip non-diskriminasi.
Sebenarnya, konfik etnis yang meminta korban jiwa di Sri Lanka baru betul-betul
terjadi pada sekitar tahun 1956 sebagai reaksi kemarahan dan frustrasi yang
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang melanggar hak asasi manusia, terutama
yang berkaitan dengan prinsip non-diskriminasi dalam hal bahasa dan ras, dalam
kaitan dengan pekerjaan, pendidikan, pemanfaatan tanah dan kewarganegaraan.
Bentuk-bentuk diskriminasi lain yang terjadi sesudah tahun 1956 adalah:









Pegawai negeri orang Tamil yang diangkat sebelum tahun 1956 dikecualikan dari
persyaratan penggunaan bahasa Sinhala. Namun demikian beberapa dari mereka
ternyata harus kehilangan pekerjaan.
Kenaikan upah tidak diberikan kepada pekerja yang tidak terlalu lancar
nerbahasa Sinhala, atau bahkan sebagian dipaksa untuk mengundurkan diri
(pensiun).
Pengangkatan pegawai baru terutama diperuntukan bagi orang-orang Sinhala
dan beragama Budha.
Orang Tamil diberi tenggang waktu tertentu untuk bisa berbicara Sinhala secara
lancar, kalau tidak akan dipecat dari pekerjaan.
Individu dilarang berkomunikasi dalam bahasa Tamil dengan pemerintah pusat.
Urusan-urusan resmi dianggap tidak sah jika dilakukan dalam bahasa Tamil.

Terjadi proses bertahap dalam bertambahnya frustrasi yang dirasakan oleh kelompok
minoritas yang secara demografis tidak memiliki wilayah dan pengaruh yang cukup
luas untuk dapat melakukan bargain dengan politisi yang lebih berkonsentrasi untuk
memperoleh dukungan dari kelompok mayoritas Sinhala. Secara esensial tidak ada
perlindungan hak asasi dalam konstitusi bagi etnis minoritas di Sri Lanka. Karena
tidak ada cara atau jalur yang tersedia bagi kaum minoritas untuk mengedepankan
situasi tersebut, juga karena ketidaksanggupan kaum minoritas untuk menghasilkan
bentuk perlindungan yang nyata sekalipun di bawah sistem pemerintahan yang
demokratis, tingkat frustrasi makin meningkat.
Dipandang dari perspektif hak asasi manusia, sebab-sebab terjadinya konfik etnis di
Sri lanka sangat jelas: diskriminasi yang terus menerus seperti “pengaturan hanya
oleh orang Sinhala”, dikombinasikan dengan peran enterpreneur politik, mencuatnya
intoleransi terhadap etnik lain dan polarisasi dalam seluruh tatanan etnis, membawa
Sri Lanka ke perang saudara. Berbagai kebijakan pemerintah dan peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan standar hak asasi manusia
internasional terutama yang berkaitan dengan diskriminasi bahasa dan agama,
merupakan faktor-faktor penyebab timbulnya kekerasan etnis di negara tersebut.
Berhubung persentasi penduduk suku Tamil cukup besar yang secara teritorial
terkonsentarsi dan secara budaya, agama dan bahasa berbeda dari kelompok
mayoritas Sinhala, maka praktek-praktek diskrimansi yang terus dijalankan oleh
negara dalam bidang agama, bahasa dan budaya serta tidak mampunya rezim yang
demokratis merespons tuntutan kaum minoritas, semua ini
ibaratnya seperti
undangan bagi datangnya kekerasan dan pada akhirnya muncul tuntutan pemisahan
diri.
VII.

Tinjauan Terhadap Beberapa Masalah yang Dihadapi Indonesia

13

Bagaimana premis-premis atau dalil-dalil dan prinsip-prinsip yang disebutkan di atas
bisa diterapkan di Indonesia? Hal ini mungkin dapat dilihat secara lebih jelas dengan
memfokuskan perhatian pada contoh spesifik yang terjadi di Aceh.
Orang Aceh dulu ikut berperang untuk kemerdekaan Indonesia sebagian dengan
harapan Indonesia akan menjadi negara federal. Ini sempat menjadi kenyataan
ketika berlakunya Konstitusi RIS tahun 1949/1950. Namun konstitusi ini segera
diganti dengan UUDS 1950 dan akhirnya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diganti
lagi dengan UUD 1945, dan dengan demikian Indonesia kembali menjadi, dan sampai
sekarang, negara kesatuan yang sangat sentralistis.
Sekalipun beberapa ahli meng-claim bahwa etnik konfik di Aceh baru mulai terjadi
pada akhir 1980-an, namun sebenarnya hal itu telah terjadi sedikit lebih awal. Secara
esensial, terdapat tiga bidang utama yang menjadi isyu dalam ketegangan etnis di
Aceh. Ketiga-tiganya melibatkan kebijakan dan praktek-praktek negara yang secara
mendasar merupakan pelanggaran atas hak-hak internal orang Aceh.
Yang pertama yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan negara tersebut adalah
program transmigrasi. Sejak kira-kira akhir tahun 1950-an, dengan bantuan negaranegara donor Barat dan Bank Dunia senilai jutaan dolar, Jakarta secara hurufiah telah
dan masih terus mengirim transmigran asal pulau Jawa yang merupakan pulau
utama dan sangat dipadati penduduk ke Aceh dengan alasan untuk tujuan-tujuan
pemerataan pembangunan dan kesejahteraan.
Memang pada kenyataannya, dan hal ini bukan suatu kebetulan, kebanyakan
transmigran asal Jawa dikirim ke daerah-daerah yang merupakan wilayah yang
potensial untuk terjadinya konfik, termasuk Aceh.
Yang kemudian terjadi adalah bahwa tanah-tanah leluhur yang secara tradisional
merupakan hak pusaka penduduk asli setempat direbut dan hak-hak mereka atas
tanah tersebut tidak diakui. Tanah-tanah ini oleh pemerintah diberikan kepada para
transmigran.
Tidak diakuinya hak kepemilikan atas tanah tradisional atau dengan cara tertentu
dihilangkan atau diambilalihnya hak-hak tersebut dan kemudian diserahkan kepada
kelompok etnis lain adalah merupakan tindakan diskriminasi.
Bidang atau area kedua yang memberikan kontribusi bagi kemarahan orang Aceh
dan akhirnya meletus menjadi kekerasan etnis adalah yang berkaitan dengan
kesempatan kerja di sektor privat. Harap diingat bahwa Sumatra bagian utara adalah
suatu daerah yang terisolasi dari Indonesia dan penduduknya 90% orang Aceh. Di
samping kesempatan kerja di sektor privat ini, pemerintah juga banyak terlibat
dalam urusan pengembangan industri penting di Aceh.
Pihak-pihak berwenang di Indonesia yang terlibat dalam proyek-proyek industri besar
di Aceh kebanyakan mempekerjakan orang-orang yang bukan berasal dari Aceh,
walaupun tidak semuanya orang Jawa. Apakah ini disengaja atau tidak, dalam hal ini
jelas ada preferensi etnis dalam mempekerjakan seseorang, dan prekatek-praktek
semacam ini harus dilihat sebagai perlakuan diskriminatif bagi orang Aceh, yang
sangat mungkin telah melanggar pasal 26 Konvensi Internasional mengenai Hak-hak
Sipil dan Politik. Dalam beberapa kasus bahkan kebijakan penggunaan bahasa yang
diterapkna oleh pemerintah pusat menghambat orang Aceh untuk memperoleh
kesempatan kerja. Secara umum, orang-orang Aceh tidak sepintar orang Jawa dalam
berbahasa Indonesia. Berhubung bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa
rsmi dalam urusan pelayanan umum, mereka yang kurang lancar berbahasa

14

Indonesia seperti orang Aceh, dirugikan dan bahkan dikesampingkan dalam proses
pengangkatan pegawai. Sekali lagi, dalam kaitan dengan kasus Aceh yang
penduduknya lebih dari 3 juta orang yang terkonsentrasi di dalam satu wilayah
tertentu, kenyataan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran atas prinsip nondiskriminasi.
Hal lain, dan ini yang ketiga, yang menjadi isyu dalam konfik di Aceh, , adalah
agama. Orang Aceh meninginkan adanya pengakuan yang lebih luas dalam hal
agama Islam. Keinginan ini digabung dengan pelanggaran atas hak-hak kaum
minoritas Aceh seperti yang saya gambarkan di atas, merupakan suatu kombinasi
yang penting yang menyebabkan meningkatnya kekerasan menentang kekuasaan
negara yang, kiranya tepat jika dipandang merupakan atau digunakan sebagai alat
untuk menguntungkan orang-orang Jawa. Situasi terus bereskalasi sampai pada
tahap unjuk kekuatan yang menurut Palang Merah Internasional dalam satu
kesempatan rapat akbar untuk menuntut kemerdekaan (Kongres Rakyat Aceh) telah
melibatkan kurang lebih satu juta orang Aceh yang berarti sepertiga dari keseluruhan
kelompok minoritas ini. Suatu jumlah yang sangat besar, yang menunjukkan bahwa
ada sesuatu yang fundamental sedang terjadi di Aceh.
Orang Aceh di Indonesia, suku Tamil di Sri Lanka, orang Albania di Yugoslavia, suku
Maya di Chiapas Mexico, suku Kurdi di Turki, orang Korsika di Perancis, orang Basque
di Spanyol dan Uighurs di Cina, semua tentu tidak senang membunuh masyrakat
tetangganya. Jalan kekerasan diambil karena mereka frustrasi dan karena tidak
sanggup merubah kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh karena mereka selalu
kalah dalam pemungutan suara untuk mengambil keputusan. Mereka biasanya
bereaksi demikian karena dalam lingkungan politik dan pemerintahan mereka tidak
mempunyai atau kurang sekali pengaruhnya.
Bahkan sering dalam perjuangan untuk melindungi kepentingannya, mereka
menuntut kemerdekaan dari kekuasaan pemerintah nasional. Mereka tidak percaya
pada pemerintah nasional karena pemerintah ini dikuasai oleh kaum mayoritas.
Dominasi dan preferensi etnis mayoritas di negara-negara yang tercabik-cabik konfik
etnis biasanya terkait dengan pelanggaran hak asasi dalam bidang agama, bahasa
dan budaya. Kegagalan untuk menghormati hak asasi dalam bidang budaya, agama
dan bahasa ini merupakan kontributor utama bagi memanasnya hubungan antara
negara dengan etnis minoritas yang presentasenya cukup besar, terutama jika
kelompok minoritas tersebut merupakan suku asli atau kelompok minoritas nasional.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan merebaknya konfik-konfik etnis di
berbagai bagian dunia ini.
Hak asasi manusia kaum minoritas, terutama yang dijabarkan dalam dokumen
hukum seperti Konvensi Kerangka Kerja untuk Perlindungan Kaum Minoritas Nasional,
menyodorkan suatu formulasi umum yang jika di negara-negara seperti Sri Lanka
secara konsisten dihormati, kemungkinan besar tidak akan terjadi konfik etnis yang
meminta banyak korban jiwa.
Hak asasi manusia kaum minoritas menawarkan suatu keseimbangan yang baik
antara kebutuhan akan kesatuan, kepentingan kaum mayoritas dan kenyataan akan
kehadiran kaum minoritas di perbatasan yang secara etnis berbeda dan yang
mungkin saja tidak mendapat perlakuan yang sama dari negara seperti terhadap
kaum mayoritas.
Sudah menjadi gejala umum, bahwa jika sekelompok manusia tidak dihargai hakhaknya atas tanah, atau tidak mendapat kesempatan kerja yang sama dengan
kelompok lain, atau tidak diizinkan memakai bahasa asli mereka, atau tidak

15

dibolehkan menjalankan agama dan budaya mereka, atau tuntutannya tidak
didengar oleh penguasa negara, sedangkan kelompok tersebut menempati suatu
wilayah dan secara jumlah cukup besar, maka dalam situasi seperti ini konfik etnis
biasanya tidak dapat dihindari.
VIII.

Kesimpulan

Sayangnya, pemerintahan oleh rakyat dapat berubah menjadi pemerintahan yang
cenderung menunjukkan preferensi atau favoritisme dalam hal budaya, agama dan
bahasa etnis mayoritas. Pada gilirannya, pada satu titik tertentu atau lainnya, satu
etnis yang kebetulan minoritas dalam negara akan menderita kerugian sebagai
akibat preferensi etnis yang diterapkan dalam struktur yang beroperasi di dalam
suatu negara yang secara etnis mestinya netral.
Kegagalan dalam menghormati dan menjamin hak asasi manusia dalam bidang
bahasa, budaya dan agama menjadi kontribusi bagi terciptanya ketegangan antara
negara dan kelompok minoritas yang ujung-ujungnya menuju kepada pertikaian atau
konfik etnis. Kenyataan-kenyataan yang digambarkan di sini semuanya menunjuk
pada suatu rangkaian tindakan negara yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran atas norma hukum internasional. Hal-hal seperti tidak diakuinya (nonrecognition) atau diambilalihnya (expropriation) hak-hak atas tanah pusaka, atau
pelarangan penggunaan bahasa asli dalam bidang pendidikan/di sekolah dan tempat
kerja, dsb., akan mengakibatkan terjadinya diskriminasi yang tidak sesuai dengan
standar atau norma yang terkandung dalam konvensi atau perjanjian internasional
seperti pasal 26 Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.
Dalam hal ketidakhadiran beb