BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Sefalometri - Hubungan Sudut Interinsial dengan Jaringan Lunak Wajah Berdasarkan Analisis Steiner pada Mahasiswa FKG USU Ras Deutro Melayu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radiografi Sefalometri

  Sefalometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran kuantitatifbagian- bagian tertentu kepala untukmendapatkan informasi tentang polakraniofasial.Sefalometri lebih banyak digunakan untuk mempelajari tumbuh kembang kompleks kraniofasial kemudian berkembang sebagai sarana yang sangat berguna untuk mengevaluasi keadaan klinis misalnya membantu menentukan diagnosis, merencanakan perawatan, menilai hasil perawatan dalam bidang ortodonti. Untuk mendapatkan sefalogram yang terstandar diperlukan prosedur pembuatan sefalogram yang sama. Umumnya diperlukan suatu pembuatan sefalogram (sefalometer) yang terdiri dari sumber sinar, sefalostat untuk fiksasi kepala pada letak yang ditentukan dan film yang diletakkan pada kaset untuk menangkap bayangan kepala.

  12,13

2.1.1 Fungsi Radiografi Sefalometri

  b.

  Pembuatan rencana perawatan.

  Radiografi sefalometri mempunyai beberapa kegunaan yakni:

  3,12 a.

  Sebagai alat bantu dalam riset yang melibatkan regio kranio-dento-fasial. Metode konvensional untuk menganalisis sebuah sefalogram tidak langsung dilakukan pada sefalogram tersebut tetapi dilakukan tracingterlebih dahulu. Mula-

  h.

  Perkiraan arah pertumbuhan.

  g.

  f.

  Untuk melakukan diagnosa/analisa kelainan kraniofasial.

  Untuk evaluasi kasus-kasus yang telah dirawat (progress reports).

  Mempelajari pertumbuhan dari kraniofasial.

  Klasifikasi abnormalitas skeletal dan dental serta tipe wajah.

  d.

  Untuk mempelajari tipe wajah.

  c.

  e. mula ditentukan kontur skeletal dan jaringan lunak wajah kemudian ditentukan titik- titik (anatomical landmark) yang diperlukan untuk garis analisis. Apabila dua titik dihubungkan menghasilkan garis, dua garis yang berpotongan menghasilkan sudut.

  8,9

  Besar sudut dipelajari untuk menentukan apakah struktur anatomi tertentu, misalnya gigi dan rahang terletak normal atau tidak normal.Pengukuran dilakukan pada hasil penapakan tersebut dan kemudian dilakukan analisis sehinggamenghasilkan ukuran- ukuran kraniofasial berupaukuran linear atau angular.

  10

2.1.2 Titik-Titik Sefalometri Pada Jaringan Lunak

  3,12,13 a.

  s ) : titik paling bawah dari vermillion bibir atas.

  Menton kulit (Me’) : titik paling inferior pada jaringan lunak dagu.

  Pogonion kulit (Pog’) : titik paling anterior pada jaringan lunak dagu. k.

  Inferior Labial Sulcus (Ils): titik paling cekung di antara Li dan Pogonion. j.

  Labrale inferior (Li) : titik perbatasan dari membran bibir bawah. i.

  h.

  i ) : titik paling atas dari vermillion bibir bawah.

  Stomion inferior ( Stm

  g.

  Stomion superior ( Stm

  Nasion kulit (N’) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung.

  f.

  Gambaran kranium jaringan keras dan lunak arah lateral dapat dilihat dengan bantuan alat radiografi sefalometri lateral. Penggunaan titik-titik jaringan lunak pada sefalometri (Gambar 1) sebagai berikut:

  e.

  Labrale superior (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus dari bibir atas.

  d.

  Subnasale (Sn) : titik septum nasal berbatasan dengan bibir atas.

  c.

  Pronasale ( P / Pr ) : titik paling anterior dari hidung.

  b.

  Sulcus Labial Superior (Sls) : titik tercekung di antara Sn dan Ls.

  Gambar 1. Titik-titik yang digunakan pada profil jaringan 3 lunak.

2.1.3 Titik-Titik Sefalometri Pada Skeletal

  Penggunaan titik-titik skeletal pada sefalometri (Gambar 2) sebagai

  14,15

  berikut:

  a. : Terletak di tengah dari outline fossa pituitary (sella Sella (S) turcica) b. : Terletak di bagian paling inferior dan paling anterior dari

  Nasion (N) tulang frontal, berdekatan dengan sutura frontonasalis.

  c. : Terletak pada titik paling inferior dari outline tulang Orbitale (Or) orbital. Sering pada gambaran radiografi terlihat outline tulang orbital kanan dan kiri. Untuk itu maka titik orbitale dibuat di pertengahan dari titik orbitale kanan dan kiri.

  d.

  Titik A (A) : Terletak pada bagian paling posterior dari bagian depan tulang maksila. Biasanya dekat dengan apeks akar gigi insisif sentral atas.

  e.

  Titik B (B) : Terletak pada titik paling posterior dari batas anterior mandibula, biasanya dekat dengan apeks akar gigi insisif sentral bawah.

  f.

  Pogonion (Pog) : Terletak pada bagian paling anterior dari dagu.

  g.

  Gnathion (Gn) : Terletak pada outline dagu di pertengahan antara titik pogonion dan menton.

  h.

  Menton (Me) : Terletak bagian paling inferior dari dagu. i.

  Articulare (Ar) : Terletak pada pertemuan batas inferior dari basis kranii dan permukaan posterior dari kondilus mandibula. j.

  Gonion (Go) : Terletak pada pertengahan dari sudut mandibula. k.

  Porion (Po) : Terletak pada bagian paling superior dari ear rod (pada batas superior dari meatus auditory external).

  Gambar 2. Titik-titik skeletal dalam sefalometri. 10

2.1.4 Sudut-Sudut yang Menjelaskan Hubungan Skeletal dan Gigi

  Garis yang saling bersinggungan akan membentuk sudut, sudut yang yang

  15,18

  menjelaskan hubungan skeletal dengan gigi yaitu (Gambar 3):

  a. : Hubungan posisi anteroposterior dari basis apikal maksila terhadap SNA garis yang melalui basis kranii anterior.

  b. : Hubungan posisi anteroposterior dari basis apikal mandibula SNB terhadap garis yang melalui basis kranii anterior.

  c. : Hubungan posisi anteroposterior dari maksila terhadap posisi ANB anteroposterior dari mandibula. Maloklusi kelas II yang parah sering dihubungkan dengan nilai ANB yang besar.

  10 Gambar 3. Penentuan sudut skeletal.

2.2 Analisis Steiner

  Steiner dalam penilaian sefalometri lateral membagi 3 bagian kepala secara terpisah, yaitu skeletal, gigi dan jaringan lunak. Analisis skeletal berkaitan dengan maksila dan mandibula, analisis gigi melibatkan kaitan gigi insisivus rahang atas dan rahang bawah, sedangkan analisis jaringan lunak untuk menilai keseimbangan dan

  10,17 harmonisasi profil wajah.

2.2.1 Analisis Skeletal

  Para antopologi menggunakan garis horizontal Frankfort untuk menghubungkan strukstur kraniofasial ketika mempelajari skeletal wajah. Namun pada sefalometri lateral, titik porion dan orbital tidak mudah untuk di identifikasi. Oleh karena itu Steiner menggunakan dasar tengkorak anterior (Sella ke Nasion) sebagai garis referensi, dimana nantinya akan dikaitkan dengan titik A atau titik B. Keuntungan dengan menggunakan garis ini adalah garis ini hanya bergerak dalam

  10,11 jumlah minimal setiap kali kepala ini menyimpang dari posisi profil yang benar.

  10 Gambar 4. Sudut SNA (a) Ideal (b) Protrusif (c) Retrusif. Gambar 5. Analisis skeletal Sudut SNB (a) Ideal (b) Protrusif 10 (c) Retrusif.

  Titik A dan titik B dianggap sebagai batas anterior dan basis apikal rahang atas dan rahang bawah. Besar konveksitas wajah diketahui dengan mengukur besar sudut SNA dan SNB (Gambar 4 dan Gambar 5). Nilai rata-rata untuk SNA adalah

  82 ˚± 2˚, apabila lebih besar dari 84˚ disebut profil wajah cembung (protrusif) dan bila nilai SNA lebih kecil dari 80

  ˚ disebut profil wajah cekung (retrusif). Begitu pula untuk penilaian SNB, nilai rata-rata untuk penilaian SNB adalah 80 ˚± 2˚, apabila lebih besar daripada 82

  ˚ disebut profil wajah cembung (protrusif) dan bila nilai SNA lebih kecil dari 78 ˚ disebut profil wajah cekung (retrusif). Steiner tidak hanya memperharikan nilai SNA dan SNB, karena nilai tersebut hanya menunjukkan apakah wajah mengalami protrusif dan retrusif, tetapi Steiner juga memperhatikan perbedaan sudut antara SNA dan SNB atau sudut ANB (Gambar 6). Sudut ANB memberikan gambaran umum tentang perbedaan anteroposterior dari rahang ke apikal basis mandibula. Rata-rata sudut ANB ini adalah 2

  ˚, apabila nilai AN B lebih besar dari 2˚ maka disebut kelas II skeletal dan apabila lebih kecil dari 2 ˚ disebut kelas III

  10,17 skeletal.

  10 Gambar 6. Pengukuran Sudut ANB (a) SNA (b) SNB (c) ANB.

2.1.2 Analisis Gigi

  Inklinasi gigi insisivus dalam perawatan ortodonti, yaitu pada penentuan diagnosis dan evaluasi hasil perawatan, merupakan salah satu faktor yang selalu dipertimbangkan dalam menetapkan estetika wajah pasien. Inklinasi gigi insisivus sentral ditetapkan melalui pengukuran derajat kemiringan/angulasi gigi pada

  8 sefalogram lateral melalui analisis sefalometri. Gambar 7. Perpotongan sumbu insisivus maksila 10

dengan garis NA.

  Untuk posisi gigi insisivus maksila menurut analisis Steiner, garis NA dihubungkan sedemikian rupa dengan gigi insisivus rahang atas, lalu kecendrungan aksial gigi dihitung. Maka nilai ideal untuk titik mahkota insisivus paling anterior didepan garis NA adalah 4 mm dengan kecendrungan aksial gigi ideal adalah 22

  ˚. Untuk gigi insisivus bawah, nilai ideal untuk titik mahkota insisivus bawah anterior didepan garis NB adalah 4 mm dengan kecendrungan aksial gigi ideal adalah 25

  ˚. Daerah dagu juga dievaluasi, karena dagu berkontribusi dengan garis wajah. Idealnya

  10 jarak antara garis NB ke titik terluar dagu adalah 4 mm.

  

Gambar 8. Perpotongan sumbu

insisivus mandibula 10 dengan garis NB.

  Perpotongan sumbu insisivus atas dan bawah membentuk sudut interinsisal, besar rata-rata untuk sudut interinsisal adalah 130 ˚ (Gambar 9), Sudut yang lebih besar menggambarkan letak insisivus yang lebih tegak (retrusif) dan sudut yang lebih

  11

  kecil berarti insisivus lebih maju (protrusif). Sudut interinsisal berkaitan dengan kontak insisivus yang dihubungkan dengan kedalaman overbite. Inklinasi gigi insisivus atas yang retrusif menyebabkan sudut interinsisal menjadi lebih besar. Besarnya sudut interinsisal akan mempengaruhi kontak antara gigi insisivus atas dan

  10,19 bawah.

  Gambar 9. Sudut Interinsisal

2.2.3 Analisis Jaringan Lunak

  Analisisjaringan lunakpada dasarnyaadalah catatangrafis daripengamatan visual yangdilakukandalam pemeriksaanklinis pasien. Analisisjaringan lunakmencakuppenilaian terhadapadaptasijaringan lunakdan profiltulangdengan mempertimbangkanukuran, bentuk, danposturbibirseperti terlihat

  3

  padasefalometrilateral. Steiner, Ricketts, Holdaway, danMerrifieldmengembangkan

  3,10

  kriteriadan garisreferensiuntuk keseimbanganprofil wajah. meskipun tidak adakonsepyang seragamtentang apa yang merupakanprofil ideal, garis Steiner (S-line) adalahacuanuntuk menentukankeseimbanganwajah pada jaringan lunaksecara luas digunakandalam ortodontisampai saat ini (Gambar 10). MenurutSteiner, bibir atas dan bibir bawah harus menyentuhgaris yangmembentang darikonturjaringan

  10 lunakdaguke tengah batas bawahhidung.

  10 Gambar 10. Garis S (a) Ideal (b) Protrusif (c) Retrusif.

  Bibiryang terletak di luargaris inicenderungmenonjoldalam halgigi dan rahang, rahang dan gigi inibiasanya membutuhkanperawatan ortodontiuntuk mengurangi kecembungan tersebut. Jikaposisi bibirdi belakang garisini, profil pasienumumnya ditafsirkansebagaiprofil cekung. Koreksiortodontibiasanya

  7 diperlukan untukmemajukangigidalamlengkung gigisehingga menyentuhS-line.

2.3 Suku Deutro-Melayu

  Sebagian besar penduduk Indonesia termasuk suku Paleomongoloidatau suku Melayu. Deutro-Melayu atau Melayu Muda adalah istilah yang pernah digunakan untuk yang diperkirakan datang pada "gelombang kedua" setelah "gelombang pertama" dariMelayu. Bangsa Deutro-Melayu memasuki wilayah Indonesia secara bergelombang sejak tahun 1500 SM. Mereka masuk ke wilayah Indonesia melalui jalan barat, yaitu melalui daerah Semenanjung Malaya, terus ke Sumatera dan selanjutnya tersebar ke seluruh wilayah Indonesia. Populasi ini dikatakan datang padaKebudayaan Deutro Melayu lebih tinggi dari kebudayaan bangsa Proto-Melayang termasuk dalam Deutro-Melayu adalah Betawi, adura, Bali, Makassar, Bugis. Kelompok Proto- Melayu yaitu suku Batak di Sumatera Utara, Dayak di Kalimantan Barat dan Toraja

  3,20 di Sulawesi Barat pada awalnya yang menempati pesisir pantai.