BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Lebar Mesiodistal Gigi dengan kecembungan Profil Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto dengan Deutromelayu

  6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lebar Mesiodistal Gigi

  Lebar mesiodistal gigi adalah jarak terbesar yang diukur dari titik kontak anatomis mesial sampai ke titik kontak anatomis distal pada masing-masing gigi

  14,15 rahang atas dan rahang bawah yang diukur dengan menggunakan kaliper.

  Informasi mengenai ukuran lebar mesiodistal gigi sangatlah penting dalam penentuan diagnosis dan perencanaan perawatan ortodonti. Analisis ukuran gigi pertama kali dilakukan oleh GV Black, pada tahun 1902, yaitu dengan melakukan pengukuran mesiodistal masing-masing gigi dan membuat rata-rata ukuran

  8,9

  masing-masing gigi pada masyarakat Amerika Utara. Ukuran lebar mesiodistal gigi selalu dipertimbangkan dalam merencanakan perawatan ortodonti. Hal ini disebabkan lebar mesiodistal gigi memberikan informasi tentang kondisi orofasial yang bervariasi pada setiap individu sehingga dapat ditegakkan diagnosis dan dilakukan rencana perawatan ortodonti yang akurat. Selain itu,ukuran lebar mesiodistal gigi juga diperlukan untuk mendapatkan oklusi dan estetis yang baik

  14,15 sebagai hasil perawatan ortodonti.

  Teknik pengukuran lebar mesiodistal dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode analisis Moores, Tobias dan Kieser, serta Bishara. Pengukuran analisis Moores dimulai dengan mengukur jarak terbesar dari titik kontak mesial ke titik kontak distal gigi pada permukaan interproksimalnya atau dengan cara mengukur jarak antara titik kontak gigi yang bersinggungan dengan gigi tetangganya. Tobias (1967) dikutip dalam Kieser (1990), mengukur lebar mesiodistal gigi dimulai dengan meletakkan ujung kaliper sejajar bidang oklusal gigi sedangkan Bishara merekomendasikan pengukuran dimensi

  15,16,17 mesiodistal gigi pada titik kontak anatomis pada setiap gigi.

  7

  Adapun ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000) dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

  16 Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk (2000).

  Gigi Geligi Rahang Atas Rahang Bawah

  I1 I2 C P1 P2 M1

  I1 I2 C P1 P2 M1 Lebar Mesiodistal 8,79 6,98 7,94 7,42 7.01 10,6 5,49 6,10 6,92 7,44 7,40 11,11

  Gigi (mm)

  Selain menurut Santoro dkk (2000) terdapat pula ukuran lebar mesiodistal gigi permanen pada ras Protomelayu menurut Haspeni (tabel 2) dan ras Deutromelayu menurut Sylvia (tabel 3) di bawah ini. Tabel 2. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen pada ras Protomelayu menurut

13 Haspeni (2011).

  Gigi Geligi Rahang Atas Rahang Bawah

  I1 I2 C P1 P2 M1

  I1 I2 C P1 P2 M1 Lebar Mesiodistal 8,18 6,58 7,67 7,29 6.77 10,2 5,33 5,91 6,68 7,20 7,05 11,18

  Gigi (mm)

  Tabel 3. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen pada ras Deutromelayu menurut

12 Sylvia (2013).

  Gigi Geligi Rahang Atas Rahang Bawah

  I1 I2 C P1 P2 M1

  I1 I2 C P1 P2 M1 Lebar Mesiodistal 8,13 6,34 7,56 7,11 6.65 10,4 5,35 5,89 6,59 7,18 6,98 11,13

  Gigi (mm)

  Perbedaan ukuran lebar mesiodistal gigi pada tabel 2 dan tabel 3, dapat dilihat bahwa ukuran gigi pada ras Protomelayu lebih besar dibandingkan pada ras Deutromelayu.

  8

2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lebar Mesiodistal Gigi

  Faktor yang berperan pada perbandingan ukuran gigi permanen adalah ras,

  1,2,7-11 jenis kelamin, keturunan (genetik) dan lingkungan.

  2.1.1.1 Faktor Ras(Suku)

  Menurut Ho dan Freer (1994) gigi geligi tidak hanya bervariasi pada jenis kelamin yang berbeda tetapi turut menunjukkan variasi pada kelompok ras yang berbeda. Ukuran lebar mesiodistal gigi antara ras Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid ditemukan berbeda secara signifikan. Penelitian pada 51 orang berkulit hitam dibandingkan dengan 50 orang berkulit putih didapatkan kesimpulan bahwa orang berkulit hitam mempunyai lebar mesiodistal gigi yang

  2,11

  lebih besar daripada orang berkulit putih. Untuk masyarakat Indonesia, Sumantri pernah meneliti ukuran gigi pada sampel suku Jawa, dan ia menyimpulkan bahwa ukuran gigi tetap pada sampel suku Jawa lebih besar dibandingkan dengan ukuran gigi suku Bangsa Kaukasoid. Hendra Chandha (2005) juga melakukan penelitian tentang lebar mesiodistal gigi pada masyarakat Indonesia suku Toraja dan suku Bugis, hasilnya yaitu ukuran gigi pada suku Toraja lebih besar daripada suku Bugis. Hal ini berkaitan dengan pernyataan

  8 Altemus yang menyatakan bahwa setiap ras memiliki variasi ukuran gigi.

  2.1.1.2 Jenis Kelamin

  Perbedaan lebar mesiodistal gigi geligi berdasarkan jenis kelamin telah diteliti oleh Gran dkk (1964 cit Rachmini, 1990), bahwa gigi laki-laki lebih besar kira-kira 4% dari pada gigi perempuan. Beresford (1964 cit Rachmini, 1990) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa lebar mesiodistal gigi laki-laki lebih

  1,2,8

  besar dibandingkan perempuan. Selain itu, Penelitian (Fatihatur rohmah dkk,2009) mengatakan bahwa lebar mesiodistal gigi rahang atas dan rahang

  18 bawah pada laki-laki lebih besar dibanding pada perempuan.

  2.1.1.3 Faktor Keturunan (Genetik)

  Ada beberapa peneliti yang mendukung pendapat bahwa lebar mesiodistal gigi sangat ditentukan oleh genetik. Menurut Towsend, dkk. (1994) ukuran lebar

  9

  mesiodistal gigi dipengaruhi oleh faktor genetik yang diestimasikan sebesar 90%

  2,8,9 untuk gambaran morfologis mahkota.

2.1.1.4 Faktor Lingkungan

  Menurut Dempsey dan Towsend (2001) ukuran gigi selain dikontrol oleh faktor genetik juga ditentukan oleh faktor lingkungan. Hal ini disebabkan faktor lingkungan juga ikut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gigi meskipun tidak begitu banyak berperan jika dibandingkan dengan faktor keturunan. Pengaruh faktor Lingkungan terhadap ukuran gigi adalah sebesar 20%. Misalnya pengaruh dari pola makan seperti yang dilaporkan Mieke (1993) bahwa pada masyarakat yang makanannya keras mempunyai ukuran lebar mesiodistal

  9,11 gigi lebih kecil bila dibandingkan dengan yang makanannya lunak.

2.2 Sefalometri Istilah sefalometri dibidang ortodonti berarti sefalometri rontgenografi.

  Sefalometri rontgenografi dimulai sekitar awal tahun 1930 oleh Hofrath di Jerman dan Broadbent di Amerika Serikat untuk penelitian dan mempelajari

  19,21,22 maloklusi beserta disproporsi rahang.

  Para antropologis tertarik dalam penentuan etnografi, bentuk dan pola wajah. Dengan mempelajari perbedaan mengenai kelompok etnis, umur, jenis kelamin dan mengukur berbagai bagian serta mencatat posisi dan bentuk dari struktur kranial dan wajah maka diperlukan suatu ukuran standar deskriptif kepala manusia. Metode pengukuran deskriptif itu dikenal dengan istilah kraniometri

  20 atau sefalometri.

  Pada dasarnya terdapat banyak fungsi radiografi dalam bidang ortodonti. Fungsi radiografi sefalometri dalam ortodonti untuk membantu :

  a. Diagnosa ortodonti untuk pemaparan struktur skeletal, dental dan jaringan lunak.

  b. Klasifikasi abnormalitas skeletal dan dental serta tipe fasial.

  c. Penentuan rencana perawatan.

  d. Evaluasi perawatan dengan cara pemaparan perubahan yang terjadi dari perawatan semula.

  10

  e. Perkiraan arah pertumbuhan.

  f. Sebagai alat bantu dalam penelitian yang melibatkan regio kranio-

  3,21,22,23 dentofasial.

  2.2.1 Jenis- Jenis Sefalometri

  Sefalometri dibagi menjadi dua menurut analisisnya, yaitu:

  a. Sefalogram Frontal (gambar 1.A) yaitu gambaran frontal atau

  21 anteroposterior dari tengkorak kepala.

  b. Sefalogram lateral (gambar 1.B ) yaitu gambaran lateral dari tengkorak kepala. Dapat digunakan untuk menganalisis profil jaringan lunak aspek lateral, yaitu analisis profil jaringan lunak wajah. Sefalometri lateral menampilkan bermacam struktur anatomi dari kepala, wajah, dan oral. Selain itu, titik referensi struktural mengacu pada pengukuran sudut dan jarak dapat digambarkan

  21,22 untuk menilai pola pertumbuhan (Weems, 2006).

  21,24 Gambar 1. A) Sefalogram Frontal, B) Sefalogram Lateral.

  2.2.2 Analisis Kecembungan Profil Jaringan Lunak Wajah Secara Sefalometri Lateral

  Analisa profil jaringan lunak wajah dengan metode Sefalometri pada umumnya dilakukan dengan menggunakan bantuan garis dan bidang referensi intrakranial yang bervariasi. Kebanyakan garis referensi tersebut merupakan garis

  11

  lurus yang menghubungkan antara dua titik , contohnya garis Nasion-Pogonion

  23 (N-Pog), garis Porion-Orbita (Po-Or) atau bidang Frankfurt horizontal.

  Dibawah ini dapat kita lihat titik-titik yang digunakan dalam menganalisis jaringan lunak wajah secara sefalometri (gambar 2).

  Gambar 2. Titik-titik yang digunakan dalam analisis

  24,26,27 jaringan lunak. 15,19,28,29

  Keterangan gambar :

  1. Glabella (G) : Titik paling anterior dari dahi pada dataran midsagital

  2. Nasion kulit (N’) : Titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung

  3. Pronasale (Pr) : Titik paling anterior dari hidung

  4. Subnasale (Sn) : Titik dimana septum nasal berbatasan dengan bibir atas.

  5. Labrale superius (Ls) : Titik perbatasan mukokutaneus dari bibir atas.

  6. Stomion superius (Stms) : Titik paling bawah dari vermilion bibir atas.

  7.Stomion inferius (Stmi) : Titik paling atas dari vermiliion bibir bawah.

  8. Labrale inferius (Li) : Titik perbatasan dari membrane bibir bawah.

9. Inferior labial sulkus (ILS) : Titik paling cekung diantara Li dan Pog 10. Pogonion kulit (Pog’) : Titik paling anterior jaringan lunak dagu.

  12

  Titik paling bawah yang terletak pada tengah-

11. Menton kulit (Me’) : tengah kurva dari simpisis.

  Analisis profil jaringan lunak wajah memegang peranan penting dalam menentukan rencana perawatan dan menegakkan diagnosis dalam bidang ortodontik, karena dengan analisis tersebut dapat diperoleh tentang kondisi jaringan keras dan jaringan lunak yang ada hubungannya dengan maloklusi. Ada beberapa analisis profil jaringan lunak wajah secara sefalometrik yang digunakan dalam bidang ortodontik, antara lain : analisis menurut Steiner, Ricketts, Subtelny, Merrifield dan Holdaway. Masing-masing ahli menggunakan titik referensi yang berbeda dalam menganalisis profil jaringan lunak wajah. Steiner menggunakan garis S, Ricketts menggunakan garis E (garis estetis), Merrifield menggunakan sudut Z dan Holdaway menggunakan garis H (garis Harmoni) sedangkan Subtelny menggunakan garis yang menghubungkan antara titik Nasion kulit, Subnasale dan

  24,30 Pogonion kulit (N’-Sn-Pog’).

2.2.2.1 Analisis menurut Steiner (Garis S)

  Steiner menggunakan garis S sebagai garis referensi dalam analisis jaringan lunak wajah (gambar 3). Garis S adalah garis yang ditarik dari titik tengah bentuk lengkung S yang terletak antara ujung hidung (Pr) dan Subnasale (Sn) di bibir atas dengan Pogonion kulit (Pog’).Menurut Steiner, idealnya titik

  2,24 labrale superior dan labrale inferior menyinggung garis S.

  13

  Gambar 3. Analisa jaringan lunak wajah menurut

24 Steiner.

2.2.2.2 Analisis menurut Ricketts ( Garis E )

  Ricketts menggunakan garis-E (gambar 4) yang merupakan garis yang ditarik dari pogonion kulit (Pog’) ke ujung hidung (Pr). Menurut Ricketts dalam keadaan normal, bibir atas atau labrale superior (Ls) terletak 2-4 mm di belakang garis estetis, dan bibir bawah atau labrale inferior (Li) terletak 1-2 mm di belakang garis estetis, namun demikian menurut Ricketts nilai ideal tersebut

  23,24,31 dapat bervariasi tergantung pada jenis kelamin.

  14

  Gambar 4. Analisa jaringan lunak wajah menurut

  24 Ricketts (Garis E).

2.2.2.3 Analisis menurut Subtelny

  Perubahan profil wajah selama masa pertumbuhan berbeda antara jaringan lunak dan jaringan keras. Menurut Subtelny, Profil skeletal akan berkurang kecembungannya seiring dengan pertambahan usia. Dengan berlanjutnya perkembangan dagu, profil skeletal akan bertambah lurus, tetapi profil jaringan lunak tetap sedikit cembung karena berlanjutnya pertumbuhan hidung. ini adalah sebuah contoh untuk membuktikan bahwa pertumbuhan jaringan lunak sebagian besar tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan jaringan skeletal. Kecembungan profil jaringan lunak wajah lebih menonjol pada wanita dibandingkan pria. Pertumbuhan dagu pada pria lebih besar dibandingkan wanita. Oleh karena itu, profil jaringan lunak pada pria sedikit lebih lurus dibandingkan pada wanita. Menurut Bishara, profil wajah dapat diukur melalui dua parameter, yaitu kecembungan jaringan lunak wajah total dan kecembungan profil jaringan lunak wajah. Kecembungan jaringan lunak wajah total akan menurun seiring dengan bertambahnya usia, karena terjadi peningkatan penonjolan hidung. Subtelny mengukur peningkatan ketebalan jaringan lunak pada dagu sekitar 2,4mm pada pria dan 1mm pada wanita selama periode waktu 15 tahun. Menurut Singh (AJO,1990) ketebalan jaringan lunak dagu bervariasi sesuai dengan tipe wajah. Ketebalan jaringan lunak

  15

  tipe brachyfacial lebih besar dibandingkan pada Dolichofacial. Peningkatan jaringan lunak setelah perawatan lebih besar pada tipe Dolichofacial dibandingkan

  6

  pada Brachyfacial. Subtelny membagi analisis konveksitas profil wajah ( gambar 5) menjadi tiga yaitu analisis konveksitas skeletal (N-A-Pog) dengan nilai rata- rata 175°, pada umur 12 tahun nilai rata-rata menjadi 177,5°. Konveksitas jaringan lunak (N’-Sn-Pog’) nilai rata-rata 161°. Konveksitas jaringan lunak penuh (N’-Pr- Pog’) nilai rata-rata 137°untuk laki-laki dan 133° untuk perempuan. Menurut Subtelny peningkatan kecembungan profil jaringan lunak wajah seiring dengan

  2,21,22 pertambahan usia.

  S n

  Gambar 5. Analisa jaringan lunak wajah

  21,22

  menurut Subtelny (N’-Sn-Pog’).

2.2.2.4 Analisis menurut Merrifield (Sudut Z)

  Menurut Merrifield, garis profil wajah (gambar 6 ) merupakan garis yang ditarik dari titik Pogonion kulit (Pog’) dengan titik paling depan dari Labrale

  superior (Ls) dan Labrale inferior (Li). Sudut Z merupakan sudut yang terbentuk

  24 oleh perpotongan antara bidang Frankfurt horizontal dan garis profil tersebut.

  16

  Gambar 6. Analisa jaringan lunak wajah menurut Merrifield (Sudut Z).

  24

2.2.2.5 Analisis menurut Holdaway

  Holdaway menggunakan garis H (garis harmoni) untuk menganalisis keseimbangan dan keharmonisan profil jaringan lunak (gambar 7). Garis Harmoni (H) adalah garis yang ditarik dari titik Pogonion kulit (Pog’) ke Labrale superior (Ls).

  24,27,29

  Gambar 7. Analisa jaringan lunak wajah menurut Holdaway.

  24,27,29

  17

2.3 Ras Campuran Proto dengan Deutro-Melayu

  Ras adalah suatu kelompok manusia yang dapat dibedakan dari kelompok lain karena memiliki ciri-ciri jasmaniah tertentu yang diperoleh dari keturunan, sesuai dengan hukum genetika. Populasi masyarakat Indonesia didominasi oleh ras Palemongolid yang disebut juga dengan Ras Melayu. Ras Palemongolid terdiri atas Ras Proto-Melayu( Melayu tua) dan Ras Deutro-Melayu(Melayu Muda). Ras Deutro melayu adalah orang-orang yang bersuku Aceh, Minangkabau, Sumatera Pesisir, Rejang Lebong, Lampung, Jawa, Madura, Bali, Bugis, Manado Pesisir, Sunda kecil timur dan Melayu. Sedangkan Ras Proto-Melayu adalah orang-orang

  32 yang terdiri dari suku Batak, Gayo, Sasak dan Toraja.

Dokumen yang terkait

BAB II DASAR TEORI - Rancang Bangun Band Pass Filter Dengan Metode Hairpin Menggunakan Saluran Mikrostrip Untuk Frekuensi 2,4-2,5 GHZ

0 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bunga Kecombrang - Formulasi Sediaan Pewarna Pipi Menggunakan Ekstrak Bunga Kecombrang (Etlingera elatior Jack) sebagai Pewarna

0 2 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori kepuasan 2.1.1 Pengertian Kepuasan Pelanggan - Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat Pada Pelayanan Publik Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat Pada Pelayanan Publik Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan

0 0 13

1. Nama Usaha - Pengaruh Spirit Of Entrepreneur Terhadap Kinerja Usaha Para Pelaku UKM Tenant Pusat Inkubator Bisnis Cikal USU

0 0 13

BAB II TINJUAN PUSATAKA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 2.1 URAIAN TEORITIS 2.1.1 Perkembangan Entrepreneurship - Pengaruh Spirit Of Entrepreneur Terhadap Kinerja Usaha Para Pelaku UKM Tenant Pusat Inkubator Bisnis Cikal USU

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Spirit Of Entrepreneur Terhadap Kinerja Usaha Para Pelaku UKM Tenant Pusat Inkubator Bisnis Cikal USU

0 0 8

ABSTRAK PENGARUH SPIRIT OF ENTREPRENEUR TERHADAP KINERJA USAHA PARA PELAKU UKM TENANT PUSAT INKUBATOR BISNIS CIKAL USU

0 0 10

Pengaruh Sistem Pengendalian Manajemen dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perusahaan (Studi pada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara)

0 1 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Sistem Pengendalian Manajemen dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perusahaan (Studi pada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara)

0 0 18