Diskusi Pro dan Kontra Kebebasan Bereksp

Negara secara tertulis telah menjamin kemerdekaan berpendapat bagi
tiap-tiap orang. Masing-masing orang memiliki cara pandang yang berbeda
terhadap kehidupan dalam berbagai sisinya. Salah satu media berekspresi
yang paling banyak digunakan manusia modern adalah internet. Media
ekspresi di internet berupa blog pribadi, akun jejaring sosial, forum diskusi,
mailing list, microblogging dan lain-lain. Kemajuan teknologi komunikasi saat
ini patut diacungi jempol. lahirnya internet memudahkan kita semua untuk
bekerja, berkomunikasi, menghasilkan uang, memajukan perusahaan,
mempelajari hal baru, mendapatkan berita dunia, hingga mencari teman.
Semua orang pun lantas bebas mengemukakan pendapatnya di internet.
Termasuk keluh kesah mereka terhadap sesuatu hal. Bertukar pikiran melalui
internet relatif lebih mudah dilakukan karena setiap orang bebas untuk
menampilkan identitas dirinya maupun sebagai anonim. Informasi yang
berkembang di internet saat ini menjadi salah satu tolak ukur kemajuan
berpikir manusia modern.
Meski demikian, banyak sekali hal-hal bijak yang telah dibuat oleh
orang-orang besar dalam cakrawala pemikiran mereka, tetapi mereka tidak
dapat menemukan sebuah efek dan pengaruh yang berarti ketika
berekspresi di internet. Mengapa eksis dengan internet tidak memberi
manfaat? Salah satu penyebabnya adalah karena hal-hal bijak tersebut
berasal dari sudut pandang yang sempit. Tentu kita belum lupa fenomena

twitwar yang terjadi beberapa waktu lalu. Ketika memandang hal-hal bijak
yang seharusnya diterima dengan lapang dada, mereka malah
membutuhkan penjelasan yang panjang lebar dan tidak menghargai arti
eksistensi kebebasan di internet .
Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna internetnya berdasarkan data
dari Google.com/adplanner per Mei 2010 telah mencapai 38 juta orang.
Untuk di kawasan Asia, Indonesia masuk dalam 5 besar pengguna Internet
terbanyak bersama dengan China, Jepang, India dan Korea Selatan.
Pengguna layanan jejaring sosial Facebook di Indonesia juga menunjukkan
angka yang tinggi masih menurut sumber yang sama, yaitu tercatat
sebanyak 28 juta pengguna.

Dari data yang diungkapkan diatas, bisa disimpulkan bahwa lebih dari
75 % pengguna internet di Indonesia menggunakan Facebook sebagai wadah
berekspresi via internet. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan
facebook sebagai media sosial bisa dimanfaatkan sebagai tempat paling pas
untuk mencurahkan ekspresi kita di dunia maya.
Meskipun demikian, seperti dinilai oleh situs alexa, selain Facebook ada
beberapa wadah lain bagi netter di Indonesia untuk mengungkapkan
kebebasan mereka bereksplorasi dan berekspresi via internet, yaitu mencari

informasi lewat search engine seperti google dan yahoo, ngeblog melalui
blogger, wordpress, berekspresi dengan jejaring sosial twitter dan tidak
ketinggalan pula berbagi informasi lewat forum internet terbesar di Indonesia
Kaskus. Setidaknya hal tersebut bisa menjadi gambaran umum mengenai
cara-cara netter / pengguna internet untuk mengekspresikan kebebasan
mereka via internet.
Dari beberapa kategori netter di Indonesia di atas, jejaring sosial seperti
Facebook dan Twitter lebih mendominasi pengguna internet di Indonesia
dalam menggungkapkan ekspresi mereka di Internet. Oleh karena itu, berikut
akan dijelaskan mengenai perkembangan kebebasan berekspresi di internet
Indonesia pada situs-situs tersebut serta kebebasan berekspresi internet via
blog.
A. Kebebasan Berekspresi Internet via Facebook dan Twitter
Keberadaan Facebook sebagai situs jejaring sosial terbesar di dunia
memungkinkan penggunanya untuk bisa berekspresi tentang apa saja yang
kita mau—dari ekspresi curahan hati kita, ceramah keagamaan, berekspresi
melalui puisi, menasehati kawan dengan kata-kata bijak, saling berkomentar,
chatting dan lain sebagainya.
Bahkan untuk para blogger, keberadaan facebook bisa membantu
menghubungkan ekspresi mereka dengan memasang fan page sehingga bisa

menghubungkan antara para facebooker dengan blogger itu sendiri. Oleh
karena itu, kebebasan berekspresi internet via facebook bisa menjadi
landasan yang kuat yang bisa mendorong semangat persatuan antar sesama
warga Negara, untuk tetap saling menghormati dan menghargai tanpa harus
sikut sana-sikut sini.
Contoh lain manfaat kebebasan berekspresi internet via facebook
dirasakan oleh Blaslus Haryadi yang akrab dipanggil Harry van Yogya, seperti
diceritakan dalam Buku @linimas(s)a ( 2011: 30-33) dengan jumlah teman
hampir mencapai 5000 orang, Harry van Yogya mampu memanfaatkan
facebook sebagai tempat yang pas mempromosikan pekerjaannya sehari-

hari sebagai tukang becak. Tentu hal ini bisa menjadi contoh yang baik
sebagai lahan kebebasan berekspresi internet via facebook.
Contoh-contoh diatas sangat wajar dalam dunia kebebasan berekspresi
internet. Namun begitu tidak sedikit pula berekspresi di jejaring sosial malah
membawa efek buruk bagi penggunany. Sebagai contoh seperti di Bogor,
kasus penghinaan lewat Facebook menggiring Nur Arafah divonis bersalah
oleh pengadilan dengan hukuman dua bulan 15 hari dan empat siswa
sebuah SMA di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah
gara-gara dianggap penghinaan lewat Facebook.

Sementara itu, meski tidak jauh beda dengan kebebasan berekspresi
internet via facebook, kebebasan berekspresi internet via twitter lebih
terlihat elit mengingat banyak artis yang menggunakan akun twitter sebagai
tempat yang pas mengekspresikan kebebasan mereka di internet.
Dengan sering banyaknya berita-berita miring yang ditayangkan di
televisi maupun di majalah, koran dan media lainnya. Keberadaan twitter
bagi para artis bisa meluruskan semuanya tanpa harus dikejar-kejar para
wartawan yang kadang merepotkan kehidupan keseharian mereka. Contoh
ini bisa menjadi landasan bahwa kebebasan berekspresi internet via twitter
memiliki manfaat.
Pada beragam kasus, khususnya di Indonesia, Twitter telah
menunjukkan keunggulannya dibanding Facebook. Pada peristiwa bencana
banjir di Wasior, Papua, tsunami di Mentawai (Sumatera Barat) dan erupsi
Gunung Merapi di Jawa Tengah/DIY, Twitter sungguh berhasil ‘mendekatkan
yang jauh’. Mobilisasi bantuan dan relawan, yang dilakukan oleh banyak
kalangan, individu, komunitas atau kelompok, berhasil menutup ‘celah
kosong’ lambannya aparatur negara dalam menangani bencana dan korban
bencana.
A. Kebebasan Berekspresi Internet via Blog
Blog merupakan salah satu contoh nyata adanya kebebasan berekspresi

internet, Nukman Luthfie (2011: 66) mengatakan bahwa akhir tahun 2010,
tercatat lebih dari dua juta blog yang ditulis pengguna Indonesia, baik itu
dibangun di penyedia jasa blog gratis global seperti Wordpress.com dan
Blogger.com,
lokal
seperti
BlogDetik.com,
Kompasiana.com
dan
Dagdigdug.com, maupun yang dibangun dengan nama domain sendiri.
Meski jumlahnya hampir lebih dari 2 juta pengguna, ternyata tidak
semua blog di Indonesia menjadi seorang blogger yang sukses. Karena untuk
membuat blog yang baik tentu tidak semudah hal yang dikira, ada hal-hal
yang harus kita ketahui dan amalkan agar kita dianggap sebagi blogger

sukses. Contoh sukses blogger Indonesia, seperti diceritakan pada Buku
@linimas(s)a (2011:67), adalah Yodhia Antariksa, seorang blogger yang
menulis strategi manajemen sehingga ia sangat dikenal di kalangan Manajer
Human Resource karena tulisannya yang berbobot dan mudah dipahami,
blognya bisa meraup rezeki yang cukup.

Contoh tersebut setidaknya menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi
internet melalui blog bisa mendatangkan manfaat yang tidak sedikit. Namun
begitu, masih banyak juga kebablasan kebebasan berekspresi internet via
blog yang mendatangkan beberapa dampak buruk.
Bahkan, Committe to Protect Journalist (CPJ), lembaga independen yang
bergerak di bidang kebebasan pers, menerbitkan laporan tentang sepuluh
negara berbahaya bagi blogger.
1. Burma
Selain menyensor media cetak dan televisi, Burma juga melarang
kegiatan ngeblog dan kegiatan online lainnya. Kepemilikan internet secara
pribadi di negara ini hanya sekitar 1 persen. Maka sebagian besar warga
menggunakan warnet. Namun negara membatasi, antara lain situs-situ yang
bisa dibuka. Saat ini setidaknya dua blogger Burma sedang dipenjara. Salah
satunya Maung Thura, dikenal dengan nama Zarganar, dihukum penjara 59
tahun gara-gara menyebarluaskan badai Nargis pada tahun 2008 lalu.
2. Iran
Pemerintah Iran mengharuskan blogger untuk mendaftarkan blog
mereka pada Menteri Seni dan Budaya. Pemerintah mengklaim mereka
sudah memblokir jutaan website. Undang-undang yang sedang dibuat
pemerintah

mencantumkan
hukuman
mati
bagi
blogger
yang
mempromosikan korupsi, prostitusi, dan kemurtadan.
Omidreza Mirsayafi, blogger Iran yang dipenjara karena dianggap
menghina pemimpin agama dan negara, tewas di penjara tanpa penjelasan
yang jelas.
3. Syiria
Pemerintah setempat memblokir website yang menyinggung masalah
politik. Mereka juga menghukum blogger yang menulis tentang hal yang
salah atau mengancam kesatuan bangsa. Self-sensorhip tidak berlaku di
negara ini. Pada tagun 2008, Menteri Komunikasi meminta semua warnet

untuk merekam nama-nama konsumen dan waktu berkunjung mereka lalu
melaporkannya pada pemerintah. Kelompok pejuang hak asasi manusia
menyatakan bahwa pemerintah juga menghukum blogger yang dianggap
anti-pemerintah. Waed al-Mhana, pengacara setempat sedang dihukum

percobaan karena menulis di blognya tentang penghancuran pasar
tradisional di Damaskus.
4. Kuba
Hanya petugas pemerintah dan orang yang terkait dengan Partai
Komunis yang bisa mengakses internet. Mayarakat umum menggunakan
internet di hotel karena pemerintah mengontrol penggunaan internet dengan
keras. Kelompok kecil seperti Yoani Sánchez menceritakancerita sehari-hari
mereka dan sering mengkritik rezim penguasa. Blog mereka dihosting di luar
negeri dan diblokir oleh pemerintah setempat. Dua blogger independen
mengatakan bahwa mereka dilecehkan oleh pemerintah. Hanya blogger pro
pemerintah yang bisa menulis di blognya dan sangat mudah diakses. Saat ini
pemerintah Kuba memenjarakan 21 penulis terkemuka di bidang jurnalisme
online.
5. Arab Saudi
Sekitar 400,000 website diblokir oleh kerajaan, termasuk website
tentang politik, sosial, dan agama. Selain memblokir semua hal terkait
dengan hal yang dianggap tidak senonoh, Arab Saudi juga memblokir semua
hal yang melawan negara. Pada tahun 2008 seorang penulis online
dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena menulis sesuatu yang dianggap
berdosa. Blogger Fouad Ahmed al-Farhan dipenjara tanpa peradilan selama

beberapa bulan pada 2007 dan 2008 karena menulis tentang perlunya
reformasi dan pembebasan tahanan politik.
6. Vietnam
Blogger setempat mencoba menulis isu-isu lain yang tidak ditulis media
mainstream yang dikuasai pemerintah. Akibatnya pemerintah membuat
banyak aturan. Bahkan pemerintah meminta bantuan perusahaan online
seperti Yahoo, Google, dan Microsoft untuk memberikan informasi tentang
blogger yang menggunakan platform mereka. September lalu, blogger
terkemuka Nguyen Van Hai, dikenal juga dengan nama Dieu Cay, dihukum
penjara 30 bulan. Pada Oktober 2008, Menteri Informasi dan Komunikasi
membuat aturan baru untuk mengawasi internet.
7. Tunisia

Internet service providers (ISP) harus mendaftarkan alamat IP atau
identitas lainnya pada pemerintah. Semua lalu lintas internet harus melalui
pengawasan pemerintah. Pemerintah juga menggunakan berbagai cara
untuk membatasi blogger: mematai-matai, melarang gerakan blogger, dan
sabotase elektronik. Penulis online Slim Boukhdhir dan Mohamed Abbou
dipenjara karena tulisan mereka. Pada Maret lalu, Presiden Zine El Abidine
Ben Ali mengancam penulis agar tidak menulis kesalahan dan kejahatan

pemerintah.
8. Cina
Dengan sekitar 300 juta pengguna internet, jumlah terbesar di dunia,
Cina adalah sebuah kekuatan baru di bidang digital culture. Tapi Cina adalah
negara dengan program sensor online yang paling lengkap di dunia.
Pemerintah menyaring informasi, memblokir website kritis, menghapus
materi berbahaya, dan mengawasi lalu lintas email. Karena media tradisional
di Cina di bawah kontrol pemerintah, maka blogger sering memberitakan hal
lain dengan komentar provokatif.
Contohnya, blog memberikan informasi penting dan independen
terntang gempa bumi Sichuan pada tahun 2008. Namun blogger semacam
ini ternacam hukuman penjara. Paling tidak ada 24 blogger yang sekarang
dipenjara oleh pemerintah Cina. Pada tahun 2008, Kantor Nasional untuk
Pembersihan Pornografi dan Pemberantasan Publikasi Ilegal menghapus
sekitar 200 juta bahan online berbahaya selama satu tahun.
9. Turkmenistan
Presiden Gurbanguly Berdymukhammedov menjanjikan akan membuka
isolasi negaranya dengan menyediakan akses internet. Tapi ketika warnet
dibuka pertama kali di negara ini pada 2007, warnet tersebut dijaga oleh
tentara, koneksinya lambat, harganya mahal, dan pemerintah memblokir

website tertentu. Perusahaan telekomunikasi Rusia MTS menawarkan akses
internet melalui telepon seluler, tapi pemerintah menolak akses web yang
dianggap kritis pada pemerintah. Turkmentelecom, perusahaan internet
negara, secara rutin memblokir akses pada situs oposisi. Mereka juga
mengawasi lalu lintas email dari Gmail, Yahoo, dan Hotmail.
10. Mesir
Pemerintah hanya memblokir beberapa website, tapi mereka
mengawasi aktivitas online. Semua lalu lintas internet diawasi. Pemerintah
juga memenjarakan blogger kritis. Setidaknya 100 blogger dipenjara pada
tahun 2008. Meskipun sebagian besar blogger dibebaskan setelah dipenjara

sebentar, sebagian lain masih dipenjara tanpa peradilan. Sebagian blogger
tersebut disiksa. Blogger Abdel Karim Suleiman, dikenal juga sebagai Karim
Amer, dipenjara empat tahun karena dianggap menghina Islam dan Mesir.
Terlepas dari itu semua, di Indonesia, masyarakat masih bebas
berekspresi di Internet. Masih bebas mengeluhkan buruknya kualitas
makanan di sebuah restoran, bebas mengeluhkan panjangnya antrian di
sebuah bank, hingga bebas mengeluhkan buruknya birokrasi di berbagai
instansi pemerintahan. Masyrakat masih bebas mengeluarkan berbagai
pendapat kita di Internet; entah itu pendapat baik atau pendapat buruk.
Yang disayangkan adalah kebebasan ini memiliki beberapa prasyarat.
Prasyarat yang dimaksud antara lain menyembunyikan identitas asli atau
menyembunyikan identitas pihak yang dikeluhkan. Jika dapat memenuhi satu
dari dua prasyarat tersebut, kebebasan berekspresi akan terjamin. Hanya
saja kebebasan yang didapat dengan cara seperti ini justru kontraproduktif.
Kenapa? Apabila menyembunyikan identitas asli, orang lain akan kesulitan
menentukan valid atau tidaknya informasi yang disebarkan. Kondisi ini pun
rentan disalahgunakan untuk menyebar informasi bohong (hoax).
Menyembunyikan identitas pihak yang dikeluhkan pun kontraproduktif.
Kenapa? Apa artinya sebuah keluhan akan buruknya pelayanan suatu pihak
bila tidak ada kejelasan mengenai pihak yang dimaksud. Buruknya layanan
di resto ABC, panjangnya antrian di bank DEF, atau rumitnya birokrasi di
kantor kecamatan GHIJ, pada dasarnya tidak memberikan informasi apa pun
selain 10 huruf pertama dalam alfabet. Seperti itulah kondisi kebebasan
berekspresi di Internet saat ini. Percayalah bahwa hal ini tidak terjadi di
Indonesia saja. Negara-negara lain pun ada yang senasib dan
sepenanggungan dalam hal kebebasan berekspresi ini. Sebut saja misalnya
Filipina.
Pada tanggal 12 September 2012, Presiden Filipina Benigno Aquino III
menandatangani Cybercrime Prevention Act
of 2012 (Undang-Undang
Pencegahan Kejahatan Dunia Maya 2012). Dengan diberlakukannya UU
Pencegahan Kejahatan Dunia Maya 2012, pengguna jejaring sosial wajib
berhati-hati dengan apa yang ditulisnya, salah-salah bisa dianggap sebagai
pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik melalui internet diancam
dengan hukuman penjara dua kali lipat dari pencemaran nama baik secara
‘konvensional’ karena efek yang ditimbulkannya dianggap jauh lebih masif.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan bila netizen menekan tombol 'like' di
Facebook atau melakukan 'retweet' dapat dianggap sebagai pencemaran
nama baik, tak hanya berlaku bagi sang pembuat status.

Yang menjadi momok kebebasan berekspresi ini adalah perangkat
hukum. Prita Mulyasari sendiri berhasil diseret ke meja hijau karena dijerat
pasal-pasal yang terkait pencemaran nama baik. Kesadaran berinteraksi di
dunia maya sekaligus kebebasan berekspresi ternyata sekarang harus
dibatasi juga. semua karena pasal 25 ayat (3) UU ITE (Informasi dan
Transaksi Elektronik) yang berisi : "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya a-Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Ternyata, undang-undang ini sangat bertentangan dengan UU Nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menjamin setiap warga
negara sebagai konsumen untuk menyampaikan keluhannya dan Pasal 28
UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan,mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”(Pasal 28F, UUD 1945
Indonesia, Amandemen ke-2).
Dewasa ini, kebebasan para pengguna Internet ternyata dibatasi oleh
aturan yang seringkali membuat kita memilih untuk tetap diam ketimbang
berekspresi. Kebebasan yang dimiliki di Internet pun menjadi sifatnya
terbatas.
Bebas atau terbatas? Lebih tepat kalau kita katakan "bebas terbatas". Kita
bebas mengekspresikan apa pun isi pikiran kita di Internet asalkan kita
senantiasa memperhatikan regulasi yang berlaku. Perilaku seperti ini yang
perlu kita perhatikan saat menggunakan Internet. Apalagi hukum itu tidak
mengenal alasan "tidak tahu". Sekali kita dijerat oleh satu (atau sekumpulan)
pasal, alasan "tidak tahu" tidak akan pernah membuat kita lepas. Kita harus
berinisiatif untuk berhati-hati saat berbagi informasi di Internet. Tentunya
"hati-hati" di sini adalah sifat hati-hati yang tidak berlebihan. Jangan sampai
berbagai regulasi tentang kebebasan berekspresi di Internet itu membuat
paranoid.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar dapat berekspresi di internet dengan
aman? Maka dari itu diperlukan etika dalam berekspresi di internet. Walau
begitu tak ada aturan baku karena etika sifatnya tak tertulis. Etika lebih
bersifat filosofis. Untuk konteks dunia teknologi informasi, bersifat borderless
atau tak mengenal batas negara dan mengayomi semuanya. Bagi netizen,
etika bisa jadi lebih tinggi nilainya daripada perangkat hukum yang dibuat
negara. Etika-etika dalam berekspresi di internet adalah sebagai berikut.
1. Jangan pernah menyakiti sesorang lewat kata-kata (teks), gambar,
atau video. Dalam jejaring sosial, jangan berkomentar sinis, menghina,

menyindir, ataupun merendahkan martabat pengguna lain. Jika
dilakukan, maka kegiatan ini telah menjadi bagian dari cyberbullying
yang sedang diperangi dinia.
2. Jangan meneruskan email temanmu ke pihak lain tanpa izin dari
pemiliknya
3. Jangan mencaci-maki orang, menuduh, memfitnah, menghujat
ranah yang sifatnya publik.

di

4. Layanan, tulis secara netral dan mengacu pada fakta yang dialami.
5. Jangan meninggalkan data pribadi seperti: nomor telepon, email,
secara sembarangan di forum-forum online. Ini bisa disalahgunakan
pihak lain.
6. Jangan mengutip, menyadur tau menyalin tulisan orang lain tanpa
menyebutkan sumbernya. Ini namanya plagiat.
7. Hati-hati menulis isu yang masih sumir dan tak ada / belum jelas
buktinya.
Perhatikan isi informasi yang kita beberkan di Internet. Apakah ada yang
berpotensi menjelek-jelekan pihak lain? Apakah ada yang berpotensi menjadi
bumerang bagi kita? Perhatikan unsur identitas saat berbagi informasi itu.
Apakah identitas kita layak disembunyikan? Apakah identitas pihak yang kita
sebut di dalam informasi kita layak dibeberkan? Perhatikan kondisi media
tempat kita berbagi informasi tersebut. Apakah akses ke tempat kita berbagi
informasi itu bersifat umum atau terbatas? Kalau kita hanya menyebarkan
informasi ke orang-orang tertentu saja, apakah kita yakin bahwa informasi
itu tidak akan diteruskan ke ruang yang lebih luas?
Masih banyak hal yang perlu diperhatikan saat berekspresi,
mengeluarkan pendapat, dan berbagi informasi di Internet seperti yang telah
dipaparkan di atas. Jangan berpikir polos dan menganggap bahwa setiap
informasi yang kita beberkan di Internet itu akan berbalik menyerang kita.
Kalau hal ini sampai terjadi, mungkin saja kita akan mendapatkan dukungan
seperti halnya Prita Mulyasari, tapi apakah kita mau mengalami apa yang
dialami Prita Mulyasari? Tentu tidak.
Oleh karena itu, kebebasan berpikir dan berekspresi di internet tidak
berarti bahwa manusia bebas dalam menggunakan anugerah akal
pikirannya, maupun tidak menggunakannya. Jika ingin menjadi perhatian
publik saja dia akan berpikir dan mengasah kreatifitas diri untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Tetapi jika dia tidak
menginginkannya, dia akan cuek dan bertindak masa bodoh terhadap

pengguna internet lainnya, serta membiarkan pikirannya tidak berjalan dan
menganggur. Buat apa berbagi pikiran melalui artikel blog panjang lebar
kalau tidak ada gunanya buat saya, itulah yang mereka pikiran.
Selain itu, meski pasal 25 ayat (3) UU ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik) dan UU Nomor 8 tahun 1999 ataupun Pasal 28 UUD 1945 masih
mengalami pro dan kontra, sebaiknya pengguna internet tetap berhati-hati
dalam mengemukakan pendapat. Buatlah tulisan cerdas untuk memajukan
Negeri ini dan tentunya harus sesuai dengan kode etik. kenapa? karena,
hukum dan etika di dunia media sangatlah diperlukan karena media
mempunyai kelebihan yaitu sebuah hak penuh untuk berbicara. Namun, agar
‘bicara’ dalam media tidak melewati batas dan menyakiti perasaan,
sehingga hukum diciptakan oleh pemerintah untuk menjaga batasan-batasan
tertentu.
Dengan demikian, merenungi interaksi yang terjadi di internet dari
berbagai sisinya yang berbeda-beda akan menuntun kita untuk mengarungi
kebenaran dan kebaikan yang begitu luas terhampar di dalamnya. Selain itu,
kesadaran menghargai pendapat orang lain yang berbeda juga merupakan
kerja sama pikiran untuk memberikan sumbangsih manfaat materi dan non
materi bagi kebaikan individu dan kelompok. Eksis berbagi ide dan pikiran di
internet melalui beragam pilihan media tidak akan membuat kita rugi. Sudah
banyak kisah inspiratif yang terlahir karena konsistensi berbagi manfaat
melalui tekonologi internet. Walau dalam prosesnya tidak pernah mudah,
akan selalu hadir sikap pro dan kontra, menyatakan pendapat di internet
akan memberi nilai lebih bagi manusia. Internet bisa mengikis sikap enggan,
malu, enggan, dan sungkan sehingga kita bisa lebih leluasa berbagi ide.
Kesimpulannya, dunia maya maupun nyata sebenarnya tidak jauh
berbeda, sama-sama sebuah media. Dan asal kita bisa menggunakan media
ini secara baik, menjaga etika dan kesopanan, bertanggung jawab, tidak
merugikan diri sendiri maupun orang lain tentunya akan membawa banyak
manfaat yang positif dan baik juga. Internet memang bagaikan dua sisi mata
pisau, tergantung sisi mana kita menggunakannya, mau memilih yang tajam
atau yang tumpul, semua terserah kita dan tentunya disadari betul tentang
segala konsekuensi dari pilihan kita.