makalah defenisi kristalografi dan miner

Tugas 1
Defenisi Kristal dan Mineral

Oleh :
Erick Wijaya Pratama Batlayeri
410014176

SEKOLAH TINGGI TEKNOLIGI NASIONAL
2014

1.1 Defenisi Kristal
Batuan adalah kumpulan satu atau lebih mineral, yang dimaksud dengan
Mineral sendiri adalah bahan anorganik, terbentuk secara alamiah, seragam
dengan komposisi kimia yang tetap pada batas volumenya dan mempunyai kristal
kerakteristik yang tercermin dalam bentuk fisiknya. Jadi, untuk mengamati proses
Geologi dan sebagai unit terkecil dalam Geologi adalah dengan mempelajari
kristal.
Kristalografi adalah suatu ilmu pengetahuan kristal yang dikembangkan
untuk mempelajari perkembangan dan pertumbuhan kristal, termasuk bentuk,
struktur dalam dan sifat-sifat fisiknya. Dahulu, Kristalografi merupakan bagian
dari Mineralogi. Tetapi karena bentuk-bentuk kristal cukup rumit dan bentuk

tersebut merefleksikan susunan unsur-unsur penyusunnya dan bersifat tetap untuk
tiap mineral yang dibentuknya., maka pada akhir abad XIX, Kristalografi
dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan tersendiri
Kata “kristal” berasal dari bahasa Yunani crystallon yang berarti tetesan
yang dingin atau beku. Menurut pengertian kompilasi yang diambil untuk
menyeragamkan pendapat para ahli, maka kristal adalah bahan padat homogen,
biasanya anisotrop dan tembus cahaya serta mengikuti hukum-hukum ilmu pasti
sehingga susunan bidang-bidangnya memenuhi hukum geometri
Jumlah dan kedudukan bidang kristalnya selalu tertentu dan teratur.
Kristal-kristal tersebut selalu dibatasi oleh beberapa bidang datar yang jumlah dan
kedudukannya tertentu. Keteraturannya tercermin dalam permukaan kristal yang
berupa bidang-bidang datar dan rata yang mengikuti pola-pola tertentu. Bidangbidang ini disebut sebagai bidang muka kristal. Sudut antara bidang-bidang muka
kristal yang saling berpotongan besarnya selalu tetap pada suatu kristal.

Bidang muka itu baik letak maupun arahnya ditentukan oleh
perpotongannya dengan sumbu-sumbu kristal. Dalam sebuah kristal, sumbu
kristal berupa garis bayangan yang lurus yang menembus kristal melalui pusat
kristal. Sumbu kristal tersebut mempunyai satuan panjang yang disebut sebagai
parameter
Bila ditinjau dan telaah lebih dalam mengenai pengertian kristal,

mengandung pengertian sebagai berikut :
1. Bahan padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya :
 tidak termasuk didalamnya cair dan gas
 tidak dapat diuraikan kesenyawa lain yang lebih sederhana oleh proses
fisika
 terbentuknya oleh proses alam
2. Mengikuti hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya
mengikuti hukum geometri :
 jumlah bidang suatu kristal selalu tetap
 macam atau model bentuk dari suatu bidang kristal selalu tetap
 sifat keteraturannya tercermin pada bentuk luar dari kristal yang tetap.
Apabila unsur penyusunnya tersusun secara tidak teratur dan tidak mengikuti
hukum-hukum diatas, atau susunan kimianya teratur tetapi tidak dibentuk oleh
proses alam (dibentuk secara laboratorium), maka zat atau bahan tersebut bukan
disebut sebagai kristal.
A. Proses Pembentukan Kristal
Pada kristal ada beberapa proses atau tahapan dalam pembentukan kristal. Proses
yang di alami oleh suatu kristal akan mempengaruhi sifat-sifat dari kristal
tersebut. Proses ini juga bergantung pada bahan dasar serta kondisi lingkungan
tempat dimana kristal tersebut terbentuk.


Berikut ini adalah fase-fase pembentukan kristal yang umumnya terjadi pada
pembentukan kristal :
 Fase cair ke padat : kristalisasi suatu lelehan atau cairan sering terjadi pada
skala luas dibawah kondisi alam maupun industri. Pada fase ini cairan atau
lelehan dasar pembentuk kristal akan membeku atau memadat dan
membentuk

kristal.

Biasanya

dipengaruhi

oleh

perubahan

suhu


lingkungan.
 Fase gas ke padat (sublimasi) : kristal dibentuk langsung dari uap tanpa
melalui fase cair. Bentuk kristal biasanya berukuran kecil dan kadangkadang berbentuk rangka (skeletal form). Pada fase ini, kristal yang
terbentuk adalah hasil sublimasi gas-gas yang memadat karena perubahan
lingkungan. Umumnya gas-gas tersebut adalah hasil dari aktifitas vulkanis
atau dari gunung api dan membeku karena perubahan temperature.
 Fase padat ke padat : proses ini dapat terjadi pada agregat kristal dibawah
pengaruh tekanan dan temperatur (deformasi). Yang berubah adalah
struktur kristalnya, sedangkan susunan unsur kimia tetap (rekristalisasi).
Fase ini hanya mengubah kristal yang sudah terbentuk sebelumnya karena
terkena tekanan dan temperatur yang berubah secara signifikan. Sehingga
kristal tersebut akan berubah bentuk dan unsur-unsur fisiknya. Namun,
komposisi dan unsur kimianya tidak berubah karena tidak adanya faktor
lain yang terlibat kecuali tekanan dan temperatur.

1.2 Defenisi Meneralogi
Mineral adalah suatu senyawa anorganik yang terbentuk di alam (secara
alamiah) bersifat homogen, dengan komposisi kimia terbatas dan sifat fisika
tertentu.
A. Sifat Fisik Meneral

 Warna Mineral
Warna pada Mineral adalah warna yang kita tangkap dengan mata bila
mana Mineral tersebut terkena sinar.
Sebab-sebab yang menimbulkan warna di dalam mineral bergantung pada
bagian hal antara lain, Komposisi kimia, Srtuktur kristal dan Ikatan atom,
Pengotoran pada mineral
 Kilap (Luster)
Kilap merupakan suatu sifat optis yang mempunyai hubungan yang erat
dengan peristiwa pemantulan dan pembiasan.
Jenis-jenis kilap; Kilap logam (luster metalic), Kilap setengah logam
(luster sub metalic), Kilap bukan Logam{ Kilap kaca ( Vitreous luster),
Kilap intan (Diamond luster), Kilap lemak (Greasy luster), Kilap lilin
( Waxy luster), Kilap sutera (Silky luster), Kilap mutiara (Pearly luster),
Kilap damar ( Resineous luster) }
 Cerat (Sreak)
Cerat atau warna gores, adalah warna yang kita dapatkan bilamana mineral
digoreskan pada keping porselin yang kasar permukaannya atau warna
mineral bila ditumbuk halus.
 Belahan (Cleavage)
Belahan adalah kecenderungan suatu kristal/ mineral yang karena

pengaruh mekanis, seperti pemukulan atau penekanan akan terbelah-belah
dan tidak hancur pada arah tertentu, sehingga didapatkan permukaan yang
rata dan licin.

 Pecahan (Fracture)
Pecahan adalah keretakan mineral yang didapat tidak melalui suatu bidang
tertentu, sehingga arah pecahan tidak teratur dan tidak rata.
Pecahan dari mineral dapat dibedakan atas:
a.

Concoidal Fracture ( Pecahan melengkung)

b.

Hackeys Fracture (Pecahan tajam-tajam dan tidak teratur)

c.

Even Fracture (Pecahan rata)


d.

Uneven Fracture (Pecahan kasar dan tidak teratur)

 Kekerasan ( Hardnes)
Kekerasan pada umumnya didefenisikan sebagai daya tahan suatu mineral
terhadap goresan.
Urutan tingkat kekerasan suatu mineral:
a.

Talk

Kekerasan = 1

b.

Gypsum

Kekerasan = 2


c.

Kalsit

Kekerasan = 3

d.

Flourit

Kekerasan = 4

e.

Apatit

Kekerasan = 5

f.


Ortoklas

Kekerasan = 6

g.

Kuarsa

Kekerasan = 7

h.

Topas

Kekerasan = 8

i.

Korundum


Kekerasan = 9

j.

Intan

Kekerasan = 10

 Kekenyalan ( Tenacity)
Kekenyalan merupakan sifat dalam dari suatu mineral yang merupakan
daya

tahan

mineral

terhadap

usaha


pemecahan,

pemotongan, dan lengkungan atau sobekan pendek

penghancuran,

Kekenyalan dapat dibedakan menjadi :
1. Brittle Yaitu mineral dapat hancur atau menjadi seperti tepung.
2. Sectile Yaitu mineral dapat dipotong menjadi lembaran tipis pisau
lipat.
3. Malleable Yaitu mineral dapat ditempa menjadi lembaran atau
lempengan tipis.
4. Fleksible Yaitu mineral dapat dibengkokkan/dilengkingkan, tetapi
bila gaya yang bekerja pada mineral tersebut tidak dapat kembali
pada keadaan semula.
5. Elastic Yaitu mineral bila dibengkokkan dapat kembali pada
keadaan semula bila gaya yang bekerja sudah tidak ada.
6. Ductil Yaitu mineral dapat digores dengan kawat.
 Diapaneaty
Diapaneaty merupakan sifat yang dimiliki beberapa mineral, yaitu
kemampuan suatu mineral untuk memindahkan cahaya Diapaneaty dapat
dikelompokan menjadi:
1. Transparant; apabila benda diletakan di bawah suatu mineral, maka
benda tersebut dapat dilihat dengan jelas.
2. Translucent; suatu mineral dapat memindahkan cahaya, tetapi
benda yang berada di bawahnya tidak dapat dilihat dengan jelas.
3. Opaque; sifat suatu mineral yang tidak dapat memindahkan
cahaya.
 Berat jenis (Density)
Berat jenis mineral merupakan perbandingan antara berat mineral di udara
terhadap volumenya didalam air. Yang dimaksud dengan volumenya di
dalam air adalah berat volume air yang sama dengan berat mineral
tersebut.

Berat jenis suatu mineral tergantung pada dua faktor yaitu:
1. Jenis atom penyusunnya
2. Variasi atom yang dapat bersenyawa
3. Sifat-sifat Magnit
4. Sifat Listrik
5. Sifat Permukaan
6. Sifat Radioaktif
7. Sifat-sifat yang lain:
 Rasa
Mineral-mineral yang dapat larut dalam air dapat memberikan
rasa yang khas bagi mineral-mineral yang bersangkutan, antara
lain:
-

Asin seperti pada Halite (NaCL)

-

Pahit seperti pada Ensonit (MgSO4 7H2 O)

-

Dingin seperti pada Tawas (KAl3(OH)6(SO)4)2

 Bau
Kebanyakan meneral dalam keadaan kering atau baru/segar
tidak memberikan bau, tetapi pada beberapa mineral akan
memberikan bau khususnya kalau mineral itu digosok,
dibasahi, direaksikan dengan asam-asam, dll seperti:
-

Bau bawang putih pada mineral arsen (AS)

-

Bau belerang pada mineral Belerang (S)

-

Bau arang seperti pada batu bara dan aspal.

 Rabaan
-

Rabaan seprti lemak pada mineral Talk

-

Rabaan kasar pada kapur

-

Rabaan licin pada sepioli

-

Melekat kalau diraba seperti pada mineral Kaolin

B. Struktur Mineral
Pada umumnya struktur mineral dapat digolongkan sebagai berikut:


Kristaloid : struktur kristalin. Kelompok kristal seperti pada kalsit,
kelompok butir yang tidak teratur, seperti pada marmer.



Kalloid dan Gel : disini strukturnya amorf.

C. Sistem Kristal
Dalam mempelajari dan mengenal bentuk kristal secara mendetail, perlu
diadakan pengelompokkan yang sistematis. Pengelompokkan itu didasarkan
pada perbangdingan panjang, letak (posisi) dan jumlah serta nilai sumbu
tegaknya. Bentuk kristal dibedakan berdasarkan sifat-sifat simetrinya (bidang
simetri dan sumbu simetri) dibagi menjadi tujuh sistem, yaitu
1. Isometrik,
2. Tetragonal,
3. Hexagonal,
4. Trigonal,
5. Orthorhombik,
6. Monoklin dan
7. Triklin.
1. Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem
kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus
satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk
masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α =
β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ
) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 1 Sistem Isometrik
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :


Tetaoidal



Gyroida



Diploida



Hextetrahedral



Hexoctahedral

Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold,
pyrite, galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992)
2. Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal
yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan
panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih
pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi
tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ =
90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ )
tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 2 Sistem Tetragonal
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal
Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:


Piramid



Bipiramid



Bisfenoid



Trapezohedral



Ditetragonal Piramid



Skalenohedral



Ditetragonal Bipiramid

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil,
autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)
3. Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap
ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut
120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama.
Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek
(umumnya lebih panjang).

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama
dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c.
Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti,
pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚
terhadap sumbu γ.

Gambar 3 Sistem Hexagonal
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan
sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 7:


Hexagonal Piramid



Hexagonal Bipramid



Dihexagonal Piramid



Dihexagonal Bipiramid



Trigonal Bipiramid



Ditrigonal Bipiramid



Hexagonal Trapezohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz,
corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)

4. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain
yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam
sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama.
Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang
terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua
titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a
= b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama
dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan
β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Gambar 4 Sistem Trigonal
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal
Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan
sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:


Trigonal piramid



Trigonal Trapezohedral



Ditrigonal Piramid



Ditrigonal Skalenohedral



Rombohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini adalah tourmaline
dan cinabar (Mondadori, Arlondo. 1977)
5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal
yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya
saling tegak lurus (90˚).

Gambar 5 Sistem Orthorhombik
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya
tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya
pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:


Bisfenoid



Piramid



Bipiramid

Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite,
chrysoberyl, aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992)
6. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu
yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga
sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang
paling panjang dan sumbu b paling pendek.

Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama
panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α =
β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus
(90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).

Gambar 6 Sistem Monoklin
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal
Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak
ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada

sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas:


Sfenoid



Doma



Prisma

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite,
malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)
7. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak
saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama
panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β
≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus
satu dengan yang lainnya.

Gambar 7 Sistem Triklin
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan
menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar
sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+
memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:


Pedial



Pinakoida

Lampiran Gambar Kristal dan Mineral

Felspar albit

Felspar albit

Daftar Pustaka
http://aulizar.wordpress.com/2010/11/24/kristal/
http://radarjuve.blogspot.com/2013/07/kristalografi-dan-mineralogi.html
http://medlinkup.wordpress.com/2010/10/31/kristalografi-1/
pend-geografi.ums.ac.id/files/KRISTALOGRAFI.doc
http://bamseko.wordpress.com/2013/10/11/pengenalan-7-sistem-kristal/