Irigasi dan Konversi Lahan Sawah

Irigasi dan Konversi Lahan Sawah
http://analisadaily.com/news/read/irigasi-dankonversi-lahan-sawah/98202/2015/01/14
Rabu, 14 Januari 2015 | Dibaca 44 kali

Url Berita

Tabel 1. Luas Sawah-Irigasi-Non Irigasi- Panen- Penghasil Utama Tanaman Padi di 10 Provinsi di
Indonesia
Oleh: Ferisman Tindaon. Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat agar mempercepat pembangunan dan rehabilitasi irigasi untuk meningkatkan hasil
pangan nasional. Hal ini sejalan dengan janji kampanyenya saat Pilpres beberapa waktu lalu. Adapun yang
sudah disurvei langsung sebanyak 47 titik bendungan, dari jumlah tersebut, 16 sedang dibangun, sedangkan lima dalam proses penandatanganan kontrak. Lima bendungan lainnya ditargetkan selesai pada
2015 mendatang yaitu Bendungan Krutol di Aceh, Bendungan Pengaraya di Banten, Bendungan Loyo di
Kudus, Bendungan Ratnamu di NTT, dan satu bendungan di Kalimantan Timur. Ini adalah topik utama
ulasan berkaitan dengan kedaulatan pangan di berbagai media massa pada awal bulan November 2014
ini.
Pembangunan irigasi dan pencetakan lahan sawah baru adalah aktivitas pembangunan pertanian yang
saling berkaitan langsung dan membutuhkan investasi modal dalam jumlah yang sangat besar. Sayang
kedua jenis pembangunan sering berjalan kurang selaras. Sering terjadi pembangunan irigasi dilakukan,
namun di sisi lain terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan lahan lainnya seperti pemukiman, industri,
perkebunan pembangunan sarana/prasarana umum, usaha dan lainnya.


1

Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia melaksanakan Rapid Assesment pada seluruh daerah irigasi di
Indonesia, dan ternyata bahwa 48 persen irigasi dalam kondisi baik, sisanya sejumlah 52 persen dalam
kondisi rusak ringan. Irigasi akan berkontribusi untuk mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Irigasi
ini sangat menentukan swasembada beras yang pernah kita capai di tahun 1984 - 2004. (Dirjen SDA,
2012).
Sawah Irigasi dan Konversi Lahan
Luas lahan pertanian terus mengalami penurunan karena beragam faktor, yaitu alih fungsi lahan menjadi
industri ekstraktif seperti perkebunan besar, tambang, perumahan/properti, pembangunan
sarana/prasarana publik, industri seiring dengan pertambahan penduduk. Disamping itu petani juga mengalami kesulitan air irigasi karena kehilangan sumber air lahan sawahnya.
Kembali pada tahun 2013 dilaporkan bahwa Indonesia memiliki lahan sawah seluas 8,1 juta hektar yang
terdiri dari lahan sawah irigasi hanya sekitar 4,4 juta hektar dan 3,7 juta hekatar sawah non irigasi. Sekitar
83 persen atau seluas 3,67 juta hektar lahan sawah irigasi berada di 10 propinsi utama penghasil padi di
Indonesia. Sentra produksi padi (beras) berada di pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa
Barat. Sedangkan di luar Pulau Jawa, sentra produksi padi terdapat di provinsi Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Sumatera Barat dan lainnya (BPS, 2013 ;Tabel 1).
Luasan sawah di 10 provinsi ini menghasilkan padi (beras) yang mencapai 80 persen dari total produksi
nasional. Ke 10 provinsi yang memiliki lahan sawah irigasi ini menghadapi masalah-masalah yang berbeda

dalam hal kendala pembangunan, konversi lahan sawah irigasi, pembangunan dan pemeliharaan irigasi
yang sedang dicanangkan oleh pemerintah.
Jika kita ambil misalnya tiga provinsi utama penghasil padi (beras) di Indonesia yang kebetulan ketiganya
berada di Pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ketiga provinsi ini menghadapi
tantangan yang berat dalam keterbatasan lahan, adanya perkembangan industri yang pesat dan jumlah
penduduk yang padat.
Konversi fungsi lahan pertanian merupakan salah satu fenomena yang cukup banyak terjadi saat ini,
khususnya lahan sawah yang semakin terus menyempit dan beralih fungsi menjadi lahan non pertanian.
Secara ekonomi akan lebih buruk lagi apabila lahan yang dikonversikan adalah lahan sawah yang telah
dilengkapi dengan fasilitas irigasi. Ternyata laju konversi lahan pertanian untuk penggunaan lain lebih
dominan terjadi di Pulau Jawa. Secara nasional, pada tahun 2012 dalam lima tahun terakhir tercatat bahwa
luas lahan sawah cenderung berkurang sebagai akibat alih fungsi lahan sekitar 110 ribu hektar per tahun,
sementara pencetakan sawah hanya 20-40 ribu hektar/tahun.
Bagi petani sendiri, laju konversi lahan sawah semakin deras akibat nilai ekonomi atau economic rent
sawah jauh lebih rendah dibanding jika lahan tersebut digunakan untuk peruntukan lain. Di daerah sentra
industri atau padat penduduk nilai economic rent ratio ini dapat mencapai 500:1 artinya lahan sawah
memiliki nilai ekonomi penggunaan lain 500 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan
sebagai lahan sawah. Secara logis, lahan sawah yang tidak dapat bersaing dengan penggunaan lain
karena dari sisi ekonomi, maka lahan sawah tersebut lebih berharga bila dijadikan bangunan, fungsi lain
atau ditanami komoditi pertanian lain.

Alih fungsi lahan marak terjadi Jawa Barat terutama di sentra produksi padi di Jawa Barat seperti
Karawang, Subang, dan Bekasi. Tidak hanya itu, pembebasan lahan di wilayah Majalengka yang dijadikan
bandara serta kawasan industri yang nantinya ikut mengurangi lahan pertanian yang ada.
Berbeda halnya dengan kasus terjadi di Sumatera Utara, disebutkan salah satu faktor penyebab irigasi
rusak dan kering serta debit air permukaan tanah terus menurun. Banyak alih fungsi lahan dari pertanian
padi menjadi perkebunan sawit. Jika saluran irigasi rusak hingga membuat jaringan irigasi kering kemudian

2

berubah menjadi perkebunan sawit. Beberapa kabupaten dengan tingkat alih fungsi lahan tinggi, yaitu
Kabupaten Labuhan Batu dan Labuhan Batu Utara, Kabupaten Asahan, Kabupaten Langkat, Kabupaten
Mandailing Natal dan Padang Sidempuan.
Pembukaan perkebunan rakyat dan perkebunan besar kelapa sawit di beberapa Provinsi di Kalimantan
juga diikuti pula dengan berkurangnya lahan pertanian padi sawah maupun padi ladang. Ada yang
dialihkan untuk perkebunan sawit, ada juga sawah yang tidak lagi dikelola (ditelantarkan) karena petani
padi sawah beralih profesi menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit karena kebutuhan uang tunai untuk
menyambung kehidupan.
Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Konversi lahan pertanian pada intinya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara
sektor pertanian dan sektor non pertanian. Untuk mengendalikan laju konversi lahan tersebut Pemerintah

Indonesia telah memberlakukan berbagai perangkat hukum baik UU maupun Peraturan Pemerintah (PP).
Misalnya, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 41/2007 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Produktif, PP No. 12 Tahun 2012 dan lainnya.
Pemerintah Pusat juga telah meminta pemerintah daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda)
tentang larangan konversi lahan pertanian. Dengan demikian tidak semakin banyak lagi lahan sawah yang
terkikis dan bidang pertanian semakin produktif. Oleh karenanya dibutuhkan komitmen bersama dari pusat
sampai kota/kabupaten untuk mengendalikan alih fungsi lahan. Artinya pemerintah harus segera menyusun peraturan daerah yang lebih spesifik untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan ini.
Sumber Dananya?
Secara sederhana keterbatasan dana dalam rumah tangga atau negara biasanya dapat ditanggulangi
dengan cara meningkatkan efisiensi, menggunakan tabungan jika ada dan mencari sumber dana baru atau
membuka kredit/utang baru dengan orang yang bersedia membantu atau bekerja sama untuk mewujudkan
keinginan tersebut. Muaranya kembali kepada sumber dana pembangunan. Tantangan bukan semakin
ringan tetapi semakin berat. Timbul masalah baru yaitu dari mana sumber pendanaan untuk semua
terobosan-terobosan yang akan dilakukan itu. Kita ambil contoh pernyataan Menko Perekonomian (17/11
2014) bahwa "saat ini dari sekitar 7 juta hektare saluran irigasi di tanah air sekitar 52% atau 3,3 juta
hektare mengalami kerusakan. "Untuk perbaikan irigasi itu perlu dana sebesar Rp 50 triliun. Kalau tidak
diperbaiki negara ini akan ketinggalan banyak".
Belum lagi dalam konsep poros maritim dunia dan tol laut yang membutuhkan dana yang besar. Adanya
kebutuhan dana untuk kebutuhan penyediaan kapal-kapal perikanan seperti yang dikemukakan oleh
Kementerian Perikanan dan Kelautan. Belum lagi dalam konteks keamanan laut seperti keluhan yang

mengemuka di media massa. Dimana dana anggaran bahan bakar minyak untuk kapal-kapal patroli laut
sangat minim. Akibatnya TNI Angkatan Laut sampai harus berutang sekitar Rp 6 triliun untuk
mengoperasikan kapal patroli ini ke Pertamina (Kompas, 18-11-2014).
Beberapa langkah telah mulai dilakukan oleh pemerintah. Indonesia mendapatkan komitmen investasi
sebesar US$27,4 miliar selama KTT APEC 2014 di Beijing. Setidaknya 12 proyek pertambangan, energi,
dan infrastruktur yang sudah didapatkan sebagai sumber pendanaannya oleh pemerintah (VOA,18-112014).
Pembangunan infrastruktur yang dicanangkan presiden Jokowi juga membutuhkan dana yang besar.
Sehingga ia juga minta agar Asian Infrastructure Investment Bank yang 50 persen sahamnya dimiliki
Tiongkok dan beranggotakan 20 negara dapat berkantor pusat di Indonesia. Presiden langsung meminta
negara dengan ekonomi terbesar dunia itu berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur pelabuhan, rel
kereta api, jalan tol, dan pembangkit listrik di Indonesia.

3

Kemudian langkah ini diikuti pengumuman pemerintah tentang kenaikan harga BBM subsidi yang mulai
berlaku pada tanggal 18 November 2014 . Adanya pengurangan dana subsidi BBM dari bentuk yang
konsumtif ini diharapkan akan dapat dialihkan ke bentuk yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur dan pembangunan/perbaikan fasilitas irigasi ini. Sumber lain misalnya pemerintah berharap
akan memperoleh tambahan dana pembangunan dari potensi penerimaan pajak di tahun-tahun yang akan
datang.
Lambat atau cepat, kehadiran pemerintah akan mulai semakin dapat dirasakan kehadirannya dan terlibat

langsung ditengah berbagai aspek kehidupan rakyatnya. Hanya kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya dirasakan oleh masyarakat yang dapat membuktikannya. Semoga. ***
* Penulis adalah Pemerhati Lingkungan dan Guru Besar di Fakultas Pertanian Universitas HKBP
Nommensen Medan

4