BAB I PENDAHULUAN Post Sc
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan dapat
melahirkan bayi yang sempurna. Seperti yang telah diketahui, ada dua cara
persalinan yaitu persalinan pervaginam yang lebih dikenal dengan persalinan
normal atau alami dan persalinan dengan operasi caesar dapat juga disebut
dengan bedah sesarea atau sectio caesarea , yaitu bayi dikeluarkan lewat
pembedahan perut (Partilah, 2014).
Pertolongan operasi caesar merupakan tindakan dengan tujuan untuk
menyelamatkan ibu maupun bayi (Manuaba, 2013). Tiap-tiap tindakan
pembedahan harus didasarkan atas indikasi, yakni pertimbangan-pertimbangan
yang menentukan bahwa tindakan perlu dilakukan demi kepentingan ibu dan
janin. Sudah tentu kepentingan ibu dan janin harus sama-sama diperhatikan, akan
tetapi dalam keadaan terpaksa kadang-kadang seorang dokter terpaksa lebih
memperhatikan kepentingan ibu daripada kepentingan janinnya (Saifuddin ,
2014).
Persalinan caesar tidak ditujukan hanya demi kenyamanan dan kepentingan
dokter atau orang tua atau alasan lain yang sifatnya nonmedis. Operasi cesar
harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan, maka
logikanya kemajuan teknologi kedokteran akan membawa perubahan pada
1
jumlah antara Angka Kematian Ibu (AKI) yang melahirkan dan angka ibu yang
harus menjalani operasi caesar, yaitu semakin kecil tahun ke tahun.
Menurut SDKI pada tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
359 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2015 baru mencapai 161 per
100.000 kelahiran hidup,sementara target MDG’s Indonesia adalah 102 per
100.000 kelahiran hidup. Survei Nasional pada tahun 2009, 921.000 persalinan
dengan operasi cesar dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8% dari seluruh
persalinan.
Indikasi yang menambah tingginya angka persalinan seksio sesaria adalah
tindakan seksio sesaria pada letak sungsang, seksio sesaria berualang, kehamilan
prematuritas, kehamilan dengan resiko tinggi, pada kehamilan kembar,
kehamilan dengan pre-eklamsia dan eklampsia, konsep well born baby dan well
health mother dengan orientasi persalinan. (Manuaba , 2013).
Adapun masalah keperawatan yang muncul menurut NANDA 2012 pada
post sectio caesarea salah satunya adalah nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera (misal biologis, zat kimia, fisik dan psikologis). Penatalaksanaan nyeri
menurut NIC 2012 adalah manajemen nyeri, kelola analgetik, terapi relaksasi,
dan manajemen lingkungan.
Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan Masalah Nyeri
Akut di Ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu.
2
B.
Batasan Masalah
Masalah pada kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada Pasien Post
Sectio Caesarea dengan masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura
Palu.
C.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan
masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu ?
D.
Tujuan
1.
Tujuan umum
Melaksanakan asuhan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu.
2.
Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan
masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
b. Menetapkan diagnosa keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
c. Menyusun perencanaan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
3
e. Melakukan evaluasi pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan masalah
nyeri akut di RSU Anutapura Palu
E.
Manfaat Penelitian
1.
Tempat Penelitian
Membantu dalam perencanaan dan penatalaksanaan pengendalian nyeri
pada Pasien Post Sectio Caesarea
2.
Perkembangan ilmu keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan untuk
perkembangan ilmu keperawatan
3.
Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan atau
literatur sehingga dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Masa Nifas
1.
Pengertian
Masa nifas atau purperium adalah dimulai sejak 1 jam setelah
lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu. Persalinan
pasca persalinan harus terselenggara pada masa itu untuk memenuhi
kebutuhan ibu dan bayi, yang meliputi upaya pencegahan, deteksi dini dan
pengobatan komplikasi dan penyakit yang mungkin terjadi, serta
penyediaan pelayanan pemberian ASI, cara menjarangkan kehamilan,
imunisasi, dan nutrisi bagi ibu. (Sarwono, 2009 )
Masa nifas (Puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum
hamilyang berlangsungselama kira-kira 6 minggu, atau masa nifas adalah
masa yang dimulai dari beberapa jam setelah lahir plasenta sampai 6
minggu berikutnya. (Rahayu dkk, 2012)
Puerperium adalah periode pemulihan dari perubahan anatomis dan
fisiologis yang terjadi selama kehamilan. Puerperium (masa nifas) atau
periode pasca persalinan umumnya berlangsung selama 6 – 12 minggu
setelah kelahiran anak. (Serri, 2009)
5
2.
Tujuan Asuhan Masa Nifas
Pada masa nifas ini terjadi perubahan-perubahan fisik maupun psikis
berupa perubahan organ reproduksi, terjadinya proses laktasi, terbentuknya
hubungan antara orang tua dan bayi dengan memberi dukungan. Atas dasar
tersebut perlu dilakukan suatu pendekatan antara ibu dan keluarga dalam
manajemen keperawatan.
Adapun tujuan asuhan masa nifas adalah sebagai berikut :
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun psikis
b. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah,
mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.
c. Memberikan pendidikankesehatan tentang perawatan kesehatan diri,
nutrisi, KB, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayi dan perawatan
bayi sehat.
d. Memberikan pelayanan KB.
3.
Tahapan masa nifas
Nifas dibagi dalam 3 periode :
a. Puerperium dini
Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan lamanya
bisa sampai 40 hari
6
b. Puerperium intermedial
Kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia, lamanya 6-8 minggu.
c. Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila
selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi berminguminggu, berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun.
4.
Perubahan masa nifas
Pada masa nifas terjadi perubahan fisiologis yaitu :
a. Involusi uterus
Involusi uteri adalah proses uterus kembali kekondisi sebelum hamil.
Uterus bisaanya berada di organ pelvic pada hari ke-10 setelah
persalinan. Involusi uterus lebih lambat pada multipara.
Penurunan ukuran uterus dipengaruhi oleh proses autolysis protein
intraseluler dan sitoplasma miometrium. Proses involusi uterus :
1) Autolysis
Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi didalam
otot uterin.
2) Terdapat polymorph phagolitik dan macrophages didalam sistem
vaskuler dan sistem lymphatic.
7
3) Efek oksitoksin
Penyebab kontraksi dan retraksi otot rahim dan sehingga akan
mengompres pembuluh darah akan mengurangi suplai darah ke
uterus, proses ini akan mengakibatkan ukuran rahim semakin
berkurang. (Buku Ajar Masa Nifas Dan Menyusui, 2012)
Tabel 2.1 Tinggi fundus uteri dan involusi uteri
Involusi
Plasenta lahir
7 hari (1 minggu)
14 hari (2 minggu)
42 hari (6 minggu)
56 hari (8 minggu)
Tinggi Fundus Uteri
Setinggi pusat
Pertengahan pusat dan simpisis
Tak teraba
Sebesar hamil 2 minggu
Normal
Berat Uterus
1000 gr
500 gr
350 gr
50 gr
30 gr
Sumber : (Rahayu dkk, 2012)
b. Pengeluaran lochea
Lochea adalah cairan yang keluar dari liang vagina pada masa nifas.
Cairan ini dapat berupa darah atau sisa lapisan rahim. Berbau amis
serta berbeda-beda pada setiap wanita. (Rahayu dkk, 2012)
Karakteristik lochea :
1) Lochea rubra
Merupakan kumpulan dari sisa darah, partikel desidua dan mucus.
Terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga melahirkan lochea
berwarna merah tua.
8
2) Lochea sanguinolenta
Berwarna merah kekuningan berisi darah campur lendir, terjadi
setelah hari ketiga sampai hari ketujuh.
3) Lochea serosa
Lochea serosa terdiri atas eksudat, leukosit, eritrosit, dan mucus
serviks, tetapi kandungan eritrosit mulai berkurang. Terjadi pada
hari keempat lochea berubah warna dari merah tua menjadi merah
jambu atau kuning kecokelatan, berlangsung setelah hari ke 7 - 14
hari
4) Lochea alba
Lochea alba
berwarna putih kekuningan, yang berlangsung
setelah hari ke-14 hingga 21 hari postpartum. Lochea alba
mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, lemak dan mucus
serviks. Adanya perdarahan merah segar setelah lochea alba atau
serosa mengindiksikan adanya infeksi atau perdarahan yang lama.
(Deswani, 2012)
c. Laktasi dan pengeluaran ASI
Terdapat 2 reflek menyusui yaitu :
1) Refleks prolaktin
Progerteron dan estrogen yang dihasilkan placenta merangsang
pertumbuhan kelenjar-kelenjar sus, sedangkan progeteron juga
9
merangsang pertumbuhan saluran (duktus) kelenjar. Kedua
hormon tersebut menekan prolaktin (LTH).
Setelah plasenta lahir maka produksi prolaktin meningkat
sehingga merangsang laktasi (pembentukan ASI).
2) Refleks Let Down
Dalam proses menyusui reflex pengeluaran oksitoksin di sebut jua
sebagai
“letdown
reflex
atau
love
reflex”,
reflex
ini
mengakibatkan memancarnya ASI keluar, isapan bayi akan
merangsang puting susu dan areola yang dikirim lobus posterior
melalui nervus vagus, dari
grandula pituitary posterior
dikeluarkan hormone oksitoksin kedalam peredaran darah yang
menyebabkan adanya kontraksi otot-otot myoepitel dari saluran
air susu, karena adanya kontraksi ini maka ASI akan terperas
kearah ampula. Produksi ASI akan meningkat sesudah 2-2 hari
post partum payudara menjadi besar, keras dan nyeri ini
menunjukan permulaan sekresi ASI. (Rahayu dkk, 2012)
d. Perubahan sistem pencernaan
Bisaanya ibu mengalami konstipasi setelah persalinan karena pada
waktu
melahirkan
alat
pencernaan
mendapat
tekanan
yang
menyebabkan kolon menjadi kosong karena pengeluaran cairan yang
berlebihan pada waktu persalinan, kurang makan, laserasi jalan lahir.
Agar buang air besar kembali teratur dapat diberikan diet atau makan
10
yang mengandung serat dan pemberian cairan yang cukup. (Rahayu
dkk, 2012)
e. Perubahan sistem perkemihan
Perubahan hormonal pada masa hamil (kadar steroid yang tinggi)
turut menyebabkan peningkatan fungsi ginjal, sedangkan penurunan
kadar steroid setelah wanita melahirkan sebagian menjelaskan sebab
penurunan fungsi ginjal selama pasca partum. Fungsi ginjal kembali
normal dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan.
Diperlukan kira-kira 2-8 minggu ureter dan pelvic kembali ke
keadaan sebelum hamil. (Icemi & Wahyu, 2013)
f. Perubahan sistem endokrin
Setelah plasenta lahir hormone estrogen dan progesterone menurun
sehingga akan mendorong pengeluaran hormone FSH dan LH untuk
memulai kesiklus menstruasi. Kelenjar tiroid kembali kebentuk
normal dan rata-rata metabolic basal kembali normal. (Rahayu dkk,
2012)
g. Perubahan sistem musculoskeletal
1) Diding perut bisaanya pulih kembali dalam 6 minggu
2) Kadang-kadang pada wanita yang asthenis terjadi diastasis dari
otot-otot recti abdominis sehingga sebagian dari dinding perut di
garis tengah hanya terdiri dari peritoneum dan kulit
11
3) Tulang-tulang sendi panggul dan ligamentum kembali dalam
waktu sekitar 3 bulan (Rahayu dkk, 2012)
h. Perubahan tanda-tanda vital
1) Tekanan darah bisaanya tidak berubah, kemungkinan tekanan
darah akan rendah setelah ibu melahirkan karena ada perdarahan.
Tekanan darah tinggi pada post partum dapat menandakan
terjadinya preeklamsi post partum
2) Suhu
Kembali normal setelah selama persalinan sedikit meningkat
(37,3ºC) dan akan stabil dalam waktu 24 jam, kecuali jika ada
infeksi
3) Nadi
Jika denyut nadi lebih dari 100 kali per menit merupakan tanda
infeksi atau terjadi perdarahan. Beberapa wanita mungkin
mengalami bradikardi setelah persalinan atau dalam beberapa jam
setelah post partum. (Rahayu dkk, 2012)
i. Perubahan psikologis
Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan ibu akan melalui fasefase sebagai berikut :
1) Fase taking in
Fase ini juga disebut sebagai fase menerima. Timbul pada jamjam pertama kelahiran sampai dengan dua hari post partum. Pada
12
fase ini adalah suatu waktu yang penuh dengan kegembiraan dan
kebanyakan orang tua sangat suka mengkomunikasikannya.
Mereka sangat perlu menyampaikan pengalaman mereka tentang
kehamilan dan kelahiran dengan kata-kata pada orang lain yang
berada di sekitarnya saat itu.
2) Fase Taking Hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 harisetelah melahirkan. Pada
fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
tanggungjawabnya dalam merawat bayi. Selain itu perasaan yang
sangat sensitive sehingga mudah tersinggung jika komunikasinya
kurang hati-hati. Oleh karena itu ibu memerlukan dukungan
karena saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk
menerima berbagai penyululan dalam merawat diri dan bayinya
sehingga tumbuh rasa percaya diri.
3) Fase Letting Go
Merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya
yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan
untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.
(Rahayu dkk, 2012)
13
5.
Penatalaksanaan
a. Mobilisasi
Ibu harus cukup istirahat 2 jam post partum ibu harus tidur terlentang
untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum. Setelah 2 jam ibu
boleh miring kiri dan kanan untuk mencegah adanya thrombosis. Pada
hari kedua bila perlu dilakukan senam nifas.
b. Pemberian cairan
Untuk mencegah terjadinya hipertermi, dehidrasi dan komplikasi pada
organ-organ tubuh lainnya dan minum sedikit kurang lebih 2,5 liter air
setiap hari. Tetapi untuk perdarahan aktif pada waktu persalinan
pemberian cairan per intra vena harus cukup mengandung banyak
elekroloit yang diperlukan tubuh
c. Pemeriksaan fisik
d. Observasi kontraksi uterus, fundus dan perdarahan
e. Menjaga kebersihan diri
f. Istirahat yang cukup
g. Nutrisi
1) Makan dengan diet seimbang untuk mendapatkan protein, mineral
dan vitamin yang cukup
2) Tablet besi Fe kurang lebih selama 40 hari pasca persalinan
3) Kapsul vitamin A (200-600 unit) agar bisa memberikan vitamin A
pada bayi melalui ASI. (Serri, 2009)
14
6.
Komplikasi
a. Inkontinensia urin
b. Konstipasi
c. Nyeri punggung
d. Anemia
e. Eklamsia dan preeklamsia
f. Perdarahan
g. Infeksi masa nifas (Serri, 2009)
B.
Konsep Sectio Caesarea
1.
Pengertian
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.
(Sarwono, 2009)
Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak
lewat insisi abdomen dan uterus. (Harry & william, 2010)
Sectio caesarea adalah pelahiran janin lewat insisi menembus dinding
uterus dan abdomen. (Dorland, 2012)
Seksio caesarea (SC) didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui
insisi di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).
(Ventura, 2010)
15
2.
Indikasi Sectio Caesarea
a. Indikasi mutlak
1) Indikasi ibu
a)
Panggul sempit
b)
Kagagalan
melahirkan
secara
normal
karena
adekuatnya stimulasi
c)
Obstruksi jalan lahir
d)
Stenosis serviks atau vagina
e)
Plasenta previa
f)
Ruptur uteri
2) Indikasi janin
a)
Kelainan letak
b)
Gawat janin
c)
Prolapsus plasenta
d)
Perkembangan bayi yang terhambat
e)
Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklamsia
b. Indikasi relatif
1) Riwayat section caesarea sebelumnya
2) Persentasi bokong
3) Distosia
4) Fetal distress
5) Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
16
kurang
6) Ibu dengan HIV positif
7) Gemeli, menurut Eastman sectio caesarea dianjurkan :
a) Bila janin pertama letak lintang atau persentasi bahu
b) Bila terjadi interlock
c) Distosia oleh karena tumor
d) IUFD (Intra Uterine Fetal Death). (Rasjidi, 2010)
3.
Tipe-tipe Sectio Caesarea
a. Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda dengan insisi di segmen
bawah uterus. Tipe ini yang paling banyak dilakukan. Segmen bawah
uterus tidak begitu banyak mengandung pembuluh darah dibanding
segmen atas sehingga resiko perdarahan lebih kecil. Karena segmen
bawah terletak diluar kavum peritonei, kemungkinan infeksi pasca
bedah juga tidak begitu besar. Di samping itu resiko rupture uteri pada
kehamilan dan persalinan berikutnya akan lebih kecil jika jaringan parut
hanya terbatas pada segmen bawah uterus. Kesembuhan luka bisaanya
baik karena segmen bawah merupakan bagian uterus yang tidak begitu
aktif.
Keuntungan insisi segmen bawah rahim menurut kehier :
1) Segmen bawah rahim lebih tenang
2) Kesembuhan lebih baik
3) Tidak banyak menimbulkan perlekatan
17
Kerugiannya :
1) Terdapat kesulitan pada waktu mengeluarkan janin
2) Terjadi perluasan luka insisi dan menimbulkan perdarahan
b. Sectio cesarea klasik (korporal) menurut Sanger
Insisi dibuat pada korpus uteri. Dilakukan kala segmen bawah tidak
terjangkau karena melekat eratnya dinding uterus pada perut karena
section sesarea yang sudah-sudah, insisi disegmen bawah uterus
mengandung bahaya perdarahan banyak berhubung dengan letaknya
plasenta pada plasenta previa, atau apabila dikandung maksud untuk
melakukan histerektomi setelah janin dilahirkan.
Keuntungannya adalah mudah dilakukan karena lapangan operasi
relative luas, adapun kerugiannya :
1) Kesembuhan luka operasi relative sulit
2) Kemungkinan terjadinya rupture uteri pada kehamilan berikutnya
lebih besar
3) Kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih
besar
c. Sectio caesarea ekstraperitoneal
Dahulu dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal, sekarang
tidak banyak dilakukan karena sulit dalam tehniknya dan seringkali
terjadi sobekan peritoneum.
18
d. Sectio caesarea histerektomi menurut Porro
Operasi SC Histerektomi dilakukan secara Histerektomi supra vaginal
untuk menyelamatkan jiwa ibu dan janin dengan indikasi :
1) Sectio caesarea disertai infeksi berat
2) Sectio caesarea dengan Antonio uteri dan perdarahan
3) Sectio caesarea disertai uterus coovelaire (solusio plasenta). (Harry
& Forte, 2010)
4.
Penatalaksanaan
a. Monitor tanda-tanda vital
Observasi harus dilakukan tiap 30 menit 2 jam pertama dan tiap jam
minimal selama 4 jam. Tanda vital yang perlu di evaluasi adalah :
1) Tekanan darah
2) Nadi
3) Suhu
4) Jumlah urin
b. Jumlah perdarahan
c. Status fundus uteri
d. Pemberian analgesik
e. Terapi cairan intravena
Umumnya pemberian cairan intravena 3 liter cairan untuk 24 jam
pertam setelah tindakan.
19
Namun, apabila pengeluaran urin turun dibawah 30 ml/jam harus dinilai
kembali apakah ada pengeluaran darah yang tidak diketahui, efek
antidiuretik dari oksitoksin dan lainnya.
f. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus
Kateter vesika urinaria umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jam
setelah operasi. Kemampuan pasien mengosongkan vesika uerinaria
sebelum terjadi distensi berlebihan harus dipantau seperti pada
persalinan pervaginam. Pada kasus nonkomplikata makanan padat
dapat diberikan 8 jam setelah pembedahan.
g. Ambulansi
Pada sebagian besar kasus, satu hari setelah pembedahan pasien dapat
turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan paling sedikit dua kali.
Waktu ambulansi diatur agar analgetik yang baru diberikan dapat
mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan
bantuan. Dengan ambulansi dini, thrombosis venadan emboli paru
jarang terjadi.
h. Perawatan luka
Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan dapat diangkat pada hari
keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga pasca persalinan mandi
tidak membahayakan luka insisi. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara
lain :
20
1) Jaringan subkutan yang tebal (>3 cm) merupakan faktor risiko
untuk infeksi luka operasi. Oleh karena itu, perlu pemantauan
terhadap tanda-tanda infeksi.
2) Luka dibersihkan setiap hari dan menjaga agar tetap kering
3) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar,
nyaman dan berbahan katun. (Rasjidi, 2010)
5.
Komplikasi dan efek persalinan sectio caesarea
Komplikasi utama persalinan sectio caesarea adalah kerusakan organorgan seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi,
komplikasi anastesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli.
Kematian ibu lebih besar pada persalinan sectio caesarea dibandingkan
persalinan pervaginam.
Takipnea sesaat bayi baru lahir lebih sering terjadi pada persalinan sectio
caesarea. Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah terjadinya
plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta dan ruptur uteri. (Rasjidi,
2010)
21
6.
Asuhan keperawatan Post operatif
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari pasien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada. (A. Azis, 2012).
Adapun pengkajian pada post sectio caesarea meliputi :
1) Status respiratorik
a) Kebebasan saluran napas dan bunyi napas
b) Kedalaman bernapas, kecepatan (frekuensi) dan sifatnya
2) Status sirkulatik
Observasi perubahan suhu, frekuensi nadi, dan tekanan darah
3) Status neurogenik
Kaji tingkat kesadaran bila dibuktikan melalui pertanyaan sederhana
yang di jawab oleh pasien atau pasien dianjurkan untuk melakukan
sesuatu. Variasi tingkat kesadaran dimulai dari siuman sampai
ngantuk harus diobservasi.
4) Kenyamanan
Kaji posisi tubuh. Pasien hendaknya dibaringkan pada posisi yang
nyaman sertav memperlancar ventilasi. Dan yang perlu diperhatikan
tidak boleh ada tekanan didaerah sekitar operasi. Kaji juga adanya
nyeri, mual muntah atau perubahan posisi yang dibutuhkan sesuai
indikasi. (Pelapina, 2014)
22
b. Diagnosa keperawatan
Menurut NANDA 2014 diagnosa keperawatan merupakan sebuah label
singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di
lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah actual, potensial
atau diagnose sejahtera. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul
pada post sectio caesarea meliputi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera ;
biologis, kimia, fisik dan psikologis
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif, asupan cairan yang tidak adekuat
3) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan penyakit kronis,
penekanan system imun, ketidak adekuatan imunitas dapatan,
pertahanan primer yang tidak adekuat, pertahanan lapis dua yang
tidak memadai, peningkatan pemajanan lingkungan terhadap
pathogen, pengetahuan yang kurang untuk menghindari pajanan
pathogen, prosedur invasive, kerusakan jaringan, dan trauma
4) Kurang perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan
merasakan bagian tubuh, gangguan musculoskeletal, gangguan
persepsi kognitif.
5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kendala lingkungan,
gangguan neuromuskular, nyeri.
23
c. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan suatu proses penyusunan rencana
keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau
mengatasi masalah-masalah pasien. (A. Azis, 2012).
Adapun intervensi dari diagnose diatas menurut NANDA NIC-NOC
2014 meliputi :
1) Nyeri akut berhubungan
dengan agen-agen penyebab cedera ;
biologis, kimia, fisik dan psikologis
a) Batasan karakteristik
Subjektif:
(1) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri
dengan isyarat
Objektif:
(1)
Posisi untuk mengindari nyeri
(2)
Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak
bertenaga
(3)
Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan
tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil
(4)
Perubaan selera makan
(5)
Perilaku distraksi misal, mondar-mandir, mencari orang
atau aktifitas lain, aktivitas berulang
24
(6)
Perilaku ekspresif misal; gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan
menghela napas panjang
(7)
Wajah topeng; nyeri
(8)
Perilaku menjaga atau sikap melindungi
(9)
Fokus menyempit, misal; gangguan persepsi waktu,
gangguan proses piker, interaksi menurun.
(10) Bukti nyeri yang dapat diamati
(11) Berfokus pada diri sendiri
(12) Gangguan tidur, misal : mata terlihat layu, gerakan tidak
teratur atau tidak menentu.
b) Hasil & NOC
(1)
Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap
kemudahan fisik psikologis
(2)
Pengendalian
nyeri:
tindakan
individu
untuk
mengendalikan nyeri
(3)
Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau
dilaporkan
(4)
memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan
(5)
mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala
0-10)
25
(6)
melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
(7)
mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk memodifikasi faktor tersebut
(8)
melaporkan nyeri kepada penyedia pelayan kesehatan
(9)
melaporkan pola tidur yang baik
c) Intervensi NIC
(1)
Pengkajian :
(a)
Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan
pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
(b)
Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
Gunakan bagan alur nyeri untuk memantau peredaan
nyeri
oleh
analgesik
dan
kemungkinan
efek
sampingnya.
(c)
Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan
lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
(d)
Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata
yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
Manajemen nyeri:
(a)
lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri
dan faktor presipitasinya.
26
(b)
Observasi
isyarat
khususnya
pada
nonverbal
mereka
ketidaknyamanan,
yang
tidak
mampu
berkomunikasi efektif.
(2)
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
(a)
Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat
khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi
pemberian,
kemungkinan
efek
samping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus
saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang
yang
harus
dihubungi
bila
mengalami
nyeri
membandel.
(b)
Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada
perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
(c)
Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi
koping yang ditawarkan
(d)
Perbaiki
kesalahan
persepsi
tentang
analgesik
narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau
overdosis)
27
Manajemen nyeri :
(a)
Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat prosedur
(b)
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misal
umpan balik biologis, transcutaneous electrical
nerve
stimulation
(TENS),
hipnotis,
relaksasi,
imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat
atau dingin, dan masase).
(3)
Aktivitas kolaboratif
Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate
yang terjadwal (misal, setiap 4 jam selama 36 jam) atau
PCA
(4)
Aktivitas lain
(a)
Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan
yang efektif dimasa lalu seperti distraksi, relaksasi
atau kompres hangat atau dingin.
(b)
Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan
rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu
relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut :
28
(c)
Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan
relaksasi.
(d)
Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan
sikap yang mendukung
(e)
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut aktivitas perawatan.
(f)
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas
bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan
melakukan pengalihan melalui televise, radio, dan
interaksi dengan pengunjung.
Manajemen nyeri :
Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika
memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
(misal: suhu ruangan, pencahayaan dan kegaduhan)
e.
29
C.
Konsep Nyeri
1.
Pengertian
Nyeri adalah suatu perasaan yang menimbulkan penderitaan secara
fisik dan mental, perasaan nyeri menimbulkan ketegangan atau menjadi
siksaan bagi yang mengalaminya. (Lyndon, 2013)
Nyeri secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak
nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri bersifat sangat individual dan
tidak dapat di ukur secara subjektif, serta hanya pasien yang dapat
merasakan adanya nyeri. (Pelapina, 2014)
Menurut international association the study of pain nyeri adalah
suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
sehubungan dengan actual dan potensial kerusakan jaringan.
Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang sangat subjektif dan
hanya
orang
yang
mengalaminya
yang
dapat
menjelaskan
mengevaluasi perasaan tersebut. (Tamsuri, 2014)
2.
Klasifikasi nyeri
a. Jenis nyeri
1) Nyeri perifer
Nyeri perifer dapat dibagikan menjadi tiga jenis yaitu :
1) Nyeri superficial
Rasa nyeri muncul akibat rangsangan pada kulit dan mukosa
30
dan
2) Nyeri visceral
Rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada reseptor nyeri
dirongga abdomen, cranium, dan toraks
2) Nyeri alih
Rasa nyeri dirasakan didaerah lain jauh dari jaringan nyeri
3) Nyeri sentral
Nyeri sentral adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan pada
medulla spinalis, batang otak, dan thalamus.
4) Nyeri psikogenik
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang penyebabnya tidak diketahui.
Umumnya
nyeri
ini
disebabkan
oleh
faktor
psikologis
(Lyndon,2013)
b. Menurut bentuknya
1) Nyeri akut
Nyeri akut dapat menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah
keadaan pulih pada keadaan rusak. Fungsi dari nyeri akut adalah
memberikan peringatan akan cederaatau penyakit yang akan dating.
Nyeri akut bisaanya berlangsung singkat.
31
2) Nyeri kronik
Nyeri kronik dapat menjadi penyebab utama ketitidak mampuan
fisik dan psikologis sehingga akan timbul masalah seperti
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sedarhana,
disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga atau teman-teman.
Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, penurunan berat
badan, depresi, putus asa, dan kemarahan. Nyeri kronik berkembang
lebih lambat dan terjadi dalam waktu yang lama. (Pelapina, 2014)
3.
Fisiologi nyeri
a. Nosisepsi
System saraf perifer mengandung saraf sensorik primer yang berfungsi
mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan beberapa sensasi,
salah satunya adalah nyeri. Nyeri dihantarkan oleh reseptor yang
disebut nociseptor. Nociseptor merupakan ujung saraf perifer yang
bebas dan tidak bermielin atau hanya memiliki sedikit myelin. Reseptor
ini tersebar dikulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian,
dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri tersebut dapat
dirangsang oleh stimulus mekanis, termal, listrik, dan kimiawi
(misalnya histamin, bradikinin, dan prostaglandin).
32
1) Tranduksi
Ransangan (stimulus) yang membahayakan memicu pelepasan
mediator biokimia (misalnya histamine, bradikinin, prostaglandin,
dan subtansi P). mediator ini kemudian mensensitisasi nosiseptor.
2) Tranmisi
Tahap tranmisi terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a) Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditranmisikan berupa
impuls nyeri dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis . jenis
nociseptor yang terlibat dalam tranmisi ini ada dua jenis, yaitu
serabut C dan serabut A-delta. Serabut C mentramisikan nyeri
tumpul
dan
menyakitkan,
sedangkan
serabut
A-delta
mentramisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi.
b) Nyeri ditanmisikan dari medulla spinalis kebatang otang dan
thalamus melalui jalur spinotalamikus (spinothalamic tract atau
SST) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi stimulus
ke thalamus.
c) Sinyal diteruskan kekorteks sensorik somatic (tempat nyeri
dipersepsikan). Impuls yang ditranmisikan melalui SST
mengaktifkan respons otonomik dan limbik.
33
3) Persepsi
Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi
nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan
timbulnya berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi
komponen sensorik dan afektif nyeri.
4) Modulasi atau system desenden
Neuron dibatang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ketanduk
dorsal medulla spinalis yang terkonduksi denagn nosiseptor impuls
supresif. Serabut desenden tersebut melepaskan subtansi seperti
opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat impuls
asenden yang membahayakan di bagian dorsal medulla spinalis.
(Lyndon, 2013)
b. Teori awal
Suatu teori yang menjelaskan nyeri sebagai suatu mekanisme relative
sederhana yang menjelaskan bahwa respon nyeri timbul apabila suatu
stimuli nyeri mengaktivasi reseptor nyeri (nociceptor). Stimuli dapat
berupa zat kimia, listrik, panas, mekanik maupun mikroorganisme, baik
dari dalam maupun luar tubuh.
Informasi dari reseptor nyeri mencapai sistem saraf sentral melalui saraf
asenden. Bila informasi ini telah sampai di thalamus, maka seseorang
akan merasakan suatu sensasi serta mempelajari tentang lokasi dan
kekuatan stimulus.
34
Bila informasi telah sampai pada korteks serebri, maka seseorang akan
menjadi lebih terlibat pada sensasi nyeri, mencoba menginterpretasi arti
nyeri dan mencari cara untuk menghindari sensasi lebih lanjut.
(Pelapina, 2014)
c. Teori Gate Control
Menurut Melzak dan wall teori ini lebih komprehensif dalam
menjelaskan tranmisi dan persepsi nyeri. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa subtansi gelatinosa, yaitu suatu area dari sel-sel khusus pada
bagian ujung dorsal serabut saraf sumsum tulang belakang (spinal cord)
mempunyai
peran
sebagai
mekanisme
pintu
gerbang
(gating
mechanism). Mekanisme pintu gerbang ini dapat mengubah sensasi
nyeri yang datang sebelum mereka sampai korteks serebri dan
menimbulkan persepsi nyeri. (Pelapina, 2014)
4.
Faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Usia
Usia merupakan variable penting yang mempengaruhi nyeri. Toleransi
terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, misalnya
semakin bertambah usia seseorang maka semakin bertambah pula
pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya.
35
b. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon
terhadap nyeri.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri
d. Makna nyeri
Individu akan mempersepsika nyeri dengan cara yang berbeda-beda
e. Perhatian
Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri.
f. Kecemaan
Kecemasan seringkali meningkatkan persepsi nyeri
g. Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping. Kelelahan juga meningkatkan nyeri
dan banyak orang merasa lebih nyaman setelah istirahat.
h. Pengalaman sebelumnya
Individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti
bahwa individu tersebut akan menerima nyeri denagn lebih mudah pada
masa yang akan datang.
36
i. Mekanisme koping
Mekanisme koping individu sangat mempengaruhi cara setiap orang
dalam mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang dapat mempengaruhi respon pasien adalah kehadiran
orang-orang terdekat.
k. Faktor lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya ransangan dari lingkungan yang
berlebihan misalnya : kebisingan, cahaya yang sangat terang dan
kesendirian. (Pelapina, 2014)
5.
Respon individu terhadap nyeri
a. Tahap aktivasi
Dimulai saat pertama individu menerima ransangan nyeri sampai tubuh
bereaksi terhadap nyeri yang meliputi :
1) Respon yang tidak disengaja seringkali juga dinamakan respon
autonom juga bersifat protektif, mencakup :
a) Peningkatan pengeluaran keringat
b) Tekanan darah naik
c) Respirasi meningkat
d) Dilatasi pupil
e) Ketegangan otot
37
f) Mual muntah
g) Pucat
2) Respon muscular
Respon yang disengaja merupakan reaksi otot yang mencetuskan
usah untuk menghilangkan ransangan rasa sakit, juga bersifat
protektif, sebagai contoh :
a) Mengeliat kesakitan
b) Mengusap daerah yang sakit
c) Imobilitas
d) Mengambil posisi tertentu, contoh : menarik lutut sampai
menekan perut bilamana rasa sakit diperut tidak tertahankan
3) Respon emosional
Respon emosional terhadap rasa sakit mempunyai ambang yang
sangat luas dan berbeda-beda dari orang ke orang terhadap sakit
antara lain :
a) Bergejolak
b) Mudah tersinggung
c) Perubahan tingkah laku
d) Berteriak
e) Menangis
f) Diam
g) Kewaspadaan menigkat
38
b. Tahap pemantulan
Nyeri sangat hebat tetapi sangat singkat, pada tahap ini sistem saraf
parasimpatis mengambil alih tugas, sehingga terjadi respons yang
berlawanan dengan tahap aktivasi.
c. Tahap aktivasi
Saat nyeri berlangsung lama, tubuh mencoba untuk beradaptasi melalui
peran endorphin. Reaksi adaptasi tubuh ini terhadap dapat berlangsung
beberapa jam/hari. Bila nyeri berkepanjangan maka akan menurunkan
sekresi norepinefrin sehingga individu merasa tidak berdaya, tidak
berharga dan lesu.
Tabel 2.2 Respon perilaku yang mempengaruhi nyeri
Vokal
1. Menangis
Ekpresi Wajah
1. Meringis
Gerakan Tubuh
1. Gelisah
2. Berteriak
2. Menagtup
2. Imobilisasi
gigi
3. Merintih
4. Bicara
3. Melotot
3. Otot tegang
4. Menggigit
4. Berjalan mondar-
bibir
terengahengah
mandir
5. Mengambil posisi
tertentu
SSumber : Pelapina, 2014
6.
Pengukuran intensitas nyeri
39
Interaksi Sosial
1. Menghindar
untuk bicara
2. Menghindar
untuk
kontak
sosial
3. Perhatian
terhadap
lingkungan
sekitar
berkurang
Intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain dengan
menggunakan skala nyeri menurut Hayward, skala nyeri menurut McGill
(McGill scale), dan skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale.
a. Skala nyeri menurut Hayward
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri Hayward
dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan
(0-10) yang ia rasakan. Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan
sebagai berikut :
0
: tidak nyeri
1–3
: nyeri ringan
4–6
: nyeri sedang
7–9
: sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas
yang bisaa dilakukan
10
: sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan
b. Skala nyeri menurut McGill
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri McGill
dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan
(0 – 5) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri
yang ia rasakan.
Skala nyeri menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut :
0
: tidak nyeri
40
1
: nyeri ringan
2
: nyeri sedang
3
: nyeri berat atau parah
4
: nyeri sangat berat
5
: nyeri hebat
c. Skala wajah atau Wong-Baker FACE Rating Scale
Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan dengan cara
memperhatikan mimic wajah pasien pada saat nyeri tersebut
menyerang.
Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan intensitas
nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-anak dan lansia. (Lyndon,
2013)
Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Skala wajah
7.
Penatalaksanaan Nyeri
41
a. Penatalaksanaan farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid
(narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflammation Drugs),
dan adjuvan, serta ko-analgesik.
b. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Penatalaksanaan nonfarmakologis terdiri dari berbagai tindakan
penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun prilaku kognitif.
1) Penanganan fisik meliputi :
a) Masase kulit
Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase otot itu dipercaya akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu
memblok atau menurunkan impuls nyeri.
b) Kompres
Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga
dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang
mengalami kerusakan.
Penggunaan panas selain member efek mengatasi atau
menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi
fisiologis antara lain :
(1) Meningkatkan respon inflamasi
42
(2) Meningkatkan aliran darah dalam jaringan
(3) mengurangi pembentukan edema
c) stimulasi kontralateral
Stimulasi kontra lateral adalah memberi stimulasi pada daerah
kulit disisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri.
d) Acupresure (pijat refleksi)
Terapis ini member tekanan jari-jari pada berbagai titik organ
tubuh seperti pada akupuntur.
e) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
Stimulasi saraf elektrik transkutan menggunakan satu unit
peralatan yang dijalankan dengan elektroda yang dipasang pada
kulit untuk mrenghasilkan sensasi kesemutan, getaran, atau
mendengung pada area kulit tertentu.
f) Imobilisasi
Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat
mungkin dapat meredakan nyeri.
2) Perilaku kognitif
43
a) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri
ke stimulus yang lain. Macam-macam distraksi antara lain :
(1) Distraksi visual : seperti membaca dan menonton televisi
(2) Distraksi pendengaran : humor, mendengar musik
(3) Distraksi intelektual : main kartu atau menyalurkan hobi
b) Relaksasi
Relaksasi dengan teknik relaksasi napas dalam, medidasi, dan
relaksasi otot rangka. Relaksasi otot rangka dipercaya dapat
menurunkan nyeri dengan merelaksasikan ketegangan otot yang
mendukung rasa nyeri
8.
Asuhan keperawatan
a. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari pasien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada. (A. Azis, 2012).
Pengkajian keperawatan pada masalah nyeri dengan memperhatikan
tanda-tanda verbal dan nonverbal, secara umum mencakup lima hal,
yaitu pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan
waktu serangan. Cara mudah untuk mengingatnya adalah dengan
PQRST
44
P
: Provoking (pemicu), yaitu faktor yang menimbulkan nyeri dan
mempengaruhi berat dan ringannya nyeri.
Q
: Quality (kualitas nyeri), misalnya rasa tajam atau tumpul
R
: Region (daerah/lokasi), yaitu perjalanan ke daerah lain
S
: Severity (keparahan), yaitu intensitas nyeri
T
: Timing (waktu), yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi
Nyeri (Lyndon, 2013)
b. Diagnosa keperawatan menurut NANDA 2013
Menurut NANDA 2014 diagnosa keperawatan merupakan sebuah label
singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di
lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah actual, potensial
atau diagnose sejahtera. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien dengan masalah nyeri meliputi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misal biologis, zat
kimia, fisik dan psikologis)
2) Nyeri kronik berhubungan dengan ketunadayaan fisik dan
psikososial kronik
c. Rencana keperawatan menurut NIC 2013
45
Intervensi keperawatan merupakan suatu proses penyusunan rencana
keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau
mengatasi masalah-masalah pasien. (A. Azis, 2012).
Adapun intervensi dari diagnose keperawatan diatas menurut NANDA
NIC-NOC 2014 meliputi :
1)
Batasan karakteristik
Subjektif:
(2) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri
dengan isyarat
Objektif:
(13) Posisi untuk mengindari nyeri
(14) Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak
bertenaga
(15) Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan
tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil
(16) Perubaan selera makan
(17) Perilaku distraksi misal, mondar-mandir, mencari orang
atau aktifitas lain, aktivitas berulang
(18) Perilaku ekspresif misal; gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan
menghela napas panjang
(19) Wajah topeng; nyeri
46
(20) Perilaku menjaga atau sikap melindungi
(21) Fokus menyempit, misal; gangguan persepsi waktu,
gangguan proses piker, interaksi menurun.
(22) Bukti nyeri yang dapat diamati
(23) Berfokus pada diri sendiri
(24) Gangguan tidur, misal : mata terlihat layu, gerakan tidak
teratur atau tidak menentu.
d) Hasil & NOC
(10) Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap
kemudahan fisik psikologis
(11) Pengendalian
nyeri:
tindakan
individu
untuk
mengendalikan nyeri
(12) Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau
dilaporkan
(13) memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan
(14) mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala
0-10)
(15) melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
(16) mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk memodifikasi faktor tersebut
(17) melaporkan nyeri kepada penyedia pelayan kesehatan
47
(18) melaporkan pola tidur yang baik
e) Intervensi NIC
(5)
Pengkajian :
(a)
Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan
pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
(b)
Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
Gunakan bagan alur nyeri untuk memantau peredaan
nyeri
oleh
analgesik
dan
kemungkinan
efek
sampingnya.
(c)
Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan
lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
(d)
Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata
yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
Manajemen nyeri:
(c)
lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri
dan faktor presipitasinya.
(d)
Observasi
isyarat
khususnya
pada
nonverbal
mereka
berkomunikasi efektif.
(6)
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
48
ketidaknyamanan,
yang
tidak
mampu
(e)
Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat
khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi
pemberian,
kemungkinan
efek
samping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus
saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang
yang
harus
dihubungi
bila
mengalami
nyeri
membandel.
(f)
Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada
perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
(g)
Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi
koping yang ditawarkan
(h)
Perbaiki
kesalahan
persepsi
tentang
analgesik
narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau
overdosis)
Manajemen nyeri :
(a)
Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat prosedur
49
(b)
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misal
umpan balik biologis, transcutaneous electrical
nerve
stimulation
(TENS),
hipnotis,
relaksasi,
imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat
atau dingin, dan masase).
(7)
Aktivitas kolaboratif
Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate
yang terjadwal (misal, setiap 4 jam selama 36 jam) atau
PCA
(8)
Aktivitas lain
(a)
Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan
yang efektif dimasa lalu seperti distraksi, relaksasi
atau kompres hangat atau dingin.
(b)
Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan
rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu
relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut :
(c)
Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan
relaksasi.
(d)
Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan
sikap yang mendukung
50
(e)
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut aktivitas perawatan.
(f)
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas
bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan
melakukan pengalihan melalui televise, radio, dan
interaksi dengan pengunjung.
Manajemen nyeri :
Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika
memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
(misal: suhu ruangan, pencahayaan dan kegaduhan)
d. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam tahap proses keperwatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan)
yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan . (A. Aziz,
2012)
e. Evaluasi
Evalusi keperawatan pada masalah nyeri dapat dinilai dari kemampuan
pasien dalam merespon serangan nyeri, hilangnya rasa nyeri, menurunnya
intensitas nyeri, terdapat respon fisiologis yang baik, dan kemampuan untuk
menjalankan kegiatan sehari-hari tanpa keluhan nyeri. (Lyndon,2013)
51
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan
pada pasien post sectio caesaria dengan nyeri akut.
B.
Batasan Istilah
1.
Definisi operasional post sectio caesaria
Post sectio caesaria adalah suatu keadaan setelah menjalani pembedahan
guna melahirkan bayi lewat insisi pada dinding abdomen dan dinding
uterus.
2.
Definisi operasional nyeri
52
Nyeri merupakan suatu perasaan yang menimbulkan penderitaan secara
fisik dan mental,dan perasaan nyeri bisaanya menimbulkan ketegangan atau
siksaan fisik bagi yang mengalaminya.
C.
Partisipan
Subjek yang digunakan adalah dua pasien dengan masalah dan diagnosis
keperawatan yang sama yaitu pasien post sectio caesaria dengan nyeri akut.
D.
Lokasi dan waktu penelitian
Studi kasus ini dilakukan di Rumah Sakit Anutapura Palu, sejak pasien pertama
kali masuk rumah sakit sampai pasien pulang minimal 4 hari.
E.
Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi
1. Wawancara
a. Identitas
Berisi tentang identitas pasien dan penanggung jawab
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien berobat atau keluhan
saat awal dilakukan pengkajian.
53
2) Riwayat kesehatan sekarang
Faktor yang melatarbelakangi atau hal-hal yang mempengaruhi atau
mendahului keluhan dan bagaimana sifat terjadinya gejala.
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit
yang pernah dialami.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan atau keperawatan yang di miliki pada salah satu
anggota keluarga
5) Riwayat psikososial
Merupakan masalah psikologis yang dialami klien yang ada
hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat, keluarga dan lainya.
6) Riwayat kebidanan
a) Riwayat haid
b) Riwayat perkawinan
c) Riwayat kehamilan
d) Riwayat persalinan
7) Pola persepsi – pemeliharaan kesehatan
Data tentang persepsi pasien terhadap penyakit atau sakit, arti
kesehatan, dan penatalaksanaan kesehatan.
8) Pola aktivitas – latihan
54
Data ini meliputi tentang aktivitas sehari-hari pasian seperti makan,
mandi, berbakaian, toiletin
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan dapat
melahirkan bayi yang sempurna. Seperti yang telah diketahui, ada dua cara
persalinan yaitu persalinan pervaginam yang lebih dikenal dengan persalinan
normal atau alami dan persalinan dengan operasi caesar dapat juga disebut
dengan bedah sesarea atau sectio caesarea , yaitu bayi dikeluarkan lewat
pembedahan perut (Partilah, 2014).
Pertolongan operasi caesar merupakan tindakan dengan tujuan untuk
menyelamatkan ibu maupun bayi (Manuaba, 2013). Tiap-tiap tindakan
pembedahan harus didasarkan atas indikasi, yakni pertimbangan-pertimbangan
yang menentukan bahwa tindakan perlu dilakukan demi kepentingan ibu dan
janin. Sudah tentu kepentingan ibu dan janin harus sama-sama diperhatikan, akan
tetapi dalam keadaan terpaksa kadang-kadang seorang dokter terpaksa lebih
memperhatikan kepentingan ibu daripada kepentingan janinnya (Saifuddin ,
2014).
Persalinan caesar tidak ditujukan hanya demi kenyamanan dan kepentingan
dokter atau orang tua atau alasan lain yang sifatnya nonmedis. Operasi cesar
harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan, maka
logikanya kemajuan teknologi kedokteran akan membawa perubahan pada
1
jumlah antara Angka Kematian Ibu (AKI) yang melahirkan dan angka ibu yang
harus menjalani operasi caesar, yaitu semakin kecil tahun ke tahun.
Menurut SDKI pada tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
359 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2015 baru mencapai 161 per
100.000 kelahiran hidup,sementara target MDG’s Indonesia adalah 102 per
100.000 kelahiran hidup. Survei Nasional pada tahun 2009, 921.000 persalinan
dengan operasi cesar dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8% dari seluruh
persalinan.
Indikasi yang menambah tingginya angka persalinan seksio sesaria adalah
tindakan seksio sesaria pada letak sungsang, seksio sesaria berualang, kehamilan
prematuritas, kehamilan dengan resiko tinggi, pada kehamilan kembar,
kehamilan dengan pre-eklamsia dan eklampsia, konsep well born baby dan well
health mother dengan orientasi persalinan. (Manuaba , 2013).
Adapun masalah keperawatan yang muncul menurut NANDA 2012 pada
post sectio caesarea salah satunya adalah nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera (misal biologis, zat kimia, fisik dan psikologis). Penatalaksanaan nyeri
menurut NIC 2012 adalah manajemen nyeri, kelola analgetik, terapi relaksasi,
dan manajemen lingkungan.
Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan Masalah Nyeri
Akut di Ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu.
2
B.
Batasan Masalah
Masalah pada kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada Pasien Post
Sectio Caesarea dengan masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura
Palu.
C.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan
masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu ?
D.
Tujuan
1.
Tujuan umum
Melaksanakan asuhan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu.
2.
Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan
masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
b. Menetapkan diagnosa keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
c. Menyusun perencanaan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea
dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu
3
e. Melakukan evaluasi pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan masalah
nyeri akut di RSU Anutapura Palu
E.
Manfaat Penelitian
1.
Tempat Penelitian
Membantu dalam perencanaan dan penatalaksanaan pengendalian nyeri
pada Pasien Post Sectio Caesarea
2.
Perkembangan ilmu keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan untuk
perkembangan ilmu keperawatan
3.
Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan atau
literatur sehingga dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Masa Nifas
1.
Pengertian
Masa nifas atau purperium adalah dimulai sejak 1 jam setelah
lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu. Persalinan
pasca persalinan harus terselenggara pada masa itu untuk memenuhi
kebutuhan ibu dan bayi, yang meliputi upaya pencegahan, deteksi dini dan
pengobatan komplikasi dan penyakit yang mungkin terjadi, serta
penyediaan pelayanan pemberian ASI, cara menjarangkan kehamilan,
imunisasi, dan nutrisi bagi ibu. (Sarwono, 2009 )
Masa nifas (Puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum
hamilyang berlangsungselama kira-kira 6 minggu, atau masa nifas adalah
masa yang dimulai dari beberapa jam setelah lahir plasenta sampai 6
minggu berikutnya. (Rahayu dkk, 2012)
Puerperium adalah periode pemulihan dari perubahan anatomis dan
fisiologis yang terjadi selama kehamilan. Puerperium (masa nifas) atau
periode pasca persalinan umumnya berlangsung selama 6 – 12 minggu
setelah kelahiran anak. (Serri, 2009)
5
2.
Tujuan Asuhan Masa Nifas
Pada masa nifas ini terjadi perubahan-perubahan fisik maupun psikis
berupa perubahan organ reproduksi, terjadinya proses laktasi, terbentuknya
hubungan antara orang tua dan bayi dengan memberi dukungan. Atas dasar
tersebut perlu dilakukan suatu pendekatan antara ibu dan keluarga dalam
manajemen keperawatan.
Adapun tujuan asuhan masa nifas adalah sebagai berikut :
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun psikis
b. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah,
mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.
c. Memberikan pendidikankesehatan tentang perawatan kesehatan diri,
nutrisi, KB, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayi dan perawatan
bayi sehat.
d. Memberikan pelayanan KB.
3.
Tahapan masa nifas
Nifas dibagi dalam 3 periode :
a. Puerperium dini
Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan lamanya
bisa sampai 40 hari
6
b. Puerperium intermedial
Kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia, lamanya 6-8 minggu.
c. Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila
selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi berminguminggu, berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun.
4.
Perubahan masa nifas
Pada masa nifas terjadi perubahan fisiologis yaitu :
a. Involusi uterus
Involusi uteri adalah proses uterus kembali kekondisi sebelum hamil.
Uterus bisaanya berada di organ pelvic pada hari ke-10 setelah
persalinan. Involusi uterus lebih lambat pada multipara.
Penurunan ukuran uterus dipengaruhi oleh proses autolysis protein
intraseluler dan sitoplasma miometrium. Proses involusi uterus :
1) Autolysis
Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi didalam
otot uterin.
2) Terdapat polymorph phagolitik dan macrophages didalam sistem
vaskuler dan sistem lymphatic.
7
3) Efek oksitoksin
Penyebab kontraksi dan retraksi otot rahim dan sehingga akan
mengompres pembuluh darah akan mengurangi suplai darah ke
uterus, proses ini akan mengakibatkan ukuran rahim semakin
berkurang. (Buku Ajar Masa Nifas Dan Menyusui, 2012)
Tabel 2.1 Tinggi fundus uteri dan involusi uteri
Involusi
Plasenta lahir
7 hari (1 minggu)
14 hari (2 minggu)
42 hari (6 minggu)
56 hari (8 minggu)
Tinggi Fundus Uteri
Setinggi pusat
Pertengahan pusat dan simpisis
Tak teraba
Sebesar hamil 2 minggu
Normal
Berat Uterus
1000 gr
500 gr
350 gr
50 gr
30 gr
Sumber : (Rahayu dkk, 2012)
b. Pengeluaran lochea
Lochea adalah cairan yang keluar dari liang vagina pada masa nifas.
Cairan ini dapat berupa darah atau sisa lapisan rahim. Berbau amis
serta berbeda-beda pada setiap wanita. (Rahayu dkk, 2012)
Karakteristik lochea :
1) Lochea rubra
Merupakan kumpulan dari sisa darah, partikel desidua dan mucus.
Terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga melahirkan lochea
berwarna merah tua.
8
2) Lochea sanguinolenta
Berwarna merah kekuningan berisi darah campur lendir, terjadi
setelah hari ketiga sampai hari ketujuh.
3) Lochea serosa
Lochea serosa terdiri atas eksudat, leukosit, eritrosit, dan mucus
serviks, tetapi kandungan eritrosit mulai berkurang. Terjadi pada
hari keempat lochea berubah warna dari merah tua menjadi merah
jambu atau kuning kecokelatan, berlangsung setelah hari ke 7 - 14
hari
4) Lochea alba
Lochea alba
berwarna putih kekuningan, yang berlangsung
setelah hari ke-14 hingga 21 hari postpartum. Lochea alba
mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, lemak dan mucus
serviks. Adanya perdarahan merah segar setelah lochea alba atau
serosa mengindiksikan adanya infeksi atau perdarahan yang lama.
(Deswani, 2012)
c. Laktasi dan pengeluaran ASI
Terdapat 2 reflek menyusui yaitu :
1) Refleks prolaktin
Progerteron dan estrogen yang dihasilkan placenta merangsang
pertumbuhan kelenjar-kelenjar sus, sedangkan progeteron juga
9
merangsang pertumbuhan saluran (duktus) kelenjar. Kedua
hormon tersebut menekan prolaktin (LTH).
Setelah plasenta lahir maka produksi prolaktin meningkat
sehingga merangsang laktasi (pembentukan ASI).
2) Refleks Let Down
Dalam proses menyusui reflex pengeluaran oksitoksin di sebut jua
sebagai
“letdown
reflex
atau
love
reflex”,
reflex
ini
mengakibatkan memancarnya ASI keluar, isapan bayi akan
merangsang puting susu dan areola yang dikirim lobus posterior
melalui nervus vagus, dari
grandula pituitary posterior
dikeluarkan hormone oksitoksin kedalam peredaran darah yang
menyebabkan adanya kontraksi otot-otot myoepitel dari saluran
air susu, karena adanya kontraksi ini maka ASI akan terperas
kearah ampula. Produksi ASI akan meningkat sesudah 2-2 hari
post partum payudara menjadi besar, keras dan nyeri ini
menunjukan permulaan sekresi ASI. (Rahayu dkk, 2012)
d. Perubahan sistem pencernaan
Bisaanya ibu mengalami konstipasi setelah persalinan karena pada
waktu
melahirkan
alat
pencernaan
mendapat
tekanan
yang
menyebabkan kolon menjadi kosong karena pengeluaran cairan yang
berlebihan pada waktu persalinan, kurang makan, laserasi jalan lahir.
Agar buang air besar kembali teratur dapat diberikan diet atau makan
10
yang mengandung serat dan pemberian cairan yang cukup. (Rahayu
dkk, 2012)
e. Perubahan sistem perkemihan
Perubahan hormonal pada masa hamil (kadar steroid yang tinggi)
turut menyebabkan peningkatan fungsi ginjal, sedangkan penurunan
kadar steroid setelah wanita melahirkan sebagian menjelaskan sebab
penurunan fungsi ginjal selama pasca partum. Fungsi ginjal kembali
normal dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan.
Diperlukan kira-kira 2-8 minggu ureter dan pelvic kembali ke
keadaan sebelum hamil. (Icemi & Wahyu, 2013)
f. Perubahan sistem endokrin
Setelah plasenta lahir hormone estrogen dan progesterone menurun
sehingga akan mendorong pengeluaran hormone FSH dan LH untuk
memulai kesiklus menstruasi. Kelenjar tiroid kembali kebentuk
normal dan rata-rata metabolic basal kembali normal. (Rahayu dkk,
2012)
g. Perubahan sistem musculoskeletal
1) Diding perut bisaanya pulih kembali dalam 6 minggu
2) Kadang-kadang pada wanita yang asthenis terjadi diastasis dari
otot-otot recti abdominis sehingga sebagian dari dinding perut di
garis tengah hanya terdiri dari peritoneum dan kulit
11
3) Tulang-tulang sendi panggul dan ligamentum kembali dalam
waktu sekitar 3 bulan (Rahayu dkk, 2012)
h. Perubahan tanda-tanda vital
1) Tekanan darah bisaanya tidak berubah, kemungkinan tekanan
darah akan rendah setelah ibu melahirkan karena ada perdarahan.
Tekanan darah tinggi pada post partum dapat menandakan
terjadinya preeklamsi post partum
2) Suhu
Kembali normal setelah selama persalinan sedikit meningkat
(37,3ºC) dan akan stabil dalam waktu 24 jam, kecuali jika ada
infeksi
3) Nadi
Jika denyut nadi lebih dari 100 kali per menit merupakan tanda
infeksi atau terjadi perdarahan. Beberapa wanita mungkin
mengalami bradikardi setelah persalinan atau dalam beberapa jam
setelah post partum. (Rahayu dkk, 2012)
i. Perubahan psikologis
Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan ibu akan melalui fasefase sebagai berikut :
1) Fase taking in
Fase ini juga disebut sebagai fase menerima. Timbul pada jamjam pertama kelahiran sampai dengan dua hari post partum. Pada
12
fase ini adalah suatu waktu yang penuh dengan kegembiraan dan
kebanyakan orang tua sangat suka mengkomunikasikannya.
Mereka sangat perlu menyampaikan pengalaman mereka tentang
kehamilan dan kelahiran dengan kata-kata pada orang lain yang
berada di sekitarnya saat itu.
2) Fase Taking Hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 harisetelah melahirkan. Pada
fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
tanggungjawabnya dalam merawat bayi. Selain itu perasaan yang
sangat sensitive sehingga mudah tersinggung jika komunikasinya
kurang hati-hati. Oleh karena itu ibu memerlukan dukungan
karena saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk
menerima berbagai penyululan dalam merawat diri dan bayinya
sehingga tumbuh rasa percaya diri.
3) Fase Letting Go
Merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya
yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan
untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.
(Rahayu dkk, 2012)
13
5.
Penatalaksanaan
a. Mobilisasi
Ibu harus cukup istirahat 2 jam post partum ibu harus tidur terlentang
untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum. Setelah 2 jam ibu
boleh miring kiri dan kanan untuk mencegah adanya thrombosis. Pada
hari kedua bila perlu dilakukan senam nifas.
b. Pemberian cairan
Untuk mencegah terjadinya hipertermi, dehidrasi dan komplikasi pada
organ-organ tubuh lainnya dan minum sedikit kurang lebih 2,5 liter air
setiap hari. Tetapi untuk perdarahan aktif pada waktu persalinan
pemberian cairan per intra vena harus cukup mengandung banyak
elekroloit yang diperlukan tubuh
c. Pemeriksaan fisik
d. Observasi kontraksi uterus, fundus dan perdarahan
e. Menjaga kebersihan diri
f. Istirahat yang cukup
g. Nutrisi
1) Makan dengan diet seimbang untuk mendapatkan protein, mineral
dan vitamin yang cukup
2) Tablet besi Fe kurang lebih selama 40 hari pasca persalinan
3) Kapsul vitamin A (200-600 unit) agar bisa memberikan vitamin A
pada bayi melalui ASI. (Serri, 2009)
14
6.
Komplikasi
a. Inkontinensia urin
b. Konstipasi
c. Nyeri punggung
d. Anemia
e. Eklamsia dan preeklamsia
f. Perdarahan
g. Infeksi masa nifas (Serri, 2009)
B.
Konsep Sectio Caesarea
1.
Pengertian
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.
(Sarwono, 2009)
Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak
lewat insisi abdomen dan uterus. (Harry & william, 2010)
Sectio caesarea adalah pelahiran janin lewat insisi menembus dinding
uterus dan abdomen. (Dorland, 2012)
Seksio caesarea (SC) didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui
insisi di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).
(Ventura, 2010)
15
2.
Indikasi Sectio Caesarea
a. Indikasi mutlak
1) Indikasi ibu
a)
Panggul sempit
b)
Kagagalan
melahirkan
secara
normal
karena
adekuatnya stimulasi
c)
Obstruksi jalan lahir
d)
Stenosis serviks atau vagina
e)
Plasenta previa
f)
Ruptur uteri
2) Indikasi janin
a)
Kelainan letak
b)
Gawat janin
c)
Prolapsus plasenta
d)
Perkembangan bayi yang terhambat
e)
Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklamsia
b. Indikasi relatif
1) Riwayat section caesarea sebelumnya
2) Persentasi bokong
3) Distosia
4) Fetal distress
5) Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
16
kurang
6) Ibu dengan HIV positif
7) Gemeli, menurut Eastman sectio caesarea dianjurkan :
a) Bila janin pertama letak lintang atau persentasi bahu
b) Bila terjadi interlock
c) Distosia oleh karena tumor
d) IUFD (Intra Uterine Fetal Death). (Rasjidi, 2010)
3.
Tipe-tipe Sectio Caesarea
a. Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda dengan insisi di segmen
bawah uterus. Tipe ini yang paling banyak dilakukan. Segmen bawah
uterus tidak begitu banyak mengandung pembuluh darah dibanding
segmen atas sehingga resiko perdarahan lebih kecil. Karena segmen
bawah terletak diluar kavum peritonei, kemungkinan infeksi pasca
bedah juga tidak begitu besar. Di samping itu resiko rupture uteri pada
kehamilan dan persalinan berikutnya akan lebih kecil jika jaringan parut
hanya terbatas pada segmen bawah uterus. Kesembuhan luka bisaanya
baik karena segmen bawah merupakan bagian uterus yang tidak begitu
aktif.
Keuntungan insisi segmen bawah rahim menurut kehier :
1) Segmen bawah rahim lebih tenang
2) Kesembuhan lebih baik
3) Tidak banyak menimbulkan perlekatan
17
Kerugiannya :
1) Terdapat kesulitan pada waktu mengeluarkan janin
2) Terjadi perluasan luka insisi dan menimbulkan perdarahan
b. Sectio cesarea klasik (korporal) menurut Sanger
Insisi dibuat pada korpus uteri. Dilakukan kala segmen bawah tidak
terjangkau karena melekat eratnya dinding uterus pada perut karena
section sesarea yang sudah-sudah, insisi disegmen bawah uterus
mengandung bahaya perdarahan banyak berhubung dengan letaknya
plasenta pada plasenta previa, atau apabila dikandung maksud untuk
melakukan histerektomi setelah janin dilahirkan.
Keuntungannya adalah mudah dilakukan karena lapangan operasi
relative luas, adapun kerugiannya :
1) Kesembuhan luka operasi relative sulit
2) Kemungkinan terjadinya rupture uteri pada kehamilan berikutnya
lebih besar
3) Kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih
besar
c. Sectio caesarea ekstraperitoneal
Dahulu dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal, sekarang
tidak banyak dilakukan karena sulit dalam tehniknya dan seringkali
terjadi sobekan peritoneum.
18
d. Sectio caesarea histerektomi menurut Porro
Operasi SC Histerektomi dilakukan secara Histerektomi supra vaginal
untuk menyelamatkan jiwa ibu dan janin dengan indikasi :
1) Sectio caesarea disertai infeksi berat
2) Sectio caesarea dengan Antonio uteri dan perdarahan
3) Sectio caesarea disertai uterus coovelaire (solusio plasenta). (Harry
& Forte, 2010)
4.
Penatalaksanaan
a. Monitor tanda-tanda vital
Observasi harus dilakukan tiap 30 menit 2 jam pertama dan tiap jam
minimal selama 4 jam. Tanda vital yang perlu di evaluasi adalah :
1) Tekanan darah
2) Nadi
3) Suhu
4) Jumlah urin
b. Jumlah perdarahan
c. Status fundus uteri
d. Pemberian analgesik
e. Terapi cairan intravena
Umumnya pemberian cairan intravena 3 liter cairan untuk 24 jam
pertam setelah tindakan.
19
Namun, apabila pengeluaran urin turun dibawah 30 ml/jam harus dinilai
kembali apakah ada pengeluaran darah yang tidak diketahui, efek
antidiuretik dari oksitoksin dan lainnya.
f. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus
Kateter vesika urinaria umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jam
setelah operasi. Kemampuan pasien mengosongkan vesika uerinaria
sebelum terjadi distensi berlebihan harus dipantau seperti pada
persalinan pervaginam. Pada kasus nonkomplikata makanan padat
dapat diberikan 8 jam setelah pembedahan.
g. Ambulansi
Pada sebagian besar kasus, satu hari setelah pembedahan pasien dapat
turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan paling sedikit dua kali.
Waktu ambulansi diatur agar analgetik yang baru diberikan dapat
mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan
bantuan. Dengan ambulansi dini, thrombosis venadan emboli paru
jarang terjadi.
h. Perawatan luka
Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan dapat diangkat pada hari
keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga pasca persalinan mandi
tidak membahayakan luka insisi. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara
lain :
20
1) Jaringan subkutan yang tebal (>3 cm) merupakan faktor risiko
untuk infeksi luka operasi. Oleh karena itu, perlu pemantauan
terhadap tanda-tanda infeksi.
2) Luka dibersihkan setiap hari dan menjaga agar tetap kering
3) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar,
nyaman dan berbahan katun. (Rasjidi, 2010)
5.
Komplikasi dan efek persalinan sectio caesarea
Komplikasi utama persalinan sectio caesarea adalah kerusakan organorgan seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi,
komplikasi anastesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli.
Kematian ibu lebih besar pada persalinan sectio caesarea dibandingkan
persalinan pervaginam.
Takipnea sesaat bayi baru lahir lebih sering terjadi pada persalinan sectio
caesarea. Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah terjadinya
plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta dan ruptur uteri. (Rasjidi,
2010)
21
6.
Asuhan keperawatan Post operatif
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari pasien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada. (A. Azis, 2012).
Adapun pengkajian pada post sectio caesarea meliputi :
1) Status respiratorik
a) Kebebasan saluran napas dan bunyi napas
b) Kedalaman bernapas, kecepatan (frekuensi) dan sifatnya
2) Status sirkulatik
Observasi perubahan suhu, frekuensi nadi, dan tekanan darah
3) Status neurogenik
Kaji tingkat kesadaran bila dibuktikan melalui pertanyaan sederhana
yang di jawab oleh pasien atau pasien dianjurkan untuk melakukan
sesuatu. Variasi tingkat kesadaran dimulai dari siuman sampai
ngantuk harus diobservasi.
4) Kenyamanan
Kaji posisi tubuh. Pasien hendaknya dibaringkan pada posisi yang
nyaman sertav memperlancar ventilasi. Dan yang perlu diperhatikan
tidak boleh ada tekanan didaerah sekitar operasi. Kaji juga adanya
nyeri, mual muntah atau perubahan posisi yang dibutuhkan sesuai
indikasi. (Pelapina, 2014)
22
b. Diagnosa keperawatan
Menurut NANDA 2014 diagnosa keperawatan merupakan sebuah label
singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di
lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah actual, potensial
atau diagnose sejahtera. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul
pada post sectio caesarea meliputi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera ;
biologis, kimia, fisik dan psikologis
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif, asupan cairan yang tidak adekuat
3) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan penyakit kronis,
penekanan system imun, ketidak adekuatan imunitas dapatan,
pertahanan primer yang tidak adekuat, pertahanan lapis dua yang
tidak memadai, peningkatan pemajanan lingkungan terhadap
pathogen, pengetahuan yang kurang untuk menghindari pajanan
pathogen, prosedur invasive, kerusakan jaringan, dan trauma
4) Kurang perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan
merasakan bagian tubuh, gangguan musculoskeletal, gangguan
persepsi kognitif.
5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kendala lingkungan,
gangguan neuromuskular, nyeri.
23
c. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan suatu proses penyusunan rencana
keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau
mengatasi masalah-masalah pasien. (A. Azis, 2012).
Adapun intervensi dari diagnose diatas menurut NANDA NIC-NOC
2014 meliputi :
1) Nyeri akut berhubungan
dengan agen-agen penyebab cedera ;
biologis, kimia, fisik dan psikologis
a) Batasan karakteristik
Subjektif:
(1) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri
dengan isyarat
Objektif:
(1)
Posisi untuk mengindari nyeri
(2)
Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak
bertenaga
(3)
Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan
tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil
(4)
Perubaan selera makan
(5)
Perilaku distraksi misal, mondar-mandir, mencari orang
atau aktifitas lain, aktivitas berulang
24
(6)
Perilaku ekspresif misal; gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan
menghela napas panjang
(7)
Wajah topeng; nyeri
(8)
Perilaku menjaga atau sikap melindungi
(9)
Fokus menyempit, misal; gangguan persepsi waktu,
gangguan proses piker, interaksi menurun.
(10) Bukti nyeri yang dapat diamati
(11) Berfokus pada diri sendiri
(12) Gangguan tidur, misal : mata terlihat layu, gerakan tidak
teratur atau tidak menentu.
b) Hasil & NOC
(1)
Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap
kemudahan fisik psikologis
(2)
Pengendalian
nyeri:
tindakan
individu
untuk
mengendalikan nyeri
(3)
Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau
dilaporkan
(4)
memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan
(5)
mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala
0-10)
25
(6)
melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
(7)
mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk memodifikasi faktor tersebut
(8)
melaporkan nyeri kepada penyedia pelayan kesehatan
(9)
melaporkan pola tidur yang baik
c) Intervensi NIC
(1)
Pengkajian :
(a)
Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan
pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
(b)
Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
Gunakan bagan alur nyeri untuk memantau peredaan
nyeri
oleh
analgesik
dan
kemungkinan
efek
sampingnya.
(c)
Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan
lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
(d)
Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata
yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
Manajemen nyeri:
(a)
lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri
dan faktor presipitasinya.
26
(b)
Observasi
isyarat
khususnya
pada
nonverbal
mereka
ketidaknyamanan,
yang
tidak
mampu
berkomunikasi efektif.
(2)
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
(a)
Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat
khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi
pemberian,
kemungkinan
efek
samping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus
saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang
yang
harus
dihubungi
bila
mengalami
nyeri
membandel.
(b)
Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada
perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
(c)
Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi
koping yang ditawarkan
(d)
Perbaiki
kesalahan
persepsi
tentang
analgesik
narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau
overdosis)
27
Manajemen nyeri :
(a)
Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat prosedur
(b)
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misal
umpan balik biologis, transcutaneous electrical
nerve
stimulation
(TENS),
hipnotis,
relaksasi,
imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat
atau dingin, dan masase).
(3)
Aktivitas kolaboratif
Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate
yang terjadwal (misal, setiap 4 jam selama 36 jam) atau
PCA
(4)
Aktivitas lain
(a)
Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan
yang efektif dimasa lalu seperti distraksi, relaksasi
atau kompres hangat atau dingin.
(b)
Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan
rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu
relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut :
28
(c)
Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan
relaksasi.
(d)
Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan
sikap yang mendukung
(e)
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut aktivitas perawatan.
(f)
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas
bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan
melakukan pengalihan melalui televise, radio, dan
interaksi dengan pengunjung.
Manajemen nyeri :
Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika
memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
(misal: suhu ruangan, pencahayaan dan kegaduhan)
e.
29
C.
Konsep Nyeri
1.
Pengertian
Nyeri adalah suatu perasaan yang menimbulkan penderitaan secara
fisik dan mental, perasaan nyeri menimbulkan ketegangan atau menjadi
siksaan bagi yang mengalaminya. (Lyndon, 2013)
Nyeri secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak
nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri bersifat sangat individual dan
tidak dapat di ukur secara subjektif, serta hanya pasien yang dapat
merasakan adanya nyeri. (Pelapina, 2014)
Menurut international association the study of pain nyeri adalah
suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
sehubungan dengan actual dan potensial kerusakan jaringan.
Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang sangat subjektif dan
hanya
orang
yang
mengalaminya
yang
dapat
menjelaskan
mengevaluasi perasaan tersebut. (Tamsuri, 2014)
2.
Klasifikasi nyeri
a. Jenis nyeri
1) Nyeri perifer
Nyeri perifer dapat dibagikan menjadi tiga jenis yaitu :
1) Nyeri superficial
Rasa nyeri muncul akibat rangsangan pada kulit dan mukosa
30
dan
2) Nyeri visceral
Rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada reseptor nyeri
dirongga abdomen, cranium, dan toraks
2) Nyeri alih
Rasa nyeri dirasakan didaerah lain jauh dari jaringan nyeri
3) Nyeri sentral
Nyeri sentral adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan pada
medulla spinalis, batang otak, dan thalamus.
4) Nyeri psikogenik
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang penyebabnya tidak diketahui.
Umumnya
nyeri
ini
disebabkan
oleh
faktor
psikologis
(Lyndon,2013)
b. Menurut bentuknya
1) Nyeri akut
Nyeri akut dapat menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah
keadaan pulih pada keadaan rusak. Fungsi dari nyeri akut adalah
memberikan peringatan akan cederaatau penyakit yang akan dating.
Nyeri akut bisaanya berlangsung singkat.
31
2) Nyeri kronik
Nyeri kronik dapat menjadi penyebab utama ketitidak mampuan
fisik dan psikologis sehingga akan timbul masalah seperti
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sedarhana,
disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga atau teman-teman.
Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, penurunan berat
badan, depresi, putus asa, dan kemarahan. Nyeri kronik berkembang
lebih lambat dan terjadi dalam waktu yang lama. (Pelapina, 2014)
3.
Fisiologi nyeri
a. Nosisepsi
System saraf perifer mengandung saraf sensorik primer yang berfungsi
mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan beberapa sensasi,
salah satunya adalah nyeri. Nyeri dihantarkan oleh reseptor yang
disebut nociseptor. Nociseptor merupakan ujung saraf perifer yang
bebas dan tidak bermielin atau hanya memiliki sedikit myelin. Reseptor
ini tersebar dikulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian,
dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri tersebut dapat
dirangsang oleh stimulus mekanis, termal, listrik, dan kimiawi
(misalnya histamin, bradikinin, dan prostaglandin).
32
1) Tranduksi
Ransangan (stimulus) yang membahayakan memicu pelepasan
mediator biokimia (misalnya histamine, bradikinin, prostaglandin,
dan subtansi P). mediator ini kemudian mensensitisasi nosiseptor.
2) Tranmisi
Tahap tranmisi terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a) Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditranmisikan berupa
impuls nyeri dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis . jenis
nociseptor yang terlibat dalam tranmisi ini ada dua jenis, yaitu
serabut C dan serabut A-delta. Serabut C mentramisikan nyeri
tumpul
dan
menyakitkan,
sedangkan
serabut
A-delta
mentramisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi.
b) Nyeri ditanmisikan dari medulla spinalis kebatang otang dan
thalamus melalui jalur spinotalamikus (spinothalamic tract atau
SST) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi stimulus
ke thalamus.
c) Sinyal diteruskan kekorteks sensorik somatic (tempat nyeri
dipersepsikan). Impuls yang ditranmisikan melalui SST
mengaktifkan respons otonomik dan limbik.
33
3) Persepsi
Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi
nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan
timbulnya berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi
komponen sensorik dan afektif nyeri.
4) Modulasi atau system desenden
Neuron dibatang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ketanduk
dorsal medulla spinalis yang terkonduksi denagn nosiseptor impuls
supresif. Serabut desenden tersebut melepaskan subtansi seperti
opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat impuls
asenden yang membahayakan di bagian dorsal medulla spinalis.
(Lyndon, 2013)
b. Teori awal
Suatu teori yang menjelaskan nyeri sebagai suatu mekanisme relative
sederhana yang menjelaskan bahwa respon nyeri timbul apabila suatu
stimuli nyeri mengaktivasi reseptor nyeri (nociceptor). Stimuli dapat
berupa zat kimia, listrik, panas, mekanik maupun mikroorganisme, baik
dari dalam maupun luar tubuh.
Informasi dari reseptor nyeri mencapai sistem saraf sentral melalui saraf
asenden. Bila informasi ini telah sampai di thalamus, maka seseorang
akan merasakan suatu sensasi serta mempelajari tentang lokasi dan
kekuatan stimulus.
34
Bila informasi telah sampai pada korteks serebri, maka seseorang akan
menjadi lebih terlibat pada sensasi nyeri, mencoba menginterpretasi arti
nyeri dan mencari cara untuk menghindari sensasi lebih lanjut.
(Pelapina, 2014)
c. Teori Gate Control
Menurut Melzak dan wall teori ini lebih komprehensif dalam
menjelaskan tranmisi dan persepsi nyeri. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa subtansi gelatinosa, yaitu suatu area dari sel-sel khusus pada
bagian ujung dorsal serabut saraf sumsum tulang belakang (spinal cord)
mempunyai
peran
sebagai
mekanisme
pintu
gerbang
(gating
mechanism). Mekanisme pintu gerbang ini dapat mengubah sensasi
nyeri yang datang sebelum mereka sampai korteks serebri dan
menimbulkan persepsi nyeri. (Pelapina, 2014)
4.
Faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Usia
Usia merupakan variable penting yang mempengaruhi nyeri. Toleransi
terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, misalnya
semakin bertambah usia seseorang maka semakin bertambah pula
pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya.
35
b. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon
terhadap nyeri.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri
d. Makna nyeri
Individu akan mempersepsika nyeri dengan cara yang berbeda-beda
e. Perhatian
Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri.
f. Kecemaan
Kecemasan seringkali meningkatkan persepsi nyeri
g. Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping. Kelelahan juga meningkatkan nyeri
dan banyak orang merasa lebih nyaman setelah istirahat.
h. Pengalaman sebelumnya
Individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti
bahwa individu tersebut akan menerima nyeri denagn lebih mudah pada
masa yang akan datang.
36
i. Mekanisme koping
Mekanisme koping individu sangat mempengaruhi cara setiap orang
dalam mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang dapat mempengaruhi respon pasien adalah kehadiran
orang-orang terdekat.
k. Faktor lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya ransangan dari lingkungan yang
berlebihan misalnya : kebisingan, cahaya yang sangat terang dan
kesendirian. (Pelapina, 2014)
5.
Respon individu terhadap nyeri
a. Tahap aktivasi
Dimulai saat pertama individu menerima ransangan nyeri sampai tubuh
bereaksi terhadap nyeri yang meliputi :
1) Respon yang tidak disengaja seringkali juga dinamakan respon
autonom juga bersifat protektif, mencakup :
a) Peningkatan pengeluaran keringat
b) Tekanan darah naik
c) Respirasi meningkat
d) Dilatasi pupil
e) Ketegangan otot
37
f) Mual muntah
g) Pucat
2) Respon muscular
Respon yang disengaja merupakan reaksi otot yang mencetuskan
usah untuk menghilangkan ransangan rasa sakit, juga bersifat
protektif, sebagai contoh :
a) Mengeliat kesakitan
b) Mengusap daerah yang sakit
c) Imobilitas
d) Mengambil posisi tertentu, contoh : menarik lutut sampai
menekan perut bilamana rasa sakit diperut tidak tertahankan
3) Respon emosional
Respon emosional terhadap rasa sakit mempunyai ambang yang
sangat luas dan berbeda-beda dari orang ke orang terhadap sakit
antara lain :
a) Bergejolak
b) Mudah tersinggung
c) Perubahan tingkah laku
d) Berteriak
e) Menangis
f) Diam
g) Kewaspadaan menigkat
38
b. Tahap pemantulan
Nyeri sangat hebat tetapi sangat singkat, pada tahap ini sistem saraf
parasimpatis mengambil alih tugas, sehingga terjadi respons yang
berlawanan dengan tahap aktivasi.
c. Tahap aktivasi
Saat nyeri berlangsung lama, tubuh mencoba untuk beradaptasi melalui
peran endorphin. Reaksi adaptasi tubuh ini terhadap dapat berlangsung
beberapa jam/hari. Bila nyeri berkepanjangan maka akan menurunkan
sekresi norepinefrin sehingga individu merasa tidak berdaya, tidak
berharga dan lesu.
Tabel 2.2 Respon perilaku yang mempengaruhi nyeri
Vokal
1. Menangis
Ekpresi Wajah
1. Meringis
Gerakan Tubuh
1. Gelisah
2. Berteriak
2. Menagtup
2. Imobilisasi
gigi
3. Merintih
4. Bicara
3. Melotot
3. Otot tegang
4. Menggigit
4. Berjalan mondar-
bibir
terengahengah
mandir
5. Mengambil posisi
tertentu
SSumber : Pelapina, 2014
6.
Pengukuran intensitas nyeri
39
Interaksi Sosial
1. Menghindar
untuk bicara
2. Menghindar
untuk
kontak
sosial
3. Perhatian
terhadap
lingkungan
sekitar
berkurang
Intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain dengan
menggunakan skala nyeri menurut Hayward, skala nyeri menurut McGill
(McGill scale), dan skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale.
a. Skala nyeri menurut Hayward
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri Hayward
dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan
(0-10) yang ia rasakan. Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan
sebagai berikut :
0
: tidak nyeri
1–3
: nyeri ringan
4–6
: nyeri sedang
7–9
: sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas
yang bisaa dilakukan
10
: sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan
b. Skala nyeri menurut McGill
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri McGill
dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan
(0 – 5) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri
yang ia rasakan.
Skala nyeri menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut :
0
: tidak nyeri
40
1
: nyeri ringan
2
: nyeri sedang
3
: nyeri berat atau parah
4
: nyeri sangat berat
5
: nyeri hebat
c. Skala wajah atau Wong-Baker FACE Rating Scale
Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan dengan cara
memperhatikan mimic wajah pasien pada saat nyeri tersebut
menyerang.
Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan intensitas
nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-anak dan lansia. (Lyndon,
2013)
Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Skala wajah
7.
Penatalaksanaan Nyeri
41
a. Penatalaksanaan farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid
(narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflammation Drugs),
dan adjuvan, serta ko-analgesik.
b. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Penatalaksanaan nonfarmakologis terdiri dari berbagai tindakan
penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun prilaku kognitif.
1) Penanganan fisik meliputi :
a) Masase kulit
Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase otot itu dipercaya akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu
memblok atau menurunkan impuls nyeri.
b) Kompres
Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga
dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang
mengalami kerusakan.
Penggunaan panas selain member efek mengatasi atau
menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi
fisiologis antara lain :
(1) Meningkatkan respon inflamasi
42
(2) Meningkatkan aliran darah dalam jaringan
(3) mengurangi pembentukan edema
c) stimulasi kontralateral
Stimulasi kontra lateral adalah memberi stimulasi pada daerah
kulit disisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri.
d) Acupresure (pijat refleksi)
Terapis ini member tekanan jari-jari pada berbagai titik organ
tubuh seperti pada akupuntur.
e) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
Stimulasi saraf elektrik transkutan menggunakan satu unit
peralatan yang dijalankan dengan elektroda yang dipasang pada
kulit untuk mrenghasilkan sensasi kesemutan, getaran, atau
mendengung pada area kulit tertentu.
f) Imobilisasi
Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat
mungkin dapat meredakan nyeri.
2) Perilaku kognitif
43
a) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri
ke stimulus yang lain. Macam-macam distraksi antara lain :
(1) Distraksi visual : seperti membaca dan menonton televisi
(2) Distraksi pendengaran : humor, mendengar musik
(3) Distraksi intelektual : main kartu atau menyalurkan hobi
b) Relaksasi
Relaksasi dengan teknik relaksasi napas dalam, medidasi, dan
relaksasi otot rangka. Relaksasi otot rangka dipercaya dapat
menurunkan nyeri dengan merelaksasikan ketegangan otot yang
mendukung rasa nyeri
8.
Asuhan keperawatan
a. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari pasien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada. (A. Azis, 2012).
Pengkajian keperawatan pada masalah nyeri dengan memperhatikan
tanda-tanda verbal dan nonverbal, secara umum mencakup lima hal,
yaitu pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan
waktu serangan. Cara mudah untuk mengingatnya adalah dengan
PQRST
44
P
: Provoking (pemicu), yaitu faktor yang menimbulkan nyeri dan
mempengaruhi berat dan ringannya nyeri.
Q
: Quality (kualitas nyeri), misalnya rasa tajam atau tumpul
R
: Region (daerah/lokasi), yaitu perjalanan ke daerah lain
S
: Severity (keparahan), yaitu intensitas nyeri
T
: Timing (waktu), yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi
Nyeri (Lyndon, 2013)
b. Diagnosa keperawatan menurut NANDA 2013
Menurut NANDA 2014 diagnosa keperawatan merupakan sebuah label
singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di
lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah actual, potensial
atau diagnose sejahtera. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien dengan masalah nyeri meliputi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misal biologis, zat
kimia, fisik dan psikologis)
2) Nyeri kronik berhubungan dengan ketunadayaan fisik dan
psikososial kronik
c. Rencana keperawatan menurut NIC 2013
45
Intervensi keperawatan merupakan suatu proses penyusunan rencana
keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau
mengatasi masalah-masalah pasien. (A. Azis, 2012).
Adapun intervensi dari diagnose keperawatan diatas menurut NANDA
NIC-NOC 2014 meliputi :
1)
Batasan karakteristik
Subjektif:
(2) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri
dengan isyarat
Objektif:
(13) Posisi untuk mengindari nyeri
(14) Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak
bertenaga
(15) Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan
tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil
(16) Perubaan selera makan
(17) Perilaku distraksi misal, mondar-mandir, mencari orang
atau aktifitas lain, aktivitas berulang
(18) Perilaku ekspresif misal; gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan
menghela napas panjang
(19) Wajah topeng; nyeri
46
(20) Perilaku menjaga atau sikap melindungi
(21) Fokus menyempit, misal; gangguan persepsi waktu,
gangguan proses piker, interaksi menurun.
(22) Bukti nyeri yang dapat diamati
(23) Berfokus pada diri sendiri
(24) Gangguan tidur, misal : mata terlihat layu, gerakan tidak
teratur atau tidak menentu.
d) Hasil & NOC
(10) Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap
kemudahan fisik psikologis
(11) Pengendalian
nyeri:
tindakan
individu
untuk
mengendalikan nyeri
(12) Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau
dilaporkan
(13) memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan
(14) mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala
0-10)
(15) melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
(16) mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk memodifikasi faktor tersebut
(17) melaporkan nyeri kepada penyedia pelayan kesehatan
47
(18) melaporkan pola tidur yang baik
e) Intervensi NIC
(5)
Pengkajian :
(a)
Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan
pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
(b)
Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
Gunakan bagan alur nyeri untuk memantau peredaan
nyeri
oleh
analgesik
dan
kemungkinan
efek
sampingnya.
(c)
Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan
lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
(d)
Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata
yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
Manajemen nyeri:
(c)
lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri
dan faktor presipitasinya.
(d)
Observasi
isyarat
khususnya
pada
nonverbal
mereka
berkomunikasi efektif.
(6)
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
48
ketidaknyamanan,
yang
tidak
mampu
(e)
Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat
khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi
pemberian,
kemungkinan
efek
samping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus
saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang
yang
harus
dihubungi
bila
mengalami
nyeri
membandel.
(f)
Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada
perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
(g)
Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi
koping yang ditawarkan
(h)
Perbaiki
kesalahan
persepsi
tentang
analgesik
narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau
overdosis)
Manajemen nyeri :
(a)
Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat prosedur
49
(b)
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misal
umpan balik biologis, transcutaneous electrical
nerve
stimulation
(TENS),
hipnotis,
relaksasi,
imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat
atau dingin, dan masase).
(7)
Aktivitas kolaboratif
Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate
yang terjadwal (misal, setiap 4 jam selama 36 jam) atau
PCA
(8)
Aktivitas lain
(a)
Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan
yang efektif dimasa lalu seperti distraksi, relaksasi
atau kompres hangat atau dingin.
(b)
Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan
rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu
relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut :
(c)
Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan
relaksasi.
(d)
Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan
sikap yang mendukung
50
(e)
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut aktivitas perawatan.
(f)
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas
bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan
melakukan pengalihan melalui televise, radio, dan
interaksi dengan pengunjung.
Manajemen nyeri :
Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika
memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
(misal: suhu ruangan, pencahayaan dan kegaduhan)
d. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam tahap proses keperwatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan)
yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan . (A. Aziz,
2012)
e. Evaluasi
Evalusi keperawatan pada masalah nyeri dapat dinilai dari kemampuan
pasien dalam merespon serangan nyeri, hilangnya rasa nyeri, menurunnya
intensitas nyeri, terdapat respon fisiologis yang baik, dan kemampuan untuk
menjalankan kegiatan sehari-hari tanpa keluhan nyeri. (Lyndon,2013)
51
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan
pada pasien post sectio caesaria dengan nyeri akut.
B.
Batasan Istilah
1.
Definisi operasional post sectio caesaria
Post sectio caesaria adalah suatu keadaan setelah menjalani pembedahan
guna melahirkan bayi lewat insisi pada dinding abdomen dan dinding
uterus.
2.
Definisi operasional nyeri
52
Nyeri merupakan suatu perasaan yang menimbulkan penderitaan secara
fisik dan mental,dan perasaan nyeri bisaanya menimbulkan ketegangan atau
siksaan fisik bagi yang mengalaminya.
C.
Partisipan
Subjek yang digunakan adalah dua pasien dengan masalah dan diagnosis
keperawatan yang sama yaitu pasien post sectio caesaria dengan nyeri akut.
D.
Lokasi dan waktu penelitian
Studi kasus ini dilakukan di Rumah Sakit Anutapura Palu, sejak pasien pertama
kali masuk rumah sakit sampai pasien pulang minimal 4 hari.
E.
Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi
1. Wawancara
a. Identitas
Berisi tentang identitas pasien dan penanggung jawab
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien berobat atau keluhan
saat awal dilakukan pengkajian.
53
2) Riwayat kesehatan sekarang
Faktor yang melatarbelakangi atau hal-hal yang mempengaruhi atau
mendahului keluhan dan bagaimana sifat terjadinya gejala.
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit
yang pernah dialami.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan atau keperawatan yang di miliki pada salah satu
anggota keluarga
5) Riwayat psikososial
Merupakan masalah psikologis yang dialami klien yang ada
hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat, keluarga dan lainya.
6) Riwayat kebidanan
a) Riwayat haid
b) Riwayat perkawinan
c) Riwayat kehamilan
d) Riwayat persalinan
7) Pola persepsi – pemeliharaan kesehatan
Data tentang persepsi pasien terhadap penyakit atau sakit, arti
kesehatan, dan penatalaksanaan kesehatan.
8) Pola aktivitas – latihan
54
Data ini meliputi tentang aktivitas sehari-hari pasian seperti makan,
mandi, berbakaian, toiletin