MAKALAH HADITS I PERILAKU HAWA NAFSU OLE

MAKALAH HADITS I ( PERILAKU )
“ HAWA NAFSU ”

OLEH
KELOMPOK VI
1. Mia Audiana :1515040113
2.Ovi Yulia sari
3. Fatdli

DOSEN PEMBIMBING : Dra. Sarmida Hanum,
M.Ag

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM (PI-C)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG

1438 H / 2016 M
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Masyarakat dimana kita hidup di dalamnya dewasa ini berada dalam zaman dengan ciri

yang paling jelas adalah membiarkan kan dirinya mengumbar hawa nafsu dan hanyut di
dalamnya, tanpa memperdulikan lagi kaidah-kaidah yang disyari’atkan oleh Al-Qur’an dan AsSunnah. Kebanyakan manusia menghiasi hatinya dengan hawa nafsu. Dimana segala mungkin
ucapan, perbuatan dan putusan-putusan mereka semuanya berhias hawa nafsu, segenap panca
indera berselimutkan hawa nafsu, sehingga mereka tidak bisa melihat selain apa yang sesuai
dengan nafsunya. Artinya mereka tidak bisa melihat fakta dan kebenaran, selain apa yang
sesuai dengan pola pikir sendiri yamg sudah tidak lagi murni, seperti melihat cuaca yang
berwarna gelap karena melihatnya dibalik kaca mata hitam. Hawa nafsu dibiarkan liar megikuti
keinginan-keinginan tanpa sedikit pun upaya meredamnya.
Sejalan dengan itu maka kiranya dalam ulasan kali ini dipandang perlu untuk
mengungkapkan sepintas tentang hawa nafsu agar dapat dijadikan bahan kajian guna
mengantisipasi lebih dini kemungkinan adanya peluang berkibarnya panji hawa nafsu dalam
diri kita.Dikatakan bahwa diantara kita ada orang yang lekas marah tetapi lekas hilangnya, dan
ini seimbang, dan ada orang yang lambat marah dan lambat hilangnya, dan ini masih seimbang.
Orang yang paling baik di antara kita adalah orang yang lambat marah tetapi lekas hilangnya,
dan yang paling jelek adalah orang yang lekas marah tetapi lambat hilangnya.

PEMBAHASAN
A.

HAWA NAFSU MEMPENGARUHI PERILAKU


‫ لَ يُؤ ِمنُ أَ َح ُد ُكم َحتّي‬: ‫ قَا َل‬,‫صلي ا لُ َعلَي ِه َو َسلّ َم‬
َ ‫ َع ِن ا لنّبِ ّي‬,‫ص‬
ِ ‫عَب عَب ِد ا لِ ب ِن عَمرو ب ِن ا ل َعا‬
ُ ‫يَ ُكونَ هَ َواهُ تَبَعًا لِ َما ِج‬
‫ـت بِ ِه‬
Artinya : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti
apa yang aku bawa” .

B.

KEMAMPUAN MANUSIA MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

- ‫يس ا ل ّش ِد ي ُد بِا لصّ ر َع ِة‬
َ َ‫ "ل‬: ‫ قأ َل‬,‫صلي ا لُ َعلَي ِه َو َسلّ َم‬
َ ِ‫ أَ ّن َرسُو َل ا‬-ُ‫ضي ا لُ عَنه‬
ِ ‫عَن أَ بِي هُ َري َرةَ َر‬,
ُ ِ‫"إِ نّ َما ا ل ّش ِد ي ُد ا لّ ِذي يَمل‬
‫ب‬
َ ‫ك نَف َسهُ ِعن َد ا لغ‬

ِ ‫َض‬
Artinya : Abu Hurairah r.a. berkata Rasulullah saw bersabda : Bukan seorang kuat karena
bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah yang sanggup menahan hawa nafsunya ketika marah
(Bukhari, Muslim)
- ٌ‫ " َمن َكظَ َم غَيظًا َو ه َُو قَا ِد ر‬: ‫صلّي ا لُ َعلَي ِه َو َسلّ َم قَا َل‬
َ ِ‫ أَ ّن َر سُو َل ا‬,‫ عَن أَ بِي ِه‬,‫عن َسه ٍل ب ِن ُم َعا ٍذ‬
‫ين َما َشا َء‬
ِ ‫ق يَو َم ا لقِيَا َم ِة َحتّي يُخَ يّ َرهُ ا لُ ِمنَ الحُو ِر ا ِلع‬
ِ ‫س ا ل َخل ِء‬
ِ ‫ َد عَا هُ ا لُ َع ّز َو َج ّل َع لَي ُر ُءو‬,ُ‫" َعلَي أَن يُنفِ َذه‬
Artinya : Barangsiapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskan
marahnya itu namun ia tidak melampiakannya maka nati pada hari kiamat Allah memenuhi
hatinya dengan kerida’an .

A.

Pengertian Hawa Nafsu

Nafsu berasal dari bahasa Arab, yaiitu nafsun yang artinya niat . Nafsu ialah keinginan
hati yang kuat. Nafsu merupakan kumpulan dari kekuatan amanah dan sahwat yang ada pada

manusia. Menurut Agus Sudjanto nafsu ialah hasrat yang besar dan kuat, ia dapat
mempengaruhi seluruh fungsi jiwa . Hawa nafsu ini bergerak dan berkuasa di dalam kesadaran.
Nafsu memiliki kecenderungan dan keinginan yang sangat kuat, ia memengaruhi jiwa
seseorang, inilah yang disebut hawa nafsu .
Menurut Kartini Kartono, nafsu ialah dorongan batin yang sangat kuat, memiliki
kecenderungan yang sangat hebat sehingga dapat menganggu keseimbangan fisik. Dilihat dari
definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Nafsu ialah suatu gejolak jiwa yang selalu
mengarah kepada hal – hal yang mendesak, kemudian diikuti dengan keinginan pada diri
seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Nafsu selalu mendorong kepada hal negatif yang

perlu diperbaii dan dibina. Cara membina Nafsu ialah dengan TAZKIYAT AN-NAFSI,
maksudnya pembersihan jiwa dan juga meliputi pembinaan dan pengembangan jiwa.

B. HAWA NAFSU MEMPENGARUHI PERILAKU
Ibn Rajab menjelaskan, yang dimaksudkan adalah kitab, Al-Hujjah ‘alâ Târik alMahajjah, oleh Syaikh Abu al-Fatah Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i al-Faqih azZahid. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibn Abi ‘Ashim al-Ashbahani dalam AsSunnah li Ibn Abi ‘Ashim; al-Hasan bin Sufyan Abu al-‘Abbas an-Nasawi (w. 303 H) dalam
kitabnya, Al-Arba’un li an-Nasawi; Ibn Baththah dalam Al-Ibânah al-Kubrâ; al-Khathib alBaghdadi dalam Târîkh Baghdad; al-Baihaqi dalam Al-Madkhal; dan al-Baghawi dalam Syarh
as-Sunnah.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Fath al-Bârî mengatakan tentang hadis ini:
Al-Baihaqi telah mengeluarkan di dalam Al-Madkhal dan Ibn ‘Abd al-Barr dalam Bayân
al-‘Ilmi dari jamaah tabi’in seperti al-Hasan, Ibn Sirin, Syuraih, asy-Sya’bi dan an-Nakha’i

dengan sanad-sanad baik; tentang celaan terhadap perkataan semata menurut ra’yu (pikiran).
Semua itu dihimpun oleh hadis penuturan Abu Hurairah ra., “Tidak sempurna iman seseorang
di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Hadis ini dikeluarkan
oleh Al-Hasan bin Sufyan dan lainnya. Para perawinya tsiqah dan an-Nawawi telah
mensahihkan hadis ini di akhir Al-Arba’un.
Dalam hadis ini Rasulullah saw. menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang
memperlakukan al-hawâ supaya imannya sempurna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân
al-‘Arab, hawâ an-nafsi adalah keinginan jiwa. Para ahli bahasa mengatakan,al-hawâ adalah
kecintaan manusia terhadap sesuatu dan dominannya kecintaan itu atas dirinya. Abu al-‘Abbas
al-Fayyumi dalam Mishbah al-Munir menjelaskan, al-hawâ adalah jika kamu menyukai sesuatu
dan terkait dengannya. Kemudian kata al-hawâ digunakan untuk menyebut kecenderungan
jiwa dan penyimpangannya ke arah sesuatu, lalu digunakan untuk menyebut kecenderungan
yang tercela.

Di dalam At-Ta’rifât, al-Jurjani menjelaskan bahwa al-hawâ adalah kecenderungan jiwa
(mayl an-nafsi) pada syahwat yang menyenangkannya tanpa alasan syariah. Muhammad
Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ juga menjelaskan, al-hawâ adalah
kecenderungan jiwa pada apa yang disukai tanpa memperhatikan hukum syariah dalam hal itu.
Jadi, secara bahasa al-hawâ adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara
mutlak. Namun, dalam penggunaannya, kata al-hawâ itu jika disebutkan secara mutlak maka

yang dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang menyalahi kebenaran.
Sementara itu, makna “lâ yu`minu ahadukum” adalah iman yang paripurna, bukan
menafikan iman. Sebab, orang yang hawa nafsunya tidak mengikuti syariah sehingga ia
bermaksiat, secara umum kemaksiatan itu tidak menjadikan dirinya kafir.

Dengan demikian hadis ini bermakna: seseorang tidak akan mencapai derajat Mukmin
yang paripurna imannya sampai seluruh keinginan, kecenderungan dan kecintaannya mengikuti
apa yang dibawa oleh Rasul saw.; baik perintah, larangan ataupun yang lainnya. Dengan itu ia
menyukai apa yang diperintahkan dan tidak menyukai apa yang dilarang .

Dalam Al-Qur’an Hawa Nafsu dijelaskan dalam surat :

1.

Surat AL-Jaatsiyah : 45

‫ك َعلَى َش ِري َع ٍة ّمنَ ْالَ ْم ِر فَاتّبِ ْعهَا َو َل تَتّبِ ْع أَ ْه َواء الّ ِذي‬
َ ‫ثُ ّم َج َع ْلنَا‬

Arinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan

(agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.( QS.Al Jaatsiyah : 45 )

2.

Surat Yusuf : 53

‫ّحي ٌم‬
َ ‫َو َما أُبَ ّرى ُء نَ ْف ِسي إِ ّن النّ ْف‬
ِ ‫س لَ ّما َرةٌ بِالسّو ِء إِلّ َما َر ِح َم َرب َّي إِ ّن َربّي َغفُو ٌر ر‬

Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.( QS. Yusuf : 53 )

C. KEMAMPUAN MANUSIA MENGENDALIKAN HAWA NAFSU
Penjelasan Hadits Ke-1
Psikologi atau 'ilm al-nafs dalam pandangan Imam al-Ghazali Termasuk dalam kategori
ilmu-ilmu terapan. Psikologi pada hakekatnya bertujuan melatih jiwa (riyadhah) dan
pengendalian hawa nafsu (mujahadatul hawa). Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana

melatih jiwa dalam bermuamalah kepada seluruh anggota keluarga, pembantu dan budak.
Dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin, beliau menjelaskan bahwa mempelajari disiplin ilmu jiwa ini
adalah wajib. Sebab dengan menguasai ilmu inilah tercapainya cara-cara pensucian jiwa.
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (QS. 91:9). Sedangkan
mengabaikan ilmu ini akan berakhir pada kerugian. "Dan sesungguhnya merugilah orang yang

mengotori jiwanya" (QS. 91:10). Hal ini dikarenakan bahaya penyakit kalbu lebih parah
daripada penyakit fisik. Sebab penyakit fisik hanya merenggut kehidupan yang fana, sementara
penyakit hati menyebabkan kehancuran pada kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap
kecermatan tentang kaedah-kaedah penyembuhan penyakit kalbu harus lebih diutamakan.
Di samping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu jiwa pada intinya difokuskan untuk
mengarahkan tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni kekuatan fikir, kekuatan syahwat dan
kekuatan amarah. Maka jiwa yang sehat akan terwujud, jika ketiga kekuatan tersebut terarah
dan terbina dengan baik. Fokus pertama adalah pembinaan kekuatan fikir. Dan terbinanya
potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia tidak lagi
mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara perkataan yang benar
dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela, dst. Hikmah juga menjaga akal manusia
agar tidak terjerumus kedalam limbah relativisme dan belantara purba sangka dalam berislam.
Yang kedua, fokus ilmu jiwa ditujukan pada pengarahan kekuatan syahwat. Dengan
terarahnya potensi ini, maka tercapailah kesederhanaan jiwa ('iffah). 'Iffah akan membentengi

manusia dari perbuatan maksiat dan senantiasa mendorongnya untuk mendahulukan perilaku
yang terpuji. Sedangkan fokus ketiga diarahkan untuk mengendalikan kekuatan amarah hingga
tercapainya kesabaran (hilm) dan keberanian (syaja'ah).
Maka keadilan akan bersemai dalam jiwa seseorang, jika dia telah berhasil mengelola
ketiga kekuatan di atas. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang
benar. (QS. 49:15)
Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya pada ayat di atas disertai dengan menafikan
keraguan. Dan keraguan hanya bisa dinafikan dengan adanya keyakinan ilmu dan hikmah,
yang diperoleh dari terarahnya potensi fikir. Berjihad dengan harta terlaksana berkat 'iffah yang
lahir dari potensi syahwat yang telah dikendalikan. Sedangkan berjihad (mujahadah), tidak
terlaksana kecuali adanya keberanian dan kesabaran yang merupakan buah pengendalian
potensi amarah.
Dengan demikian jiwa yang sehat itu menurut imam al-Ghazali, jika ia dihiasi dengan
empat induk kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan ('iffah), keberanian (syaja'ah) dan
keadilan ('adalah). Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah
menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja'ah) yang sempurna. Kesempurnaan
'iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir
terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin silaturrahim terhadap orang yang

sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna. (lihat: Mizanul
'Amal). Sebaliknya, ciri-ciri jiwa yang sakit adalah kosongnya jiwa dari keempat induk
kesalehan di atas. Sakit jiwa bukan sekedar hilangnya akal (gila), tetapi ia juga hilangnya
ketaatan pada Sang Khalik.
Kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya berbeda-beda. Imam alGhazali menjelaskan tiga tingkatan manusia dalam hal ini. Pertama, orang yang dikuasai oleh

hawa nafsu dan bahkan menjadikannya tuhan sesembahannya (lihat QS. 25:43 dan QS. 45:23).
Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya ini akan cenderung pada kesesatan, karena
pendengaran dan kalbunya sudah terkunci. Mereka diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh
karena itu tidak layak dijadikan pemimpin.
Kedua, orang yang selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya. Maka terkadang ia
mampu mengendalikannya dan terkadang tidak. Mereka ini tergolong mujahidin. Jika saat
kematian datang menjemputnya, sedangkan ia dalam usaha mengendalikan hawa nafsunya,
maka ia tergolong syuhada'. Sebab ia sedang menyibukkan dirinya menjalankan perintah
Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu seperti memerangi musuhnya.
Ketiga, golongan yang berhasil mengendalikan hawa nafsu dan mengalahkannya dalam
kondisi apapun. Mereka inilah golongan penguasa sejati yang telah terbebas dari belenggu
hawa nafsu. Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh orang yang menduduki peringkat
ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa setan akan mengambil jalan yang tidak dilalui Umar.
Oleh sebab itu, dalam rangka melepaskan belenggu nafsu dan untuk meraih

kebahagiaan hakiki, beliau menjelaskan empat kiat, yaitu mengenal diri, mengenal Pencipta,
mengenal hakekat dunia dan mengenal hakekat akherat. Dalam proses mengenali diri, Imam
Imam al-Ghazali memberikan bahan introspeksi harian (muhasabah).
Masih dalam rangka mengenali diri, Imam al-Ghazali menjelaskan adanya empat
potensi dalam diri manusia, dimana masing-masing memiliki kebahagiannya sendiri. Keempat
potensi tersebut adalah sifat binatang ternak, sifat binatang buas, sifat setan dan sifat malaikat.
Beliau pun menguraikan sebagai berikut: "Sesungguhnya kebahagiaan binatang ternak itu di
saat makan, minum, tidur dan melampiaskan hasrat seksnya. Jika Anda termasuk golongan
mereka, maka bersungguh-sungguhlah dalam memenuhi kebutuhan perut dan kemaluan.
Kebahagiaan binatang buas itu dikala ia berhasil memukul dan membunuh. Kebahagiaan setan
itu ketika ia berhasil melakukan makar, kejahatan dan tipu muslihat. Jika Anda berasal dari
golongan mereka, maka sibukkanlah diri Anda dengan kesibukan setan. Sedangkan
kebahagiaan malaikat itu tatkala ia menyaksikan indahnya kehadiran Tuhan. Maka jika Anda
termasuk golongan malaikat, bersungguh-sungguhlah dalam mengenali asal-usul Anda, hingga
mengetahui jalan menuju kepada-Nya dan terbebas dari belenggu syahwat dan amarah". (lihat:
Kimiya al-Sa'adah).
Menurut Imam al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu
pengetahuan. Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu, maka orang
itu ibarat orang yang habis seleranya untuk memakan makanan yang baik; atau seperti orang yg
lebih suka makan tanah daripada makan roti. Sebab kebahagiaan hakiki adalah hakekat
spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang hakikat alam, identitas diri dan
tujuan hidup. Kesemuanya itu berawal dari ilmu dan bermuara pada mahabbatullah (cinta
kepada Allah) .

Penjelasan Hadits Ke-2

ً ‫ َمن َكظَ َم غَي‬, artinya dan orang – orang yang menahan amarahnya. Diceritakan bahwa Umar Bin
‫ظا‬
Abdul Aziz melihat seseorang yang sedang mabuk, dan ia bermaksud untuk menghukum
orang yang mabuk itu, namun orang yang mabuk itu mencaci maki kepadanya. Ketika orang
yang mabuk itu selesai mencaci maki, Umar kembali, tidak jadi menghukumnya. Lalu ada
seseorang yang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mu’minin, kenapa ketika ia selesai
mencaci maki kamu, justru kamu menginggalkannya ?” ‘Umar menjawab : “Karena ia
memarahi aku, dimana sekiranya aku menghukumnya, niscaya aku berada dalam keadaan
marah, dan aku tidak suka memukul seseorang Muslim untuk membela diriku sendiri .
Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih dimana ia berkata : “Pada kalangan Bani Israil
ada seseorang yang ahli Ibadah akan disesatkan oleh syetan namunsyetan tidak mampu. Pada
suatu hari, orang itu keluar untuk suatu kepentingan, lalu syetan mengikutinya, dengan harapan
syetan itu bisa memperoleh kesempatan untuk menggodanya. Syetan lantas mulai berusaha
menggodanya melalu syahwat dan marah, namun ia tetap tidak berhasil. Syetan itu
menggodanya melalui rasa takut dimana ia membuat bayang – bayang seolah – olah orang itu
akan dijatuhi batu besar dari gunung, namun orang itu berdzikir kepada Allah, sehingga ia
selamat. Syetan lalu menyerupai harimau dan binatang buas namun ia tetap tabah dengan
berdzikir kepada Allah, sehingga ia selamat. Syetan lalu menyerupai ular dimana ketika ia
sedang shalat ular alsu itu melilit pada kedua kaki dan badanya sampai ke kepalanya, dan bila
ia hendak meletakkan kepala untuk bersujud, ular palsu itu membuka mulut seolah – olah akan
mencaplok kepala orang itu namun ia tidak takut, ia menyingkirkan ular palsu itu dengan
tangganya sehingga ia bisa sujud. Setelah shalat orang itu selesai, syetan menemuinya seraya
berkata :”Aku telah berbuat begini dan begitu tetapi sedikit pun aku tidak mampu menggoda
kamu ; dan kini aku ingi bersahabat dengan kamu dan tidak akan lagi – lagi menggoda kamu”.
Orang itu berkata kepada syetan : “Sewaktu kamu menakut – nakuti aku, Alhamdulillah aku
tidak takut dan kini tidak perlu bagiku untuk bersahabat dengan kamu”. Setan berkata
kepadanya : “Apakah kamu tidak ingin menanyakan tentang nasib keluargamu nanti setelah
kamu mati ?” Ia menjawab : “Tidak ada urusan, aku telah mati sebelum mereka”. Syetan
berkata kepadanya : “Apakah kamu tidak ingin bertanya kepadaku tentang bagaimana cara aku
menyesatkan manusia ?”. Ia menjawab : “Ya, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang
dengannya kamu berhasil menyesatkan manusia”. Syetan itu berkata : “dengan tiga hal yaiitu :
KIKIR, MARAH, DAN MABUK. Seseorang itu bila kikir, ia selalu menganggap sedikit apa
yang dimilikinya sehingga ia tidak mau mengeluarkan kewajiban – kewajibannya dan ingin
memiliki apa yang dimiliki seseorang. Seseorang itu bila sedang marah, kami mempermainkan
orang itu sebagaimana anak – anak mempermainkan bola ; meskipun ia dapat menghidupkan
orang mati dengan doanya, kami tidak putus asa untuk dapat menggodanya karena ia
membangun kami dari kami yang merobohkannya dengan satu kata saja. Dan seseorang bila
sudah mabuk, kami menuntunnya ke segala perbuatan yang jahat yang kami kehendaki
sebagaimana kambing yang ikut saja bila dituntun” .
Dari cerita di atas, syetan menyatakan bahwa bila seseorang marah, maka orang itu
jatuh ke tangan syetan seperti jatuhnya bola ke tangan anak – anak kecil. Oleh karena itu orang
yang marah hendaknya sabar supaya tidak jatuh ke tawanan syetan dan amal kebaiannya tidak
terhapus.

PENUTUP
KESIMPULAN
Nafsu adalah suatu keinginan yang harus dipenuhi. Nafsu sering berkonotasi negatif
seperti bernafsu besar dan lain sebagainya. Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah
swt. Dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat
kebaikan dan keburukan.
Tingkatan nafsu ada tiga yakni nafsu ammarah bissu’(diri yang buruk), lawwamah (diri
yang menyesal), nafsu muthmainah(diri yang tenang), yang masing- masing mempunyai
kriteria sendiri.
Dengan demikian Al-Qur’an memberikan penjelasan, bahwa sungguh beruntung orang
yang membersihkan dirinya dari sifat- sifat yang tidak baik agar tidak di ombang- ambingkan
oleh sifat- sifat tersebut, sehingga menjadi diri yang muthmainnah. Diri yang muthmainnah
adalah diri yang selalu mendapatkan ilham ketaqwan yang mendorong kepada perbuatan baik.
kualitas jiwa juga bergantung kepada kualitas fisik, terutama otak. Jika kualitas fisik dan otak
mengalami gangguan, maka jiwa juga akan mengalami gangguan. Kerusakan pada otak
menimbulkan kerusakan pada jiwa.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
► Al-Qur’an dan terjemahan
► Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam.
► Al-Lu’Lu’ Wal Marjan, Himpunan Hadits Shahih yang disepakati oleh Bukhari dan
Muslim, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, terjemahan H.Salim Bahreisy, jilid 2, PT.Bina Ilmu
2006.
► Shabir Muslich, KITAB TANBIHUL GHAFILIN, Semarang : CV.Toha Potra Semarang,
1993.
► Yunus Mahmd, KAMUS ARAB INDONESIA, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penerjemah, 1998
► Sudjanto Agus, PSIKOLOGI UMUM, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
► Abdullah Yatim, STUDI AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN, Jakarta :
Amzah, 2007
► Drajat Zakiah, TAZKIYAH AL-NAFS,Jakarta: Gunung Agung, 1983.
► Jurnal Al-Arba'in An-Nawawiyyah, Hadits arba'in, Hadits tentang hawa nafsu, Hawa nafsu ,
diakses pada tanggal 19 Maret 2014, Pukul 02.00