MODEL MODEL dan EVALUASI KURIKULUM

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Evaluasi Kurikulum
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd.

Disusun oleh:
Farid Danang Abdur Rochim
Herlita Mustikasari Ardani
Muhammad Khanafi Jazuli
Niken Nurul Larasati
Rahmadi Budi Hartomo
Retta Setiawan

( 15105241045 )
( 15105241014 )
( 15105244010 )
( 15105241004 )
( 15105241006 )
( 15105241050 )

KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Evaluasi kurikulum merupakan suatu aktivitas ilmiah yang memiliki keterkaitan
erat dengan proses pengembangan kurikulum. Keduanya tidak terpisahkan dan
hubungan antara keduanya saling terkait dan menjadi hal yang penting. Evaluasi
kurikulum tanpa kurikulum tidak punya arti, sebaliknya kurikulum tanpa evaluasi tidak
akan mendapatkan hasil yang maksimal baik dalam proses konstruksi kurikulum
maupun dala proses pelaksanaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu kebijakan publik. Keberadaan
evaluasi didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan kurikulum harus terbuka untuk
di evaluasi. Dengan adanya Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Indonesia telah memiliki landasan hukum yang mewajibkan
adanya evaluasi terhadap konstruksi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan
kebijaksanaan pendidikan pada umumnya maupun pengambilan keputusan. Hasil-hasil

evaluasi kurikulum dapat digunakan langkah pengembangan kurikulum selanjutnya.
Evaluasi kurikulum sendiri memiliki beberapa model-model yang digunakan
dalam mengevaluasi kurikulum. Model-model tersebut diharapkan dapat memberikan
kesempatan kepada evaluator untuk mempertimbangkan model yang tersedia untuk
dipilih sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Evaluator yang akan melakukan
pekerjaanya harus memahami keunggulan dan kelemahan tersebut dan kemudian
menggunakan model yang sesuai dengan keperluannya. Beberapa model-model
evaluasi kurikulum yang cukup popular akan dibahas pada makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan model evaluasi kurikulum ?
2. Apa saja model-model evaluasi kurikulum ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan model evaluasi kurikulum.
2. Untuk mengetahui dan memahami model-model evaluasi kurikulum.
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

1

BAB II

PEMBAHASAN
A. Perkembangan Model Evaluasi Kurikulum
Pekembangan model untuk evaluasi kurikulum memperlihatkan suatu gejala
yang tidak berbeda dengan perkembangan disiplin ilmu pendidikan dan upaya-upaya
pendidikan

yang

pernah

dilakukan

manusia.

Meskipun

demikian,

sejarah


perkembangan bidang evaluasi kurikulum dan kemudian menghasilkan model-model
evaluasi kurikulum memperihatkan sesuatu yang khas. Perkembangan model ini pada
awalnya tidak dilakukan secara khusus tetapi dalam satu nafas dengan model
pengembangan kurikuluk. Perkembangan berikutnya memperlihatkan fenomena lain
dimana model-model evaluasi kurikulum tadi dikembangan secara khusus baik secara
individual maupun secara kelompok.
Keterkaitan model dengan pengembangan kurikulum adalah faktor yang
menarik untuk diamati. Model-model tersebut banyak yang dikembangkan mengikuti
langkah-langkah pengembangan kurikulum (curriculum development). Ada model
yang mencakup keseluruhan proses pengembangan kurikulum tetapi ada juga yang
memiliki fokus khusus pada suatu fase kegiatan pengembangan kurikulum. Dari
kenyataan model yang pernah dikembangan, harus diakui bahwa fokus pada
implementasi kurikulum atau kurikulum sebgai proses lebih banyak menarik minat para
evaluator. Model yang tak kalah pentingnya adalah yang memperhatikan hasil lebih
dari fase kegiatan pengembangan kurikulum lainnya.
Ada juga model evaluasi kurikulum yang tidak memperhatikan proses
pengembangan kurikulum. Model-model yang dikembangakan dari tradisi lain di luar
pendidikan seperti ekonomi, politik, dan hukum tidak didasarkan pada pemikiran
mengenai pengembangan kurikulum. Model ekonomi dikembangan berdasarkan
konsep ekonomi, sedangkan model judicial dikembangan berdasarkan konsep hukum.

Model-model dalam kategori ini terus bertambah dan makin menunjukkan dominasinya
dalam evaluasi kurikulum.
Perkembangan model dapat dilihat dari perspektif lain. Pertama dipacu oleh
kerisauan akademik para ahli karena model yang ada tidak mampu memuaskan rasa
ingin tahu dan pandangan akdemik yang dianut para evaluator. Model yang dihasilkan
oleh Stake, Parlett dan Hamilton mencerminkan adanya kerisauan akademik tersebut.
Kedua, kelahiran model-model itu dipacu oleh adanya kebijakan yang berhasil di
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

2

bidang lain. Sistem model atau model-model ekonomi dipicu oleh kebijakan yang
dimaksudkan.
Perkembangan lain yang menarik dalam masalah model evaluasi kurikulum
ialah adanya suatu usaha untuk bersikap eklektik. Eklektik dalam penggunaan baik
paradigm positivism maupun fenemenologi. Walaupun usaha ini tidak menghasilkan
model dalam pengertian yang dikelompokkan dalam model kuantitatif dan kualitatif,
usaha ini terutama dilakukan dalam pengumpulan data. Gerakan ekelektik ini oleh
Patton (1980) dalam (Hamid Hasan. 2009:186) dinamakan paradigm of


choice

memberikan kemungkinan baru dalam melakukan evaluasi kuikulum. Model yang
dilahirkan lebih bersifat gabungan. Ianni dan Orr (Hamid Hasan. 2009:186)
menggunakan istilah “rapproachment” untuk menggunakan gabungan kuantitatif dan
kualitatif. Sedangkan Trend (Hamid Hassan. 2009:186) menggunakan istilah
“reconcilitation”.
Perkembangan yang tak dapat diabaikan dalam model evaluasi kurikulum ialah
penerapan konsep ekonomi dalam evaluasi. Model-model yang dihasilkan memang
terbatas dan di antara yang paling menonjol adalah model cost-benefit dan costeffectiveness. Model ekonomi ini melihat perkembangan kurikulum harus dapat
dipertanggungjawabkan secara finansial. Mesikupun demikian, model ini mendapat
hambatan yang cukup fundamental yaitu dalam pengukuran hasil kurikulum. Banyak
aspek belajar dan hasil belajar yang tak dapat diterjemahkan dalam nilai ekonomis
sehingga gambaran efisiensi dan nilai ekonomis suatu kurikulum sukar diukur.

B. Model-Model Evaluasi Kurikulum
1. Model Evaluasi Kuantitatif
Ada beberapa model evaluasi yang tersedia untuk dipilih para evaluator sesuai
pertimbangan pekerjaan yang dilakukan. Pemilihan ini perlu karena setiap model
memiliki sisi unggul dan sisi lemah, sehingga dua sisi itulah yang harus dipahami oleh

para evaluator. Sekalipun demikian bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi
evaluator untuk mengembangkan modelnya sendiri, karena model-model yang akan
dibahas disini merupakan model yang banyak digunakan bukan model yang satusatunya ada.
Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan
prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

3

pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada
menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya
dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam
mengembangkan kriteria evaluasi.
Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki fokus evaluasi
yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah
merupakan kriteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model
evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai
berikut.
a. Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan

oleh pengembangnya yaitu Tyler. Walaupun model ini tergolong tua tapi masih banyak
digunakan dalam proses evaluasi kurikulum, sehingga masih dianggap aktual. Tyler
dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction menuangkan ide
modelnya dalam bab empat yang berjudul how can the effectiveness of learning
experiences be evaluated? Model ini dibangun atas dua dasar, yaitu evaluasi yang
ditunjukkan pada peserta didik dan bahan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku
awal peserta didik dan saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum itu sendiri.
Fokus evaluasi ini sebenarnya hanya berhubungan pada dimensi belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1) Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang
dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah
dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini
maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model
kurikulum berbasis kompetensi.
2) Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk
memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini
diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses
pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang
kurikulum.
3) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku

peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

4

wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas
dan reliabilitasnya.

Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model
Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena fokus pada hasil belajar dan
mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar.
Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting
dari kurikulum.
Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator
dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu
dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi fokus
evaluasi.

b. Model Teoritik Taylor dan Maguire

Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih menitik beratkan pada
pertimbangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum. Dengan pertimbangan teoritik,
Taylor dan Maguire ingin menerapkan apa yang seharusnya terjadi pada proses
pelaksanaan kurikulum.
Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan
Maguire meliputi dua hal, yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan
dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode,
konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan
data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator. Kedua,
pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai
kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar.
Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai
berikut:
1) Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan.
Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian
tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai
kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat
ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar
Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM


5

mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan.
Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan
tujuan mata pelajaran.
2) Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan
behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan
pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat
abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah
pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses
dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
3) Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan
pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua
criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi
pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. kedua,
tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun
hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring
dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang
bersangkutan.
4) Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas
evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah
apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan
dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan
hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya
di masyarakat.
Kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan pada
evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip. Baik nilai maupun
arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini. Adapun
masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan di
tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan
kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini.

c. Model Pendekatan Sistem Alkin
Model evaluasi yang dikembangkan Alkin termasuk model yang unik dimana
ia selalu memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pengerjaan evaluasinya.
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

6

Alkin memasukkan variabel perhitungan ekonomi. Adapun dua hal yang harus
diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variable.
Sistem Alkin tetap memakai tiga komponen pembagian (masukan, perantara, dan
keluaran) seperti dalam pendekatan sistem pada umumnya. Alkin juga mengenal sistem
internal dalam yang merupakan interaksi antar komponenyang berhubungan langsung
dengan pendidikan, juga sistem eksternal3luar yang memiliki pengaruh atau
dipengaruhi oleh pendidikan.
Model Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat
asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi
itu yaitu:
1) Variable perantara adalah satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.
2) Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem (persekolahan)
3) Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol mengenai pengaruh
yang diberikan sistem luar terhadap sekolah.
4) Faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara dan pada gilirannya
faktor perantara berpegaruh terhadap faktor keluaran.

Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan system. Dengan
model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari
variable-variable yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen
masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan
karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya,
kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan
sebagainya.
Yang dimaksud dengan proses disini meliputi factor perantara yang merupakan
kelompok variable yang secara langsung memperngaruhi keluaran. Adapun yang
masuk dalam variable perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan
peserta didik, jumlah peserta didik dalam kelas, pengaturan administrasi, penyediaan
buku bacaan, prosedur pengajaran dan sebagainya.
Adapun keluaran peserta didik adalah setiap perubahan yang terjadi pada diri
peserta didik sebagai akibat dari pengalaman belajar yang diperolehnya. Perubahan ini
harus diikuti sejak peserta didik masuk sistem hingga keluar system. Perubahan harus
diukur meliputi setiap aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk didalamnya
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

7

kemampuan peserta didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat pendidikan yang lebih
tinggi, pada waktu memasuki lapangan kerja, dalam melakukan pekerjaan bahkan
termasuk aktifitas dalam kehidupna di masyarakat.
Dari uraian diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin adalah
keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus pada kegiatan
persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi
kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.

d. Model Countenance Stake
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang
dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal.
Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat
dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama
dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.
1) Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan
(intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka
kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan
guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang
sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori
pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai
antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit
kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2) Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan fokus
antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria
yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan
evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari
apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.

Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model
countenance adalah contingency dan congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

8

memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri
atas kontigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil
pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan
traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiric
berdasarkan data lapangan.
Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congruence atau perbedaan
yang terjadi antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun
kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji
kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan
yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.

e. Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga
sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi
Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (hasil). Adapun
tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Evaluasi Context
Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta
didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite
sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap
kurikulum.
2) Evaluasi Input
Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap
keberhasilan

pelaksnaan

kurikulum.

Evaluator

menentukan

tingkat

kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan
kurikulum. Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk
menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.
3) Process
Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi
kurikulum.

Evaluator

mengumpulkan

berbagai

informasi

mengenai

keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

9

proses implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable
input terhadap proses.
4) Product
Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana
kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan
kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam
informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan
mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau
dilanjutkan).
Dari uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang
tidak hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru model
ini dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.

2. Model Evaluasi Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang menggunakan
pendekatan kuantitatif. Model ini memiliki fokus utama pada hasil. Levin (1983) adalah
tokoh yang banyak bekerja dalam model evaluasi ekonomi mikro. Menurut Levin
(1983: 17) ada empat model di lingkungan ekonomi mikro yaitu cost-effectiveness,
cost-benefit, cost-utility, dan cost-feasibility. Dari keempat model ini maka model costeffectiveness dianggap lebih sesuai untuk evaluasi kurikulum.
Mengenai model cost-effectiveness, Levin dalam (Hamid Hassan. 2009:223)
menjelaskannya sebagai berikut:
Cost-effectiveness (CE) analysis refers to the evaluation of alternatives
according to both their cost and their effects with regard to producing some outcome
or sets of outcomes. Typicaly, educational evaluation and decision making must focus
in the choice of an educational intervention or alternative for meeting a particular
objective, such as increasing test scores in basic skills or reducing dropouts.
Dari kutipan tersebut jelas bahwa evaluator yang menerapkan model cost-effectiveness
harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang
digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap
program. Perbandingan hasil dari kedua program tadi akan memberikan masukan bagi
para pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat
dari hubungan antara dana dan hasil.
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

10

Dalam mengukur hasil, digunakan suatu instrumen yang sudah distandarisasi.
Penggunaan instrumen standar penting karena hanya dengan demikian perbandingan
antara biaya dengan hasil dapat dilakukan secara berimbang (fair). Di sini terlihat
bahwa penerapan model cost-effectiveness menggunakan pendekatan pengembangan
kriteria pre-ordinate. Dengan menggunakan kriteria pre-ordinate karakteristik masingmasing kurikulum yang dibandingkan tidak diperhitungkan. Oleh karena itu, Levin
(1983:18) mengatakan bahwa model cost-effectiveness hendakanya diterapkan untuk
membandingkan dua kurikulum atau program yang mempunyai tujuan identik atau
serupa. Apabila tidak, validitas perbandingan semakin menimbulkan persoalan.
Model evaluasi ekonomi mikro yang kedua adalah cost-benefit. Berbeda dengan
cost-effectiveness yang menggunakan angka (score) sebagai unit pengukuran hasil
belajar, cost-benefit menggunakan unit uang dalam mengukur hasil. Berapa besar uang
yang diterima setelah seseorang bekerja untuk jangka waktu tertentu sebagai akibat dari
pendidikan yang dialaminya. Perbedaan karakteristik kedua kurikulum yang
dibandingkan, baik perbedaan tujuan, proses, isi, dan lain sebagainya adalah variable
yang menjelaskan adanya perbedaan hasil belajar.
Model ketiga dalam kelompok model ekonomi mikro evaluasi kurikulum
adalah cost-utility. Pengertian utility menurut Levin adalah “the estimated utility or
value of their outcomes” dan bukan hasil belajar. Pengertian utility yang dikemukakan
Levin memberikan peluang bagi evaluator untuk menggunakan baik data kuantitatif
maupun data kualitatif. Dengan peluang tersebut evaluator tidak dibatasi ruang
geraknya atas satu jenis data saja. Perkiraan-perkiraan dari para pakar mengenai
kegunaan dan nilai dari satu atau lebih program dapat digunakan. Levin menganjurkan
agar digunakannya skala kegunaan (utility scale). Skala ini dapat bergerak dari 0 – 1
tapi dapat pula bergerak dari 1 – 4, atau skala lainnya. Pokok utama skala yang
digunakan ialah bahwa setiap orang yang jadi responden memberikan pendapat mereka
berdasarkan skala yang sama.
Hal penting lainnya ialah bahwa skala penilaian tersebut diukur pada tingkat
pengukuran interval dan bukan ordinal. Dengan demikian setiap orang yang
menempatkan kegunaan ataupun nilai suatu program menyadari bahwa jarak antara
satu titik dengan titik lainnya diasumsikan sama. Pengukuran pada tingkat interval
memberikan kemungkinan kepada evaluator untuk menggunakan berbagai statistic

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

11

dibandingkan pengukuran pada tingkat ordinal. Levin menggunakan istilah “cardinal”
untuk skala yang dianjurkannya.
Model terakhir dari kelompok mikro ekonomi ialah yang dinamakan model
cost-feasibility. Berbeda dengan ketiga model terdahulu, model cost-feasibility tidak
berusaha mencari hubungan antara biaya dengan hasil tertentu. Sesuai dengan
namanya, model cost-feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah
biaya yang diperlukan memang tersedia. Artinya, setelah ide suatu kurikulum
dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan. Apabila
lembaga atau departemen yang bersangkutan memiliki biaya di masa mendatang,
perhitungan biaya masa depan perlu diperhitungkan agar kurikulum yang
dikembangkan tersebut mendapat jaminan dalam implementasinya. Jangan sampai
biaya yang tersedia hanya untuk satu atau dua tahun pelaksanaan implementasi
kurikulum sedangkan tahun-tahun berikutnya dana untuk implementasi kurikulum
tidak tersedia, tidak cukup atau bahkan masih belum tahu sumbernya. Kalau ketiga atau
salah satu dari ketiga keadaan terakhir yang terjadi, kontinuitas implementasi
kurikulum tidak terjamin, terjadi pemborosan dalam pengembangan kurikulum, dan
kurikulum tidak akan menghasilkan apa yang dikemukakan dalam ide kurikulum.

3. Model Evaluasi Kualitatif (Humanistik-Naturalistik)

A. Model Evaluasi Connoisseurship
Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W. Eisner dan kemudian
dinamakan model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan
dibesarkan di Chicago. Ia mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education
dari Illinois Institut Technology dan Master of Arts bidang pendidikan seni dari
University of Chicago dan Ph.D dalam bidang pendidikan pada universitas yang sama.
Berdasarkan bidangnya pada seni, evaluasi model ini didasari oleh kegiatan Eisner
dalam mengkritisi hasil karya seni misalnya lukisan, opera dan film bahkan anggur.
Model kritik Eisner diadopsi pada dunia pendidikan dan melahirkan model baru dalam
mengevaluasi kurikulum yang disebut dengan model kononurship dan kritisisme.
“Eisner points out that educational connoisseurship is the art of appreciating the
educationally significant”. Eisner mengatakan menilai pendidikan merupakan salah
satu seni terhadap pendidikan.
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

12

Ciri khas dari model ini, sebagai model penelitian dengan pendekatan humanistic
naturalistik, evaluan berpartisipasi langsung sebagai observer pada proses
penelitiannya. Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru.
Ciri lainnya pada model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam
penelitiannya seperti penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.
Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian yang baku, akan tetapi
model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu
mendeskripsikan seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua
yaitu interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi pada yang
terjadi pada tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan menimbulkan aksi, reaksi
dan interaksi pada apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana
pada tahap ini evaluan akan memberikan pertimbangan dan keputusan dari program
tersebut. Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluan didasarkan kepada
kritik yang dibuat oleh evaluan sendiri berdasarkan data yang diperoleh pada tahap
pertama dan kedua.
B. Model Illuminative.
Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh Hanley pada 1969, namun
dikembangkan lebih lanjut oleh Parlett dan Hamilton pada tulisan mereka yang
berjudul Evaluation as illumination: a new approach to study of innovatory programs.
Pada akhirnya kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model
illuminatif. Banyak tokoh evaluasi lainnya yang merujuk kepada Parlett dan Hamilton
ketika menggunakan model ini diantaranya Stenhouse dan Scrimshaw.
Parlett dan Hamilton mengatakan bahwa model ini tidak membatasi diri dalam
pengumpulan datanya seperti pada evaluasi tradisional. Model ini memiliki fokus pada
deskripsi

daripada interpretasi angka dalam memprediksi penelitian. Parlett dan

Hamilton mengatakan bahwa model ini bertujuan:
1. Examine the situasional influences on a curriculum, the opinions of those involved as
to the advantages and disanvatages, and how student perfomances are most affected
2. Discern and discuss significant features of a curriculum, and the critical processes
involves in implementing it
3. Identity all the desirable parts of a curriculum.

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

13

Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan data dengan menggunakan model
illuminatif yaitu:
Observasi; pada tahap ini evaluan mengobservasi keseluruhan program pendidikan
diantaranya tujuan sekolah, metode dalam belajar mengajar, materi yang digunakan,
dan teknik evaluasi yang dilakukan guru.
Inkuiri; pada tahap ini evaluan akan memisahkan data penting dan yang tidak penting
untuk dianalisa. Pada tahap ini pula evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu
berjalan tetapi mengapa program itu dapat berjalan. Untuk mencari jawaban tersebut
evaluan harus menghabiskan waktunya di lapangan untuk meneliti.
Ekspalanasi; pada tahap ini evaluan tidak saja memberikan pertimbangan dan
keputusan pada hasil penelitiannya, tetapi memperkaya data tersebut dengan cara
menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa itu bisa terjadi.

C. Model Responsive Stake
Model kedua yang dikembangkan oleh Stake untuk mengevaluasi kurikulum adalah
model responsive. Model ini digunakan untuk memberikan penegasan kepada beberapa
hal diantaranya:
1. Educational issues rather than objectives or hypothesis (isu-isu pendidikan berangkat
dari tujuan dan hipotesis)
MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

14

2. Direct and indirect observation of involvement and participation in the curriculum
being evaluated (adanya pengamatan dan partisipasi baik langsung maupun tidak
langsung terhadap kurikulum yang dievaluasi).
3. The variety of different value standards held by various groups involved (not just those
of teaching staff), (adanya standar nilai yang berbeda dari varian grup yang
terlibat/tidak hanya orang-orang dari staf pengajar).
4. Continuous attention to the information needs of the audience of the evaluation
(kebutuhan yang berkesinambungan akan informasi oleh pengguna evaluasi.
Model Responsive Stake memiliki 12 langkah penelitian yang digambarkan pada jam
penelitian:

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

15

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Evaluasi kurikulum merupakan suatu aktivitas ilmiah yang memiliki keterkaitan erat
dengan proses pengembangan kurikulum. Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema
yang luas, meliputi banyak kegiatan, sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu
lapangan studi yang berdiri sendiri.
Model-model evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di
dibedakan menjadi:
Model Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan
Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model Countenance Stake, Model CIPP.
Ciri evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan
data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme dan tidak
menggunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan kriteria evaluasi.
Model Ekonomi Mikro meliputi cost-effectiveness yang menggunakan angka
(score) sebagai unit pengukuran hasil belajar, cost-benefit yang menggunakan unit uang
dalam mengukur hasil, cost-utility yang diukur pada tingkat pengukuran interval dan
bukan ordinal, dan yang terakhir model cost-feasibility yang tidak berusaha mencari
hubungan antara biaya dengan hasil tertetu melainkan menjawab pertanyaan evaluasi
apakah biaya yang diperlukan memang tersedia.
Model Kualitatif. Meliputi Model Evaluasi Connoisseurship yang menggnakan
pendekatan humanistic naturalistik, model illuminativ yang berfokus pada deskripsi
dari pada interpretasi angka dalam memprediksi penelitian dan yang terakhir model
Responsive Stake

2. Saran
Setelah melihat pentingnya evaluasi kurikulum maka kami menyarankan kepada
evaluator untuk memahami benar teori-teori evaluasi kurikulum serta model evaluasi
kurikulum yang dijalankan oleh satuan pendidikan. Sehingga evaluasi kurikulum
tersebut bermanfaat sebagaimana tujuan dari evaluasi kurikulum itu sendiri.

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

16

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. 2014. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Hasan, H. 2009. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ibrahim, R dan Masitoh, 2011, “Evaluasi Kurikulum “ dalam Kurikulum dan pembelajaran.
Jakarta : Tim Pengembang MKDP FIP UPI, Rajawali Pers.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.Bandung.
PT Remaja Rosdakarya
Sukmadinata, N. 2011. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

17