Kata Pengantar Asbab al Nuzul Sahiron.do (1)

Kata Pengantar:
Pentingnya Asbab al-Nuzul dalam Penafsiran al-Qur’an
Sahiron Syamsuddin
Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT)
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Al-Qur’an diturunkan oleh Alah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui
Malaikat Jibril as. secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun. Al-Qur’an diturunkan
pada awalnya dalam konteks historis tertentu pada masa Nabi Saw. di Makkah dan Madinah
serta wilayah-wilayah sekitarnya. Konteks historis ini terbagi menjadi dua, yakni: konteks
mikro dan makro. Secara mikro, asbab al-Nuzul (plural; singularnya: sabab al-nuzul)
didefinisikan oleh para ulama dengan peristiwa-peristiwa yang direspons oleh satu atau lebih
ayat al-Qur’an. Peristiwa yang dimaksud di sini bisa berbentuk pertanyaan seorang Sahabat
Nabi tentang sesuatu atau berupa perilaku seseorang yang kemudian dijawab atau direspons
oleh al-Qur’an.1 Peristiwa-peristiwa ini hanya bisa diketahui dengan cara periwayatan. Karena
itu, Andrew Rippin mendefinisikannya dengan ungkapan berikut ini: “reports, transmitted
generally from the Companions of Muhammad, detailing the cause, time and places of the
revelation of a portion (usually a verse) of the Qur’an” (riwayat-riwayat yang ditransmisikan
umumnya dari Sahabat Nabi Muhammad, yang memberikan penjelasan rinci tentang sebab,
waktu dan tempat diwahyukannya bagian dari al-Qur’an, [biasanya sebuah ayat]). 2 Adapun
secara makro, asbab al-nuzul dipahami sebagai segala situasi dan kondisi yang ada di Bangsa

Arab dan bangsa-bangsa lain di sekitar mereka yang hidup pada abad ke-7 M. dan
mendapatkan respons dari al-Qur’an. Asbab al-Nuzul makro semacam ini disebut oleh Syaikh
Waliyullah al-Dihlawi dengan nama asbab al-nuzul al-haqiqiyyah (asbab al-nuzul yang
hakiki atau prinsipil).3 Konsep asbab al-buzul makro sebenarnya sudah dikemukakan oleh alSyathibi dalam al-Muwafaqat-nya. Dengan demikian, asbab al-nuzul secara umum
memberikan informasi kepada kita tentang konteks historis diwahyukannya suatu ayat atau
surat, baik itu mikro maupun makro. Dalam konteks inilah, Nashr Hamid Abu Zayd
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (“produk budaya”). Pernyataan yang
sering diasalahpahami

oleh orang-orang yang mengkritik Abu Zayd – bahkan

mengkafirkannya -- ini sebenarnya ungkapan metaforis/konotatif, bukan ungkapan denotatif.
1

Lihat, misalnya, Manna‘ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Mansyurat al-‘Ashr alHadis, t.t.), h. 75.
2
Andrew Rippin, “Occasions of Revelation,” dalam J. D. McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur’an
(Leiden: E.J. Brill, 2003), 3: 569.
3
Syaikh Waliyullah al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir (Kairo: Dar al-Shahwah, 1987), h.

31.

Yang dimaksud oleh Abu Zayd dengan ungkapan tersebut adalah bahwa al-Qur’an
diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk merespons budaya, tradisi, tatanan
hukum, sosial dan lain-lain.
Ditinjau dari segi kemunculannya, ‘ilmu asbab al-nuzul belum diketahui secara jelas
kapan ia muncul pertama kali. Namun, menurut al-Zarkasyi, imu tersebut pertama kali
diperkenalkan oleh ‘Ali ibn ‘Abd Allah al-Madini (w. 234 H.), guru al-Bukhari. 4 Melihat
informasi ini, ilmu asbab al-nuzul sebagai cabang dari ‘Ulum al-Qur’an, menurut al-Zarkasyi,
muncul kira-kira dua ratus tahun lebih setelah wafatnya Rasulullah Saw. Menurut Bassam alJamal, seorang peneliti kontemporer dan meneliti asbab al-nuzul secara komprehensif,
sebagai tradisi periwayatan, asbab al-nuzul telah ada bersamaan dengan berkembangnya tafsir
al-Qur’an pada masa tabi’in ketika mereka berkeinginan untuk mengetahui latarbelakang
historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Keingintahuan seperti ini didorong oleh salah satu
kenyataan bahwa mereka tidak menyaksikan langsung peristiw-peristiwa yang mendahului
pewahyuan al-Qur’an. Para Sahabat Nabi-lah yang mengetahui peristiwa-peristiwa historis
tersebut. Oleh karena itu, para tabi‘in melacak hal ini melalui para Sahabat Nabi. 5 Muhammad
Shafa’ Syaikh Ibrahim Haqqi menyebutkan dalam karyanya ‘Ulum al-Qur’an min Khilal
Muqaddimat al-Tafasir empat karya ulama klasik tentang asbab al-nuzul, yakni: (1) alQashash wa al-Asalib allati Nazala min Ajliha al-Qur’an, karya ‘Abd al-Rahman ibn ‘Isa (w.
402 H.), (2) Asbab al-Nuzul, karya ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi (w. 468 H.), (3) Madad alRahman fi Asbab Nuzul al-Qur’an, karya ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ala’ al-Din al-Syafi‘i (w.
876), dan (4) Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman alSuyuthi (w. 911 H.).6 Selain karya-karya tersebut, Bassam al-Jamal menyebutkan karya-karya

lebih awal lagi yang mengandung riwayat-riwayat asbab al-nuzul adalah (1) ‘Ikrimah alBariri (w. 107 H.) dengan kitabnya Nuzul al-Qur’an, dan (2) al-Hasan al-Bashri (w. 110 H.)
dengan kitabnya Nuzul al-Qur’an.7 Namun, kedua kitab yang disebut terakhir ini tidak
menyebutkan istilah asbab al-nuzul. Orang yang pertama kali menyebut istilah tersebut
adalah al-Wahidi (w. 468 H.). Atas dasar itu, ilmu asbab al-nuzul sebagai ilmu yang
‘mandiri’ (meski merupakan bagian dari ‘Ulum al-Qur’an), menurut Bassam al-Jamal, baru
muncul pada abad ke-5 Hijriyah.8
Berdasarkan hal di atas, pengetahuan tentang asbab al-nuzul dipandang sebagai salah
satu ilmu yang sangat penting bagi orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an. Karena
pentingnya ilmu asbab al-nuzul ini, Badr al-Din al-Zarkasyi menempatkannya pada bab/fasal
4

Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, ed. Muhammad
Abu al-Fadhl Ibrahim (Kairo: Dar al-Turats, t.t.), 1: 22.
5
Lihat Bassam al-Jamal, Asbab al-Nuzul (Beirut: al-Mu’asssasah al-‘Arabiyyah, 2005), h. 63.
6
Muhammad Shafa’ Syaikh Ibrahim Haqqi, ‘Ulum al-Qur’an min Khilal Muqaddimat al-Tafasir
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2004), 1: 206.
7
Bassam al-Jamal, Asbab al-Nuzul, h. 90.

8
Ibid., h. 82.

paling awal dari kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Pengetahuan tentang asbab al-nuzul
memiliki beberapa faidah/manfaat. Pertama, dengan ilmu tersebut seseorang dapat memahami
hikmah penetapan hukum dalam al-Qur’an. Kedua, ilmu tersebut bermanfaat untuk
menentukan spesifikasi hukum tertentu (takhshish al-hukm) bagi para ulama yang
berpendapat bahwa

sesuatu yang dijadikan pegangan adalah kekhususan sabab. Ketiga,

asbab al-nuzul bisa membantu untuk memahami makna lafal tertentu. Keempat, seseorang
bisa menjadikan sabab al-nuzul ayat tertentu sebagai sarana pendukung untuk
mengkhususkan lafal yang umum (‘amm). Kelima, ilmu asbab al-nuzul dapat menghindari
seseorang dari kesalahpahaman terhadap struktur hashr (pembatasan).9
Pentingnya pengetahuan tentang asbab al-nuzul tidak hanya diakui oleh ulama-ulama
masa lalu saja. Lebih dari itu, ulama modern memberikan perhatian yang sangat besar
terhadapnya. ‘A’isyah ‘Abd al-Rahman, seorang mufassirah modern yang lebih dikenal
dengan psydoname-nya Bint al-Syathi’, misalnya, menjelaskan secara implisit dalam kitabnya
al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim bahwa pengetahuan tentang sabab al-nuzul suatu

ayat/surat bisa membantu seseorang dalam menentukan makna lafal tertentu secara lebih
meyakinkan. Dalam hal ini, dia memberikan contoh bahwa signifikansi sastrawi lafal aldhuha (waktu dhuha) dan al-layl (waktu malam) pada Surat al-Dhuha kaitannya dengan turun
dan berhentinya proses pewahyuan al-Qur’an dapat diketahui melalui sabab al-nuzul-nya.
Signifikansi sastrawi penyebutan kedua lafal tersebut, menurutnya, adalah perumpamaan
(tasybih) antara turun-berhentinya wahyu dan silih bergantinya waktu malam dan waktu
dhuha.10
Pada masa modern dan kontemporer ini ilmu asbab al-nuzul sangat digandrungi oleh
ulama dan sarjana ilmu al-Qur’an yang concerned dengan pendekatan kontekstualis. Fazlur
Rahman, misalnya, dengan metode tafsirnya double movement (gerakan ganda) menggunakan
perangkat ilmu asbab al-nuzul dalam merangka menangkap ratio legis (alasan ketetapan
hukum) dari ayat-ayat hukum.11 Abdullah Saeed yang mengembangkan pandangan Fazlur
Rahman dengan mengusung pendekatan yang disebutnya dengan contextualist approach
(pendekatan kontekstualis) dalam memahami ayat-ayat hukum juga menempatkan analisis
konteks historis sebagai salah satu langkah metodis dalam penafsiran al-Qur’an yang dari satu
sisi memperhatikan konteks historis pewahyuan al-Qur’an, dan di sisi lain berusaha
mengembangkan makna ayat yang relevan dan tepat untuk konteks kekinian. 12
Pembahasan asbab al-nuzul sebagai salah perangkat metodis dalam proses penafsiran
inilah yang dibahas secara komprehensif oleh Mu‘ammar Zayn Qadafy dalam bukunya
9


Lihat al-Zarkasyi, al-Burhan, 1: 22-23.
Untuk keterangan lebih terpeinci, lihat Sahiron Syamsuddin, “Bint al-Shati’ on Asbab al-Nuzul,”
Islamic Quarterly 42 (1998): 5-23.
11
Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago, 1982), h. 5-7.
12
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2006), h. 150.
10

Epistemologi Sabab al-Nuzul Makro¸ yang semula merupakan tesis di Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan saat ini berada di tangan pembaca. Obyek utama dari
pembahasan buku ini adalah epistemologi asbab al-nuzul dan sejauhmana asbab al-nuzul,
baik mikro maupun makro, berfungsi dalam upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an, khususnya
di kalangan pemikir-pemikir Muslim modern dan kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Nashr
Hamid Abu Zayd, Mohammd Arkoun, Amina Wadud, Muhammad Syahrur dan Khaled Abou
el-Fadl.
Kiranya tidak berlebihan bila saya mengatakan bahwa buku ini ditulis secara serius
oleh Mu’ammar Zayn Qadafi, sehingga ia mampu memberikan kontribusi yang sangat besar
dalam pengembangan Ulumul Qur’an, khususnya ilmu asbab al-nuzul. Hal-hal baru dalam
buku ini dapat kita dapati di banyak tempat. Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa siapa

pun yang tertarik dalam kajian al-Qur’an (Qur’anic Studies) sebaiknya membacanya, karena
ia sangat berkualitas. Meskipun demikian, orang mengatakan, “Tiada gading yang tak retak.”
Selamat Membaca, wahai pencinta al-Qur’an! Wallahu a‘lam bi al-shawab.