Era big data dan learning social network

Era big data dan learning social network bagi Anak Usia Dini (Studi
fenomenologis pemanfaatan sosial media terhadap multiple
intelligences Anak Usia Dini)
Muhibuddin Fadhli, M.Pd
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
[email protected]
Abstrak
Kerisauan yang muncul di era digital ini menjadi skenario yang mungkin
sangat aneh bila diamati secara seksama, menurut sebuah hasil research
yang

dilakukan

oleh

Kapersky

Lab

menyebutkan


bahwa

kehilangan

smartphone atau gadget lebih menyedihkan daripada kehilangan seorang
teman, pacar atau hewan peliharaan, dan 58% merasa sedih dan kecewa
jika foto pribadinya diunggah di sosial media tanpa seizin dirinya (Kate
Kochetkova, 2017). Warganet mungkin sudah merasa sangat familiar dengan
istilah-istilah swafoto yang saat ini menjadi seperti keharusan jika berada di
sebuah tempat dan ingin mengabadikan momennya, jika kegiatan ini
dilakukan dengan cara dan momen yang tepat maka menjadi kebiasaan
yang wajar, namun jika dilakukan di tempat bencana atau orang yang
sedang kesusahan maka akan menjadi pertanyaan dimana nurani kita ?
dalam artikel ini akan membahas tentang fenomena penggunaan sosial
media di era big data dan bagaimana media sosial dan learning social
network dapat menjadi salah satu cara untuk menstimulasi perkembangan
dan pertumbuhan anak, dan apakah media sosial berpengaruh terhadap
kecerdasan anak (multiple intelligences) yang akan diungkap dalam artikel
ini.
Keywords : big data, multiple intelligences, smartphone, AUD.


PENDAHULUAN
Menjadi orang tua di masa yang begitu highly informative akan memberikan
dampak yang luar biasa pada pola pendidikan pada anak mereka,
bagaimana tidak informasi-informasi yang begitu banyak dapat diakses
begitu cepat dan mudah dengan gadget mereka. Banyak orang tua yang
abai akan perkembangan dan pertumbuhan anak mereka sehingga banyak
diantara mereka belum merencanakan secara matang bagaimana cara
mendidik

dan

mengajarkan

cara

hidup

sesuai


dengan

era

dan

perkembangan saat ini. Penulis pernah mengamati ketika orang tua sedang
asyik bermain dengan smartphonenya, dia menggeser kanan, kiri, atas, dan
bawah dengan cukup lihai dan kadang tersenyum dan tertawa sendiri, dan
ironisnya disebelahnya anaknya mengamati perilaku orang tuanya tersebut,
sambil merasa penasaran dia bertanya kepada orang tuanya kenapa tertawa
? orang tuanya terus fokus ke layar handphone nya, karena merasa
diabaikan anak tersebut menangis dan meminta agar diberikan handphone
tersebut, ibunya menolak anak tersebut terus menangis dan akhirnya anak
tersebut dimarahi karena menangis di depan orang banyak dan abai bahwa
penyebab anak tersebut menangis adalah karena ulahnya sendiri.
Pernahkah kita berpikir seberapa ketergantungannya kita dengan media
sosial saat ini ? Era digital seyogianya dimaknai dengan bagaimana
memudahkan komunikasi antar manusia yang dibatasi oleh jarak dan waktu,
sehingga mereka bisa melepas rindu atau sekedar memberikan salam.

Sayangnya, pemanfaatan yang harusnya membantu manusia tersebut
“dirusak” oleh manusia itu sendiri, banyak kasus dan masalah yang timbul
dari munculnya sosial media ini taruhlah kasus pornograf, pedhofilia,

eksploitasi anak, kekerasan, ujaran kebencian dan masalah lain yang seakan
tidak selesai. Sebagai akademisi perlu sekiranya kita membuka semua
fkiran kita akan fenomena ini, sehingga nantinya akan diperoleh formula
bagaimana mencegah, mensosialisasikan dan bahkan melakukan rehabilitasi
bagi anak korban sosial media.
Dalam artikel ini akan membahas bagaimana dominasi era digital dan
learning social network bagi anak usia dini dan perkembangan multiple
intelligences mereka, meskipun studi kali ini masih terbatas pada anak usia
dini, tidak menutup kemungkinan pengaruhnya akan sama pada orang yang
sudah memasuki fase diatasnya.
KAJIAN TEORI
1. Era Big Data
Manusia seakan tidak pernah bosan akan kebutuhan penyimpanan
data banyak prediksi dan fakta yang mengindikasikan era Big Data.
Sebut saja pada tahun 2000 ada 800.000 petabytes (1 petabytes =
1024 terabytes) data yang disimpan di dunia, dan diprediksi akan

mencapai 35 zettabytes (1 zettabytes = 1048576 petabytes) pada
tahun 2020.

Pada tahun 2012, ada sekitar 5 miliar pencarian tiap

harinya yang dilakukan lewat Google. Di tahun yang sama, tiap harinya
Twitter menghasilkan data sekitar 7 terabytes, sedangkan facebook
menghasilkan 10 terabytes, baik itu teks, foto, maupun video. Selain
itu jumlah pengguna telepon seluler dunia sudah mencapai lebih dari 5
miliar pengguna di tahun 2010 (80% ada di negara berkembang),
pastinya akan menghasilkan arus data SMS dan telepon yang tinggi.
Selain itu masih banyak lagi fakta yang mengindikasikan datangnya
era Big Data dan bagaimana pemanfaatannya (Nikolas Anova, 2013).
Data ini menunjukkan penggunaan data di tahun 2013 saja dan sudah
memprediksi penggunaan data di tahun 2020 yang jumlahnya sudah

diluar dugaan manusia, sehingga perlu adanya pemaanfaatan yang
baik antara pengguna data dan orang yang menciptakan data.
Kecanggihan dan kemutakhiran informasi seakan menjadi sebuah
keniscahyaan yang tak terelakkan, kebutuhan manusia akan informasi

membuat orang berlomba-lomba untuk menyimpan, membagi, dan
mereplikasi data tersebut. Sebut saja pengguna facebook yang
mengunggah fotonya di internet, serta merekan aksi-aksinya di
facebook yang kini sudah bisa dinikmati secara live memberikan
kemudahan akses bagi orang yang ingin mencari informasi, ditambah
lagi banyak sekali aplikasi-aplikasi media sosial seperti whatssap, BBM,
Line, telegram yang seakan menjadi kewajiban seseorang untuk
memiliki dan menggunakannya, jika berpegang pada prinsip maka
penggunaan sosial media dapat menjadi saran untuk berkomunikasi
sebaliknya jika tidak bijak menggunakannya maka akan menjadi
boomerang

Sebuah

bagi

studi

yang


dilakukan

penggunanya.

sebuah

korporasi

di

amerika

menunjukkan bahwa urgensi tentang pentingnya pemanfaatan big
data dalam mengolah informasi yang terintegrasi dengan sistm
pendidikan anak usia dini, sistem ini seperti informasi tentang tumbuh
kembang

anak

yang


terintegrasi

di

lembaga-lembaga

sekolah

(Derrington, 2013).
2. Learning Social Network
Jejaring sosial atau social network (SN) adalah ‘sebuah jejaring’ yang
memuat interaksi sosial dan hubungan interpersonal.Secara lebih rinci,
SN adalah sebuah aplikasi atau laman yang memungkinkan pengguna
untuk berkomunikasi satu sama lain dengan cara saling bertukar
informasi, komentar, pesan, gambar, maupun audio-video. Dalam
Social Network Sites (SNS) seperti Facebook atau Twitter, pengguna di

fasilitasi


untuk

melakukaninteraksi,

komunikasi,

dan

kolaborasi

(Greenhow, Robelia, & Hughes, 2009). Dengan kata lain, mekanisme
bersosialisasi melalui jaringan ini telah terbukti dapat meningkatkan
hubungan
melalui

interpersonal

media

seperti


dan

memfasilitasi komunikasi

audio-video

maupun

nonverbal

gambar.

Dengan

berkomunikasi melalui media ini, interaksi interpersonal menjadi lebih
dekat.Oleh karena itu, berdasarkan kelebihan inilah maka seyogianya
berbagai

situs


jejaring

sosial

didorong

untuk

dimanfaatkan dalam pembelajaran.
Jika kita bisa untuk mengkombinasikan antara SN dengan sebuah
pengkondisian belajar untuk anak usia dini maka anak akan merasa
nyaman karena mereka secara tidak sadar sedang

belajar akan

banyak hal dan juga menikmati bagaimana berselancar di dunia maya,
namun perlu diketahui sebagai orang tua kita harus bertanggung
jawab penuh atas konten-konten digital yang bisa dan boleh diakses
oleh anak kita, oleh karenanya perlu adanya flter yang saat ini sudah
bisa digunakan di browser atau smartphone kita.
3. Multiple Intelligences
Berangkat

dari

kerisauan

tentang

bagaimana

kita

dapat

mengembangkan kecerdasan seorang anak banyak teori tentang
kepribadian, teori tentang psikologi sosial teori, tentang psikologi
perkembangan dan banyak teori lain yang saling menguatkan. Salah
satu dari teori tersebut adalah teori tentang kecerdasan majemuk
(multiple intelligences) teori ini lahir sebagai salah satu jawaban atas
bagaimana cara kita menghormati kecerdasan orang lain. Bicara
tentang teori ini kita dikenalkan oleh seorang tokoh yang bernama
Howard Gardner seorang psikoanalisis dan professor di Harvard School
of Education, beliau tergabung dalam sebuah komunitas riset yang
dinamai project zero Gardner mengawali karirnya sebagai seorang
pianis dan seiring berkembangnya zaman dia mendalami ilmu

psikologi dan neuropsikologi dari berbgaai tokoh sebut saja Piaget dan
Bruner, yang paling berkesan adalah dia belajar langsung tentang teori
kepribadian kepada psikoanalisis terkenal Erik Erikson. Teori ini pada
awalnya dicetuskan pada tahun 1983 dalam bukunya frames of minds:
the theory of multiple intelligence

dengan 7 jenis kecerdasan yakni

kecerdasan linguistik (linguistic intelligence), kecerdasan visual spasial
(spatial-visual intelligence), kecerdasan musical (musical intelligence),
kecerdasan

interpersonal

(interpersonal

intelligence),

kecerdasan

intrapersonal (intrapersonal intelligence), kecerdasan logika matematis
(logical intelligence), ketujuh kecerdasan ini kemudian oleh Gardner
dilengkapi dengan kecerdasan natural/alam (natrulist intelligence)
(Gardner, 1988),

Gardner terus mengembangkan “hingga saat ini”

dua kandidat kecerdasan baru dalam videonya di website pribadi
howardgarner.com

yakni

kecerdasan

eksistensial

(existential

intelligence) dan kecerdasan pedagogis (peadagogical intelligence),
sehingga lengkap menjadi 10 kecerdasan, namun Gardner terus
mengkaji apakah kedua kandidat tersebut bisa dikatakan kecerdasan
atau tidak. Dalam artikel ini kita akan membahas 8 kecerdasan
sehingga nantinya kajian maupun fokus penelitian merujuk pada 8
kecerdasan tersebut. Menurut Howard Gardner, semua orang unik dan
semua

orang

kontribusinya
penelitiannya

memiliki
bagi

caranya

budaya

tentang

dalam

kapasitas

sendiri

untuk

sebuah

masyarakat,

(kemampuan)

memberikan
Dalam

manusia,

ia

menetapkan kriteria yang mana kriteria tersebut mengukur apakah
bakat

seseorang

benar-benar

merupakan

kecerdasan.

Setiap

kecerdasan pastinya memliki ciri-ciri perkembangan, dapat diamati
bahkan dalam kasus khusus seperti sebuah kejadian ajaib pada
penderita idiot atau autis savant, mereka semua membuktikan adanya
pemusatan pada otak dan menciptakan sebuah rangkaian simbol dan
notasi.

Howard Gardner menyatakan bahwa setiap orang memiliki semua
komponen (spectrum) kecerdasan, memiliki sejumlah kecerdasan yang
tergabung yang kemudian secara personal menggunakannya dalam
cara yang khusus. Howard Gardner telah memecahkan teori tradisional
tentang kecerdasan yang telah melekat menjadi dua keyakinan dasar
masyarakat, bahwa kemampuan seseorang adalah sebuah kesatuan
dan bahwa semua individu cukup digambarkan dengan sebuah
kecerdasan tunggal yang dapat diukur (Linda Campbell, 1996).
PEMBAHASAN
1. Adiksi Sosial Media
Sosial media adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain
dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling
berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu (Iqbal, 2017). Coba kita
garis bawahi kalimat berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu, ada
seorang anak yang menikmati video di saluran Youtube selama kurang
lebih 6 jam per hari, di sela-sela dia melihat tayangan video tersebut
ibunya menyuapi dia makan dan kadang dia meminta diambilkan
makanan ringan, semua aktiftasnya dikendalikan oleh sosial media,
dan bahkan ruang geraknya pun juga dibatasi oleh sosial media.
Karena interaksi tanpa mengenal ruang dan waktu tersebut maka
sosial media dapat menjadi “hantu” bagi anak, karena selalu
membayang-bayangi keseharian mereka dan tanpa lelah memikat
mereka agar terus mengaksesnya.
Kecanduan akan sosial media menjadikan anak akan merasa sedih
ketika tidak bermain, enggan bersosialisasi karena sibuk dengan
gadgetnya,

rutinitas

terganggu

(seperti

beribadah), pola tidur juga terganggu.

mandi,

makan

minum,

Adiksi terhadap sosial media

akan berdampak langsung bagi pertumbuhan dan perkembangan
mereka, ketika pola tidur mereka terganggu maka dikhawatirkan akan

menghambat pertumbuhan mereka, selain itu jika anak terlalu sibuk
dengan gadget nya maka akan terjadi disharmonisasi dalam hidup
mereka,

karena

anak

seusia

mereka

sangat

rentan

terhadap

rangsangan atau stimulus, tahapan ini menuru Erik Erikson dinamakan
otonomi vs perasaan malu (keragu-raguan), Anak harus didorong
untuk

mengalami

situasi-situasi

yang

menuntut

otonomi

dalam

melakukan pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan
menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga
yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.
Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini. Anak belajar
dari dirinya sendiri dan dari orang. Kemauan menyebabkan anak
secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban.
Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas,
memutuskan, melatih mengendalikan diri dan bertindak yang terus
meningkat (Wikipedia, n.d.). Menurut Erikson anak masih sangat
rentan, disatu sisi anak diberi kebebasan untuk memilih agar mereka
mampu

mengendalikan

diri

(otonomi),

sebaliknya

jika

mereka

kehilangan kontrol atas sesuatu maka dirinya akan merasa (malu dan
ragu-ragu) yang sifatnya menetap, silahkan direnungkan bila anak
kehilangan control dalam penggunaan sosial media bukankah nanti
mereka akan merasa malu sepanjang hidupnya ?, tentu pengendalian
diri dari orang tua sangat dibutuhkan untuk mengontrol pola dan
perilaku mereka dalam bersosial media.
2. Media Sosial dan Multiple Intelligences
Penejelasan dalam tinjauan pustaka memberikan sedikit gambaran
tentang bagaimana Gardner memberikan penjelasan tentang teorinya,
berikut akan disampaikan beberapa fakta antara sosial media dan
multiple intelligences :
a) Kecerdasan linguistic dan media sosial

Jika dikaitkan dengan cara seseorang untuk mengolah kata-kata
maka hal ini sangat erat kaitannya dengan kecerdasan ini, media
sosial mempunyai peran besar dalam proses stimulasi kecerdasan
linguistic sehingga aplikasi seperti google voice dapat dimanfaatkan
dalam menstimulasi perkembangan kecerdasan linguistic anak.
b) Kecerdasan visual dan media sosial
Kecerdasan visual sangat erat kaitannya dengan cara anak untuk
memvisualisasikan imajinasi mereka, mungkin di tingkatan paling
sederhana ketika anak menggambar gunung disebabkan karena
mereka pernah melihat video tentang gunung di layar televise,
aplikasi seperti youtube dan vmeo atau iflix bisa dimanfaatkan
untuk merangsang kecerdasan ini, namun karena konten-konten
bebasnya maka diharapkan orang tua dan pendamping harus
selektif memilih video.
c) Kecerdasan matematis dan media sosial
Kemampuan anak mengenal angka dan berhitung merupkan salah
satu kecerdasan matematis yang sering kita temui di usia dini,
kemampuan anak dalam mengenal angka pastinya akan berbeda
satu sama lain, namun sejatinya mereka memiliki kemampuan
tersebut,

tinggal

bagaimana

cara

kita

mendampingi

dan

memberikan stimulasi, permainan angka yang banyak disediakan
oleh google playstore bisa menjadi alternatif permainan dalam
merangsang kecerdasan ini.
d) Kecerdasan musical dan media sosial
Ketika anak menyukai musik dan suka bernyanyi maka bisa
dipastikan

anak

tersebut

memiliki

kecerdasan

musical

yang

menonjol, anak ini bisa dstimulasi dengan perainan-permainan
music yang ada di playstore dan simulasi alat music yang banyak
tersebar online di google, dan yang penting aplikasi karaoke online
yang bisa dimanfaatkan untuk mengolah suara anak sejak dini.

e) Kecerdasan kinestetis dan media sosial
Kecerdasan kinestetis berhubungan dengan gerak tubuh, motoric
halus dan motoric kasar anak, mungkin terdengar kontradiktif jika
anak dikaitkan dengan penggunaan sosial media dimana anak
cenderung pasif untuk bergerak, namun hal tersebut disiasati oleh
pengembang games yang bertemakan augmented reality games ini
mengharuskan seseorang untuk bergerak ke satu tempat ke tempat
lain seperti games Pokemon Go.

f) Kecerdasan intrapersonal dan media sosial
Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan memahami diri
sendiri

dan

bertindak

berdasarkan

pemahaman

tersebut.

Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami kekuatan dan
keterbatasan

diri,

kesadaran

akan

suasana

hati,

kehendak,

motivasi, sifat, keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, dan
menghargai diri (self esteem). Untuk menstimulasi kecerdasan ini
bisa

digunakan

beberapa

aplikasi

tentang

mengenal

diri

di

playstore aplikasi tersebut akan menunjukkan kesukaan, kemauan
dan keinginan anak, sehingga mereka bisa mengaktualisasikan
dirinya melalui aplikasi ini.
g) Kecerdasan interpersonal dan media sosial
Kecerdasan

Interpersonal ini

juga

sering

disebut

sebagai

kecerdasan sosial, selain kemampuan menjalin persahabatan yang
akrab

dengan

teman,

juga

mencakup

kemampuan

seperti

memimpin, mengorganisir, menangani perselisihan antarteman,
memperoleh simpati dari orang lain, mungkin aplikasi sosial media
seperti facebook dan twitter bisa dimanfaatkan untuk merangsang
kecerdasan ini, seperti ketika anak berfoto bersama maka anak
tersebut diminta untuk menandai teman yang ada dalam foto

tersebut, hal bertujuan untuk memupuk persahabatan diantara
mereka.
h) Kercerdasan naturalis dan media sosial
Kecerdasan ini memiliki kecenderungan interaksi kepada hewan,
tumbuhan, dan gejala alam serta mampu dalam mengklasifkasi
sehingga

kecerdasan

naturalis

akan

berpengaruh

terhadap

kemampuan anak dalam bersosialisasi dengan alam (tadabbur
alam), kecerdasan ini bisa distimulasi dengan menayangkan video
atau flm tentang mencintai bumi dan alam semesta, serta sosial
media seperti instagram dimana aktiftas anak bisa memotret
keindahan alam dan mempostingnya ke dalam akun instagramnya.

KESIMPULAN
Memahami kecerdasan anak memang seperti berjalan di dalam labirin, kita
dihadapkan akan situasi yang berubah-ubah dan berkelok-kelok, kita
berusaha untuk mencari jalan keluar dengan sekuat tenaga agar anak dapat
terstimulasi sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya. Kehadiran
sosial media diharapkan mampu menjadi salah satu cara untuk menstimulasi
anak agar dapat mendampingi sekolah formal mereka, memanfaatkan media
sosial seperti dua mata pisau yang bisa menyayat siapapun yang tidak
mampu menggunakannya secara bijak, sehingga perlu dirumuskan sebuah
formula yang tepat tentang sebuah pembelajaran yang tidak ketinggalan
jaman tetapi tetap mengedepankan kearifan budaya lokal.
DAFTAR REFERENSI
Derrington, T. (2013). Big Data for Little Kids : The Importance and Utility of
Early Childhood Integrated Data Systems ( ECIDS ) Conclusion :

Implications for NTI Attendees. United States.
Gardner, H. (1988). Frames of mind (2nd ed.). New York: Basic Books. https://
doi.org/10.2307/3324261
Greenhow, C., Robelia, B., & Hughes, J. E. (2009). Learning, Teaching, and
Scholarship in a Digital Age: Web 2.0 and Classroom Research: What
Path Should We Take Now? Educational Researcher, 38(4), 246–259.
https://doi.org/10.3102/0013189X09336671
Iqbal, M. (2017). Mendidik Anak di Era Digital. Indonesia.
Kate Kochetkova. (2017). How life on social networks infuence our real life –
Kaspersky Lab ofcial blog. Retrieved April 26, 2017, from
https://blog.kaspersky.com/likeaholism/13873/
Linda Campbell, B. C. dan D. D. (1996). Teaching and Learning through
Multiple Intelligences. Massachusetts: Allyn and Bacon.
Nikolas Anova. (2013). Statistical Thinking di Era Big Data. Retrieved April
26, 2017, from http://www.kompasiana.com/nikolas_anova/statisticalthinking-di-era-big-data_5528b144f17e6191788b45cf
Wikipedia. (n.d.). Erik Erikson - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas. Retrieved April 26, 2017, from
https://id.wikipedia.org/wiki/Erik_Erikson#C._Konsep_Baru_tentang_Ego