Agama dan Otak Manusia Indo
Agama dan Otak Manusia
oleh Luthfi Assyaukanie
Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama.
Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama
dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya
adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhlukhidup yang panjang.
Sebuah pepatah Arab yang diyakini sebagai hadis Nabi mengatakan bahwa “agama adalah akal”
(al-dinu huwa al-aql). Pepatah ini sering dikutip ulama dan sarjana Muslim untuk menegaskan
bahwa beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa
menyesatkan mereka. Saya senang dengan pepatah ini, bukan hanya karena ia menunjukkan
aspek rasionalitas dari Islam, tapi juga karena pepatah itu, jika ditarik lebih jauh lagi, sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan para saintis tentang hubungan agama dan
akal.
Akal adalah bentuk non-fisik dari otak. Ia bisa diumpamakan sebagai piranti lunak (software)
yang berjalan di atas otak yang merupakan piranti keras (hardware) pada sebuah komputer.
Seluruh hewan bertulang belakang (vertebrata) memiliki otak dan sebagian besar hewan takbertulang belakang (invertibrata) juga memiliki otak. Ukuran otak manusia lebih besar dibanding
rata-rata ukuran otak hewan lainnya. Akal manusia juga merupakan yang tercanggih
dibandingkan akal hewan-hewan lainnya.
Jika menggunakan analogi komputer, manusia memiliki prosesor (otak) terbaru dengan sistem
operasi (akal) tercanggih, sementara hewan-hewan lain memiliki prosesor dan sistem operasi
yang jauh tertinggal. Prosesor dan sistem operasi yang canggih dapat menciptakan banyak hal,
seperti memroses kata, mendesain, merekam suara, memutar lagu, dan mengedit film. Sementara
prosesor dan sistem operasi yang tertinggal hanya bisa melakukan kerja-kerja terbatas. Semakin
tertinggal sebuah komputer semakin terbatas ia melakukan fungsinya, semakin canggih sebuah
komputer semakin banyak kemungkinan yang bisa dilakukan.
Tentu saja, otak manusia jauh lebih kompleks dari komputer. Tapi analogi di atas setidaknya bisa
membantu kita memahami perbandingan antara apa yang telah dilakukan manusia dengan
otaknya dan apa yang telah dicapai hewan-hewan lain. Kita sering melihat dua buah komputer
yang tampilan luarnya sangat mirip namun berbeda dalam kemampuan kerja yang dilakukannya.
Komputer dengan “otak” yang lebih maju selalu memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih baik.
Begitu juga manusia dibandingkan hewan-hewan lainnya. Yang membedakan mereka bukan
bentuk fisiknya, tapi otaknya. Secara fisik, manusia dan kera (orangutan, gorila, dan simpanse)
tak banyak memiliki perbedaan. Semua anggota tubuh yang dimiliki manusia juga dimiliki kera,
dari kepala, tangan, kaki, jumlah jemari, bahkan bagian-bagian internal dalam tubuh mereka,
seperti jantung, hati, empedu, dan ginjal. Bahkan, DNA, bagian paling penting yang membentuk
tubuh manusia, tak banyak berbeda dari kera. Menurut penelitian terbaru, kedekatan DNA
manusia dengan orangutan sekitar 96%, dengan gorila 97% dan dengan simpanse 99%. Dengan
semua kemiripan ini, pencapaian manusia jauh melampaui semua hewan jenis kera itu.
Mengapa?
Jawabannya adalah otak. Otak juga yang membedakan kera dari hewan-hewan lain. Para
ilmuwan sepakat bahwa kera memiliki inteligensia di atas rata-rata hewan lainnya. Kera adalah
satu-satunya jenis primata, selain manusia, yang memiliki kesadaran diri dan bisa menggunakan
alat sederhana, seperti batu dan kayu. Otak kera memiliki ukuran yang lebih besar dari rata-rata
hewan lain dan memiliki jaringan neuron yang sangat kompleks. Hanya otak manusia yang bisa
menandingi otak kera, baik dalam hal volume maupun kerumitan jaringan.
Agama, seperti juga budaya dan produk-produk lainnya, adalah hasil kerja otak. Otaklah yang
menciptakan bangunan, rumah, kuil, dan candi. Otak juga yang menciptakan konsep-konsep
abstrak seperti kecantikan, keindahan, kekuasaan, kekuatan, kemurkaan, dan sebagainya.
Konsep-konsep dalam agama, seperti tuhan, dewa, malaikat, setan, dan sejenisnya, tidak datang
begitu saja. Ia lahir dari otak yang sudah berkembang, maju, dan memiliki kosakata yang cukup
untuk mengungkapkannya.
Berbagai studi terbaru tentang hubungan evolusi otak manusia dan budaya mendukung
pandangan di atas. Kajian mutakhir yang dikumpulkan Voland dan Schiefenhovel (The
Biological Evolution of Religious Mind and Behavior, 2009), misalnya, menegaskan nalar
agama (religious mind) sebagai buah dari seleksi alam dan evolusi manusia yang panjang. Dari
puluhan jenis hominid yang pernah hidup di muka Bumi, homo sapiens (manusia) yang paling
unggul dan paling mampu beradaptasi dengan perubahan di sekeliling mereka. Homo sapiens
menemukan agama dan menggunakannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang
mereka hadapi.
Otak manusia juga yang mengembangkan agama dari bentuknya yang “primitif” hingga menjadi
agama-agama modern yang sistematis seperti sekarang. Tentu saja, ada sebagian ritual primitif
yang hilang, tapi ada sebagian lain yang dipertahankan. Selama otak manusia masih bisa
menerima ritual-ritual itu (seberapapun absurd-nya), dia akan terus hidup, tapi jika otak manusia
tak bisa lagi menerimanya, ritual-ritual itu akan lenyap. Misalnya, penyembelihan anak gadis
untuk dipersembahkan kepada Tuhan (dewa) pernah menjadi ritual suatu agama, tapi ketika otak
manusia tak lagi bisa menerimanya, ritual itu ditinggalkan.
Pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab yang saya kutip di atas: agama adalah akal. Tidak ada
agama bagi yang tak berakal (la dina liman la aqla lah). Akal adalah pembimbing manusia yang
paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna.
Komentar Masuk (21 komentar) Tulis Komentar agama produk Allah om, diciptakan juga akal
untuk menerimanya.. jangan di balik-balik, mungkin anda juga akan mengatakan islam produk
Muhammad..#1. andi at 2012-05-07 17:51:17nurani terdalam tanpa ambisi dan nafsu yang dapat
memahaminya....kesadaran sebagai makhluk Tuhan. #2. Ahmad Yanis at 2012-03-16
01:56:47Perampungan peta gen manusia saat ini tidak memberikan hasil bahwa manusia
berkerabat dengan kera. Orang tidak perlu tertipu oleh upaya para evolusionis untuk
mengeksploitasi perkembangan ilmiah baru ini sebagaimana telah mereka lakukan dengan yang
lain-lainnya.
Seperti diketahui, perampungan terakhir peta gen manusia sebagai bagian dari Projek Genom
Manusia merupakan perkembangan ilmiah yang sangat penting. Namun, sebagian hasil dari
projek ini diselewengkan oleh beberapa terbitan evolusionis. Dinyatakan bahwa gen simpanse
memiliki 98% kesamaan dengan gen manusia. Ini dikemukakan sebagai bukti bagi klaim bahwa
kera berhubungan dengan manusia, dan seterusnya, sebagai bukti bagi teori evolusi.
Kenyataannya, ini adalah bukti "palsu" yang diajukan para evolusionis yang mengambil
keuntungan dari kurangnya pengetahuan publik tentang subjek ini.
Klaim 98% Kesamaan Adalah Propaganda yang Menyesatkan
Pertama, harus ditegaskan bahwa konsep 98% kesamaan antara DNA manusia dan simpanse
yang sering dikemukakan para evolusionis bersifat memperdaya.
Agar dapat mengklaim bahwa bentuk genetis manusia dan simpanse memiliki 98% kesamaan,
genom simpanse juga harus dipetakan, seperti halnya manusia. Keduanya harus dibandingkan,
dan hasilnya harus didapatkan. Namun hasil semacam itu tidak tersedia, karena sejauh ini, hanya
gen manusia yang telah dipetakan. Belum ada riset seperti itu dilakukan pada simpanse.
Pada kenyataannya, 98% kesamaan antara gen manusia dan simpanse, yang adakalanya
memasuki agenda, adalah sebuah slogan bertujuan propaganda yang secara sengaja diciptakan
beberapa tahun silam. Kesamaan ini adalah sebuah generalisasi yang dibesar-besarkan secara
luar biasa dengan dilandaskan pada kesamaan dalam rangkaian asam amino dari sekitar 30-40
protein dasar yang ada pada manusia dan simpanse. Suatu analisa rangkaian telah dilakukan
dengan metoda yang disebut "hibridisasi DNA" pada rangkaian DNA yang berhubungan dengan
protein-protein ini dan hanya sejumlah terbatas dari protein itu yang telah dibandingkan.
Namun, sebenarnya ada sekitar seratus ribu gen, dan karenanya ada seratus ribu protein yang
dikodekan oleh gen-gen ini pada manusia. Karena itu, tidak ada dasar ilmiah untuk mengklaim
bahwa semua gen manusia dan kera 98% sama hanya karena kesamaan 40 dari 100.000 protein.
Di lain pihak, perbandingan DNA yang dilakukan pada 40 protein ini juga kontroversial.
Perbandingan ini dibuat pada tahun 1987 oleh dua orang ahli biologi bernama Sibley dan
Ahlquist, dan dipublikasikan dalam terbitan rutin bernama Journal of Molecular Evolution. 15
Namun, ilmuwan lain bernama Sarich yang menguji data yang diperoleh oleh kedua ilmuwan ini
menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan atas metoda yang mereka gunakan kontroversial dan
bahwa data tersebut telah ditafsirkan secara berlebih-lebihan.16 Dr. Don Batten, ahli biologi
lainnya, juga menganalisis masalah ini pada tahun 1996 dan menyimpulkan bahwa tingkat
kesamaan yang sebenarnya adalah 96,2% dan bukan 98%.17
15 Sibley and Ahlquist, Journal of Molecular Evolution, vol. 26, hlm. 99-121
16 Sarich et al. 1989. Cladistics 5:3-32
17 C. E. N. 19(1): 21-22, Desember 1996-Februari 1997
#3. Ahmad Nadzie at 2012-03-09 05:48:08Mas luthfi, mau nanya nih,,,Yang nyiptain akal tuh
siapa?,,,maaf ini pertanyaan bodoh.#4. anton at 2012-03-07 18:49:09Kebanyakan kita beragama
berdasarkan ajaran keturunan.Sedikit sekali di antara kita yang benar-benar belajar agama.Satusatunya sumber pengetahuan agama masyarakat kita diperoleh dari acara pengajian,yang
penyampaiannya secara otodidak, jauh sekali dari nilai-nilai akademik.Sehingga antara Ajaran
Agama Islam dengan budaya Arab tidak bisa dibedakan. Padahal Arab belum tentu Islam. Islam
belum tentu Arab. #5. Nirafdi Pitopang at 2012-03-07 17:21:16Lihat Komentar Lainnya
oleh Luthfi Assyaukanie
Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama.
Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama
dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya
adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhlukhidup yang panjang.
Sebuah pepatah Arab yang diyakini sebagai hadis Nabi mengatakan bahwa “agama adalah akal”
(al-dinu huwa al-aql). Pepatah ini sering dikutip ulama dan sarjana Muslim untuk menegaskan
bahwa beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa
menyesatkan mereka. Saya senang dengan pepatah ini, bukan hanya karena ia menunjukkan
aspek rasionalitas dari Islam, tapi juga karena pepatah itu, jika ditarik lebih jauh lagi, sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan para saintis tentang hubungan agama dan
akal.
Akal adalah bentuk non-fisik dari otak. Ia bisa diumpamakan sebagai piranti lunak (software)
yang berjalan di atas otak yang merupakan piranti keras (hardware) pada sebuah komputer.
Seluruh hewan bertulang belakang (vertebrata) memiliki otak dan sebagian besar hewan takbertulang belakang (invertibrata) juga memiliki otak. Ukuran otak manusia lebih besar dibanding
rata-rata ukuran otak hewan lainnya. Akal manusia juga merupakan yang tercanggih
dibandingkan akal hewan-hewan lainnya.
Jika menggunakan analogi komputer, manusia memiliki prosesor (otak) terbaru dengan sistem
operasi (akal) tercanggih, sementara hewan-hewan lain memiliki prosesor dan sistem operasi
yang jauh tertinggal. Prosesor dan sistem operasi yang canggih dapat menciptakan banyak hal,
seperti memroses kata, mendesain, merekam suara, memutar lagu, dan mengedit film. Sementara
prosesor dan sistem operasi yang tertinggal hanya bisa melakukan kerja-kerja terbatas. Semakin
tertinggal sebuah komputer semakin terbatas ia melakukan fungsinya, semakin canggih sebuah
komputer semakin banyak kemungkinan yang bisa dilakukan.
Tentu saja, otak manusia jauh lebih kompleks dari komputer. Tapi analogi di atas setidaknya bisa
membantu kita memahami perbandingan antara apa yang telah dilakukan manusia dengan
otaknya dan apa yang telah dicapai hewan-hewan lain. Kita sering melihat dua buah komputer
yang tampilan luarnya sangat mirip namun berbeda dalam kemampuan kerja yang dilakukannya.
Komputer dengan “otak” yang lebih maju selalu memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih baik.
Begitu juga manusia dibandingkan hewan-hewan lainnya. Yang membedakan mereka bukan
bentuk fisiknya, tapi otaknya. Secara fisik, manusia dan kera (orangutan, gorila, dan simpanse)
tak banyak memiliki perbedaan. Semua anggota tubuh yang dimiliki manusia juga dimiliki kera,
dari kepala, tangan, kaki, jumlah jemari, bahkan bagian-bagian internal dalam tubuh mereka,
seperti jantung, hati, empedu, dan ginjal. Bahkan, DNA, bagian paling penting yang membentuk
tubuh manusia, tak banyak berbeda dari kera. Menurut penelitian terbaru, kedekatan DNA
manusia dengan orangutan sekitar 96%, dengan gorila 97% dan dengan simpanse 99%. Dengan
semua kemiripan ini, pencapaian manusia jauh melampaui semua hewan jenis kera itu.
Mengapa?
Jawabannya adalah otak. Otak juga yang membedakan kera dari hewan-hewan lain. Para
ilmuwan sepakat bahwa kera memiliki inteligensia di atas rata-rata hewan lainnya. Kera adalah
satu-satunya jenis primata, selain manusia, yang memiliki kesadaran diri dan bisa menggunakan
alat sederhana, seperti batu dan kayu. Otak kera memiliki ukuran yang lebih besar dari rata-rata
hewan lain dan memiliki jaringan neuron yang sangat kompleks. Hanya otak manusia yang bisa
menandingi otak kera, baik dalam hal volume maupun kerumitan jaringan.
Agama, seperti juga budaya dan produk-produk lainnya, adalah hasil kerja otak. Otaklah yang
menciptakan bangunan, rumah, kuil, dan candi. Otak juga yang menciptakan konsep-konsep
abstrak seperti kecantikan, keindahan, kekuasaan, kekuatan, kemurkaan, dan sebagainya.
Konsep-konsep dalam agama, seperti tuhan, dewa, malaikat, setan, dan sejenisnya, tidak datang
begitu saja. Ia lahir dari otak yang sudah berkembang, maju, dan memiliki kosakata yang cukup
untuk mengungkapkannya.
Berbagai studi terbaru tentang hubungan evolusi otak manusia dan budaya mendukung
pandangan di atas. Kajian mutakhir yang dikumpulkan Voland dan Schiefenhovel (The
Biological Evolution of Religious Mind and Behavior, 2009), misalnya, menegaskan nalar
agama (religious mind) sebagai buah dari seleksi alam dan evolusi manusia yang panjang. Dari
puluhan jenis hominid yang pernah hidup di muka Bumi, homo sapiens (manusia) yang paling
unggul dan paling mampu beradaptasi dengan perubahan di sekeliling mereka. Homo sapiens
menemukan agama dan menggunakannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang
mereka hadapi.
Otak manusia juga yang mengembangkan agama dari bentuknya yang “primitif” hingga menjadi
agama-agama modern yang sistematis seperti sekarang. Tentu saja, ada sebagian ritual primitif
yang hilang, tapi ada sebagian lain yang dipertahankan. Selama otak manusia masih bisa
menerima ritual-ritual itu (seberapapun absurd-nya), dia akan terus hidup, tapi jika otak manusia
tak bisa lagi menerimanya, ritual-ritual itu akan lenyap. Misalnya, penyembelihan anak gadis
untuk dipersembahkan kepada Tuhan (dewa) pernah menjadi ritual suatu agama, tapi ketika otak
manusia tak lagi bisa menerimanya, ritual itu ditinggalkan.
Pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab yang saya kutip di atas: agama adalah akal. Tidak ada
agama bagi yang tak berakal (la dina liman la aqla lah). Akal adalah pembimbing manusia yang
paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna.
Komentar Masuk (21 komentar) Tulis Komentar agama produk Allah om, diciptakan juga akal
untuk menerimanya.. jangan di balik-balik, mungkin anda juga akan mengatakan islam produk
Muhammad..#1. andi at 2012-05-07 17:51:17nurani terdalam tanpa ambisi dan nafsu yang dapat
memahaminya....kesadaran sebagai makhluk Tuhan. #2. Ahmad Yanis at 2012-03-16
01:56:47Perampungan peta gen manusia saat ini tidak memberikan hasil bahwa manusia
berkerabat dengan kera. Orang tidak perlu tertipu oleh upaya para evolusionis untuk
mengeksploitasi perkembangan ilmiah baru ini sebagaimana telah mereka lakukan dengan yang
lain-lainnya.
Seperti diketahui, perampungan terakhir peta gen manusia sebagai bagian dari Projek Genom
Manusia merupakan perkembangan ilmiah yang sangat penting. Namun, sebagian hasil dari
projek ini diselewengkan oleh beberapa terbitan evolusionis. Dinyatakan bahwa gen simpanse
memiliki 98% kesamaan dengan gen manusia. Ini dikemukakan sebagai bukti bagi klaim bahwa
kera berhubungan dengan manusia, dan seterusnya, sebagai bukti bagi teori evolusi.
Kenyataannya, ini adalah bukti "palsu" yang diajukan para evolusionis yang mengambil
keuntungan dari kurangnya pengetahuan publik tentang subjek ini.
Klaim 98% Kesamaan Adalah Propaganda yang Menyesatkan
Pertama, harus ditegaskan bahwa konsep 98% kesamaan antara DNA manusia dan simpanse
yang sering dikemukakan para evolusionis bersifat memperdaya.
Agar dapat mengklaim bahwa bentuk genetis manusia dan simpanse memiliki 98% kesamaan,
genom simpanse juga harus dipetakan, seperti halnya manusia. Keduanya harus dibandingkan,
dan hasilnya harus didapatkan. Namun hasil semacam itu tidak tersedia, karena sejauh ini, hanya
gen manusia yang telah dipetakan. Belum ada riset seperti itu dilakukan pada simpanse.
Pada kenyataannya, 98% kesamaan antara gen manusia dan simpanse, yang adakalanya
memasuki agenda, adalah sebuah slogan bertujuan propaganda yang secara sengaja diciptakan
beberapa tahun silam. Kesamaan ini adalah sebuah generalisasi yang dibesar-besarkan secara
luar biasa dengan dilandaskan pada kesamaan dalam rangkaian asam amino dari sekitar 30-40
protein dasar yang ada pada manusia dan simpanse. Suatu analisa rangkaian telah dilakukan
dengan metoda yang disebut "hibridisasi DNA" pada rangkaian DNA yang berhubungan dengan
protein-protein ini dan hanya sejumlah terbatas dari protein itu yang telah dibandingkan.
Namun, sebenarnya ada sekitar seratus ribu gen, dan karenanya ada seratus ribu protein yang
dikodekan oleh gen-gen ini pada manusia. Karena itu, tidak ada dasar ilmiah untuk mengklaim
bahwa semua gen manusia dan kera 98% sama hanya karena kesamaan 40 dari 100.000 protein.
Di lain pihak, perbandingan DNA yang dilakukan pada 40 protein ini juga kontroversial.
Perbandingan ini dibuat pada tahun 1987 oleh dua orang ahli biologi bernama Sibley dan
Ahlquist, dan dipublikasikan dalam terbitan rutin bernama Journal of Molecular Evolution. 15
Namun, ilmuwan lain bernama Sarich yang menguji data yang diperoleh oleh kedua ilmuwan ini
menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan atas metoda yang mereka gunakan kontroversial dan
bahwa data tersebut telah ditafsirkan secara berlebih-lebihan.16 Dr. Don Batten, ahli biologi
lainnya, juga menganalisis masalah ini pada tahun 1996 dan menyimpulkan bahwa tingkat
kesamaan yang sebenarnya adalah 96,2% dan bukan 98%.17
15 Sibley and Ahlquist, Journal of Molecular Evolution, vol. 26, hlm. 99-121
16 Sarich et al. 1989. Cladistics 5:3-32
17 C. E. N. 19(1): 21-22, Desember 1996-Februari 1997
#3. Ahmad Nadzie at 2012-03-09 05:48:08Mas luthfi, mau nanya nih,,,Yang nyiptain akal tuh
siapa?,,,maaf ini pertanyaan bodoh.#4. anton at 2012-03-07 18:49:09Kebanyakan kita beragama
berdasarkan ajaran keturunan.Sedikit sekali di antara kita yang benar-benar belajar agama.Satusatunya sumber pengetahuan agama masyarakat kita diperoleh dari acara pengajian,yang
penyampaiannya secara otodidak, jauh sekali dari nilai-nilai akademik.Sehingga antara Ajaran
Agama Islam dengan budaya Arab tidak bisa dibedakan. Padahal Arab belum tentu Islam. Islam
belum tentu Arab. #5. Nirafdi Pitopang at 2012-03-07 17:21:16Lihat Komentar Lainnya