Etika profesi perspektif hukum dan peneg

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H.
Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ikatan Advokat
Indonesia )
Friday, August 10, 2012
http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-penegakan-hukum-dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-advokat-indonesia/
Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum
ETIKA PROFESI PERSPEKTIF HUKUM
DAN PENEGAKAN HUKUM

Oleh
DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH

PENDAHULUAN

Perbincangan mengenai hukum dan penegakan hukum di Indonesia adalah sama dengan mempertautkan
ke dua sisi normatif dan sisi empirik yang merupakan pasangan replektif (membias) mulai dari proses
pembuatan hukum, perwujudan serta pelaksanaan fungsi hukum (penegakan hukum dan keadilan), dalam
rangka merespon kebutuhan masyarakat yang sedang membangun di segala bidang, dalam mencapai

tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, menciptakan kepastian hukum dan memberikan kegunaan
(kemanfaatan) bagi masyarakat.

Sorotan terhadap hukum dan penegakan hukum bukanlah merupakan sosok yang baru di tanah air kita,
dia begitu penting untuk dibicarakan karena hal ini tidak saja merupakan tugas dan amanah konstitusi
(UUD 1945), tetapi lebih jauh di sisi lain ia juga merupakan tonggak sekaligus benteng untuk tegaknya
hukum dan keadilan. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan masa depan pencari keadilan di
Indonesia.[3]
Proses pembuatan hukum baru hanya menyelesaikan satu tahap saja dari suatu perjalanan panjang untuk
mengatur masayrakat. Tahap tersebut masih harus disusul oleh pelaksanaannya secara konkrit dengan

page 1 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

kehidupan masyarakat sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan Penegakan Hukum itu.
Dalam bahasa indonesia dikenal beberapa istilah di luar penegakan hukum tersebut, seperti ”penerapan
hukum”. Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering digunakan dan dengan
demikian pada waktu-waktu mendatang istilah tersebut mungkin akan mapan atau merupakan istilah yang

dijadikan (coined). Dalam bahasa asing kita juga mengenal berbagai peristilahan, seperti
rechtstoepassing, rechtshandhaving (Belanda), Law enforcement, application (Amerika).
Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegakan hukum itu dijalankan oleh komponen
eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga birokrasi
penegakan hukum. Sejak negara itu mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam
masyarakat, maka memang campur tangan hukum juga makin intensif, seperti dalam bidang-bidang
kesehatan, perumahan, produksi dan pendidikan. Tipe negara yang demikian itu dikenal sebagai welfare
State. Eksekutif dengan birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang
tercantum dalam peraturan hukum yang menangani bidang-bidang tersebut.[4]
Satu hal yang perlu diingat proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, tidak terlepas dari keberadaan
hukum itu sendiri dalam sistem sosial yang lebih luas. Prosedur penegakan hukum tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial-kultural tempat hukum itu hendak diberlakukan.
Iklim penegakan hukum di Amerika misalnya tidaklah sama dengan iklim penegakan hukum di
negara-negara dunia ketiga seperti di beberapa negara di Afrika, dimana campur tangan kekuasaan dan
kelompok birokrasi begitu menguat, sehingga melemahkan dominasi hukum untuk hal-hal yang
sebenarnya di bawah otoritas hukum.
Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah
berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah
teknis prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat Indonesia.[5]
Persoalan mengenai penegakan hukum juga disampaikan oleh Hikmahanto Juwana yang menjelaskan
pada intinya bahwa pelaksanaan hukum akan melemah apabila hukum dijadikan komoditas politik,
dilaksanakan secara diskriminatif, sehingga perlu dilakukan pembenahan dari berbagai aspek diantaranya
Institusi penegak hukum, kesejahteraan penegak hukum dan memperbaiki subtansi hukum itu dengan
kehidupan masyarakat dan dikatakan juga bahwa penegakan hukum merupakan faktor penting dalam
kehidupan hukum di Indonesia[6]
Studi diagnostik menemukan kelemahan yang mendasar pada sistem hukum dan sarjana hukum di
Indonesia. Kinerja sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia tidak memadai. Kritik utama adalah
mengenai profesional hukum yang tidak mampu mengimbangi perubahan yang muncul dari
pembangunan ekonomi. Masyarakat juga menilai anggota profesi hukum (Advokat, Notaris, Polisi, Jaksa,
dan Hakim) tidak sepenuhnya memahami tugas utama mereka sebagai ”pelayanan hukum dan
masyarakat”. Justru sebaliknya mereka mulai mengartikan pekerjaan mereka sebagai bagian dari industri
yang dikendalikan oleh keuntungan (profit-driven industry).[7]

page 2 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id


Dari beberapa penelitian tentang lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan dengan literatur
berhubungan dengan itu, Penulis berpendapat ada 5 (lima) penyebab lemahnya penegakan hukum dan 5
(lima) solusi pemecahan masalah yang selanjutnya diuraikan di bahwa ini :

1. Pelaksanaan Kekuasaan Pemerintah Yang Belum Teruji, Pemecahan Masalahnya Tidak
Melakukan Intervensi Kekuasaan ke Dalam Upaya Penegakan Hukum
Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia,
setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang
berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di
bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan UUD 1945, merupakan sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan
pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer.
Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan.
Hasil analis politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan terjadi krisis penegakan hukum
sepanjang tahun 2010 sebagai imbas dari krisis politik. Krisis politik timbul karena sistem presidensial
yang rancu dan pilihan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilainya tersandera oleh
kekuatan partai politik.[8]
Menurutnya, "Pemerintahan SBY tahun pertama ini sangat politis. Memberi ruang terlalu banyak untuk
partai politik dan aktor politik lain dalam penegakan hukum. Akibatnya, penegak hukum, Kepolisian,
Kejaksaan terombang-ambing dan ikut terpenjara ketika kepala eksekutifnya juga terpenjara oleh

aktor-aktor politik.”[9]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa telah terjadi kemerosotan kepercayaan publik
terhadap kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Salah Penyebabnya adalah :[10]

1. Melemahnya rule of law, legal framework dan law enforcement, penegakan hukum, tatanan hukum
dan termasuk perangkat hukum yang dijalankan.
2. Meningkatnya indeks korupsi disetiap tingkat birokrasi pemerintahan.
3. Meningkatnya kejahatan dan penyimpangan yang dilakukan oleh para penegak hukum
4. serangan publik dan serangan pers itu sering keras dan berlangsung secara sistematis terhadap para
penegak hukum.
Untuk itu menurut penulis, dalam upaya meningkatkan kembali kepercayaan publik adalah melalui upaya
keseriusan para penegak hukum dalam menuntaskan kasus yang mendapat perhatian luas, seperti kasus

page 3 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangkan Miranda
Swaray Goeltom, kasus Bank Century dan penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan.

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur
kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat
hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi
politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.[11]
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud
pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum
mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah
masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami
hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan,
ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain
institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat
kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup
lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam
kenyataan.[12]
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui
wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata
kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup
kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai
produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu

institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan.[13]
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk
dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk
membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan
untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan
politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara,
seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan
politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik
melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap
konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme.

page 4 / 22


Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum
yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional.[14]
Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat
dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu,
dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar
undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi
kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.[15]
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan
berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang
dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945
mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang
masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem
yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara
oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur
berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa

dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk
mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui
pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal
segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah
Agung.

2. Sistem Pengawasan Masyarakat Tidak Efektif, Pemecahannya Peran Pengawasan Masyarakat
Menjadi Motivator Objektif

Dalam negara demokratis, rakyat adalah pemberi mandat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
pemerintahan termasuk didalamya memberikan pelayanan kepada rakyat /masyarakat. Oleh karena itu
masyarakat memiliki hak sekaligus kewajiban untuk melakukan pengawasan kepada penyelenggara
negara.
Pengawasan oleh masyarakat ini semakin relevan sebagaimana ketika rakyat memilih presiden, gubernur
dan bupati secara langsung. Dalam konteks politik, peranan pengawasan oleh masyarakat merupakan
unsur yang menentukan nasib “penguasa” baik di legislatif maupun pimpinan eksekutif pada saat
pemilihan umum. Dalam konteks negara, peranan pengawasan oleh masyarakat merupakan perwakilan
suara rakyat yang telah terus menerus memiliki komitmen memenuhi kewajiban sebagai warga negara

page 5 / 22


Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

antara lain dalam membayar pajak. Oleh karena itu, untuk mengurangi kegagalan penyelenggaraan
negara/pemerintahan pelibatan masyarakat dalam pengawasan merupakan hal yang penting.
Ada tiga hal penting dalam pengawasan masyarakat yaitu sebagai berikut :

1. Ketersediaan akses pengawasan bagi masyarakat
Sejauh ini di Indonesia, sudah terdapat beberapa ketentuan hukum yang mengatur mengenai peran
pengawasan masyarakat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, Misal :
Inpres No. 1 Tahun 1989 Tentang Pengawasan Melekat,Ø Sayangnya hal ini hanya terbatas
pada definisi saja, tidak dijelaskan dan tidak dipraktekan bagaimana seharusnya pengawasan
masyarakat tersebut berperan dalam waskat.
PP No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Ø Belum juga dipraktekan, tidak lama kemudian PP ini dicabut diganti
dengan PP No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, dan pasal tentang pengawasan masyarakat tidak ditemukan lagi dalam
PP No 79 Tahun 2005 tersebut.
2. Kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melakukan pengawasan.Dalam hal ini, berdasarkan

Temuan JARI Indonesia pada Implementasi Program Community Based Development
Watch/CBDW, dalam Goveranance Brief No.23/Des/2005 diketahui bahwa Pengawasan masyarakat
masih kasuistis, jangka pendek, oleh kelompok kecil/perorangan dan sebagian besar mengarah
pengawasan keuangan, sebagian kecil prosedur kerja dan kebijakan.
Permasalahan yang dihadapi adalah tidak adanya jalur dan mekanisme yang efektif termasuk tidak
adanya panduan resmi, serta rendahnya ketrampilan yang belum dimiliki oleh masyarakat terkait
dengan pengawasan.
Untuk itu diperlukan beberapa hal yang mempengaruhi motivasi masyarakat dalam melakukan
pengawasan, diantaranya:
Adanya organisasi masyarakat yang kuat dan dipercaya oleh anggotanya.
Adanya jaminan kebebasan menyampaikan hasil pengawasan tanpa tekanan, ancaman dan rasa
takut dari pihak manapun.
Memiliki kepentingan langsung terhadap sesuatu yang diawasi.
3. Kesediaan/kerelaan penyelenggara untuk diawasi.
Pengaturan dan kelembagaan penampung pengaduan masyarakat yang ada selama ini belum cukup
mudah memberi kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi (tidak ada upaya dari penyelenggara
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, tidak adanya panduan dsb, menunjukkan tidak adanya
kerelaan). Banyak kasus yang diadukan tidak mendapat tanggapan serius, disisi yang lain aparat
penegak hukum justru membiarkan tumbuh suburnya Makelar Kasus (MARKUS).
Hal ini terjadi karena masyarakat sulit mendapatkan informasi terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan, karena dalam UU 28 Tahun 1999 dan PP 68 tahun 1999, aparat bisa “mengelak”
untuk tidak memberikan informasi, serta tidak ada perlindungan hukum bagi aparat yang membantu
memberikan informasi kepada masyarakat (terancam dipecat).

page 6 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Terhadap kendala-kendala dalam pengawasan masyarakat tersebut, kini di Indonesia terdapat
secercah harapan baru dalam meningkatkan peran pengawasan masyarakat dalam pelaksanaan
sistem kenegaraan Indonesia yaitu dengan adanya beberapa ketentuan hukum yang mengatur
tentang:
Kemudahan memperoleh pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 tahun 2008,
Keterbukaan Informasi Publik (KIP).Ø Ketentuan ini berlaku efektif sejak 30 April 2010.
Dalam bidang pelayanan publik masyarakat memiliki sejumlah hak, antara lain seperti yang
diatar dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Ø Ketentuan ini berlaku efektif sejak 18 Juli 2011.

3. Etika Profesi Penegak Hukum Yang dilupakan, Pemecahan Masalahnya adalah, Etika Profesi
Merupakan Bagian Yang Terintegral Dalam Mengatur Prilaku Penegak Hukum

Sekarang ini istilah Markus (makelar kasus) seolah menjadi pembicaraan hangat, meskipun di kalangan
tertentu kata-kata tersebut sudah sangat akrab. Kemunculan markus dalam kasus Cicak Vs Buaya
membuat markus seolah diibaratkan fenomena snowball, yang semakin lama semakin kuat dan akhirnya
menghantam dan meluluhlantakkan segala apa yang ada disekitarnya. Jika hal itu benar-benar terjadi,
maka jangan-jangan para cenayang pun suatu hari akan terkena “bola salju made in markus” tanpa sempat
meramalkannya terlebih dahulu.
Sebelum semua itu akan memuncak, sepertinya kita harus balik lagi ke titik awal dalam kancah berfikir,
kenapa markus bisa ada di negeri kita tercinta ini? Mungkin dengan pertanyaan sederhana tersebut kita
bisa mendapatkan jawaban yang sederhana pula sehingga mudah untuk dicerna oleh siapapun. Berpijak
kepada teori penegakan hukum Soerjono Soekamto, faktor-faktor penegakan hukum atau yang lebih
dikenal dengan istilah law enforcement yaitu:[16]

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.
Saat ini yang menjadi sorotan yang sangat-sangat menyedot perhatian setiap orang adalah faktor penegak
hukum. Ruang lingkup penegak hukum sangat luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara
langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.
Bahwa timbulnya Markus tidak lain dikarenakan adanya kesempatan. Kesempatan apa yang dapat timbul
dari masalah ini, tidak lain adalah karena kesempatan yang ditimbulkan dari para aparat penegak hukum
sendiri. Sehingga keberadaan markus makin merajalela melenggang dalam pengadilan. Pengaturan untuk

page 7 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

mencegah terjadinya markus sebenarnya sudah ada yaitu dengan kode etik pada tiap aparat penegak
hukum atau kita lebih kenal dengan Etika Profesi Hukum.
Seharusnya para aparat penegak hukum merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum yang akhirnya
terejawantah dalam kode etik profesi hukum. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia
dalam pengambilan keputusan moral. Sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
keahlian, keterampilan, kejuruan tertentu. Sedangkan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh
suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal etika
moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan dalam profesi hukum.
Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, berupa kesediaan
untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan
penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap
mayarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi seksama. Dan oleh karena itulah
dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut;

1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri
khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai
luhur.
3. Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan
peningkatan mutu pengemban profesi.
Sinergiditas antara etika profesi dan kode etik adalah seperti kita ambil dari Yap Thiam Hiem, dalam
bukunya “Masalah Pelanggaran Kode Etik Profesi Dalam Penegakan Keadilan dan Hukum”, maksud dan
tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk
menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi publik yang memerlukan
jasa-jasa baik profesional. Kode etik jadinya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan
pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.”
Jangan Ada Celah.
Dari uraian di atas sesungguhnya Markus tersebut seharusnya sudah tidak dapat lagi hadir dalam criminal
justice system kita, jika para unsur catur wangsa (hakim, jaksa, polisi, advokat) penegak hukum di
Indonesia telah benar-benar comit dengan kode etik masing-masing. Dengan kata lain jangan ada
celah-celah kecil yang makin lama makin meluas (efek kapilaritas) yang akhirnya dapat mengaburkan
suatu permasalahan yang sedang terjadi.
Persoalan yang menyeruak dan menjangkiti hukum di Indonesia saat ini lebih disebabkan karena
terjadinya degradasi moral dalam tubuh aparatur penegak hukum kita. Dalam benak penulis, momentum
saat ini dapat menjadi langkah awal pemerintah bersama jajaran institusi penegak hukum, akademisi
hukum dan pihak lain terkait penegakan hukum, untuk merekonstruksi kode etik profesi hukum dimana
substansinya harus jauh lebih accountable (tanggung jawab). Lebih tegas menutup celah-celah
penyelewengan hukum, sangat jelas dan transparan serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Pembenahan
etika aparatur penegak hukum seharusnya menjadi salah satu agenda pemerintah dalam mereformasi

page 8 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

institusi penegak hukum.
Jadikan kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi hukum yang tidak lain adalah
untuk selalu mengacu pada tujuan hukum yang tidak lain adalah mewujudkan ketertiban yang
berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia. Jika boleh meminjam risalahnya
Umar bin Khattab kepada Musa Al-AsyÆari, “Samaratakanlah manusia dalam majelismu, dalam
pandanganmu, dalam putusanmu, sehingga orang berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu,
dan orang lemah tidak putus asa mendambakan keadilanmu.[17]

4. Pengaruh globalisasi ke dalam sistem hukum Indonesia serta teori pemecahan masalahnya
adalah penguatan sistem hukum indonesia dengan melakukan harmonisasi hukum secara global
berkembang mempengaruhi dunia.

Globalisasi telah menimbulkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dalam skala nasional,
regional maupun internasional. Perubahan Global berupa globalisasi pasar erat dengan puncak
kapitalisme, gaya hidup yang makin terekonomisasi dalam jalinan global, universalisasi standar, aturan
hukum, transportasi, komunikasi, akomodasi hal-hal yang dianggap telah disediakan alam, kreasi manusia
atau intervensi manusia pada alam, hidup dan kerja yang makin padat otak, pertambahan penduduk,
hipereksploitasi sumber daya alam, dan peran perusahaan transnasional melebihi pemerintah, secara
ekstrakonstitusional mempengaruhi pemerintah bahkan menguasai sumber daya alam suatu negara. [18]
Eksistensi berbagai aturan hukum nasional ini diberbagai negara berada satu diantara yang lain,
Perbedaan ini kemudian dikwatirkan mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan. Permasalahan ini
telah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa di dunia termasuk Organisasi Dunia PBB.[19]
Implikasi globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar terhadap aspek kehidupan bermasyarakat
terutama aspek hukum, globalisasi hukum terjadi dalam arti substansi berbagai undang-undang dan
kontrak-kontrak menyebar melewati batas-batas negara. Oleh karena itu, batas-batas ruang lingkup suatu
negara semakin menjadi samar, namun dari hal demikian juga tampak bahwa hukum antar negara-negara
didunia menjadi semakin terintegrasi.
Hal ini ditegaskan oleh John Braitwaite and Peter Drahos, ”Proses integrasi ekonomi dari berbagai
negara yang memerlukan harmonisasi hukum untuk meminimalisasi bentrokan hukum domestik dari
negara-negara tersebut. Proses globalisasi hukum tersebut dapat terjadi melalui kontrak dan konvensi
Internasional, kontrak privat dan institusi ekonomi baru.[20]
Proses globalisasi hukum ini juga telah mempengaruhi hukum investasi dan perdagangan di Indonesia,
sesuai dengan perkembangan investasi dan perdagangan di Indonesia, sesuai dengan perkembangan
investasi dan globalisasi di bidang ekonomi. Dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan

page 9 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang begitu besar pada bidang hukum. Quncy Wright
berpendapat ”Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas
ini, baik negara maju maupun negara berkembang, bahkan negara terbelakang sekalipun harus membuat
standarisasi hukum dalam kegiatan ekonomi”.[21]
Dalam perspektif seperti ini kondisi hukum di Indonesia telah mengalami krisis distorsi yang cendrung
mengrogoti ketahan sistem hukum Indonesia dengan cepat dia merembah ke bebagai sektor institusi
penegakan hukum dan berbagai sektor kehidupan masyarakat. Saat ini dinamika yang terjadi dalam
proses pencari keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks.
Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis prosedural untuk menentukan
apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah
sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat indonesia.
Masalah hukum dalam dunia ketiga adalah seputar bagaimana ”mempersiapkan” yang belum ada dan
”menyesuaikan”

yang tidak lagi cocok dalam rangka proses transplantasi[22] hukum secara besar-besaran yang berjalan
mengiringi proses pertumbuhan tatanan ekonomi dunia. Dalam kondisi seperti ini permasalahan hukum
bukan lagi hanya persoalan eksekutif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak milik dari segelintir
orang, yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkanya kenyataan bahwa permasalahan
hukum merupakan permasalahan riil hampir semua orang.[23]
Gerakan dan perubahan yang sangat cepat dalam segala segi aspek kehidupan manusia, seiring dengan
adanya globalisasi menimbulkan berbagai dampak baik yang bersifar negatif maupun positif. Globalisasi
yang ditandai dengan kemajuan tekhnologi komunikasi, transportasi, dan infromatika yang berkembang
pesat disamping menjadi sarana yang memudahkan mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat yang
lain maupun kemudahan manusia untuk mengakses segala macam berita maupun pengetahuan disisi lain
juga ada egatifnya.
Pada era globalisasi pembangunan hukum ditandai dengan kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar yang
ada dewasa ini semakin mengglobal.Dalam kondisi semacam ini produk-produk hukum yang dibentuk
lebih banyak bertumpu pad keinginan pemerintah, karena tuntutan pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi
telah mampu menimbulkan perubahan-perubahan yang amat fundamental baik dalam hal fisik maupun
sosial politik budaya yang mampu melampaui pranata-pranata yang ada.[24]

5. Lemahnya Eksistensi Organisasi Advokat dari Dukungan Anggotanya, Pemecahan Masalahnya
Perlu Pemantapan dan Ketahanan Organisasi Profesi dalam Masyarakat

page 10 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Secara historis advokat adalah salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya profesi ini dinamai
sebagai officum nobile, jabatan yang mulia. Penamaan ini adalah karena aspek “kepercayaan” dari
pemberi kuasa yang dijalankan untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak nya di forum yang
telah ditentukan.[25]
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat atau disebut dengan
Undang-Undang Advokat istilah-istilah Advokat, pengacara, Penasehat Hukum, Konsultan Hukum
memiliki perbedaan pengertian yang cukup bermakna.[26] Dalam berbagai ketentuan
perundang-undangan terdapat inkonsistensi sebutan, misalnya dalam undang-undang Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1974 Jo. UU No. 35 Tahun 1999 Jo. UU No. 4 Tahun 2004)
menggunakan istilah Penasihat Hukum, KUHAP menggunakan istilah Penasehat Hukum, didalam UU
MA, administratif menggunakan kata pengacara atau advokat.[27]
Seiring dengan terpuruknya wibawa hukum dari Pengadilan, Profesi Advokat sekarang berada dalam
tahapan yang menhkawatirkan bahkan Advokat disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai mafia
peradilan, meski tidak semua advokat berprilaku demikian, namun hal itu membuat semua pihak cemas
akan masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Untuk meningkatkan kualitas profesi advokat dibentuklah organisasi advokat, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa
Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan
kualitas profesi Advokat.
Dalam upaya penegakan hukum suatu negara beberapa aktor utama yang peranannya sangat penting,
diantaranya adalah hakim, jaksa, advokat, dan polisi. Atau lebih dikenal dengan catur wangsa penegak
hukum. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif adalah lembaga penegak hukum yang mewakili
kepentingan negara, sedangkan jaksa dan polisi adalah lembaga penegak hukum yang mewakili
kepantingan pemerintah, kemudian advokat adalah lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan
masyarakat. Pada posisi seperti ini peran advokat menjadi penting karena dapat menjaga keseimbangan
antara kepentingan negara dan pemerintah. Hal ini lah yang menjadi fokus perhatian kita kali ini yaitu
mengenai profesi advokat. Melalui jasa hukum yang diberikannya, advokat menjalankan tugas profesi
demi tegaknya hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.
Advokat di dalam melaksanakan tugasnya perlu adanya integrasi, karakteristik yang kuat dan tentunya
berkualitas serta berintelektual yang tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Robert F. Kennedy: ourage in
the most important atribute of a lawyer. Litis more important than important competence or vision. It can
never be the limited, dated or ourwom and it should pervade the hearth, the halls of justice, and the
camber of the mind.” (Keteguhan hati adalah atribut yang teramat sangat penting bagi seorang Advokat .
Ia adalah lebih penting ketimbang kecakapan atau visi. ia tidak dapat dibatasi, tidak dapat untuk tidak
diberlakukan, atau tidak dapat usang, dan ia akan merembesi jantung dan merembesi lorong-lorong
keadilan dan ruang-ruang keadilan).[28]
Dalam membela kliennya, advokat harus tetap menghormati hukum. Jadi advokat tidak boleh melanggar
hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam
rangka pembelaan, advokat harus menolaknya. Dalam menjalankan profesinya asas kebebasan advokat

page 11 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

atau independence of lawyer merupakan syarat mutlak dari profesi advokat yang diakui dan diterima serta
dipertahankan dalam konferensi advokat diseluruh dunia. Prakteknya banyak hambatan-hambatan untuk
mewujudkan prinsip peradilan yang bebas, independensi serta terciptanya sistem peradilan yang bersih
dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena diantara catur wangsa penegak
hukum belum dapat berinteraksi pada sistem penegak hukum sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam
mewujudkan ketertiban hukum dan tegaknya hukum dan keadilan di dalam institusi peradilan dengan
tetap menjaga ”rule of law”.
Di dalam konteks ini agar profesi advokat menjadi profesi sesuai yang diharapkan itu maka diperlukan
suatu Organisasi Profesi Advokat yang baik. Disisi lainnya, fakta menujukkan, organisasi advokat di
Indonesia tidak sepenuhnya mampu menjadi instrumen penting untuk membuat profesi advokat menjadi
terhormat, bebas, mandiri dan bertanggung jawab. Fakta ini berkaitan erat dengan suatu fakta lainnya,
sebagian besar para advokat belum secara sungguh-sungguh memberikan kontribusi signifikannya secara
optimal untuk membangun organisasi profesi advokat yang kredibel.
Dalam kajian hukum empirik, organisasi profesi advokat dipandang sebagai institusi sosial yang riil dan
fungsional karenanya ia merupakan sub sistem dalam sistem sosial yang lebih luas yang berada
bersama-sama dengan sub sistem lainnya yakni: sistem ekonomi, sistem hankam dan seterusnya yang
tercakup dalam sistem yang luas. Dengan keberadaan yang demikian maka
organisasi profesi advokat
[29]
pada gilirannya mempengaruhi keseimbangan sistem secara keseluruhan.
Apabila sub sistem sosial lain diberikan penekanan yang lebih, maka Organisasi Profesi Advokat sebagai
sub sistem sosial juga akan ikut berpengaruh, bahkan terabaikan. Jika politik dan ekonomi sebagai sub
sistem berperan untuk mengatasi konflik dalam masyarakat, maka peran Organisasi Profesi Advokat akan
berkurang dan akhirnya peran politik dan ekonomilah yang lebih dominan. Maka muncullah dalam
masyarakat istilah-istilah yang seolah-olah mendeskriditkan keberadaan Organisasi Profesi Advokat tidak
mempunyai kemampuan untuk melakukan pembinaan terhadap anggotanya, dengan sinis dikatakan orang
sebagai institusi yang besar pasak dari tiang.
Paska pembentukan Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003, 8 (delapan) organisasi profesi advokat
yang ada diperintahkan oleh Undang-undang untuk membentuk suatu organisasi advokat. Secara tegas
Undang-Undang dimaksud meminta, organisasi dimaksud harus sudah dibentuk 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang tersebut disyahkan atau tepatnya tanggal 5 April 2005.
Pada tanggal 21 Desember 2004, perwakilan dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPRI), Himpunan Advokat Dan Pengacara
Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (disingkat HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah
Indonesia (APSI), di hadapan Notaris Buntario Tigris Darmawa Ng di Jakarta, bersepakat mendirikan
membentuk Organisasi advokat yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 dengan nama
organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).[30]
Mengenai eksistensi PERADI itu
Undang-Undang No. 18 Tahun
160/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST, tanggal
tanggal 17 Juli 2006, Majelis Hakim

sendiri sebagai organisasi advokat yang dimaksud dalam
2003 adalah sebagaimana dimuat dalam Putusan No.
23 Maret 2006 Jo. Putusan No. 168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST,
dalam pertimbangannya menyatakan bahwa karena keberadaan

page 12 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

PERADI telah memenuhi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai salah satu
wadah tunggal dari Advokat, maka pembentukan panitia ujian profesi advokat tanggal 15 September
2005 dan menyelenggarakan kursus dan ujian advokat tidak bertentangan dengan undang-undang
Advokat, karena sesuai dengan Pasal 2, Pengangkatan dan Pendidikan Advokat dilakukan oleh Organisasi
Advokat, dalam hal ini PERADI.[31]
Putusan No. 100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 07 Maret 2007, Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyebutkan karena PERADI telah didirikan secara sah dan telah memiliki Anggaran
Dasar serta eksistensinya telah diakui secara sah menurut undang-undang hingga saat ini, maka perbuatan
PERADI dalam mengangkat Panitia Ujian Advokat (PUPA 2005) untuk dan telah melaksanakan atau
menyelenggarakan Ujian Profesi Advokat pada tanggal 04 Februari 2006 yang telah diikuti oleh
penggugat dan ujian yang diadakan lainnya oleh Tergugat-Tergugat harus dinyatakan sah dan mengikat,
serta bukan merupakan perbuatan melawan hukum.[32]
Semakin kuatnya eksistensi Organisasi Advokat, membawa pengaruh positif dalam pelaksanaan peranan
organisasi advokat dalam melaksanakan pengawasan terhadap advokat dalam menjalankan profesinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 12

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, yang isinya sebagai berikut :[33]

Pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh organisasi advokat (Pasal 12 ayat (1)).
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 bertujuan agar profesi advokat dalam menjalankan
profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan
(Pasal 12 ayat (2)).
Namun demikian diperlukan dengan segera agar organisasi advokat membentuk komisi pengawas
sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 13 Undang-Undang Advokat No.18 tahun 2003 sehingga fungsi
pengawasan melalui organ organisasi advokat dapat berfungsi melaksanakan tugasnya.
Didalam struktur organisasi advokat, selain Dewan Pimpinan Nasional terdapat Dewan Kehormatan dan
Dewan Pengawas. Dewan Pengawas ini bertugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap advokat yang
bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi advokat
dan peraturan perundang-undangan. Baik keanggotaannya terdiri dari unsur advokat senior, para
ahli/akademisi dan masyarakat. Dewan pengawas ini merupakan wadah yang menjamin agar fungsi dan
tugas-tugas advokat itu dapat berjalan seiring dengan pelaksanaan kode etik profesi, dalam unsur penegak
hukum yang lain dikenal juga sistem pengawasan seperti komisi pengawas kejaksaan, komisi pengawas
kepolisian dan komisi yudisial. Walaupun tatacara pengangkatannya dengan sistem yang berbeda.

page 13 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

PENUTUP

Sorotan terhadap hukum dan penegakan hukum bukanlah merupakan sosok yang baru di tanah air kita,
dia begitu penting untuk dibicarakan karena hal ini tidak saja merupakan tugas dan amanah konstitusi
(UUD 1945), tetapi lebih jauh di sisi lain ia juga merupakan tonggak sekaligus benteng untuk tegaknya
hukum dan keadilan.
Proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, tidak terlepas dari keberadaan hukum itu sendiri dalam
sistem sosial yang lebih luas. Prosedur penegakan hukum tidak terlepas dari faktor-faktor sosial-kultural
tempat hukum itu hendak diberlakukan.
Kelemahan yang mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah terletak pada sistem hukum dan
sarjana hukum di Indonesia. Kinerja sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia tidak memadai. Kritik
utama adalah mengenai profesional hukum yang tidak mampu mengimbangi perubahan yang muncul dari
pembangunan ekonomi.
Penulis berpendapat ada 5 (lima) penyebab lemahnya penegakan hukum dan 5 (lima) solusi pemecahan
masalah yang selanjutnya diuraikan di bahwa ini :

1. Sistem politik pemerintah yang belum teruji, pemecahan masalahnya tidak melakukan intervensi
kekuasaan ke dalam upaya penegakan hukum,
2. Sistem pengawasan masyarakat tidak efektif, pemecahannya peran pengawasan masyarakat menjadi
motivator objektif,
3. Etika profesi penegak hukum yang dilupakan, pemecahan masalahnya adalah, etika profesi
merupakan bagian yang terintegral dalam mengatur prilaku penegak hukum,
4. Pengaruh globalisasi ke dalam sistem hukum indonesia serta teori pemecahan masalahnya adalah
penguatan sistem hukum indonesia dengan melakukan harmonisasi hukum yang secara global
berkembang mempengaruhi dunia, dan
5. emahnya eksistensi organisasi advokat dari dukungan anggotanya, pemecahan masalahnya perlu
pemantapan dan ketahanan organisasi profesi dalam masyarakat.
Berdasarkan paparan ini diharapkan agar menjadi suatu masukan bagi para pembuat, pelaksana, dan
penegak hukum untuk berbenah diri dan memperbaiki diri dengan melakukan evaluasi dan resolusi dalam
mengupayakan Law Enforcement, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945.

DAFTAR PUSTAKA

page 14 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Ali, Achmad, Urgensi UU Advokat & Peran Advokat dalam Penegakan Supremasi Hukum. Seminar
Rancangan UU Advokat oleh DPP IKADIN, hal. 2, tanggal 27 Juni 2002.

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Bertens, K, Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Bemmelen, Van, Leerboek van het Nederlandssche Strarfprocesrecht, de herziene druk.

Braitwaite, John and Peter Drahos, Global Business Regulation, New York : Cambridge University Press,
2000.

Breeden, Richard C, “The Globalization of Law and Business In The 1990’s, “Wake Forest Law Review,
Vol. 28 No. 3, 1993.

Budiardjo, Miriam Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Hasibuan, Otto, Menjalankan Pekerjaan Profesi Advokat Dan Bertindak Seolah-olah Sebagai Advokat
Tetapi Bukan Advokat (Makalah disampaikan pada Diskusi yang diselenggarakan DPP IKADIN di Hotel
Kartika Chandra, Jakarta. Pada tanggal 29 Januari 2004.

___________, Keseimbangan dan Keterbukaan Dalam Kontrak Anjak Piutang di Indonesia, Jakarta :
Fauzie & Partners, 2010.

Kanter, E.Y, Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio-Religius Storia, Jakarta : Grafika,
tanggal Juli 2001.

page 15 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Komar, Mieke. at al., Mochtar Kusumaatmadja : Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis
Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.

Lev, Daniel S. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta,
1990.

Nugroho, Hibnu,Paradigma Penegakan Hukum Indonesia Dalam Era Global, Jurnal Hukum Pro Justitie,
Oktober 2008, Volume 26 No. 4

Pangaribuan, Luhut M.P, Advokat dan Contempt of Court : Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi,
Jakarta : Djambatan, 1996.

Pandu, Yudha, Klien dan Advokat, Jakarta : PT. Abadi, 2004.

Rasyidi, Lili & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti,
Bandung 2001.

Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali Pers,
2008.

Yunarto Wijaya, Materi Diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini, Jakarta, 18 Desember 2010.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No.168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 17 Juli 2006.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 07 Maret 2007.

page 16 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Winarta, Frans Hendra, berita diambil dari situs www.komisihukum.go.id.

page 17 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

Buletin PERADI, Vol. 02 Edisi Kedua Th. 1 Agustus 2008

[1]Tema yang diskusi yang dibuat oleh Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul.

[2] Pemakalah berprofesi sebagai Advokat di Jakarta dan Ketua Pendidikan dan PKPA Perhimpunan
Advokat Indonesia serta Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia, Jabatan
Akademisi Sekretaris Pelaksana Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Jayabaya.

[3] Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum dan Dunia Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Fauzie & Partners,
2007), hal. 1

[4] Raharjo Satjipto, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat ( Bandungg : Alumni, 1983), hal. 1181.

[5] Frans Hendra Winarta, berita diambil dari situs www.komisihukum.go.id

[6] Hikmahanto Juwana, Orasi Ilmiah, disampaikan pada acara wisuda program doktor Magister, dan
Spesialis di Balairung Universitas Indonesia pada tanggal 4 Februari 2006.

[7] Reformasi hukum di Indonesia, op, cit, hal. 147.

[8]Yunarto Wijaya, Materi Diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini, Jakarta, 18 Desember 2010.

[9]Ibid.

page 18 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

[10] Disampaikan oleh Jaksa Agung Basrief Arief dan jajarannya di Istana Negara, Jakarta, 13 Desember
2010.

[11]Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S,
Jakarta, 1990.

[12] Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis
Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.

[13] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2005., hal. 118.

[14]Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti,
Bandung 2001., hal. 181.

[15]Ibid.

[16]Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali Pers,
2008, hal. 21.

[17] Hati meurpakan pimpinan dari kerajaan diri, malah para ulama sufi menganjurkan hati sebagai raja
dalam kerajaan tubuh di dalam badan manusia, sebagaimana sabda Rarsulallah Muhammmad SAW,
”sesungguhnya dalam diri manusia itu ada segumpal daging apabila daging itu baik, maka baiklah
seluruh anggota badannya, apabila rusak, maka rusaklah seluruh anggotanya, ketahuilah itulah hati”, Kata
perhatian-perhatian, hati-hati dalam perjalanan, kata hati menunjukkan arti, buka hatimu agar langkah
perjalanan menuju hidup dapat selamat sampai ke tujuan. Ketika Malaikat membedah dada Nabi
Muhammad S.A.W hatinya dihembuskan kalam Illahi untuk menangkal dan memastikan perjalanan
kerasulannya menjadi panutan umat manusia, begitulah pentingnya hati dalam diri manusia, dalam
profesi hukum kata hati nurani harus sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan karena kata hati
itu terpelihara oleh etika profesi dan itu pula yang memberikan kepastian bahwa seorang Advokat
menjadi profesional. Berners mengatakan,Kode Etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan
arah bagai suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu didalam masyarakat.

page 19 / 22

Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum ( DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH - Wakil Ketum DPP Ik
Universitas Esa Unggul - http://www.esaunggul.ac.id

[18] Hibnu Nugroho, Paradigma Penegakan Hukum Indonesia Dalam Era Global, Jurnal Hukum Pro
Justitie, Oktober 2008, Volume 26 No. 4

[19] Fauzie Yusuf Hasibuan, Op, Cit, hal. 166.

[20] John Braitwaite and Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York : Cambridge University
Press, 2000), hal. 24-25.

[21] Ibid., Lihat juga Richard C. Breeden, “The Globalization of Law and Business In The 1990’s, “Wake
Forest Law Review, Vol. 28 No. 3 (1993), hal. 511-517.

[22] Transplantasi dalam pengertian umum dapat diartikan sebagi pemotongan lalu diganti dengan
ketentuan hukum dari luar sebagai donor undang-undang, oleh karena itu istilah tranplantasi menurut
pendapat penulis tidaklah tepat dalam melakukan perubahanperkembangan hukum di indonesia sebaiknya
dilakukan dengan harmonisasi bukan transplantasi. Harmonisasi secara etimol