ANALISIS HUBUNGAN DETERMINAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WANITA PENJAJA SEKSUAL (WPS)

ANALISIS HUBUNGAN DETERMINAN KEJADIAN PENYAKIT
INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WANITA
PENJAJA SEKSUAL (WPS)
Adius Kusnsan1)
1)

Fakultas Kesehatan Universitas Haluoleo
Email : adius_kusnan@yahoo.com

Abstract : Analysis of the Determinant Factors Related to the Prevalence of Sexual
Infectious Infection Disease of the Prostitutes in Kendari, Bau-Bau and Muna year
2012 Town. Sexual infectious infection disease is a public health problem in indonesia and
world wide because its effect is very broad viewed from health,politic,and socioeconomic.
Failure in diagnosis and therapy in the early stage resulting in serious complications, for
example, invertility, neonatal infection, and even death. The aim of the study was to analyze
the factors relatedto the prevalenceof sexual infectious infection disease of the prostitutes in
Kendari, Bau-Bau and Muna town. The study was a cross sectional study with the number of
samples was 222 prostitutes. The variables studied were the use of condoms, knowledge of
sexual infectious infection disease and AIDS, sexual intercouese method, frequency of
intercourse, length of profession as prostitutes, and age.The results of the study indicate that
there are four factors which have a close correlation with the prevalence of the sexual

disease: age of the respondent < 29 years (p=0,001 < 0,05), respondents knowledge (p=0,001
< 0,05), sexual intercourse method (p=0,002 < 0,05), and frequency of sexual intercourse
(p=0,016). It is recommended that the regional goverment improve the coordination with
interrelated sectors, fund provision, intensive counseling about sexual infection disease
and AIDS, increase health resources so that this disease will not be a problem for the
public health.
Keywords : Determinant factor, age and knowledge of the prostitunes
Abstrak : Analisis Hubungan Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual
(IMS) Pada Wanita Penjaja Seksual (WPS). Penyakit infeksi menular seksual merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia bahkan di seluruh dunia, karena dampaknya
sangat luas baik ditinjau dari segi kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi. Kegagalan
dalam diagonasis maupun terapi pada tahap dini mengakibatkan timbulnya komplikasi yang
cukup serius, misalnya infertilitas, kematian janin, infeksineonatus, bahkan sampai
menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS diwilayah Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang (cross sectional study),
dengan sampel responden sebanyak 222 orang wanita penjaja seksual. Variabel yang diteliti
adalah kegunaan kondom, pengetahuan tentang IMS dan AIDS, cara hubungan seksual,
frekuensi hubungan, lama berprofesi, dan umur. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat
angka 4 (empat) faktor yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya penyakit infeksi

menular seksual (IMS) yaitu faktor umur responden < 29 tahun (nilai P = 0,001x 2 tabel. Hasil
uj i ini menunjukan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan dengan kejadian IMS.
Hasil Uji Chi Square pada df = 1 didapat
25,412 dan p-value = 0,000. Apabila
dilihat
dari
hasil
uji
tersebut,
menunjukkan bahwa x2hitung lebih besar
dari x2tabel (25,412 > 3,842). Hasil ini
menunjukan ada hubungan antara cara
hubungan seks yang dilakukan oleh
responden baik secara normal maupun tidak
normal (Hetero seks/oral seks/anal seks)
dengan kejadian Infeksi Menular Seksual
(IMS).
Hasil uji Chi Square pada df = 1
didapat 17,489 dan p-value = 0,000. Apabila

dilihat pada tabel t e r s e b u t , t e r n y a t a
x2hitung
lebih
besar
daripada
x 2 t a b e l ( 1 7 , 4 8 9 > 3,842). Hal ini berarti
ada hubungan frekuensi hubungan seks
dengan kejadian Infeksi Menular Seksual
(IMS).
Berdasarkan hasil uji Chi Square
pada df = 1 didapat 10,782 dan p-value =
0,001 yang berarti x 2 hitung lebih besar
daripada x 2 tabel (10,782>3,842). Hasil
uji menunjukan bahwa ada hubungan
antara l a ma r e s p o nde n
b e r pr o f e s i
s e b a ga i W P S d e n ga n ke j a di a n IM S .
Berdasarkan hasil uji Chi Square
pada df = 1 didapat 10,782 dan p-value =
0,001 yang berarti x 2 hitung lebih besar

daripada x 2 tabel (10,782>3,842). Hasil
uji menunjukan ada hubungan antara
l a ma r e s p o n de n
b e r p r of e si s e ba ga i
W P S . H asil Uji Chi Square pada df = 1
didapat 27,903 dan p-value = 0,000.
Apabila dibanding
dengan
x 2 tabel
2
(3,842), maka x hitung lebih besar
(27,903>3,842). Hasil ini menunjukan bahwa
ada hubungan antara umur dari WPS dengan
kejadian IMS dengan kejadian IMS.
Analisis Multivariat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan serta kontribusi masing-masing
variabel
dependen
terhadap

variabel
independent
apabila
dimasukan
secara
bersamaan. Pada tabel 21 memperlihatkan hasil
uji logistik regresi, dimana variabel independen
dengan nilai p-value < 0,05 saja yang
dimasukkan kedalam model. Variabel umur dan

348 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350

pengetahuan responden merupakan variabel
yang paling besar kontribusinya terhadap
kejadian IMS, sedangkan variabel cara
hubungan seks dengan p = 0,002 dan frekuensi
tamu dengan p = 0,016, tetap berhubungan
secara bermakna terhadap kejadian IMS,
walalupun kontribusinya lebih kecil dibanding
dengan variabel umur dan pengetahuan.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukan dari 222
orang Wanita Penjaja Seksual (WPS) terdapat
52 orang (23,42%) WPS yang menderita
Infeksi Menular Seksual (IMS) di Kota
Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna tahun
2012, prevalensi IMS hampir sama dengan
prevalensi di Indonesia antara (10-35%),
(Dep.Kes.Rl, 1997). Namun lebih rendah bila
dibanding dengan angka IMS yang ada,
sebesar 47,5%. (Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tenggara tahun 2010), termasuk
data dari RS Umum Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2009, sebesar 52,87% dari seluruh
penderita yang dirawat di Rumah Sakit.
Hasil penelitian menunj ukkan mes kipun lebih banyak pelanggan yang sering
menggunakan kondom (66,7%), ternyata masih
menderita IMS (23,42%). Demikian juga
penelitian di Bali oleh Dewa, Wirawan dari
Yayasan Kerti Praja dan Kathy Fored, et,

al, University of Michigan, USA (2000),
terjadi peningkatan pemakaian kondom
dari 31% jadi 70%, angka prevalensi sifilis
turun dari 14% menjadi 0,7%, dan prevensi
gonore turun dari 63% menjadi 44%.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa angka pemakaian kondom di Kota
Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna
sistem pendistribusian kondom sudah
berjalan baik, dan relatif lebih tinggi bila
dibanding dengan penelitian di Denpasar
yang
hanya
32%
saja
pelanggan
menggunakan kondom serta hasil penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Merauke,
Papua, hanya 10% saj a kontak sek s
yang menggunakan kondom.

Hasil penelitian ini melalui analisis
bivariat dengan nilai p-value 0,000 dan
membuktikan bahwa pengetahuan tentang IMS
dan AIDS, ternyata mempunyai hubungan
bermakna terhadap kejadian IMS. Hasil ini
didukung dengan analisis multivariat
dengan nilai p-value = 0,001 (lebih kecil

dari 0,05), yang berarti pengetahuan
mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap kejadian IMS.
Hal ini dapat dipahami karena
responden yang dapat memahami tentang
IMS dan AIDS, tentu mereka tidak akan
melakukan hubungan seks secara tidak
normal, menjaga penularan penyakit
dengan berupaya membujuk pelanggannya
untuk menggunakan kondom, dan segera pergi
beobat di fasilitas kesehatan atau ke dokter
praktek jika ditemukan gejala IMS dan AIDS.

Hal ini sesuai dengan penelitian di Denpasar,
Bali,
bahwa
dengan
intervensi
pengetahuan yang intensif akan menurunkan
secara signifikan angka IMS dan HIV/AIDS
yaitu untuk prevalensi sifilis turun dari 14%
menjadi 0,7%, dan prevalensi gonore turun
dari 63% menjadi 44%. Bila peningkatan
pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS
diberikan secara intensif kepada WPS tentu
akan medapatkan hasil yang positif yakni
penurunan angka IMS.
Hasil penelitian melalui analisis
bivariat menunjukkan nilai p-value = 0,000,
dan analisis muftivariat dengan nilai p-value =
0,002, yang berarti bahwa cara hubungan seks
yang tidak normal atau secara anal/oral seks,
hubungan secara heteroseks, ternyata

mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap kejadian IMS. Hasil penelitian ini
juga mengungkapkan bahwa dari 222 sampel
tersebut, hubungan seks secara tidak normal
adalah dengan melalui anal seks sebanyak 4
orang (1,80%), dan oral seks sebanyak 48
orang (20,72%). Hal ini disebabkan karena
mukosa pada kulit alat kelamin wanita baik
pada mulut (oral), atau anal (dubur), sangat
tipis s e ka l i , s e hi n gga mu d a h t ej a d i
p e r l u ka a n
( D i t .J e nd. P P M
&
PL
Dep.Kes.R.1, dalam AIDS untuk Petugas
Kesehatan, 1998).
Tingkat risikonya
tergantung
pada jumlah virus yang masuk kedalam
tubuh seseorang seperti luka, perdarahan

gusi atau penyakit gigi mulut atau pada alat
genital (DepKes, 2001).
Hasil penelitian melalui analisis
bivariat dengan p-value = 0,000 dan pada
multivariat, nilai p-value = 0,016 yang
menunjukkan bahwa frekuensi hubungan seks
mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap kejadian IMS di Kota Kendari, Kota
Bau-Bau dan Kab. Muna. Menurut pengakuan

Kusnsan, Analisis Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual 349

responden
bahwa
berapapun
jumlah
tamu/pelanggan dan kapanpun tamu atau
pelanggan tersebut mau berkencan padanya,
tetap akan dilayani. Hasil penelitian ini
menunj ukkan bahwa rata -rata setiap
hari responden menerima pelanggan
hanya 1 (satu) orang. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa responden
yang menerima pelanggan > 3 orang
sebanyak 86 orang (38,7%), sedangkan
yang tidak tentu menerima pelanggan I
s/d. 2 orang setiap minggu) sebanyak 136
orang (61,3%). Bila frekuensi hubungan
seksual dengan responden kurang, maka tentu
IMS dapat berkurang. Dengan demikian wajar
saja bila dikatakan bahwa semakin banyak
frekuensi hubungan seks yang dilakukan oleh
responden, semakin tingginya kejadian IMS.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa dalam analisis bivariat nilai p = 0,001,
berarti lama berprofesinya responden
mempunyai hubungan dengan kejadian IMS.
Namun setelah diuji bersama dalam analisis
multivariat, nilai p-value menjadi 0,062,
yang berarti tidak ada hubungan yang
bermakna. Hal ini berarti masih ada faktor
lain yang lebih dominan terhadap lama profesi
responden tersebut, terutama faktor usia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bila responden yang sudah lama berprofesi
(≥ 3 bulan), akan mengalami risiko sakit
IMS sebesar 57,2%, sedangkan responden
yang berprofesi kurang 3 bulan, akan
menderita IMS sebesar 42,8%. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Bing
Wibisono,(1998), bahwa WPS yang lebih dari 3
bulan akan lebih banyak menderita IMS.
Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa baik dalam analisis bivariat nilai pvalue 0,000, dan pada multivariat
nilainya 0,001 atau ada hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian
IMS. Artinya bahwa responden yang usianya
< 29 tahun, akan lebih banyak menderita IMS
dibanding dengan responden yang berusia > 29
tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kelompok Studi
Penyakit
Menular
Seksual
Indonesia
(KSPMSI),1998, bahwa kasus IMS umumnya
pada wanita muda dan data dari
Dit.Jend.PPM & PL Dep.Kes. (2003)
menunjukkan bahwa 65% pengidap HIV di

Indonesia adalah berusia 15-30 tahun.
Demikian juga penelitian lain), membuktikan
bahwa terdapat hubungan yang sangat
bermakna antara usia muda WPS dengan
kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS).
SIMPULAN
Simpulan dari penelitian ini:
1. Penggunaan
Kondom
bukan
merupakan faktor yang berhubungan
dengan kej adi an IMS pada WPS di
Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna, (nilai bivariat = 0,014,
sedangkan pada multivariat = 0,124).
2. P en get a hua n t ent a ng IM S dan
A ID S , me r upa kan f a kt or ya n g
berhubungan dengan kejadian IMS pada
WPS di Kota Kendari, Kota Bau -Bau
dan Kab. Muna, (nilai pada bivariat =
0,000, sedangkan pada multivariat = 0,001).
3. Cara berhubungan seksual meru pakan faktor yang berhubungan
dengan kej adi an IMS pada WPS di
Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna, ( nil ai bivar iat = 0,000,
sedangkan multivariat = 0,002).
4. Frekuensi hubungan seksual merupakan
faktor
yang
berhubungan
d en gan kej adi an IM S pa da WPS di
Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab.
Muna, (nilai pada bivariat = 0,000,
sedangkan pada multivariat = 0,016).
5. Lama berprofesi bukan merupakan
faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada Wanita Penjaja Seksual
(WPS) di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna .(nilai bivariat = 0,001,
sedangkan pada multivariat = 0,062).
6. Umur responden merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejadian IMS pada
WPS di Kota Kendari, Bau-Bau dan Kab.
Muna (nilai bivariat = 0,000, sedangkan
multivariat = 0,001).
7. Faktor hubungan determinan terhadap
kejadian IMS pada WPS dari urut
terbesar ke urut terendah adalah : Umur
responden, pengetahuan tentang IMS dan
HIV/AIDS, cara hubungan seks, dan
frekuensi hubungan seks.

350 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350

DAFTAR RUJUKAN
Dit.Jend.
Dep.Kes.R.I.
1998,
Petunjuk
Pelaksanaan Konseling HIV/ AIDS, Jakarta.
Dit.Jend. Dep.Kes.R.I. 2003, Estimasi
Nasional Infeksi HIV pada Orang Dewasa
Indonesia, Dep. Kes,. Jakarta.

Dep.Kes. dan Kes.Sos R.I, 2001. Pedoman
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV di Sarana
Pelayanan Kesehatan, Dep.Kes.Jakarta.