Tinjauan Pustaka PRURITUS GENERALISATA TANPA PENYAKIT KULIT

  Tinjauan Pustaka

PRURITUS GENERALISATA TANPA PENYAKIT KULIT

  

Elhuda, Yenny SW

SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,

FK Universitas Andalas/RSUP dr. M. Djamil Padang

  ABSTRAK Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit didefinisikan sebagai suatu kelainan yang ditandai dengan rasa gatal yang luas tanpa disertai dengan lesi primer pada kulit. Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit paling sering disebabkan oleh penyakit sistemik, prevalensinya berkisar antara 10 % sampai 50 %.

  Patogenesis terjadinya pruritus generalisata tanpa penyakit kulit pada dasarnya disebabkan karena ketidakseimbangan antara µ dan ™ opioid di susunan saraf sentral. Untuk menegakkan diagnosis pruritus generalisata tanpa penyakit kulit tidaklah mudah, diperlukan pendekatan yang komprehensif, dimulai dengan anamnesis yang mendalam pemeriksaan fisik yang teliti dan berbagai pemeriksaan laboratorium canggih.

  Pengobatan pruritus bergantung pada identifikasi dan menghilangkan penyebabnya. Tanpa diketahui penyebabnya, terapi yang diberikan hanya bersifat paliatif dan hasilnya tidak begitu me mua ska n.

  Terdapat beberapa modalitas terapi untuk penatalaksanaan pruritus generalisata, antara lain terapi farmakologik, fototerapi, dan psikoterapi. Berdasarkan patogenesis terjadinya pruritus generalisata tanpa penyakit kulit, maka terapi farmakologik yang paling efektif adalah antagonist opioid reseptor dan agonis-antagonis opioid. Berdasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilak uka n foto ter api da n p sik ote rap i terb ukti e fek tif u ntu k p ena talaks ana an pru ritus generalisata.(MDVI 2015; 42/2: 91 - 96) Kata Kunci: Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit, patogenesis, terapi ABSTRACT

   Generalized pruritus without skin disease is defined as a disorder characterized by itching without any extensive primary lesions on the skin. The most common etiology of generalized pruritus without skin disease is systemic disease, with a prevalence of 10 % to 50%.

  Pathogenesis of generalized pruritus without skin disease is basicly caused by the imbalance between μ and ™ opioids in the central nervous system. To estability the diagnosis of generalized pruritus without skin disease, anamnesis, physical examination and other laboratory examinations have to be performed. The treatment of generalized pruritus without skin disease depends on identification and elimination of cause, if not identified, the treatment will only be paliative and unsatisfactory. There are several therapeutic modalities for the treatment of generalized pruritus, including pharmacologic therapy, phototherapy and psychotherapy. According to the pathogenesis of generalized pruritus without skin disease, the most effective pharmacologic therapy are opioid receptor antagonist and agonist-antagonist opioids. There are many studies that have found phototherapy and psychotherapy to be effective for the treatment of generalized pruritus.(MDVI 2015; 42/2:91 - 96) Keywords: Generalized pruritus without skin disease, pathogenesis, therapy

  Korespondensi : Jl. Perintis Kemerdekaan- Padang 25127 Telp/Fax: 0751 - 810256 Email: dr.uta99@yahoo.com

  MDVI Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 91 - 96

  Aktivasi saraf nosiseptor dalam tingkat yang rendah akan menimbulkan sensasi gatal, sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi akan menimbulkan sensasi nyeri, hal ini dikenal dengan teori intensitas. Berdasarkan teori tersebut, aplikasi pruritogen (misalnya histamin) dalam kosentrasi tinggi akan menyebabkan rasa nyeri. Namun aplikasi

  adenosine receptor ligands pada serabut C. Kesamaan

  ATP voltage-gated ion channels yang mirip dengan

  tirosin 1 (NTRK1), dan transient receptor potential (TRP) ion channels (terutama TRPV1). Keratinosit juga memiliki

  reseptor μ-dan κ-opioid, proteinase-activated receptor-2 (PAR-2), reseptor vaniloid, reseptor kinase tipe neurotropik

  neurotrophin 4. Serta reseptor masing-masingnya, yaitu

  Diperkirakan bahwa epidermis bertindak sebagai r eseptor pr ur itus, tetapi r eseptor spesifik belum teridentifikasi. Pengangkatan epidermis menghilangkan persepsi gatal, hal tersebut menunjukkan bahwa reseptor pruritus terutama terletak pada epidermis. Selain itu, keratinosit mengekspresikan berbagai mediator saraf dan reseptor yang terlibat dalam sensasi gatal, antara lain opioid, protease, substansi P, nerve growth factor (NGF) dan

  Sensasi gatal diawali dengan adanya stimulus pada ujung saraf bebas yang merupakan ujung serabut C yang tidak bermielin. Impuls gatal yang dibawa oleh serabut C tidak bermielin tersebut selanjutnya akan diteruskan ke ganglion radiks dorsalis selanjutnya ke kornu dorsalis medula spinalis, selanjutnya impuls gatal tersebut akan melalui jaras spinotalamikus lateral, kemudian diproyeksikan ke talamus dan akhirnya sampai ke korteks serebri. Proses tersebut akan mengaktifkan beberapa area pada otak, misalnya korteks somatosensori primer, korteks anterior, dan korteks premotor. Sehingga akhirnya terjadinya keinginan untuk menggaruk. 1,12-14

  algogens konsentrasi rendah tidak menimbulkan sensasi gatal, tapi nyeri ringan. 1,12-14

  Stimulus berupa perubahan temperatur rangsang, kimia, mediator inflamasi, perubahan pH akan diterima oleh berbagai reseptor di kulit dan diteruskan ke ganglion radiks dorsal kemudian ke kornu dorsalis medula spinalis dalam pembentukan sensasi nyeri, rasa terbakar, dan lain-lain termasuk gatal. 1,13,14

  PENDAHULUAN

  PATOGENESIS PRURITUS

  Setelah diklasifikasikan berdasarkan klinisnya, kemudian diklasifikasikan lagi berdasarkan mekanisme terjadinya pruritus. 9,10 Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit secara klinis termasuk Grup II dan etiologinya adalah kelainan sistemik, neurologis, dan psikiatri. Pruritus tanpa lesi kulit dulu dikenal dengan istilah pruritus sine materia, yang dapat diinterpretasikan pada berbagai keadaan antara lain pruritus tanpa penyakit dasar, pruritus tanpa lesi kulit, dan pruritus pada orang tua, sehingga istilah tersebut menjadi membingungkan dan tidak direkomendasikan untuk digunakan lagi. 9,10

  IFSI pada tahun 2007 membuat klasifikasi pruritus berdasakan perubahan pada kulit dan mekanisme terjadinya pruritus, yaitu: a). Grup I: pruritus pada penyakit kulit (kulit mengalami inflamasi), b). Grup II: pruritus pada kulit yang normal (non-inflamasi), c). Grup III: pruritus dengan lesi sekunder akibat garukan kronis. 9,10

  KLASIFIKASI PRURITUS

  Pengobatan pruritus bergantung pada identifikasi dan men gh ilan gkan pen yebabn ya. Tan pa diketah ui penyebabnya, terapi yang diberikan bersifat paliatif dan hasilnya tidak begitu memuaskan. 1,7,9,10 Karena itu diperlukan pemah aman yan g baik men gen ai diagn osis dan penatalaksanaan pruritus generalisata pada kulit yang normal.

  Untuk menegakkan diagnosis pruritus generalisata tanpa penyakit kulit tidaklah mudah, diperlukan pendekatan yang komprehensif, dimulai dengan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisis yang teliti, dan berbagai pemeriksaan laboratorium canggih. 1,9,10

  membedakan pruritus berdasarkan lama keluhannya, yaitu pruritus akut dan kronis, kronis jika keluhan berlangsung selama lebih dari 6 minggu. Pruritus kronis biasanya berkaitan dengan berbagai penyakit sistemik. Pruritus dapat timbul dengan atau tanpa kelainan kulit, lokal atau generalisata. 1-10 Pruritus generalisata termasuk pruritus kronis. Pruritus kronis merupakan masalah bagi dokter karena sulit untuk didiagnosis dan diobati. Bagi pasien, pruritus kronis mempengaruhi kualitas hidup, misalnya menyebabkan gangguan tidur, mengganggu pekerjaan serta kehidupan sosial. 8-12

  The International Forum for the Study of Itch (IFSI),

  Pruritus telah didefinisikan sejak lebih dari 340 tahun yang lalu oleh Samuel Hafenreffer, seorang dokter yang berasal dari Jerman sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk daerah tertentu untuk mendapatkan kelegaan. 1-6 Pruritus merupakan gejala yang menyusahkan dari berbagai penyakit kulit dan penyakit sistemik. 2 Metz dkk. (Jerman, 2010) melaporkan prevalensi pruritus berkisar antara 8,4 % sampai 13,9 % dari seluruh populasi. Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit paling ser in g disebabkan oleh pen yakit sistemik, prevalensinya berkisar antara 10 % sampai 50 %. 4 Pruritus yang disebabkan penyakit sistemik paling sering terjadi pada pasien uremia dengan prevalensi 10-70% dan penyakit hati dengan prevalensi 15-100%. 5-7

  struktur tersebut menunjukkan bahwa keratinosit mungkin terlibat dalam mekanisme terjadinya gatal. 11-19 Neurotransmitter-neuropeptida yang bertanggung jawab atas sensasi gatal antara lain histamin, serotonin, bradikinin, neuropeptide-P, protease, dan endotelin (yang menghasilkan oksida nitrat). Opioid juga dikenal sebagai salah satu modulator terjadinya pruritus. Sensitisasi reseptor µ-opioid menginisiasi pruritus, sedangkan penghambatan reseptor µ-opioid dan stimulasi reseptor kappa menekan kejadian pruritus. 10-16 Mekanisme yang paling berperan dalam terjadinya pruritus generalisata adalah gangguan pada neurotransmiter di susunan saraf pusat. 1,2,13

  DIAGNOSIS PRURITUS GENERALISATA TANPA PENYAKIT KULIT

  Kulit kering merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada pruritus yang mungkin disebabkan oleh sering mandi dan penggunaan sabun. Untuk mengatasi keadaan tersebut, dianjurkan menggunakan pelembab segera setelah berkontak dengan air. 1,6,7,12

  Obat-obat yang tergolong antagonis reseptor opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek kecuali jika sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid

  Berdasarkan teori ini, pilihan terapi untuk pruritus generalisata adalah antagonis µ-opioid, misalnya naloxone dan naltrexone. 1,26-29

  besar disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sistem µ dan κ-opioid. Aktivasi reseptor µ-κ akan merangsang munculnya gatal, sedangkan stimulasi reseptor κ-opioid menghambat efek µ-reseptor di sentral dan perifer.

  Terapi sistemik Antagonis reseptor opioid. Pruritus generalisata secara garis

  Terapi topikal untuk penatalaksanaan pruritus generalisata tidak efektif, karena pruritusnya bersifat menyeluruh dan kelainannya terjadi di jalur sentral pada jaras gatal.

  Un tuk pen gobatan prur itus generalisata per lu dipertimbangkan penyakit dasar yang menimbulkan keluhan gatal tersebut. Terapi bersifat individual, bergantung pada berbagai faktor, antara lain: usia, penyakit penyerta dan pengobatannya serta tingkat keparahan pruritus. 1,12,26,27

  Berbagai faktor internal yang dapat mencetuskan pruritus antara lain makanan pedas, alkohol, minuman panas, obat-obatan (seperti beta blocker dan alopurinol), dan faktor psikologis seperti stres, harus dihindari. 6,12

  Faktor eksternal yang mencetuskan pruritus sedapat mungkin dihindari, misalnya ruangan yang panas dan pakaian yang tidak menyerap keringat. Sensasi gatal akan meningkat jika kulit h angat, sebaiknya suhu kulit didinginkan dengan mandi air dingin, memakai pakaian yang tipis, dan pemakaian pen yejuk r uan gan jika memungkinkan. 6,7,12

  Anamn esis yan g men dalam diperlukan un tuk menegakkan diagnosis prur itus generalisata. Perlu ditanyakan apakah ada penyakit kulit yang mendasari keluhan gatal, apakah gatalnya terus menerus atau intermiten, kapan gatal terutama dirasakan (pagi, siang atau malam), apakah gatal sampai mengganggu tidur, apa saja faktor-faktor yang mencetuskan gatal (misalnya: cuaca, stres, berkeringat). Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat penyakit sistemik dan penggunaan obat. 1 Jika gatal dimulai dari telapak tangan kemudian menyebar ke seluruh tubuh, disertai dengan perubahan warna kulit menjadi kekuningan kemungkinan penyebabnya adalah kolestasis. Jika gatal muncul setelah berkontak dengan air, kemungkinan disebabkan oleh polisitemia vera. Jika gatal disertai dengan perubahan warna kulit menjadi lebih gelap dan kulit kering kemungkinan disebabkan oleh gagal ginjal kronis. 11,12,19,20

  Tatalaksana pasien dengan pruritus generalisata diperlukan pendekatan yang menyeluruh terhadap pasien dan diperlukan adanya empati dari dokter ke pasien. Sangat penting untuk menerangkan kepada pasien bahwa keluhan gatal tersebut sulit untuk diobati. 1,12,25

  PENATALAKSANAAN PRURITUS GENERALISATA TANPA PENYAKIT KULIT

  Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) merupakan pemeriksaan pen yarin g un tuk gagal gin jal kron is, pemeriksaan fungsi hepar (kadar SGOT, SGPT, bilirubin direk dan indirek) untuk mengetahui ada tidaknya kolestasis. Rontgen foto toraks dilakukan sebagai pemeriksaan penyaring untuk keganasan. 7-13

  Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dilakukan untuk melihat ada tidaknya kelainan darah yaitu, polisitemia dan leukemia. Untuk mengetahui ada tidaknya hipertiroid dan hipotiroid diperlukan pemeriksaan TSH dan T4.

  Respons psikologik pada pruritus bergantung pada berat pruritus dan status emosional pasien. Bila stimulus pruritus berlangsung sering, lama, dan tanpa diketahui penyebabnya, maka akan berakibat timbulnya perasaan takut, tegang, dan cemas. Lambat laun dapat timbul perubahan pada kepribadian pasien. 1, 2,12

  pasien, berupa kulit yang normal di bagian tengah punggung sedangkan pada bagian pinggirnya terdapat daerah yang hiperpigmentasi. Hal in i disebabkan ketidakmampuan pasien untuk menggaruk bagian tengah punggungnya. Garukan dengan kuku menyebabkan ekskoriasi linear pada kulit dan laserasi pada kukunya sendiri. 1,12,13,25

  Butterfly sign adalah suatu tanda yang terlihat di punggung

  Lesi kulit sekunder yang muncul sebagai manifestasi klinis pruritus ialah ekskoriasi, likenifikasi, hiperpigmentasi, ataupun h ipopigmen tasi. Hiper pigmen tasi atau hipopigmentasi pascainflamasi sering muncul pada orang dengan tipe kulit IV - VI. Plak likenifikasi biasanya muncul di daerah yang mudah dijangkau oleh pasien misalnya tengkuk, siku, pergelangan kaki, bokong, dan genitalia.

  

Elhuda & Yenny SW Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit endogen sedang aktif. Bioavaibilitas naloxone oral rendah, maka diperlukan pemberian secara parenteral. Setelah pemberian secara subkutan dan intra vena, sebagian besar akan men galami metabolisme di h ati men jadi

  naloxaneglucuronoid kemudian dieksresikan melalui ginjal. Naloxone didistribusikan dengan cepat ke otak, sehingga terjadi penghambatan reseptor µ-opioid di sentral. 1,6,26-30

  Dosis yang biasa digunakan untuk men gatasi pruritus adalah 1-4 mg, diberikan sebelum tidur secara intranasal. 1,12,26 Efek samping yang sering muncul berupa rasa mengantuk, dizziness, mual, dan muntah. Efek samping yang jarang terjadi adalah konstipasi. 1,12,26

  pruritus yang paling sering digunakan, namun tidak efektif jika diberikan pada pruritus generalisata, karena histamin kurang berperan dalam terjadinya pruritus generalisata. Namun penelitian baru-baru ini menunjukan bahwa antihistamin modern dalam dosis tinggi dapat mengurangi rasa gatal pada pruritus generalisata tanpa lesi kulit, karena antihistamin modern dapat mencegah degranulasi sel mast, sehingga tidak terbentuk berbagai mediator p r ur i t us l a in n ya ya n g ju ga d i h a si lk a n ol eh sel mast. 1,3,6,8,12,15,26

  Antihistamin. Antihistamin H1 (AH1) merupakan anti

  Dosis gabapentin yang biasa digunakan adalah 300- 2400 mg diberikan empat kali sehari. Efek samping yang ser i n g m un cu l ber u pa r a sa m en ga n t u k d a n konstipasi. 1,14,15,26

  Gabapentin dapat menghambat impuls gatal di sentral. Pregabalin adalah obat nyeri neuropatik baru yang memiliki str uktur dan fun gsi yan g sama den gan gabapentin dengan efek samping yang lebih sedikit. 1,14,15,26

  sclerosis, pruritus uremia dan pruritus neuropatik lainnya.

  digunakan sebagai antikonvulsan, namun mekanisme kerja pada SSP kurang dipahami. Beberapa penelitian telah m en u n ju kk a n ba h wa g a ba p en t i n efek ti f u n t u k pengobatan pruritus brakioradial, pruritus pada multiple

  neurotransmitter γ-aminobutyric acid telah

  struktural

  Antikonvulsan. Gabapentin yang merupakan analog

  samping yang serius dan mungkin efektif digunakan sebagai terapi pruritus nokturnal. Obat tersebut efektif digunakan dengan dosis 15 mg pada malam hari untuk mengatasi pruritus. Efek samping yang sering muncul antara lain mengantuk, mulut terasa kering, meningkatnya nafsu makan, dan berat badan,. 1,16,17,25,26

  Mirtazapine merupakan obat yang aman tanpa efek

  Antidepresan. Antidepresan yang sering digunakan u n tu k men g a ta si p r u r it u s ad a l ah mi rt a za p i n e .

  berperan sebagai agonis parsial dan antagonis pada reseptor μ-opioid dan aktivitas agonis pada reseptor κ- opioid. Perangsangan reseptor pada sistem saraf pusat menyebabkan penghambatan adenilat siklase intraselular, seh ingga terjadi pen utupan saluran kalsium, dan terbukanya saluran kalium pada membran sel. Hal tersebut menyebabkan hiperpolarisasi pada membran sel dan penghambatan transmisi impuls gatal pada jaras asenden. Waktu paruhnya kira-kira 3 jam, sehingga pemberiannya dapat diulang setiap 3-4 jam. 1,26

  Naltrexone adalah antagonis kompetitif reseptor µ-

  Agonis-antagonis reseptor opioid. Butorp hanol

  hepatitis akut, dan insufisiensi hepar berat, karena obat tersebut dimetabolisme di hepar. 1,26,27

  Naltrexone tidak boleh diberikan pada pasien

  dilanjutkan dengan pemberian naltrexone 12,5-150 mg/hari per or a l pa da p asien den gan pr ur itus kol esta sis memberikan hasil yang sangat memuaskan, seluruh pasien mengalami remisi lengkap.

  naloxone 0,002-0,2 µg/kg/menit intra vena, kemudian

  Penelitian Jones pada tahun 1992 yang dikutip dari Sairi dkk, 26 dan Paus dkk, 27 melaporkan terdapat penurunan rasa gatal yang signifikan pada pasien dengan pruritus kolestatis yang mendapat terapi naltrexone 25 mg/hari yang diberikan secara oral. Neuberger memberikan

  Pada pemakaian klinis, antagonis reseptor opioid terbukti mampu mengatasi pruritus yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Waktu paruh naloxone sangat pendek yaitu 1-2 jam, sehingga diperlukan pemberian yang sering atau diberikan secara continuous infusion (drip), dengan dosis 0,002 µg/kg/menit, dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 0,2 µg/kg/menit dalam 24 jam. 1,6,26,27

  µ dan κ opioid, misalnya pada pruritus kolestatis dan pruritus renal. Pada beberapa penelitian ek sp er i men ta l, pr ur i tus yan g disebabk an ol eh neuropeptida dan neurotransmiter yang berbeda misalnya histamin, substansi P, serotonin, serta asetilkolin dapat benar-benar ditekan oleh nalokson dan naltreksone. 26-29

  Antagonis reseptor opioid merupakan obat pilihan untuk pruritus generalisata yang disebabkan ketidak seimbangan antara

  naltrexone tidak menyebabkan ketergantungan. 26-30

  lebih 48 jam di dalam sirkulasi darah, kemudian dieksresikan melalui ginjal. Setelah diberikan naltrexone 50 mg, reseptor µ-opioid di sentral dihambat selama 72 sampai 108 jam, dan terdapat beberapa efek lainnya berupa miosis pupil, disforia, dan perasaan yang tidak menyenan gkan, wa la upu n k ea daa n in i da pa t d ia bai ka n . Pot en si antagonisnya 12-17 kali lebih kuat dari nalorphine dan 2 kali lebih kuat dari naloxone. Kelebihan lainnya yaitu,

  6-β-naltrexol kemudian diubah lagi menjadi konjugasi glucoronide. 1,26-30 Naltrexone dan metabolitnya bertahan selama kurang

  opioid, long-acting, yang diberikan secara oral. Bahan aktifnya adalah derivat siklopropil dari oxyorphone yang strukturnya mirip dengan naloxone. Setelah diberikan secara oral, naltrexone diserap secara cepat dengan kadar tertinggi dalam plasma (19 s/d 44 µg/l) tercapai dalam 1 jam. Naltrexone dimetabolisme di hepar menjadi metabolit

  MDVI Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 91 - 96

  Penatalaksanaan nonfarmakologik. Fototerapi. Fototerapi telah digunakan lebih dari satu dekade

  Terapi farmakologik yang paling efektif untuk pruritus generalisata dengan antagonis reseptor opioid dan agonis- antagonis reseptor opioid. Fototerapi dan psikoterapi terbukti efektif untuk penatalaksanaan pruritus generalisata.

  untuk mengobati berbagai tipe gatal. Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa narrow band UVB sama efektifnya dengan broad-band UVB dan UVA untuk mengatasi pruritus. Fototerapi menurunkan jumlah sel mast dengan mencetuskan apoptosis, yang menyebabkan disfungsi saraf perifer dan menurunkan kation divalen pada kulit. Fototerapi efektif digunakan untuk mengatasi pruritus yang disebabkan oleh polisitemia vera, limfoma, pruritus renal, maupun pruritus lainnya yang disebabkan oleh penyakit internal. Efek pengobatan dapat bertahan sampai 18 bulan. 1,10

DAFTAR PUSTAKA

  faktor penting yang mempengaruhi pruritus. Beberapa penelitian memperlihatkan terapi modifikasi perilaku dapat mengurangi intensitas dan persepsi pruritus. Penelitian Boddecker pada tahun 1976 yang dikutip dari Graves 31 dan

  7. Greaves MW. Itch in systemic disease: Therapeutic options.

  17. Tey HL, Yosipovitch G. Targeted treatment of pruritus: A look into the future. Br J Dermatol. 2011; 165: 5-17

Elhuda & Yenny SW Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit

  16. Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves M. Cu taneou s neurophysiologi. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, penyunting. Dermatology. Edisi ke-2. New York: Mosby Elsevier; 2008.h. 81-90

  The neurobiology of itch. Neuroscience. 2006; 7: 535-44

  15. Ikoma A, Steinhoff M, Stander S, Yosipovitch G, Schmelz M.

  13. Stander S, Weisshaar E, Luger TA. Neurophysiological and neurochemical basis of modern pruritus treatment. Exper Dermatol. 2008; 17: 161-9 14. Roosterman D, Geroge T, Schneider W, Bunnet N, Steinhoff M. Neuronal control of skin function: The skin as a neuroimmunoendocrine organ. Am Physi Soc. 2006; 86: 1309-79.

  12. Weisshaar E, Apfelbacher C, Jager G. Pruritus as a leading symptom: Clinical characteristics and quality of life in German and Ugandan patients. Br J Dermatol. 2006; 155: 957-64.

  11. Metz M, Stander S. Chronic pruritus-pathogenesis, clinical aspects and treatment. JEADV. 2010; 24: 1249-60.

  10. Metz M, Stander S. Inflammatory skin disorders, allergy, tricology. CME Dermatology. 2008; 3: 124-43.

  9. Stander S, Weisshar E, Mettang T, Szepietowski J, Carstens E, Ikoma A, dkk. Clinical classification of itch: A position paper of the International Forum for the Study of Itch. Acta Dermato- Venerologica. 2007; 87: 291-4.

  8. Benhard JD. Itch and pruritus: What are they, and how should itches be classified? Dermatology Therapy. 2005; 18: 288-91.

  Dermatology Therapy. 2005; 18: 323-7.

  F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.5-12

  Gieler 32 mengenai pendekatan terapi perilaku pada pasien pruritus. Konsep terapi yang diberikannya berupa dukungan kepada pasien agar tidak menggaruk, memberikan penghargaan jika pasien berhasil dan memberikan hukuman jika pasien gagal. Terapi tersebut terbukti berhasil pada pasien dengan pruritus yang berhubungan dengan “siklus garuk- gatal”.

  5. Twycross R, Greaves MW, Handwerker H, J ones EA, Lebertto SE, Szepietowski JC. Itch: Scratching more than the surface. QJ Med. 2003; 96: 7-26 6. Schmelz M, Handwerker HO. Neurophysiologic basis of itch. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone

  Fototerapi dianjurkan digunakan pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap antipruritus sistemik, seperti pada akh ir kehamilan dan orang tua yan g ban yak menggunakan obat-obat sistemik lainnya. Fototerapi juga merupakan terapi pilihan jika terapi dengan antipruritus sistemik tidak memberikan respons yang baik. 1,10

  Lancet. 2003; 361: 902-11

  3. Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW, Schmelz M. Itch.

  2. Yosipovitch G, Greaves MW. Definitions of itch. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.1-4

  1. Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW. Pathophysiology and clinical aspect of pruritus. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick`s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2007.h.902-11

  Psikoterapi. Stres dan kelainan psikologik lainnya merupakan

  Diagnosis pruritus generalisata pada kulit yang normal membutuhkan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisis yang teliti, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Terdapat berbagai modalitas terapi untuk penatalaksanaan pruritus generalisata pada kulit yang normal antara lain terapi farmakologik dengan obat-obatan yang bekerja pada sentral, fototerapi, dan psikoterapi.

  Patogenesis terjadinya pruristus generalisata pada kulit yan g normal pada dasar n ya disebabkan kar en a ketidakseimbangan antara µ dan  opioid di susunan saraf sentral. Histamin kurang berperan dalam terjadinya pruritus generalisata.

  Pruritus adalah sensasi kulit tidak menyenangkan yang mencetuskan keinginan untuk menggosok dan menggaruk kulit untuk menghilangkan keluhan tersebut. Pruritus generalisata pada kulit yang normal didefinisikan sebagai suatu kelainan yang ditandai dengan rasa gatal yang luas tanpa disertai dengan lesi primer pada kulit.

  KESIMPULAN

  4. Gilchrest BA. Pruritus: pathogenesis, therapy and significance in systemic disease state. Arch Internal Medicine. 1982; 142: 101-5.

  18. Sch melz M, Han dwerker HO. Pain an d itch . Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004: 13-20

  26. Saini KS, Mrinal M. Polycytemia vera-associated pruritus and its management. Europ J Clin Invet. 2010; 40: 828-35

  32. Gieler U, Niemeier V, Kupfer J. Psychosomatic aspect of pruritus. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.343-9.

  31. Greaves MW. Recent advance in pathophysiology and current management of itch. Annals Academy of Medicine. 2007; 36: 788-92.

  F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.259-77

  Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone

  30. Stander S, Metze D. Treatment of pruritus in internal and dermatological diseases with opioid receptor antagonists.

  29. Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD. Pruritus and dysesthesia. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, penyunting. Dermatology. Edisi ke-2. New York; Mosby Elsevier; 2008.h. 91-104

  28. Kumagai H, Saruta T, Matsukawa S. Utsumi J. Prospects for a novel kappa-opioid receptor agonist, TRK 820. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer JR, Mc Glone F, penyunting. Itch, basic mechanism and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.279-86.

  J Clin Invest. 2006; 116(5): 1175-85.

  27. Paus R, Schmelz M, Biro T, Steinhoff M. Frontier in pruritus research: Scratching the brain for more effective itch therapy.

  2003; 17: 857-70.

  19. Andrew D, Craig AD. Central neural mechanisms of itch.

  25. Mela M, Mancuso A. Review article: Pruritus in cholestatic and other liver diseases. Aliment Pharmacology Therapy.

  24. Paus R. How best to fight that nasty itch-form new insight into neuroimmunological bases of pruritus to novel therapeutic approaches. Exper Dermatol. 2005; 14: 225-40

  23. Lugon J R. Uremic pru ritu s: A review. Hemodialysis International. 2005; 9: 180-8.

  22. Phan NQ, Lotts T, Antal A, Bernhard JD, Stander S. Systemic kappa opioid receptor agonists in the treatment of chronic pruritus: A literature review. Acta Dermato-Venereologica. 2012; 92: 555-60.

  21. Wang H, Yosipovitch G. New insight into the pathophysiology and treatment of chronic itch in patients with end-stage renal disease, chronic liver disease, and lymphoma. Int J Dermatol. 2010; 49; 1-11

  F, penyunting. Itch, basic mechanism and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.107-14.

  Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer JR, Mc Glone

  20. Utsumi J, Togashi Y, Umeuchi H, Okano K. Anti pruritic activity of a novel ?-Opioid receptor agonist, TRK-820.

  F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.21-34

  Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone

  MDVI Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 91 - 96