Urgensi Pendidikan Zaman Keemasan Umat I

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

1

URGENSI PENDIDIKAN ZAMAN KEEMASAN UMAT ISLAM
BAGI PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI ERA MODERN
Oleh : Ali Rohmad

A. Pendahuluan
Sebagai

penyandang

predikat

“masa

keemasan

Islam”,


tidak

mengherankan bilamana kejayaan daulah Abbasiyah menarik perhatian sebagian
generasi muda muslim dalam era globalisasi dan masa kemunduran peradaban
umat Islam saat ini untuk dijadikan sasaran kajian ilmiah.
Melalui pendekatan sejarah pendidikan yang dibatasi pada aspek isi,
sarana, sumber, dan manajemen pendidikan, hasil kajian ini dihadirkan dengan
maksud menggali nilai-nilai dari masa kejayaan daulah Abbasiyah yang dianggap
relevan guna merekayasa sumber daya manusia yang berkualitas dalam merespon
tantangan kehidupan di masa datang.
Mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masa kejayaan suatu bangsa
dapat dipandang sebagai aktifitas yang sangat menarik perhatian mayoritas pelajar
bilamana dibandingkan dengan harus mempelajari masa perjuangan dan masa
kemundurannya. Sekalipun sebenarnya peristiwa-peristiwa dalam tiga masa
tersebut seluruhnya penting untuk dipelajari.
Sejarawan menilai, masa kejayaan daulah Abbasiyah merupakan masa
kejayaan umat Islam. Mencatat penilaian Jarji Zaidan, bahwa “masa Daulah
Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, dalam waktu mana Daulah Islamiyah
telah mencapai kemuliannya, baik dalam bidang ekonomi/keuangan, civilisasi dan


Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

2

kekuasaan”.1 Penilaian ini dapat dijadikan pijakan untuk mengatakan, bahwa
kondisi umat Islam sebelum daulah Abbasiyah berada pada masa perjuangan
Islam mencapai kemajuan, dan kondisi umat Islam setelah masa daulah
Abbasiyah sampai jaman modern ini berada pada masa kemunduran Islam.
Bagi generasi muda muslim yang hidup dalam masa kemunduran umat
Islam dalam era globalisasi ini, mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan Islam pada masa kejayaan daulah Abbasiyah jelas tidak akan
dianggap kedaluwarsa, melainkan tetap akan dianggap penting guna mendapatkan
nilai-nilai yang relevan untuk merekayasa sumber daya manusia yang berkualitas
dan mampu merespon tantangan kehidupan di masa datang. Dengan ini, penulis
merasa optimis bahwa hasil kajian ini dapat menarik untuk didiskusikan lebihlebih oleh kelompok calon sarjana yang tengah berkonsentrasi mempelajari ilmuilmu ketarbiyahan.
Pembahasan yang komprehensif dan argumentatif dengan menyajikan data
yang relevan terhadap aspek isi, sarana, sumber, dan manajemen pendidikan dapat
menjadikan urgensi kajian ini meningkat, baik dipandang secara teoritis maupun
secara praktis. Secara teoritis, urgensi kajian ini dapat meningkat dengan
pertimbangan bahwa hasilnya dapat dimanfaatkan oleh para ahli pendidikan

sebagai penambah khazanah ilmiah terutama mengenai keadaan pendidikan umat
Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah yang dapat dikaji lebih lanjut guna
pengembangan ilmu-ilmu kependidikan agar di masa datang bisa tetap relevan
dengan tuntutan perkembangan peradaban modern. Dan secara praktis, urgensi

1

A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, 2nd ed, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hal. 238.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

3

kajian ini bisa meningkat dengan pertimbangan bahwa hasilnya dapat
dimanfaatkan oleh pemerintah cq. menteri pendidikan nasional, para pendidik dan
tenaga kependidikan, dan para tokoh masyarakat sebagai bahan pertimbangan
dalam menentukan kebijakan baru untuk membina pendidikan Islam yang
berlangsung di rumah tangga, sekolah, dan masyarakat supaya dapat
mengembangkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan
tuntutan Allah swt dan tuntutan perkembangan peradaban modern.


B. Sekilas Masa Kejayaan Daulah Abbasiyah
Para pendiri dan para penguasa daulah Abbasiyah adalah keturunan alAbbas paman Nabi saw. Daulah Abbasiyah secara resmi didirikan oleh Abdullah
(Abu al Abbas as Shaffah) ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas
pada akhir bulan Zulhijjah 132 H, setelah bersama para pengikutnya yang
dipimpin Abu Muslim al-Khurasani berjuang dan berhasil menumbangkan daulah
Umayyah.2
Baghdad yang dibangun oleh khalifah al-Mansur dalam “…waktu 4 tahun
biaya sebesar 4.883.000 dirham, pengerahan 100.000 arsitek, tukang dan
karyawan” 3 dijadikan sebagai ibu kota pusat pemerintahan daulah Abbasiyah dan
diberi

predikat

sebagai

madinah

al-Salam.


Lapidus

mencatat

bahwa

“…….Baghdad berkembang secara pesat melampaui maksud-maksud pendirinya
dan ia berkembang dari sebuah pusat militer dan administratif menjadi kota
2

Vide, Yoesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah, vol. 1, 1st ed., Bulan Bintang,
Jakarta, 1977, hal. 10-11.
3
Depag, RI., Ensikolopedi Islam, n.n.,n,p., 1987/1988, hal. 6.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

4

besar”.4 Di sekitar Baghdad tumbuh dua pemukiman besar. Yang pertama,

dinamai al-Harbiya, yakni merupakan perluasan perkampungan militer Abbasiyah
dalam bentuk distrik-distrik mencapai bagian utara komplek Istana Khalifah.
Yang kedua, dinamai al-Karkh, yakni pemukiman yang mencapai bagian selatan
Istana Khalifah yang dihuni oleh ribuan pekerja bangunan yang didatangkan dari
Iraq, Syiria, Mesir, dan Iran. Di sini terdapat beberapa pasar yang menyediakan
barang kebutuhan para pekerja dan keluarganya, dan terdapat sejumlah workshop
yang menghasilkan pakaian, alat-alat tulis, dan perkakas rumah tangga, juga
terdapat sejumlah perusahaan yang mensuplai bahan-bahan bangunan untuk
proyek konstruksi. Sehingga ketika itu, di samping menjadi pusat kota, Baghdad
juga menjadi pusat metropolitan yang didiami penduduk campuran berbagai unsur
kedaerahan dari segala lapisan dan penjuru.
Kekuasaan daulah Abbasiyah berlangsung lima setengah abad lamanya.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, daulah Abbasiyah dipimpin oleh 23
khalifah dengan pola pemerintahan yang berbeda-beda sesuai dangan perubahan
sosial, politik, dan budaya. Dengan berdasarkan perubahan pola pemerintahan ini,
menurut sejarahwan biasa mengklasifikasi masa daulah Abbasiyah itu menjadi
lima periode:5
1. Periode pertama 132-232 H (750-847 M) : masa pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua 232-334 H (847-945 M) : masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga 334-447 H (945-1055) : masa pengaruh Persia kedua.

4

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian ke satu dan dua, 1st , ed., terjem.
Ghufran A Mas’adi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 103-104.
5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 9th ed., PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999, hal. 49-50.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

5

4. Periode keempat 447-590 H (1055-1194) : masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima 590-656 H (1194-1258) : masa bebas dari pengaruh manapun,
tetapi kekuasaan khalifah hanya efektif di sekitar istana.
Menurut Yatim Abdullah, daulah Abbasiyah bisa mencapai masa
keemasan pada masa periode pertama.6 Secara politis, para khalifah benar-benar
menjadi tokoh yang kuat sekaligus merupakan pusat kekuasaan dan agama.
Secara ekonomi, kemakmuran masyarakat bisa mencapai tingkat tertinggi. Secara
kelilmuan, berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu

pengetahuan dalam umat Islam. Namun pada akhir periode pertama ini, secara
politis, pemerintahan Abbasiyah mulai nampak menurun, sekalipun bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan
dibangun oleh Abu al-Abbas dan al Mansur, maka puncak keemasannya berada
tujuh khalifah setelah kedua khalifah itu, al-Musta’shim, al-Wasiq, dan alMutawakkil. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di masa khalifah
al-Rasyid dan al-Makmun. Waktu itu menurut Ali, “Di bawah enam khalifah
Abbasiyah yang pertama, tapi terutama di bawah Makmun kaum Muslimin
merupakan barisan depan peradaban.”7 Khuda Bukhsh seperti dikutip oleh Sjalabi
berpendapat, bahwa “ Masa pemerintahan khalifah al-Makmun kelihatannya

6
7

Ibid, hal. 50-52.
Syed Amir Ali, Api Islam, 3rd ed, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal. 559.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

6


merupakan masa yang paling gemilang dan menempati kedudukan yang paling
atas, dibandingkan kepada masa pemerintahan khalifah-khalifah lainnya.”8
Maka tidak keliru bila dikatakan bahwa ketika itu daulah Abbasiyah
menjadi “super power” bagi kehidupan seluruh umat manusia. Menurut catatan
Depag RI, “ Baghdad menjadi pusat perhatian dunia pada saat itu, karena
pengaruh politiknya, kemajuan perdagangannya, kemakmuran rakyatnya, dan
ketinggian ilmu pengetahuan yang dicapai pada saat itu.”9 Akan tetapi kesuper
powerannya itu tidak akan bisa disamakan dengan kesuper poweran negaranegara maju dalam era globalisasi awal millenium ketiga ini, terutama tampak
dari tata nilai yang dianut dan karakter kepemimpinan pemerintahannya.

C. Isi Pendidikan Islam
Yang penulis maksud dengan isi pendidikan Islam ini adalah kelompok
bidang studi yang dijadikan obyek kajian dalam proses belajar mengajar dalam
lembaga-lembaga pendidikan masa kejayaan daulah Abbasiyah. Dengan kata lain
adalah muatan kurikulum atau rencana pelajaran.
Dalam karya Sou’yb dicatat, bahwa “khalif-khalif yang pertama sesudah
Abu Abbas adalah pangeran-pangeran yang bijaksana, yang mempergunakan
kekuasaannya bagi kemakmuran umum dan kecerdasan bangsa Arab…..;
lembaga-lembaga perguruan dan santunan didirikan; dan study tentang

kesusasteraan, perdagangan, dan seluruh cabang ilmu pada masa damai, diemong
8

Ahmad Sjalabi, Sejarah Pendidikan Islam, 1st ed., Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal.

362.
9

Depag RI, loc. cit.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

7

dengan langsung oleh pihak pemerintah”.10 Kutipan ini menunjukkan, bahwa
seluruh cabang ilmu pengetahuan telah ditetapkan menjadi isi pendidikan Islam.
Tentu saja penyajiannya dalam proses belajar mengajar diselaraskan dengan
kondisi peserta didik dan jenis/jenjang pendidikan yang ditempuh. Lebih jauh
dalam pandangan Sjalabi, “Rencana pelajaran itu haruslah berbagai rupa, selaras
dengan hari depan murid-murid serta pekerjaan-pekerjaan yang menunggu

mereka di masa depan”.11
Mengenai jenis cabang ilmu pengetahuan yang dijadikan sasaran kajian
ketika itu, Sou’yb mencatat bahwa “Perkembangn yang teramat besar
berlangsung dalam bidang matematik, ketabiban dan ilmu alam. Angka-angka
Romawi yang kekok itu digantikan oleh angka-angka Arab yang kita gunakan
sampai pada masa kini, dan tanda bagi zero (nol) dipergunakan buat pertama
kalinya.”12 Di samping itu, al Qur’an, al-Hadist, penelitian, teologi, fiqih, tasawuf,
tata bahasa, dan seni bahasa serta nada sajak, seni tari dan seni suara, filsafat,
fisika, astronomi, sejarah, kemiliteran telah dijadikan sebagai isi pendidikan
Islam.13 Berbagai bidang studi ini oleh Fahmi berdasarkan sumbernya
diklasifikasikan

ke

dalam

ilmu

naqliyah

dan

ilmu

‘aqliyah,

tanpa

14

mendiskriminasikan di antara keduanya.

Penetapan pendidikan Islam semacam itu, dan didukung oleh semangat
belajar di kalangan umat Islam yang sangat menakjubkan, serta adanya kebebasan
10

Yoesoef Sou’yb, op. cit. hal. 69.
Ahmad Sjalabi, op. cit, hal. 48.
12
Yoesoef sou’yb, op. cit, hal. 69.
13
Vide, Ibid, hal. 129-131 dan 185.
14
Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, 1st, ed., Bulan Bintang, Jakarta,
1979, hal. 18.
11

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

8

bagi para siswa mempelajari ilmu apapun yang ia sukai, maka wajar bila
pendidikan Islam waktu itu mampu mencetak banyak ulama’, filosof, saintis, dan
sastrawan sebagai sumber daya manusia dibanggakan kualitasnya sepanjang
zaman dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti bidang al-Qur’an ada musafir
Ibn Jabir al Tabari; di bidang al-Hadist ada Imam Bukhari, Imam Muslim; di
bidang fiqih ada Malik ibn Anas (w. 179 H); Muhammad ibn Idris al Syafi’i (w.
204 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 242 H); di bidang bahasa ada Khalaf al Ahmar (w.
180 H), Sibawaihi (w. 180 H), al-Kisai (w. 189 H); di bidang tasawuf ada Ibrahim
ibn Idham (w. 166 H), Rabiatul Adawiyah (w. 185 H), Abu Ali Syaqiq al-Balkhili
(w. 194 H); di bidang seni tari dan seni suara ada Abu al-Farj al-Ashiyani (w. 335
H); di bidang filsafat ada al-Kindi (w. 252 H), Abu Nasr Farabi (w. 339 H); di
bidang kedokteran ada ibn Masiwaihi (w. 243 H), al Razy (w. 320 H), ibn Sina
(w. 428 H); di bidang-bidang lain.15

D. Sarana Pendidikan Islam
Yang penulis maksud dengan sarana pendidikan Islam ini adalah bentuk –
bentuk lembaga yang dipakai sebagai media dan tempat berlangsungnya proses
belajar mengajar pada masa Daulah Abbasiyah sehingga mampu melahirkan
kelompok ulama’, filosof, saintis, dan sastrawan yang berkualitas prima.
Berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan hasil
pikiran masyarakat waktu itu dalam upaya merespon pelbagai tantangan dan
kebutuhannya yang digerakkan oleh semangat ajaran Islam sebagai termaktub

15

Vide, A. Hasjmy. op. cit, hal.296.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

9

dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-Sunnah Nabi saw. Sjalabi menjelaskan secara
rinci mengenai macan-macam sarana pendidikan Islam, sebagian telah didirikan
sejak sebelum masa Daulah Abbasiyah dan sebagian baru pertama kali didirikan
pada masa Daulah Abbasiyah, yaitu kuttab, pendidikan rendah di istana-istana,
kedai-kedai saudagar kitab, rumah-rumah ulama’, salon-salon kesusasteraan,
padang pasir, masjid, madrasah, dan perpustakaan.16
Sesuai dengan maksud tersebut, berikut dijelaskan secara garis besar
mengenai sarana pendidikan yang didirikan masa daulah Abbasiyah dan belum
pernah ada sebelumnya.
1. Kedai-kedai saudagar kitab
Sjalabi menjelaskan bahwa, ”kedai-kedai kitab ini telah lahir sejak
permulaan kerajaan Bani Abbas, kemudian tersiarlah dengan amat pesatnya di
seluruh ibu kota dan di berbagai negeri dalam alam Islami”.17 Semula kedaikedai

kitab

ini

dibuka

untuk

urusan

perniagaan,

namun

dalam

perkembangannya oleh masyarakat juga dijadikan sebagai arena adu
kecerdasan dan seminar keilmuan, serta pembahasan keilmuan, terutama
ketika dikunjungi oleh para cerdik pandai dan ahli sastra, pelajar, dan ulama’.
Lebih lanjut dikatakan bahwa “…:sidang-sidang ilmiah dikedai-kedai kitab itu
terjadi setiap hari.”18
Para saudagar kitab bukan sekedar pencari laba dari usahanya, melainkan
mayoritas terdiri dari sastrawan yang cerdas. Mereka memilih menjadi
16

Vide, Ahmad Sjalabi, op. cit, hlm. 33-133.
Ibid, hal. 53.
18
Ibid.
17

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

10

saudagar kitab agar mendapat kesempatan yang penuh untuk membaca kitab
dan bergaul dengan para cerdik pandai. Di samping sebagai saudagar, ternyata
di antara mereka ada yang bertindak sebagai penulis buku, dan penyalin buku
bagi pemesannya dangan imbalan jasa rata rata satu dinar untuk sebuah buku.
Dengan demikian, posisi kedai kitab dalam meningkatkan taraf kecerdasan
masyarakat adalah amat penting.
2. Madrasah/sekolah
Hasjmy menyebutkan, bahwa orang yang mula-mula mendirikan
madrasah/sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini adalah Perdana
Menteri Nizhamul Mulk (456-485 H). Madrasah yang ia dirikan disebut
“madrasah al Nizhamiyah”. Di antaranya terdapat di Baghdad, Hara, Isfahan,
Naisabur, Mausil. Madrasah yang ia dirikan berjenjang : tingkat rendah,
menengah, dan tingkat tinggi yang mengajarkan banyak bidang ilmu, baik
dalam kelompok naqliyah maupun aqliyah.19
Pada setiap madrasah dibangun sebuah aula untuk pelaksanaan majelis
ta’lim yang dihadiri para ulama’ dan para pelajar, dan dibangun asrama
sebagai tempat tinggal para pelajar selama menuntut ilmu, seta disediakan
ruangan tempat tinggal bagi staf pengajar termasuk fasilitas-fasilitas bagi
kehidupan yang layak dengan biaya dari sekolah atau hasil waqaf yang khusus
diperuntukkan bagi kesejahteraan mereka dan para pegawainya.
Fahmi menyebutkan, bahwa setiap madrasah mempunyai perpustakaan
yang besar yang dilengkapi buku-buku berbagai cabang ilmu pengetahuan

19

Vide, A. Hasjmy, op cit, hal.296.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

11

yang diatur sedemikian rupa guna memudahkan pembaca dan alat-alat tulis
yang berupa tinta dan kertas, juga dilengkapi rumah sakit guna menjaga
kesehatan pelajar.20
Dengan demikian dapat diketahui ciri-ciri utama madrasah masa itu, yakni
terdapat ruang kuliah yang disebut iwan, asrama bagi pelajar, asrama bagi
pengajar, perpustakaan, rumah sakit.
3. Bait al-Hikmah
Mengenai bait al-Hikmah ini, oleh Depag RI. dijelaskan, bahwa “lembaga
ini merupakan suatu kombinasi dari perpustakaan, akademi dan biro
penterjemahan yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan
terpenting”.21 Fahmi menyebutkan, bahwa bait al-Hikmah ini muncul pada
waktu bercampurnya bermacam-macam bangsa dan peradapan pada masa
kerajaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya gerakan intelektual yang
mendorong umat Islam untuk memperoleh ilmu-ilmu pengetahuan zaman
kuno.22
Syou’yb menjelaskan, bahwa “gedung ilmu (bait al-Hikmah), berisikan
perpustakaan yang amat kaya raya, dibangun di dekat gedung observatorium
Bagdad”.23 Tidak bisa dipungkiri, bahwa kontribusi bahasa Arab dan
perhatian al-Makmun sebagai khalifah ke tujuh dalam daulah Abbasiyah
terhadap peradaban dunia melalui bait al-Hikmah adalah amat besar, karena
menurut Sjalabi di bait al-Hikmah ini “…telah dapat dipelihara untuk umat
20

vide, Asma Hasan Fahmi, op.cit, hal.44.
Depag RI., op. cit, hal. 7.
22
Asma Hasan Fahmi, op. cit, hal. 146.
23
Yoesoef Souyb, op. cit, hal.146.
21

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

12

manusia sejumlah besar dari peninggalan bangsa Yunani yang pokokpokoknya sudah lenyap, sehingga dunia tak mungkin lagi sampai kepada
peninggalan-peninggalan tersebut kecuali melalui terjemahan-terjemahan
dalam bahasa Arab ini”.24
Dengan demikian, bait al-Hikmah bisa dinilai sebagai perpustakaan umum
yang pertama kali terdapat dalam masyarakat muslim sekaligus sebagai
Universitas dan sebagai yayasan ilmiah bagi aktifitas pendalam keagamaan,
kesusasteraan, kefilsafatan, kesehatan yang didatangi para sarjana, ulama’,
pelajar, sastrawan, dokter, dan lain-lain untuk bergumul dalam proses belajar
mengajar.

E. Sumber Pendidikan Islam
Yang penulis maksud dengan sumber pendidikan ini adalah asal usul isi
pendidikan yang dikaji dalam proses balajar mengajar oleh pendidik bersama
peserta didik di masa kejayaan daulah Abbasiyah.
Untuk mendapatkan kejelasan mengenai sumber pendidikan Islam itu,
dirasa perlu memperhatikan uraian Stoddard berikut ini.
Orang Arab tahu, bagaimana mengkonsolidasikan pemerintahan dan
mengalihkannya ke tangan mereka. Mereka bukan bangsa yang haus
darah, bukan bangsa yang gemar merampok dan memusnahkan.
Sebaliknya, mereka adalah bangsa yang dianugerahi akhlak yang tinggi,
watak mulia, cinta kepada ilmu. Memandang baik kenikmatan budi
pekerti, kenikmatan yang sampai kepada mereka, dari peradaban yang
lebih tua.

24

Ahmad Sjalabi,op. cit, hal. 363.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

13

Tatkala terjadi antara yang menang dan yang kalah kesatuan perkawinan
dan kepercayaan, tercapailah asimilasi diantara mereka. Asimilasi yang
melahirkan kemajuan yang bernama sarasin, hasil perpaduan antara
kecerdasan Yunani, Rumawi, dan Persi dengan ketinggian dan kecerdasan
Arab yang berlandaskan spirit Islam.
Dalam tiga abad pertama sejarahnya (650-1000 M), bagian – bagian dunia
yang dikuasai oleh Islam adalah bagian-bagian yang paling maju dan
memiliki peradaban yang amat tinggi. Kerajaan penuh dengan kota-kota
indah, penuh masjid megah, di mana-mana terdapat Universitas, di
dalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah lama yang
bernilai tinggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan yang kontras
dengan dunia Nasrani Barat, yang tenggelam dalam malam kegelapan
zaman. 25
Dengan demikian dapat diketahui bahwa sumber pendidikan Islam waktu
itu merupakan gabungan antara Islam Timur dan Barat; gabungan antara ilmuilmu

naqliyah

dengan

aqliyah.

Pertama-tama

dikembangkan

ilmu-ilmu

naqliyah/keislaman yang disertai dengan penterjemahan ilmu-ilmu aqliyah dari
Timur terutama Persi, India, Tiongkok, dan dari Barat terutama Yunani, Romawi.
Kemudian muslimin terus bersemangat dalam penelitian, sehingga muncul
“Zaman penciptaan karya-karya asli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan:
kedokteran, astronomi, alkimia, ilmu bumi, ilmu pasti, filsafat, sejarah, etika,
kesusasteraan.26 Bersamaan dengan itu, ilmu-ilmu pengetahuan agamapun waktu
itu juga mengalami perkembangan yang pesat seperti ilmu tafsir, ilmu fiqh, ilmu
hadits, dan sebagainya.

25
26

L. Stoddard, Dunia Baru Islam, n.n., n.p., n. d., hal. 13.
Depag. RI., op. cit, hal. 7.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

14

Kesuksesan umat Islam itu, mendorong Fahmi untuk meneliti dan
berkesimpulan:”pada masa inilah terdapat kekayaan ilmu pengetahuan yang
merupakan hasil karya orang-orang Islam, yang besar, yang untuk beberapa abad
menjadi bahan studi orang-orang Barat, karena pada masa itu mereka dalam
banyak hal tidak mempunyai ciptaan-ciptaan dan pembaharuan dalam bidang
ilmu pengetahuan”.27

F. Manajemen Pendidikan Islam
Yang penulis maksud dengan menejemen pendidikan Islam ini adalah
proses menejerial secara umum terhadap pemanfaatan segala sumber daya secara
efektif lagi efisien untuk terlaksananya proses belajar mengajar dalam lembagalembaga pendidikan Islam pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah. Dan yang bisa
dianggap sebagai menejer pendidikan Islam ketika itu terutama adalah khalifah,
pejabat, dan tokoh-tokoh pendidikan.
Agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik, maka harus
ada pembagian beban kerja dan aktifitas merealisasikannya di antara segenap
personal

sekaligus

menerapkan

prinsip-prinsip

menejemen

mulai

dari
28

perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, sampai dengan penilaian.

Memperhatikan keberhasilan yang gemilang dari pendidikan Islam masa
kejayaan Daulah Abbasiyah dalam mencetak banyak ulama’, sarjana, saintis,
filosof, dan sastrawan; maka amat khayal manakala ketika itu tidak diterapkan
27

Asma Hasan Fahmi, op. cit, hal. 19.
Vide, Husaini Usman, Manajemen : Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, 2nd ed,
Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hal.2.
28

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

15

prinsip-prinsip manajemen pendidikan Islam. Akan tetapi untuk mendapatkan
bukti-bukti sejarah berupa karya tulis mengenai manajemennya memang perlu
perjuangan tersendiri.
Muhammad Bek al Khauduri seperti dikutip Sou’yb mencatat, bahwa
“Tatkala Abu Ja’far al-Mansur selesai membangun kota Baghdad maka ia pun
mengundang ulama’-ulama’ terkemuka dari berbagai kota, dan Abu Hanifah
temasuk di antara yang diundang itu.”29 Catatan ini menunjukkan betapa
pemimpin negara memiliki inisiatif lebih dahulu untuk menjalin silaturahmi
dengan para ulama’ dari pelbagai penjuru kota sebagai pemimpin umat. Dan
kalau yang diundang adalah para cerdik pandai lagi tokoh masyarakat, tentu saja
yang mereka bicarakan adalah hal-hal yang terkait dengan tugas mereka seharihari yang dapat menjadi masukan bagi khalifah untuk menyusun perencanaan
perkembangan kota Baghdad dari pelbagai segi kehidupan, termasuk bidang
pendidikan. Pertemuan seperti tersebut sampai dengan memasuki millinium
ketiga ini senantiasa penting bagi semua pihak, bukan saja untuk menjalin
keakraban, tetapi lebih jauh dari itu bisa dijadikan wahana untuk menepis
terjadinya mis-komunikasi antar elemen bangsa yang amat rentan bagi munculnya
gejala dis-integrasi dalam pemerintahan.
Secara ekonomi pemerintah Abbasiyah berhasil menciptakan kemakmuran
yang luar biasa. Karena didukung dengan kondisi keamanan yang relatif stabil,
maka hal ini bisa berkolerasi secara positif lagi signifikan terhadap menejemen
pendidikan Islam di sana. Para khalifah bisa berkonsentrasi penuh terhadap proses

29

Yoesoef Sou’yb, op. cit, hal. 232-234.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

16

belajar mengajar. Sou’yb juga menjelaskan, bahwa “Apalagi masa sepuluh tahun
yang terakhir pemerintahan Khalifah al-Mansur itu adalah masa aman-damai dan
kemakmuran yang melimpah-limpah hingga seluruh perhatian telah lebih banyak
tertuju bagi perkembangan ilmu, kesusasteraan dan kebudayaan.”30
Menurut catatan Hasjmy, “Khalifah Mansur betul-betul telah meletakkan
dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. …Pada waktu khalifah
Mansur meninggal setelah memimpin negara selama 22 tahun, dalam kas negara
tersisa sebanyak 810.000.000; dirham. …, sedangkan khalifah Harun al-Rasyid
meninggalkan kekayaan negara dalam kas waktu beliau meninggal sebanyak lebih
dari 900.000.000; dirham.”31 Perolehan devisa negara yang melimpah lagi luar
biasa ini,”…karena para khalifah betul-betul memandang soal ekonomi dan
keuangan negara sangatlah penting, sehingga dengan demikian pembangunan
dalam segala cabang ekonomi dia pandang soal yang paling urgen.”32
Kekayaan negara yang melimpah itu tenyata tidak mendorong para
khalifah menjadi sebagai koruptor kelas raksasa, melainkan menurut Ahmad
Amin seperti dikutip Hasjmy mendorong mereka untuk “…berlomba-lomba
dalam memberi kedudukan terhormat kepada para ulama’ dan para pujangga.”33
Sjalabi menjelaskan, bahwa ”Para muaddib (guru pribadi putra para pembesar)
telah dapat menikmati kekayaan dan kemakmuran seperti yang dapat dinikmati
oleh pembesar itu sendiri… Para ulama dan ahli-ahli bahasa dari golongan ini
telah berada dalam kehidupan yang makmur. Mereka telah dapat menikmati taraf
30

Ibid, hal. 246.
A. Hasjmy, op.cit, hal.270-272.
32
Ibid.
33
Ibid, hal. 246.

31

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

17

keuangan yang menyenangkan lantaran para khalifah, sultan-sultan dan para
pembesar sangat memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka
memberikan

hadiah-hadiah

dan

pemberian-pemberian

yang

tak

putus-

putusnya.”34
Perhatian kesejahteraan terhadap ulama’, pendidik, sarjana, filosof,
sastrawan yang lebih dari cukup itu, bisa dipandang sebagai bagian dari
menejemen pendidikan Islam ketika itu. Yang dengan langkah tersebut, perhatian
para cerdik pandai itu bisa terpusat pada aktifitas keilmuan, bukan lagi
memikirkan urusan perut seperti para pendidik di negeri antah-berantah dewasa
ini yang suka ngojek mengajar ke sana ke mari dan banyak melaksanakan
aktifitas di luar keilmuan.
Di samping kemapanan ekonomi, menurut Ali, “Pengganti-pengganti
Mansur bukan saja pelindung-pelindung yang penuh kecintaan terhadap orang
pelajar, yang berbondong-bondong datang ke ibu kota dari tiap penjuru, tapi
mereka sendiripun adalah pembina yang rajin dari tiap cabang ilmu
pengetahuan.”35 Sementara ketika kondisi politik Abbasiyah mulai ada tandatanda melemah, menurut catatan Fahmi, “Para ulama’ dan para cendekiawan tidak
mengambil pusing dengan batas-batas negara yang telah ditetapkan oleh
kekuasaan politik, dan dalam pandangan mereka batas-batas tersebut dapat
dipersatukan oleh ilmu pengetahuan, sastra, dan agama, dan di sana tidak ada

34
35

Ahmad Sjalabi, op. cit, hal.232-234.
Syed Amir Ali, op. cit., hal. 559.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

18

batas-batas yang menghambat produksi pikiran dalam semua negeri Islam,
meskipun letaknya di antara satu sama lainnya berjauhan.”36
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa dilihat dari teori menejemen
sekarang, ternyata menejemen pendidikan Islam yang diterapkan masa kejayaan
daulah Abbasiyah sesungguhnya adalah menejemen modern yang didukung oleh
stabilitas keamanan pemerintahan yang mantap, devisa negara yang melimpah,
sikap yang kondusif lagi kedermawanan dari para khalifah terhadap para
cendekiawan, dan sikap ilmiah yang kuat dari para cendekiawan.

G. Konklusi
Kesimpulan dari uraian mengenai “Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan Daulah
Abbasiyah” di atas adalah:
1. Masa keemasan daulah Abbasiyah bisa dicapai pada periode pertama 132-232
H, baik secara politis, ekonomi, maupun keilmuan. Masa puncak
keemasannya berada pada tujuh khalifah setelah al-Mansur. Sedang puncak
popularitasnya terletak pada masa ar-Rasyid dan al-Makmun.
2. Isi pendidikan Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, pertama adalah kelompok ilmu keislaman yang
bersifat naqliyah dan kedua adalah ilmu kebudayaan yang bersifat ‘aqliyah.
Keduanya diperlakukan secara konvergentif bukan diskriminatif, dan
disajikan berdasarkan jenis dan jenjang pendidikan yang ditempuh peserta
didik seta tugas masa depannya.

36

Asma Hasan Fahmi, op. cit., hal. 18.

Jurusan PAI - Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

19

3. Sarana pendidikan Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah terdiri dari kuttab,
pendidikan rendah di istana-istana, kedei-kedei saudagar kitab, rumah-rumah
ulama’, salon-salon kesusasteraan, padang pasir, masjid, madrasah, dan
perpustakaan. Hampir seluruh sarana pendidikan ini telah didirikan sejak
sebelum masa daulah Abbasiyah, kecuali kedei-kedei

saudagar kitab,

madrasah, dan perpustakaan.
4. Sumber pendidikan Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah merupakan
asimilasi dari tiga macam unsur, pertama adalah Islam beserta kebudayaan
muslimin; kedua adalah kebudayaan Timur terutama Persia, India, dan China;
ketiga kebudayaan Barat terutama kebudayaan Romawi dan Yunani.
5. Menejemen pendidikan Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah sesungguhnya
merupakan penerapan prinsip-prinsip menejerial modern yang didukung oleh
kemantapan kepemimpinan para khalifah, kekokohan stabilitas keamanan
pemerintahan, keberhasilan perekonomian negara, ada kekuatan sikap ilmiah
para cerdik pandai.