Stunting dan Kesehatan Lingkungan (1)

Stunting dan Kesehatan Lingkungan
Published On Jumat, Februari 10, 2017 By Yuni Zahraini. Under: Info Nasional.

Jakarta, GIZINET (10/2). Stunting, sebuah istilah untuk anak yang
secara antropometri lebih pendek dari rerata tinggi badan normal anak-anak seusianya (secara tegas dalam standar
WHO 2005 disebutkan bila berada dibawah -2 Zscore untuk stunted/pendek dan dibawah -3 Zscore untuk severe
stunted/sangat pendek).
Saat ini stunting menjadi topik perbincangan di dunia gizi dan kesehatan karena salah satu masalah gizi ini rupanya
menjadi ancaman terbesar bagi kualitas hidup manusia di masa mendatang. Tidak hanya urusan tinggi badan,
stuting menjadi penting untuk diberantas karena terkait dengan hambatan pertumbuhan otak anak, penurunan
kualitas belajar hingga penurunan produktivitas di usia dewasa dan ancaman peningkatan penyakit tidak menular
(obesitas, hipertensi, diabetes mellitus, dsb). Dan yang perlu digarisbawahi adalah hingga saat ini masih banyak
orang tua yang tidak menyadari masalah pendek pada anak karena seorang anak yang stunting umumnya tidak
terlihat seperti anak yang bermasalah, dan hal ini seperti dianggap umum saja bila dari orang tua yang pendek maka
wajar bila anak-anaknya juga pendek. Dengan 27,5% balita Indonesia yang stunting (PSG, 2016), ini menjadi
tantangan besar tidak hanya bagi pemerintah namun juga semua sektor yang terkait.
Masalah stunting tidak hanya disebabkan oleh asupan makan yang kurang dari kebutuhan. Seperti halnya masalah
kurang gizi lainnya, bahwa secara langsung stunting memang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang cukup
serta ancaman penyakit infeksi yang berulang dan kedua hal ini saling mempengaruhi. Namun bila dilihat lebih dalam
bahwa dua penyebab langsung ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana pola asuh ibu, ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga, hingga sanitasi lingkungan.


berbicara stunting dan kesehatan lingkungan, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kontribusi penyehatan
lingkungan terhadap pengentasan masalah stunting cukup besar, salah satunya penelitian tentang anak-anak di
Bangladesh
yang terakses air minum bersih, jamban, serta fasilitas CTPS pertumbuhan tinggi badannya50% bertambah l

ebih tinggi dibanding anak yang tidak mendapat akses tersebut (Lin A, et al. dalamEnvironmental Health
Perspectives ; vol 122)
Dalam sebuah jurnal juga disebutkan bahwa hygiene dan sanitasi yang buruk menyebabkan gangguan inflamasi
usus kecil yang mengurangi penyerapan zat gizi dan meningkatkan permeabilitas usus yang disebut
juga Environmental Enteropathy (EE) dimana terjadi pengalihan energi, yang seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan tetapi akhirnya digunakan untuk melawan infeksi dalam tubuh. (EHP vol.122)
“the more stunted the child, the more likely it is that the brain, kidneys, and other organ system will be
affected” – Reynaldo Martorell –
“dietary improvements are importan but not sufficient; if we really want to eliminate stunting, we need to do
more” – Jean Humprey, John Hopkins Bloomberg School of Public Health –
Saat ini berdasarkan beberapa survey yang dilakukan, masalah kesehatan lingkungan di Indonesia masih cukup
tinggi. Masih sekitar 24% BAB di tempat terbuka dan 14% tidak memiliki akses ke sumber air bersih (JMP, 2013) ;
padahal ketika anak-anak tumbuh di lingkungan dengan sanitasi yang buruk, maka risiko mereka terkena penyakit
menjadi lebih besar dan kemungkinan berulang juga tinggi, inilah yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan

mereka.
Apa upaya yang sudah di inisiasi di Indonesia? banyak… seperti STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang
merupakan sebuah pendekatan untuk merubah perilaku hygiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat
dengan metode pemicuan. 5 upaya pemicuan yang dilakukan untuk perubahan perilaku masyarakat yaitu 1) stop
buang air besar sembarangan; 2) cuci tangan pakai sabun; 3) pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga ;
pengamanan sampah rumah tangga; dan 5) pengamanan limbah cair rumah tangga. Adapula kampanye pengenalan
PHBS (perilaku Hidup Bersih dan Sehat) kepada masyarakat yang beberapa diantaranya terkait sanitasi yaitu Cuci
Tangan Pakai Sabun (CTPS) di air bersih dan mengalir, menggunakan jamban sehat, serta penggunaan air bersih.
Namun pertanyaannya, apakah upaya ini telah terintegrasi dengan baik di semua sektor? misalnya bila bicara
tentang penggunaan air bersih atau cuci tangan dengan sabun di air mengalir, bagaimana bisa dilakukan bila air
bersih masih sulit dijumpai di beberapa wilayah? ini menjadi tantang besar untuk semua pihak, dan koordinasi
seluruh stakeholder terkait di semua level dari pusat hingga kabupaten bahkan masyarakat secara langsung akan
sangat menentukan terhadap keberhasilan menjawan tantangan ini. Jadi, sudah saatnya yang masih bekerja dengan
sangat baik tetapi masih sendiri-sendiri mulai meningkatkan kolaborasinya sehingga tujuan pemberantasan stunting
dari berbagai sisi dapat terwujud untuk perbaikan generasi ke depan. (YuniZ/dari berbagai sumber).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting

Status gizi bayi dan balita merupakan salah satu indikator gizi masyarakat, dan bahkan telah

dikembangkan menjadi salah satu indikator kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
dikarenakan masa bayi dan balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang. Masa ini juga merupakan salah satu masa yang paling penting untuk
meletakkan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang
(UNICEF, 2002). Keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa balita merupakan fondasi penting
bagi kesehatannya di masa depan. Kekurangan gizi yang terjadi pada masa tersebut dapat
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan
yang pesat terutama terjadi pada usia 1-3 tahun, pada usia ini kebutuhan tubuh akan energi, protein,
vitamin dan mineral cukup tinggi. Anak usia hingga 3 tahun berada pada rentang usia dimana anak
rentan terhadap masalah gizi, untuk itu ibu harus mengontrol ketat asupan makanan anaknya
(Sutomo et al. 2010).
Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan linier
yang tidak sesuai umur dapat merefleksikan keadaan gizi kurang dalam jangka waktu yang lama
(Rosha et al., 2012). Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks TB/U menggambarkan status
gizi masa lalu (Supariasa et al., 2012). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang
disebabkan adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis berulang yang
ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) < -2 SD berdasarkan standar
WHO (WHO, 2010). Retardasi pertumbuhan atau stunting pada anak-anak di negara berkembang
terjadi terutama sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi yang mempengaruhi
30% dari anak-anak usia di bawah lima tahun (UNSCN, 2004).

Kejadian stunting yang berlangsung sejak masa kanak-kanak dapat menyebabkan gangguan
Intelligence Quotient (IQ), perkembangan psikomotor, kemampuan motorik, dan integrasi
neurosensori. Anak yang menderita kurang gizi (stunting) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point
lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak stunting (UNICEF 1998). Menurut Anugraheni
(2012) stunting juga meningkatkan risiko obesitas dan penyakit degeneratif. Hal ini dikarenakan
orang dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah, kenaikan berat badan beberapa
kilogram saja bisa menjadikan Indeks Masa Tubuh (IMT) naik melebihi batas normal. Keadaan
overweight dan obesitas yang terus berlangsung lama akan meningkatkan risiko kejadian penyakit
degeneratif.
Pada dasarnya banyak faktor penyebab terjadinya stunting, dimana faktor-faktor tersebut saling
berhubungan satu dengan lainnya. Menurut UNICEF (1998) terdapat dua faktor utama penyebab
stunting yaitu asupan makanan tidak seimbang dan riwayat penyakit. The World Bank (2007)
menambahkan, selain tidak adekuatnya makanan dan infeksi, status berat badan lahir juga
mempengaruhi secara langsung kejadian stunting. Menurut Soetjiningsih (1995) tumbuh kembang
anak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting
Menurut UNICEF (1998), pertumbuhan dipengaruhi oleh sebab langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsung diantaranya adalah asupan makanan dan keadaan kesehatan, sedangkan

penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola pengasuhan

anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut ditentukan
oleh sumber daya manusia, eknonomi dan organisasi melalui faktor pendidikan. Penyebab paling
mendasar dari tumbuh kembang adalah masalah struktur politik, ideologi, dan sosial ekonomi yang
dilandasi oleh potensi sumber daya yang ada (Supariasa et al., 2012).
Menurut Tuft (2001) dalam The World Bank (2007) stunting disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor
individu yang meliputi asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan; faktor rumah
tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah dan struktur keluarga,
pola asuh, perawatan kesehatan, dan pelayanan; serta faktor lingkungan yang meliputi infrastruktur
sosial ekonomi, layanan pendidikan dan layanan kesehatan. Sedangkan menurut Soetjiningsih
(1995) tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan.

Bayi Lahir Stunting, Faktor Penyebab Dan
Risiko
Data Global Nutrition Report 2016 mencatat jumlah balita stunting sebanyak 36,4
persen dari seluruh balita di Indonesia. Stunting mencerminkan kekurangan gizi
kronis selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan
anak. Umumnya bagi seorang anak yang mengalami kurang gizi kronis, proporsi
tubuh akan tampak normal, namun kenyataannya lebih pendek dari tinggi badan
normal untuk anak-anak seusianya.
Kondisi stunting sudah tidak bisa ditangani lagi bila anak memasuki usia dua tahun.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya stunting pada anak, ibu perlu mengonsumsi
asupan gizi yang layak, terutama selama masa kehamilan hingga anak lahir dan
berusia 18 bulan. Pada dasarnya, kelangsungan hidup dan kesehatan anak tidak dapat
dipisahkan dari kesehatan Sang Ibu sendiri.

Penyebab Anak Mengalami Stunting
Secara umum, kekerdilan atau stunting ini disebabkan oleh gizi buruk pada ibu, praktik
pemberian dan kualitas makanan yang buruk, sering mengalami infeksi serta tidak
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Gizi ibu dan praktik pemberian makan yang buruk
Stunting dapat terjadi bila calon ibu mengalami anemia dan kekurangan gizi. Wanita
yang kekurangan berat badan atau anemia selama masa kehamilan lebih mungkin
memiliki anak stunting, bahkan berisiko menjadi kondisi stunting yang akan terjadi
secara turun-temurun.

Kondisi tersebut bisa diperburuk lagi bila asupan gizi untuk bayi kurang memadai,
misalnya bayi diberikan air putih atau teh sebelum berusia enam bulan, karena pada
usia ini bayi seharusnya diberikan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif maupun susu
formula sebagai penggantinya. Tidak hanya itu, gizi buruk yang dialami ibu selama

menyusui juga dapat mengakibatkan pertumbuhan anak menjadi terhambat.

Sanitasi yang buruk
Stunting juga bisa terjadi pada anak-anak yang hidup di lingkungan
dengan sanitasidan kebersihan yang tidak memadai. Sanitasi yang buruk berkaitan
dengan terjadinya penyakit diare dan infeksi cacing usus (cacingan) secara berulangulang pada anak. Kedua penyakit tersebut telah terbukti ikut berperan menyebabkan
anak kerdil.
Tingginya kontaminasi bakteri dari tinja ke makanan yang dikonsumsi dapat
menyebabkan diare dan cacingan yang kemudian berdampak kepada
tingkatan gizi anak. Kontaminasi bakteri-bakteri tersebut juga dapat terjadi
melalui peralatan dapur maupun peralatan rumah tangga lainnya yang tidak
dicuci bersih maupun tidak mencuci tangan hingga bersih sebelum makan.
Alhasil, bakteri bisa masuk melalui mulut. Praktik hidup seperti itu kemudian
dapat mengurangi nafsu makan anak, menghambat proses penyerapan
nutrisi di dalam tubuh anak, serta meningkatkan risiko kehilangan nutrisi.

Penyebab lain
Anak yang terlahir dengan sindrom alkohol janin (Fetus Alcohol
Syndrome/FAS) juga dapat mengalami stunting. FAS merupakan pola cacat
yang dapat terjadi pada janin karena Sang Ibu mengonsumsi terlalu banyak

minuman beralkohol saat sedang hamil. Anak dengan FAS memiliki
sekelompok rangkaian gejala yang mencakup bentuk wajah yang berbeda
dari anak normal, pertumbuhan fisik terhambat, serta beberapa gangguan
mental.

Bagaimana dengan Risiko Kesehatan pada Anak Stunting?
Berikut adalah beberapa risiko kesehatan pada anak stunting.


Stunting dikaitkan dengan otak yang kurang berkembang dengan
konsekuensi berbahaya untuk jangka waktu lama, termasuk kecilnya kemampuan
mental dan kapasitas untuk belajar, buruknya prestasi sekolah di masa kecil, dan
mengalami kesulitan mendapat pekerjaan ketika dewasa yang akhirnya mengurangi
pendapatan, serta peningkatan risiko penyakit kronis terkait gizi seperti diabetes,
hipertensi, dan obesitas.

Memiliki risiko yang lebih besar untuk terserang penyakit, bahkan kematian




dini.


Kekerdilan dapat menurun pada generasi berikutnya, disebut siklus
kekurangan gizi antargenerasi.



Ketika dewasa, seorang wanita stunting memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami komplikasi selama persalinan karena panggul mereka lebih kecil, dan
berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah.

Untuk mencegah stunting, lakukan beberapa langkah berikut.


Seorang ibu harus mengonsumsi nutrisi yang dibutuhkan selama
hamil dan nutrisi yang dibutuhkan selama menyusui.




Memberikan nutrisi yang baik kepada Si Buah Hati, seperti memberikan ASI
eksklusif dan nutrisi penting lainnya seiring pertambahan usia.



Menerapkan pola hidup bersih dan sehat, terutama mencuci tangan sebelum
makan, meminum air yang aman, mencuci peralatan makan dan peralatan dapur,
membersihkan diri setelah buang air besar atau kecil, serta memiliki sanitasi yang
ideal (toilet yang bersih).

Menjaga asupan nutrisi yang ideal dan bervariatif ditambah dengan perilaku
hidup bersih dan sehat memegang peranan yang krusial bagi kesehatan ibu
hamil, terutama bagi janin. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekerdilan
demi kelangsungan hidup anak dalam jangka pendek dan dalam jangka
panjang yang sehat, serta untuk memastikan anak tumbuh menjadi orang
dewasa yang kuat, terdidik, dan produktif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting
Menurut UNICEF (1998), pertumbuhan dipengaruhi oleh sebab langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung diantaranya adalah asupan makanan dan keadaan kesehatan,
sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola

pengasuhan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor
tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, eknonomi dan organisasi melalui faktor
pendidikan. Penyebab paling mendasar dari tumbuh kembang adalah masalah struktur politik,
ideologi, dan sosial ekonomi yang dilandasi oleh potensi sumber daya yang ada (Supariasa et
al., 2012).
Menurut Tuft (2001) dalam The World Bank (2007) stunting disebabkan oleh tiga faktor
yaitu faktor individu yang meliputi asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan;
faktor rumah tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah dan
struktur keluarga, pola asuh, perawatan kesehatan, dan pelayanan; serta faktor lingkungan yang

meliputi infrastruktur sosial ekonomi, layanan pendidikan dan layanan kesehatan. Sedangkan
menurut Soetjiningsih (1995) tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan.

a.

1)
a)

b)

c)
d)
2)
a)
b)

Faktor Langsung
Asupan Makan
Asupan zat-zat gizi yang lengkap masih terus dibutuhkan anak selama proses tumbuh
kembang masih berlanjut karena proses tumbuh kembang ini dipengaruhi oleh makanan yang
diberikan pada anak. Makanan yang diberikan harus tepat baik jenis dan jumlahnya hingga
kandungan gizinya. Zat gizi yang dibutuhkan anak ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas,
berat badan, dan tinggi badan. Tubuh anak tetap membutuhkan semua zat gizi utama yaitu
karbohidrat, lemak, protein, serat, vitamin dan mineral (Marimbi, 2010).
Menurut Marimbi (2010) antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada
keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Penilaian status gizi dengan melihat
jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi dapat dilakukan melalui survey konsumsi makanan
(Depkes Malang, 2008). Menurut Supariasa et al. (2012) ada beberapa metode pengukuran
konsumsi makanan. Untuk menentukan jumlah konsumsi rata-rata dari sekelompok responden
maka dapat menggunakan metode recall 2x24 jam atau penimbangan selama satu hari sudah
cukup. Sedangkan untuk mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi dari sekelompok masyarakat,
maka dapat menggunakan metode frekuensi makanan. Berikut ini langkah-langkah penggunaan
metode recall 2x24 jam dan frekuensi makanan :
Metode Food Recall 2x24 jam
Langkah pelaksanaan recall 2x24 jam, sebagai berikut :
Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman
yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang
lalu. Selain dari makann utama, makanan kecil atau jajan juga dicatat, termasuk makanan yang
dimakan diluar rumah.
Pewawancara melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam menaksir/
memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) pewawancara menggunakan berbgai alat bantu
seperti ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok, dan lain-lain) atau model dari makanan (food
model). Makanan yang dikonsumsi dapat dihitung dengan alat bantu ini atau dengan menimbang
langsung contoh makanan yang dikonsumsi.
Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan
Makanan (DKBM)
Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKGA) atau Angka
Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia
Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)
Langkah pelaksanaan Frekuensi Makanan (Food Frequency), sebagai berikut :
Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner
mengenai frekuensi penggunaanya dan ukuran porsinya
Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan
makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu.

Untuk menilai tingkat konsumsi makanan (energi dan zat gizi), diperlukan standar
kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk populasi yang
diteliti. Menurut Permenkes (2013) angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan AKG
(2012) sebagai berikut :
Tabel 2.2 Kebutuhan Energi, Protein, Lemak, dan Karbohidrat Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
2012 rata-rata perhari
Lemak (g)
Kelompok BB* TB* Energi Protein
Karbohidrat Serat Air
umur
(Kg) (cm) (Kkal)
(g)
(g)
(g)
(mL)
Total n-6 n-3
0-6 bulan
7-11
bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun

6

61

550

12

34

4,4

0,5

58

0

-

9

71

725

18

36

4,4

0,5

82

10

800

13

91

1125

26

44

7,0

0,7

155

16

1200

19
27

112
130

1600
1850

35
49

62
72

10,0
10,0

0,9
0,9

220
254

22
26

1500
1900

Sumber : Permenkes RI (2013)
Tabel 2.3 Kebutuhan Mineral Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata perhari
Kelompok Umur
Mineral
0-6 bulan
7-11 bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
Kalsium (mg)

200

250

650

1000

1000

Fosfor (mg)

100

250

500

500

500

Magnesium (mg)

30

55

60

95

120

Natrium (mg)

120

200

1000

1200

1200

Kalium (mg)

500

700

3000

3800

4500

Mangan (mg)

-

0,6

1,2

1,5

1,7

Tembaga (mg)

200

220

340

440

570

Kromium (mcg)

-

6

11

15

20

Besi (mg)

-

7

8

9

10

90

120

120

120

120

Seng (mg)

-

3

4

5

11

Selenium (mcg)

5

10

17

20

20

Fluor (mcg)

-

0,4

0,5

0,9

1,2

Iodium (mg)

Sumber : Permenkes RI (2013)

-

Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas Depkes RI (1990), klasifikasi tingkat
konsumsi zat gizi makro dibagi menjadi empat dengan cut point masing-masing sebagai berikut
(Supariasa et al., 2012) :
Lebih
: ≥ 120% AKG
Baik
: 100-119% AKG
Sedang
: 80-99% AKG
Kurang
: 70-79% AKG
Defisit
: < 70% AKG

Sedangkan untuk klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi mikro dibagi menjadi dua dengan cut
point sebagai berikut (Gibson, 2005):
- Kurang
: < 77% AKG
- Cukup
: ≥ 77% AKG
Terdapat beberapa zat gizi baik zat gizi makro dan mikro yang berhubungan dengan
pertumbuhan pada balita, yaitu:
1) Zat Gizi Makro (Energi dan Protein)
Masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan tulang, gigi, otot, dan
darah, maka pada masa ini memerlukan zat gizi lebih dibandingkan orang dewasa. Energi yang
dibutuhkan oleh anak-anak dipengaruhi oleh basal metabolisme, laju pertumbuhan, dan energi
yang dikeluarkan untuk melakukan aktifitas (Mahan et al., 2012). Selain itu, menurut Almatsier
(2009) pertumbuhan tinggi badan bisa terhambat bila seorang anak mengalami defisiensi protein
(meskipun konsumsi energinya cukup). Jika tubuh kekurangan khususnya karbohidrat dan lemak
maka cadangan protein akan dirombak untuk menutupi kekurangan tersebut dan digunakan
sebagi sumber energi. Pada anak yang megalami kurang energi protein akan terhambat
pertumbuhannya, rentan terhadap penyakit terutama infeksi dan mengakibatkan rendahnya
prestasi belajar anak.
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara
konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah
Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak
balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm
lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asupan energi dan protein berhubungan dengan
kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan Fitri (2012) berdasarkan data RISKESDAS 2010 di
Sumatera menyebutkan bahwa asupan zat gizi berupa energi dan protein menunjukkan hubungan
yang signifikan terhadap kejadian stunting. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian
Oktarina (2012) bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan
kejadian stunting pada balita, namun tidak ditemukan hubungan antara tingkat konsumsi protein
dengan kejadian stunting. Hal ini berbeda dengan Anisa (2012) dalam penelitiannya ditunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting.
2) Zat Gizi Mikro (Kalsium, Besi, dan Zink)
Kalsium merupakan salah satu makro elemen, yaitu mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Sumber utama kalsium dalam makanan terdapat pada
susu dan hasil olahnya, seperti keju atau yogurt. Sumber kalsium selain susu juga penting untuk
memenuhi kebutuhan kalsium, baik yang berasal dari hewani atau nabati. Sumber kalsium yang
berasal dari hewani, seperti sarden, ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering
merupakan sumber kalsium yang baik. Sumber kalsium yang berasal dari nabati, seperti serealia,
kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe, dan sayuran hijau merupakan
sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung banyak zat yang
menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat (Almatsier, 2009).
Tabel 2.4 Nilai Kalsium dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)

Bahan Makanan
Ikan tawar
Kelor
Tahu
Kacang hijau
Sawi
Telur bebek
Telur ayam
Susu
Udang
Tempe
Ikan laut
Singkong
Kentang
Biscuit

Mg
346
255
223
223
220
150
147
143
136
129
92
77
63
62

Bahan Makanan
Kacang panjang
Wortel
Jeruk
Ubi jalar
Bayam
Pepaya
Mangga
Daging ayam
Roti
Pisang
Semangka
Jagung
Apel
Daging sapi

mg
60
45
33
30
27
23
20
13
10
9
7
6
6
3

Sumber : Tabel
Komposisi Pangan
Indonesia (2009)

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. sekitar 99% total
kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam
bentuk hidoksiapatit, hanya sebagian kecil dalam plasma dan cairan ekstravaskular (Almatsier,
2009). Kalsium di dalam tulang mudah dimobilisasi ke dalam cairan tubuh dan darah, bila
diperlukan untuk diteruskan kepada sel-sel jaringan yang lebih memerlukannya.
Terutama trabecule dari struktur tulang merupakan tempat penimbunan kalsium yang mudah
sekali melepaskan kalsium untuk dipergunakan ke dalam keperluan lain (Sediaoetama,
2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat konsumsi kalsium anak balita
tergolong kurang sebesar 60,46%. Masa balita adalah masa pertumbuhan, dimana pada masa ini
diperlukan kalsium yang tinggi. Karena kekurangan kekurangan kalsium pada masa
pertumbuhan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan
rapuh (Almatsier, 2009). Menurut Sulistyoningsih (2012) defisiensi kalsium dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, tulang mudah patah, rakhitis pada anak-anak, sering kejang, mineralisasi
tulang dan gigi terganggu (kerusakan gigi).
Salah satu mikronutrien esensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang merupakan
mineral mikro yang paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh
(Almatsier, 2009). Sumber zat besi paling utama dan paling baik baik adalah pada makanan
hewani, seperti daging, ayam, ikan dan makanan hasil olahan darah. Sumber zat besi yang baik
lainnya adalah telur, serealia, kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran hijau, dan buah-buahan.
Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dinamkan juga
ketersediaan biologik tinggi, besi dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan
biologik sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung oksalat
tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah.
Tabel 2.5 Nilai Zat Besi dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)

Bahan Makanan
Udang
Kacang hijau
Telur ayam
Telur bebek
Kelor
Tempe
Bayam
Tahu
Sawi
Daging sapi
Biskuit
Ikan laut
Papaya
Susu

Mg
8
7,5
7,2
7
6
4
3,5
3,4
2,9
2,8
2,7
1,7
1,7
1,7

Bahan Makanan
Daging ayam
Roti
Jagung
Singkong
Mangga
Wortel
Ikan tawar
Pisang
Kentang
Kacang panjang
Jeruk
Ubi jalar
Apel
Semangka

mg
1,5
1,5
1,1
1,1
1
1
0,9
0,9
0,7
0,6
0,4
0,4
0,3
0,2

Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009)

Menurut Indonesian Pediatric Society (IDAI) Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi
fungsi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Gejala yang paling sering
ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan dapat ditemukan gejala komplikasi
antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya
tahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan perilaku.
Zink termasuk dalam kelompok zat gizi mikro yang mutlak dibutuhkan dalam jumlah yang
sangat kecil untuk memelihara kehidupan yang optimal. Zink terdapat dalam jumlah yang cukup
banyak di dalam setiap sel, kecuali sel darah merah dimana zat besi berfungsi khusus
mengangkut oksigen. Sekalipun kalsium merupakan elemen makro namun jumlahnya dalam sel
lebih kecil dibandingkan seng, kecuali di dalam tulang. Zink tidak terbatas fungsinya seperti zat
besi dan kalsium. Fungsi fisiologi yang bergantung pada seng ialah pertumbuhan dan
pembelahan sel, antioksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler dan humoral, adaptasi
gelap, pengecapan dan nafsu makan. Zink terutama dibutuhkan untuk proses percepatan
pertumbuhan, hal ini bukan saja disebabkan karena efek replikasi sel dan metabolisme asam
nukleat, tetapi juga sebagai mediator dari aktifitas hormon pertumbuhan. Bahan makanan sumber
zink diantaranya bayam, kepiting, jamur, kacang-kacangan, tiram, kuning telur, biji-bijian dan
daging merah.
Tabel 2.6 Nilai Zink dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)

Bahan Makanan
Daging sapi
Tempe
Daging ayam
Ikan laut
Telur bebek
Kacang hijau
Udang
Telur ayam
Tahu
Roti
Biskuit
Kelor
Wortel
Ikan tawar

Mg
4,1
1,8
1,8
1,6
1,4
1,3
1,3
1,1
0,8
0,8
0,7
0,6
0,6
0,5

Bahan Makanan
Kacang panjang
Susu
Bayam
Singkong
Jagung
Sawi
Ubi jalar
Pisang
Jeruk
Pepaya
Semangka
Mangga
Kentang
Apel

mg
0,5
0,4
0,4
0,3
0,3
0,2
0,2
0,2
0,1
0,1
0,1
0,04
0
0

Sumber :Nutrisurvey (2007)

Konsekuensi defisiensi mikronutrien selama masa anak-anak sangat berbahaya. Defisiensi
zink juga dapat menyebabkan pertumbuhan terlambat, dermatosis, hipogonadisme, oligospermi,
adaptasi gelap yang menurun, gangguan imunitas, rambut rontok, nafsu makan yang berkurang
(Pudjiaji, 2005). Menurut Solomons (1993) manifestasi defisiensi zink pada manusia sangat
bervarisi, pada defisiensi yang ringan gejala-gejala yang ditemukan adalah anoreksi, kulit kering
dan oligospermia. Salah satu manifestasi defisiensi seng pada anak balita adalah retardasi
pertumbuhan linier (pendek atau stunting). Pada anak-anak gejala yang paling menonjol adalah
pertumbuhan yang terhambat (growth retardation).
b.

Penyakit Infeksi
Konsumsi diet yang cukup tidak menjamin pertumbuhan fisik yang normal, karena kejadian
penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat mempengaruhi proses yang kompleks
terhadap terjadinya atau pemeliharaan defisit pertumbuhan pada anak (Anisa, 2012). Menurut
Suiraoka et al. (2011) hubungan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan
hubungan timbal balik dan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan
keadaan gizi yang kurang dapat mempermudah seseorang terkena penyakit infeksi yang
akibatnya dapat menurunkan nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran
pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit sehingga kebutuhan zat
gizi tidak terpenuhi.
Anak dengan penyakit infeksi dapat mengganggu proses pertumbuhannya. Penyakit infeksi
yang sering diderita oleh anak dengan KEP adalah diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) (Suryono et al., 2004). Menurut Supariasa et al. (2012) ada hubungan yang sangat erat
antara infeksi (bakteri, virus, dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. Mereka menekankan
interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi dan juga infeksi akan
mempengaruhi zat gizi dan mempercepat malnutrisi.
Berdasarkan penelitian Masithah et al. (2005) status kesehatan berupa penyakit infeksi
memiliki hubungan positif terhadap indeks status gizi TB/U. Menurut Astari et al.(2005)
penyakit infeksi seperti diare dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan
yang buruk, berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 6 – 12 bulan. Tando (2012)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa status kesehatan berupa frekuensi dan durasi sakit pada

balita memberikan resiko kemungkinan terjadinya stuntingpada anak SD di Kecamatan Malayan
Kota Manado.
c.

Berat Lahir
Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin, neonatal, dan
postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan pengembangan jangka panjang.
Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir kurang dari
2500 gr. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa
dewasa. Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi
ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti
dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stuntedtersebut akan menjadi perempuan dewasa
yang stunted juga, dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem,
2001).
Fitri (2012) menyebutkan bahwa berat lahir secara bermakna berhubungan dengan
kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Oktarina (2012) yang menyebutkan bahwa
berat lahir merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting.
Growth
faltering atau
kegagalan
pertumbuhan
yang
mengakibatkan
terjadinyastunting atau underweight pada umumnya terjadi dalam periode yang singkat (sebelum
lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun), namun mempunyai konsekuensi yang serius kemudian
hari. Seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi dewasa stunted dapat mengakibatkan
produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap status ekonomi. Sedangkan seorang anak
perempuan yang mengalami stunting, layaknya akan menjadi seorang perempuan
dewasa stunted, apabila kelak hamil akan lahir seorang bayi dengan berat lahir rendah
(Kusharisupeni, 2002).

d.

Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui
genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas
pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas
jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang
(Soetjiningsih, 1995). Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi
(seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat
pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh
menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit,
kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak
terpapar faktor resiko yang lain (Amigo et al.,1997 dalam Nashikah, 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan tinggi badan orang tua dengan
kejadian stunting. Nashikah (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tinggi badan orang
tua merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Aditianti (2010) yang menyebutkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu
merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian stunting.

Faktor Tidak Langsung
a. Pola Asuh Gizi
Suatu bentuk rangsangan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan otak
bayi adalah degan menerapkan pola asah, asih, dan asuh dalam perawatannya sehari-hari. Dalam
pemberian makanan juga perlu ditunjang dengan pemenuhan zat zat gizi yang tepat (Marimbi,
2010). Adapun aspek kunci pola asuh gizi yaitu makanan dan minumanpra-lakteal, pemberian
kolostrum, pemberian ASI eksklusif, pemberian MP-ASI, dan praktik penyapihan.
Air susu ibu merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan
pertama. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan penyediaan energi dalam
susunan yang diperlukan. ASI tidak memberatkan fungsi traktus digestivus dan ginjal yang
belum berfungsi baik pada bayi yang baru lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang
optimum. Kandungan ASI memiliki berbagai zat anti infeksi, mengurangi kejadian eksim atopik.
Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan spesifik dan non-spesifik. Responsi
imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk
menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Pudjiaji, 2005). Proverawati et al. (2010)
menyebutkan ASI mengandung growth faktor yang diantaranya untuk perkembangan mukosa
usus. ASI akan melindungi bayi terhadap infeksi dan juga merangsang pertumbuhan bayi yang
normal.
Menurut WHO (World Health Organization) ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja
tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan tambahan
lain. Sebelum mencapai usia 6 bulan sistem pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan
sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. Taufiqurrahman (2009),
dalam penelitiannya menyatakan bahwa status menyusu juga merupakan faktor risiko terhadap
kejadian stunting. Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan
yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI
eksklusif (Oktavia, 2011).
Menginjak usia 6 bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi lagi
kebutuhan gizi yang terus berkembang. Oleh karena itu perlu diberikan makanan pendamping
ASI. Pemberian makanan pendamping ASI harus disesuaikan dengan perkembangan sistem alat
pencernaan bayi, mulai dari makanan bertekstur cair, kental, semi padat hingga akhirnya
makanan padat (Marimbi, 2010).
Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang penting dalam proses
pertumbuhan. Di seluruh dunia sekitar 30 % anak dibawah lima tahun yang
mengalami stunting merupakan konsekuensi dari praktek pemberian makanan yang buruk dan
infeksi berulang (WHO, 2011). Meskipun bayi mendapatkan ASI dari ibu secara optimal, namun
jika setelah berusia 6 bulan tidak mendapatkan makanan pendamping yang cukup baik dari segi
kuantitas maupun kualitas, anak-anak akan tetap mengalamistunting (UNICEF, 2008). Penelitian
yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama pemberian MP-ASI
berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U pada baduta.

b.

Tingkat Pendidikan Orang Tua
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang
anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi
dari luar terutama tentang tata cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan
anaknya, pendidikannya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995). Penelitian Anisa (2012)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dan ibu dengan
kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru Depok.

c.

Pekerjaan Ibu
Menurut Zakiah (1998) dalam Aditianti (2010) status pekerjaan orang tua mempengaruhi
pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat menyebabkan berkurangnya
alokasi waktu untuk anak lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian
Diana (2006) mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh makan
dengan pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak tidak terawatt,
sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhannya atau anggota keluarga yang lain. Selain
itu, ibu yang bekerja diluar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk
melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola
pengasuhan anak akan berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak
juga akan terganggu.

d.

Pengetahuan Gizi Ibu
Hidayat (2005) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi yang rendah dapat menghambat
usaha perbaikan gizi yang baik pada keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya
mengetahui gizi tetapi harus mengerti dan mau berbuat. Menurut Suhardjo (2003) tingkat
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi merupakan salah
satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang cukup
pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal.

e.

Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota rumah tangga juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap
kejadian stunting pada balita. Anak-anak stunting berasal dari keluarga yang jumlah anggota
rumah tangganya lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak normal (Tshwane University of
Technology et al., 2006 dalam Oktarina, 2012).
Hidayah (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa balita stuntingcenderung lebih
banyak terdapat pada keluarga yang memiiki jumlah anggota rumah tangga > 4 orang
dibandingkan dengan keluarga yang memiliki anggota rumah tangga ≤ 4 orang. Hal tersebut
dikarenakan keluarga dengan anggota rumah tangga > 4 orang cenderung memiliki biaya

pengeluaran per kapita lebih kecil dibandingkan keluarga dengan anggota rumah tangga < 4
orang. Semakin kecilnya pengeluaran per kapita tersebut dapat mengurangi kemampuan dalam
penyediaan makanan bagi tiap-tiap orang dalam keluarga tersebut, termasuk balita.
f.

Status Ekonomi Keluarga (Pendapatan dan Pengeluaran)
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena
orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder
(Soetjiningsih, 1995). Menurut Husaini et al. (2006), apabila pendapatan rendah, maka
kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Di
negara-negara berkembang golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu umumnya dua per tiga dari pendapatannya. Namun
sebaliknya, apabila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin
besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah tepenuhi (Suhardjo, 2003).
Tingkat pengeluaran untuk makanan merupakan kejadian yang dapat menggambarkan
keadaan ekonomi suatu keluarga. Keluarga ekonomi rendah akan cenderung membelanjakan
penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan. Makanan yang lebih
banyak dibeli yaitu makanan berpati sedangkan untuk makanan sumber protein adalah terutama
protein hewani. Hal ini akan menghubungkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak erutama
kebutuhan protein sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Status gizi anak
dan kurangnya asupan protein akan menyebabkan anak menjadi sulit tumbuh dan berkembang.
Keadaan ini diperparah apabila tidak mempunyai alokasi dana sehingga kejadian ini akan
memperparah kondisi kesehatan, status gizi dan tumbuh kembang anak (Santi, 2011).

g.

Umur
Laju pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan adalah lebih cepat dibandingkan pada
usia lainnya. Jika dilihat dari umur balita, ternyata kejadian stunting banyak terdapat pada usia
12 hingga 59 bulan (Fitri, 2012). Menurut Pudjiadi (2005) bertambahnya panjang badan lebih
cepat pada tahun pertama dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Dilahirkan dengan
panjang badan 50 cm, pada umur 50 cm, pada umur 1 tahun naik menjadi 75 cm (kenaikan 25
cm), pada umur 2 tahun 87 cm (bertambah 12 cm dalam tahun kedua) pada umur 3 tahun 92 cm
(naik hanya 7 cm).

h.

Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Pria lebih
banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup
mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh wanita. Tetapi dalam
kebutuhan zat besi, wanita jelas membutuhkan lebih banyak daripada pria (Fitri, 2012). Dalam
penelitian Aditianti (2010) menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin anak dengan
status gizi. anak laki-laki lebih banyak mengalami stuntingdibandingkan dengan anak
perempuan.

i.

Sanitasi lingkungan
Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia adalah air bersih dan
sanitasi yang baik. Menurut WHO, dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan
yang secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air, seperti diare. Penyakit diare yang
dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap
tinggi badan menurut umur (Aditianti, 2010).

j.

Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya
pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan,
pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana
kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan
persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak
mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat
dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat
berdampak juga pada status gizi anak (Aditianti, 2010).
Kejadian penyakit infeksi (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat
dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi. upaya penurunan angka
morbiditas dan meningkatkan statis gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan
akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat waktu
(Hidayat et al., 2009).

k.

Status Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal atau dapat melawan
terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi biasanya dalam bentuk vaksin. Vaksin
merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan yang digunakan untuk melawan infeksi
atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi vaksin atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau
bakteri yang sudah dilemahkan atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian
sistem kekebalan tubuh akan mengingat virus atau bakteri yang telah dimasukkan dan melawan
infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut ketika menyerang tubuh kita di
kemudian hari (Immunizations, 2010).
Menurut Marimbi (2010) jenis imunisasi yang wajib diberikan pada balita di bawah 12
bulan adalah BCG, hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Penelitian Taguri et al.(2007)
menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan
dalam kejadian stunting pada anak usia < 5 tahun.