Teologi Lokal versus Teologi Feminis Seb

Teologi Lokal versus Teologi Feminis?
Culture regime merupakan sebuah istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan
situasi budaya dan sastra di Indonesia. Dalam monografinya Hele Creese
menyelidiki dan mengeksplorasi kitab-kitab kakawin yang pernah ditulis oleh
pujangga-pujangga di Jawa dan di Bali, dan hasil dari eksplorasinya ini dia
menyatakan, bahwa "Dalam penggambaran tentang wanita, kakawin menunjukkan
pandangan dan peran patriarkal yang secara eksklusif berkenaan dengan kepuasan
fisikalitas dan seksualitas perempuan. Wanita terlihat pasif dan rapuh, patuh dan
penurut. Dengan memingit wanita, kontrol laki-laki terhadap wanita terjamin. ...
Pada saat yang sama representasi kakawin mengagumi dan menekan wanita,
memarjinalisasikan bahkan pada saat mereka sepakat menghormatinya." (Creese,
2012:270-271). Dalam Kakawin, perempuan hampir selalu ditempatkan sebagai
objekt sastra. Dia ditempatkan sebagai objek yang ditekan di satu sisi, tapi dia juga
sekaligus sebagai objek yang dipuja, dalam arti sebagai objek erotis kaum laki-laki,
yang dipuja kecantikannya, yang dihormati sebagai ibu yang melahirkan anakanaknya, sebagai bunga yang harus diproteksi sehingga menjadi over-protected.
Yang pasti tetap menjadi objek. Ini merupakan konteks kita di Indonesia. Pola
pandang seperti para penulis kakawin ini toh masih tetap dipunyai oleh pola
pandang masyarakat masa kini. Dengan membangun teologi yang berdasarkan
konteksnya (teologia in loco), maka hal ini akan berbenturan dengan pembangunan
teologi feminis, yang menghargai perempuan. Untuk itulah benar yang dikatakan
Rocky Gerung dalam makalahnya yang berjudul "Feminisme versus Kearifan Lokal?"

yang diterbitkan pada Jurnal Perempuan 57 tahun 2008. Seringkali banyak teolog
berkata, bahwa kita harus memelihara warisan budaya kita, harus memelihara
kearifan lokal. Hal ini tentu sangat baik dan memang harus kita lakukan. Tetapi
terhadap masalah feminisme ini, kita akan berbenturan. Untuk itu tidak jarang di
dalam membangun teologi feminisme, maka orang akan membuat sebuah
dekonstruksi, sehingga akan muncul dekonstruksi yang berlebihan. Apakah benar,
bahwa kita tidak bisa membangun teologi feminisme yang kontekstual? Dalam
penelitian saya yang masih dalam taraf hipotesa atau asumsi, di tengah lautan
karya sastra Indonesia kuno yang sangat berbau patriarki, saya mendapatkan
sebuah kitab yang menggunakan bahasa yang sangat feminis. Kitab tersebut
adalah Kitab Calon-Arang. Pada tahun 1920an teks ini telah ditransliterasi dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. R. Ng. Poerbatjaraka yang
diterbitkan dalam Bijdragen voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Mungkin beberapa
teks feminis lagi yang bisa kita dapatkan. Kembali ke teks Calon Arang. Teks ini
memiliki similaritas dengan teks Kakawin Arjunawiwaha. Similaritasnya terletak
pada latarbelakang sejarah dan tokoh-tokohnya, yaitu memiliki latar sejarah pada
zaman Erlangga (atau Airlangga). namun demikian perbedaan semantis yang
mencolok adalah jika Kakawin Arjunawiwaha menggunakan bahasa yang sangat
patriarki, sebaliknya Calon Arang menggunakan bahasa yang sangat feminis.
Bagaimana itu bisa terjadi pada zaman itu? Inilah yang menjadi pertanyaan

terbuka.