Kesenjangan antara Kebutuhan dan Kapasit (1)

Kesenjangan antara Kebutuhan dan Kapasitas Transfer Fiskal
di Indonesia
Jaka Sriyana
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
jakasriyana@fe.uii.ac.id
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang dapat
menjamin terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata, baik antar
daerah maupun antar individu. Dari sudut pandang ekonomi, otonomi daerah belum
menghasilkan keluasan kewenangan daerah dalam merencanakan dan mengalokasikan
sumber- sumber keuangan yang berasal dari daerah sendiri. Artinya masih terjadi
ketergantungan fiskal dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang sangat
besar, khususnya bagi kabupaten. Hal ini mencerminkan bahwa kapasitas fiskal daerah
secara rata-rata masih rendah. Selain itu antar kota/kabupaten juga terjadi disparitas
kapasitas fiskal yang tinggi sehingga menghasilkan kesenjangan capaian pembangunan
antar daerah. Pada sisi lain masing-masing pemerintah kota/kabupaten menghadapi
berbagai masalah mendasar yang menuntut peningkatan anggaran daerah. Salah satu
masalah yang akan menimbulkan potensi peningkatan pembiayaan yang sangat besar
adalah meningkatnya secara jumlah penduduk. Kondisi ini akan menuntut peningkatan
pembiayaan pemerintah daerah pada berbagai bidang. Penelitian ini merancang
kapasitas transfer fiskal, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), yang merupakan
bagian terbesar transfer fiskal pemerintah pusat kepada daerah. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kombinasi deskriptif dan analisis kuantitatif. Dari hasil kajian
ini diketahui bahwa kapasitas transfer fiskal dari pemerintah pusat tidak sebanding
dengan perkembangan kebutuhan fiskal kota dan kepada kabupaten. Perkembangan
kapasitas transfer fiskal semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan fiskal di daerah.
----------------------------------------------Kata Kunci: Otonomi, Fiskal, Ekonomi, Daerah, Transfer
JEL: H.53; H.62; C.22

PENDAHULUAN
Latar belakang
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang
dapat menjamin terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam lima tahun
terakhir ini. Berdasarkan UU No 32 dan No 33 tahun 2004, otonomi di Indonesia dapat
dimaknai dari dua sisi, yaitu sisi politik dan sisi ekonomi. Secara politik pelaksanaan
otonomi telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kewenangan daerah

provinsi maupun kota/kabupaten untuk merencanakan dan mengambil berbagai
kebijakan pemerintahan. Namun dari sudut pandang ekonomi tidak menunjukkan
adanya keluasan kewenangan daerah dalam merencanakan dan mengalokasikan sumbersumber keuangan yang berasal dari daerah. Artinya masih terjadi ketergantungan
keuangan (fiskal) dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.
Kebijakan transfer fiskal dari pemerintah pusat ke daerah, sesuai dengan UU

32/2004 dan UU 33/2004, pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan ketahanan
fiskal yang berkesinambungan (fiscal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi
makro, memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah (vertical imbalance), mengoreksi ketimpangan antar daerah dalamkemampuan
keuangan (horizontal imbalance), meningkatkan akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi
dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah, dan meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat, serta (vi) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan di sektor publik (demokratisasi).
Evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah sejauh ini menunjukkan berbagai
masalah yang muncul, yaitu masih dominannya faktor non ekonomi dalam penentuan
dana transfer, belum terciptanya pemerataan alokasi DAU kepada daerah, terciptanya
disparitas kapasitas fiskal antara kota dan kabupaten (Simanjuntak, 2005). Mengingat
bahwa dana transfer merupakan porsi terbesar dari pendapatan daerah, maka besaran
dana tersebut akan sangat menentukan capaian hasil pembangunan.
Hofman, et.al (2006) dalam evaluasinya terhadap kebijakan transfer fiskal di
Indonesia menjelaskan bahwa pelaksanaan tranfer fiskal dalam bentuk block grant
(Dana Alokasi Uumum) belum mampu mencapai tujuan utamanya, yaitu menciptakan

pemerataan kapasitas fiskal antar daerah sehingga akan berdampak pada tercapainya
kinerja pembangunan di daerah. Hal ini disebabkan oleh, pertama , adanya faktor politik

yang sangat dominan dalam penentuan transfer fiskal. Kedua , besaran dana transfer
tidak mampu mengatasi kebutuhan belanja daerah (fiscal needs). Meningkatnya
kebutuhan belanja daerah ditengarai sebagai akibat tingginya pertambahan jumlah
penduduk serta terjadinya transisi demografi di daerah. Permasalahan transisi demografi
bersifat alamiah dan akan terjadi di semua negara yang mengalami perubahan
karakteristik demografi sebagai akibat kemajuan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Indonesia, yang memiliki jumlah penduduk besar, juga akan menghadapi masalah ini.
Pengelolaan fiskal merupakan aspek penting dalam mendorong perekonomian
suatu negara. Kondisi fiskal yang tercermin di dalam anggaran pemerintah yang baik,
kuat dan memiliki ketahanan (strength) serta berkelanjutan (sustainability) yang baik
akan semakin mendukung kinerja perekonomian nasional. Kebijakan fiskal memiliki
berbagai tujuan dalam mengarahkan aktivitas ekonomi negara, yaitu peningkatan
pertumbuhan ekonomi, stabilisasi harga, pemerataan distribusi pendapatan, dan
peningkatan kesempatan kerja di daerah.
Kesinambungan fiskal merupakan salah satu ukuran kinerja utama dari kondisi
ketahanan fiskal suatu negara. Kesinambungan fiskal menunjukkan adanya kemampuan
jangka panjang pemerintah dalam membiayai kebutuhan belanjanya. Kesinambungan
fiskal ini dapat diukur dengan menggunakan indikator surplus primer dan rasio utang
terhadap PDB. Kondisi defisit, surplus ataupun keseimbangan primer (primary balance)
dalam anggaran pemerintah merupakan indikator utama dalam pengukuran ketahanan

fiskal. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ketahanan fiskal suatu negara berkaitan

dengan kemampuan menutup kebutuhan anggaran pemerintah, termasuk kebutuhan
transfer kepada daerah. Paper ini bertujuan menganalisis kesenjangan antara kebutuhan
transfer fiskal kepada daerah, khususunya transfer DAU, dan kapasitas tranfer yang
dimiliki oleh pememrintah pusat.

Kajian Pustaka
Dalam sistem hubungan keuangan pusat-daera yang sentralistik, kebijakan
belanja pemerintah daerah sangat tergantung pada alokasi yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah. Kewenangan daerah sangat terbatas dalam
melaksanakan aktivitas pemerintahan. Alasan yang mendukung sentralisasi adalah
pemerintah pusat dapat mengalokasikan anggaran yang ada guna menghasilkan barang
dan jasa yang bisa dimanfaatkan secara nasional. Sedangkan alasan utama sistem
pemerintahan desentralistik yaitu pertimbangan efisiensi, akuntabilitas, kemampuan
pengelolaan, dan otonomi. Jalan desentralisasi ditempuh untuk melepaskan diri dari
perangkap

pengelolaan


pemerintahan

yang

tidak

efektif

dan

tidak

efisien,

ketidakstabilan ekonomi makro, dan tidak memadainya pertumbuhan ekonomi (Hamid,
2005).
Menurut Tanzi (2000), desentralisasi pemerintahan dan fiskal didorong oleh
desakan untuk menyediakan pelayanan pemerintah yang lebih efisien. Namun dalam
perpajakan dan pengelolaan sumber di daerah sebagian masih diatur di pusat, sumber
dana dari pusat tetap penting untuk mendukung kegitatan di daerah. Transfer ini sangat

penting dalam melaksanakan desentralisasi di Asia. Sedangkan Hofman, et.al., (2006)
menyatakan bahwa pemerintah pusat harus memperhatikan dua prinsip dalam

menangani masalah pajak, yaitu prinsip efisiensi administrasi perpajakan, dan prinsip
menyelaraskan pendapatan dengan kebutuhan pengeluaran. Prinsip efisiensi ini mudah
berpindah-pindah seperti pajak perusahaan dan pajak pendapatan pribadi, pajak
penjualan yang bertingkat-tingkat seperti pajak pertambahan nilai harus ditangani Pusat.
Sebaliknya, pajak bangunan, pajak izin usaha, dan pajak-pajak yang relatif kecil lebih
efektif untuk ditangani oleh daerah.
Pemerintahan yang desentralistik, pemanfaatan alokasi dana oleh Pusat lebih
banyak ditentukan oleh Daerah. Alokasi ini ditentukan oleh faktor kapasitas fiskal, yang
mencerminkan kemampuan suatu daerah untuk mendanai jasa pelayanan publik yang
harus disediakan pemerintah, dan kebutuhan fiskal menunjukan total pengeluaran yang
dibutuhkan suatu daerah untuk melaksanakan aktifitas di daerahnya. Variabel yang
umum dalam menghitung kapasitas fiskal adalah pendapatan per kapita, penjualan
eceran per kapita, dan perkiraan pajak per kapita. Hal ini bermanfaat untuk menentukan
besar kemampuan pemerintah daerah menyediakan pelayanan publik bagi penduduknya
(Hamid, 2005).
Hamid (2005) menjelaskan ada tiga alasan melakukan alokasi antar pemerintah,
yaitu pertama, terdapat ketidakseimbangan fiskal vertikal. Seperti di Indonesia, terjadi

karena Pemerintah Pusat menguasai pajak-pajak utama, sehingga sumber pajak yang
dikuasai daerah tidak memadai untuk mendanai berbagai pengeluarannya. Kedua,
ketidakseimbangan fiskal horizontal, yakni perbedaan kapasitas dan kebutuhan fiskal
antardaerah. Ketiga, efek pelimpahan antardaerah, yakni eksternalitas ekonomis dan
eksternalitas disekonomis dari suatu kegiatan di suatu daerah pada daerah lainnya.
Misalnya di Australia, transfer fiskal dirancang mengatasi ketidakseimbangan fiskal

vertikal antara Pemerintah Pusat dengan Negara bagian, serta ketidakseimbangan fiskal
horizontal antara sesama Negara bagian.
Persoalan yang sering muncul dalam kaitan alokasi dana dari pusat adalah
formula yang digunakan, dalam rangka mewujudkan pemerataan daerah. Dalam
kenyataan, penyusunan kebijakan tidak mudah dan harus memperhatikan banyak faktor
agar alokasi betul-betul efektif mencapai tujuannya. Menurut Hofman, et.al., (2006) ada
empat kriteria untuk menilai efektifitas sistem transfer dari pusat ke daerah, yaitu
pertama, pemerintah daerah harus dapat membiayai seluruh pengeluarannya untuk
pelayanan jasa publik dari sumber penerimaannya. Kedua, formula harus mendorong
tidak terjadinya anggaran yang defisit. Pemerintah daerah harus tetap mengoptimalkan
pajak daerah dan mengontrol pengeluarannya. Ketiga, formula dana transfer haruslah
berbanding lurus dengan kebutuhan fiskal daerah dan berbanding terbalik dengan
kapasitas


fiskal

daerah.

Keempat,

adanya

transparansi

untuk

mewujudkan

ketidakstabilan. Hal ini berarti formula alokasi harus diumumkan secara terbuka dan
formula ini harus digunakan untuk jangka waktu beberapa tahun.
Secara teoritik, dana alokasi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu berupa bantuan
bersyarat dan bantuan tidak bersyarat. Bantuan bersyarat dapat diklasifikasikan dalam
tiga macam, yaitu pemerintah pusat akan memberikan bantuan sejumlah dana kepada

daerah untuk setiap alokasi yang dibelanjakan daerah untuk kegiatan tertentu, misal
untuk sektor pendidikan, kesehatan; pemerintah menetapkan batas maksimum bantuan
kepada daerah; dan pemerintah pusat menawarkan dana bantuan untuk dibelanjakan
pada sektor publik yang spesifik. Sedangkan bantuan tidak bersyarat Pemerintah Pusat
memberikan keleluasaan bagi Daerah untuk memanfaatkan bantuan tersebut. Alasan

pemberian bantuan tidak bersyarat ini adalah untuk mewujudkan pemerataan dalam
kapasitas fiskal dari daerah-daerah guna menjamin penyediaan jasa publik yang layak
bagi masyarakatnya.
Beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah yaitu,
pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara,
pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan pajak utama
negara sehingga pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber
penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajak-pajak yang basis
pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran
penerimaannya relatif kurang signifikan
Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Kemampuan
daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi
daerah bersangkutan, sehingga berimplikasi kepada besarnya basis pajak di daerahdaerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari
kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan publik.

Ketiga, yang menambah penting peran transfer dari pemerintah pusat dalam
konteks ini adalah adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan
minimum di setiap daerah. Dengan tercapainya standar pelayanan minimum kepada
masyarakat berarti kebijakan transfer fiskal menunjukkan keberhasilannya.
Keempat, untuk mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau
melimpahnya efek pelayanan publik (interjurisdictional spill-over effects). Beberapa
jenis pelayanan publik di setiap wilayah memiliki "efek menyebar" (atau eksternalitas)
ke wilayah-wilayah lainnya dan tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat

daerah tertentu saja. Oleh karena itulah, pemerintah pusat perlu untuk memberikan
semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik demikian dapat terpenuhi di daerah.
Kelima,

untuk

stabilisasi

dari

pemerintah


pusat.

Kecermatan

dalam

mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu
tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan alasan-alasan sebelumnya di atas.
Tujuan umum dari transfer dana pcmerintah pusat adalah untuk meniadakan atau
meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal, meniadakan atau meminimumkan
ketimpangan fiskal horizontal; dan menginternalisasikan/memperhitungkan sebagian
atau seluruh limpahan manfaat kepada daerah yang menerima limpahan manfaat
tersebut.
Selain ketiga hat di atas, kerap pula dikemukakan bahwa pertimbangan pemberian
transfer pusat adalah dalam rangka menjamin tetap baiknya kinerja fiskal pemerintah
daerah. Artinya, transfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorong untuk
secara intensif menggali sumber-sumber penerimaannya (sesuai dengan kriteria yang
berlaku), sehingga hasil yang diperoleh menyamai (bahkan melebihi) kapasitasnya.

Tabel 1. Transfer Fiskal di Berbagai Negara.
TUJUAN

FAKTOR ALOKASI

Mencapai tingkat kemampuan
penyediaan jasa/pelayanan publik
yang sama/mirip

Indikator kebutuhan belanja (expenditure needs).
Penduduk, anak usia sekolah, lansia, tingkat buta
huruf, kemiskinan, kematian, bayi, luas wilayah,
(secara terpisah atau kombinasi), atau standar belanja
nasional.
Indikator kapasitas fisikal: atau jumlah pendapatan
yang diperoleh dari basis pajak daerah dengan
menerapkan tingkat tariff efektif rata-rata dan tax
effort (tingkat sampai dimana daerah memanfaatkan
sebagai basis pajak yang dimilikinya).

Mencapai tingkat kemampuan
penyedian pelayanan publik yang
sama/ mirip

CONTOH NEGARA
India, Italia, Spanyol

Kanada

Mencapai tingkat kemampuan
penyediaan pelayanan publik
yang sama/mirip pada tingkatan
kemampuan perpajakan yang
sama
Distribusi dengan cara membagi
sama per kepala

Kesenjangan Fisikal (Fiscal Gap) = kebutuhan belanja
– kapasitas Fisikal, atau dengan berbagai kombinasi
lain dari kebutuhan dan kapasitas.

Australia, Cina, Jerman,
Jepang, Korea Selatan,
Latvia, Rusia, Inggris
Raya

Jumlah penduduk

Beberapa jenis transfer
di kanada, Ekuador,
Estonia,
Jerman,
Hungaria, dan Inggris.

Mengisi/ menutupi “celah
anggaran” (budget gap)

Jumlah transfer disini adalah selisih antara jumlah
belanja/pengeluaran yang sudah dianggarkan dengan
jumlah penerimaan sendiri dan bagi hasil

Beberapa segera bekas
pecahan Uni Sovyiet
dan Eropa Timur

Sumber: Mertinez (2001)

Menurut Martinez (2001) ada tiga cara penetapan dana yang dialokasikan
melalui transfer fiskal antarpemerintah, yaitu menurut persentase tetap dari penerimaan
pemerintah pusat, mengikuti suatu dasar ad hoc, yaitu dengan cara yang sama seperti
untuk jenis-jenis pengeluaran anggaran yang lain, dan atas dasar mekanisme formula,
yaitu menurut persentase dari pengeluaran daerah tertentu yang dibayar oleh pusat, atau
yang berhubungan dengan beberapa ciri umum daerah penerima. Formula transfer fiskal
dapat dihitung berdasarkan pendekatan kesenjangan fiskal sebagai berikut:
Tri = Ni-Ci-OTRi
Di mana:
Tri adalah transfer untuk daerah i
Ni adalah kebutuhan fiskal untuk daerah i
Ci adalah kapasitas fiskal daerah i
OTRi adalah transfer yang bersifat khusus
Dalam kenyataannya, tidak selalu kebutuhan transfer untuk daerah bisa dipenuhi,
karena dana transfer yang tersedia di pusat tidak memadai untuk memenuhi kesenjangan

fiskal setiap daerah, transfer yang diterima hanya sebagian, sehingga persamaannya
adalah:
Tri = a (Ni-Ci)-OTRi
Sistem transfer dari pusat ke daerah dengan desain yang baik merupakan syarat
suksesnya pelaksanaan desentralisasi. Pengalaman dan praktik transfer pusat ke daerah
di beberapa Negara dapat dijadikan sebagai rujukan (Martinez, 2001). Sebagai contoh,
ketimpangan transfer di Cina terjadi justru pada tahun 1978 hingga awal abad 21 di
mana kinerja ekonomi Cina sangat bagus yaitu dengan pertumbuhan ekonomi seputar 79% per tahun. Di daerah Selatan dan Timur (terutama sepanjang pantai) relatif jauh
lebih makmur dibandingkan dengan daerah pedalaman. Persoalan Cina ini lebih pada
ketimpangan horizontal (antar-daerah) dari pada ketimpangan vertical (antara pusat dan
daerah). Sebab, sumber-sumber pendapatan yang diserahkan kepada daerah sudah cukup
besar sehingga jika dibandingkan dengan kewajiban belanja yang diembannya relatif
seimbang.
Pada dasarnya ada 3 mekanisme sistem transfer fikal di Cina, yaitu pertama ,
berdasar perjanjian lama tahun 1988-1993. Di sini, setelah 1994, pemerintah daerah
(provinsi dengan kota-kota dengan status independen) terus mengirimkan pendapatan
(setelah dipotong bagian daerah seperti misalnya 25% dari PPN) ke pusat atau menerima
transfer dari pusat sesuai dengan kontrak fiskalnya tahun 1993. Kedua , adalah
pengembalian pendapatan (returned revenue) dari pusat sesuai perhitungan yang
menjamin bahwa daerah akan menerima tidak kurnag dari perolehannya tahun 1993.
Jumlah yang dikembalikan adalah 30% dari kenaikan PPN dan bea cukai atas basis
tahun 1993. Kedua transfer di atas adalah transfer yang bersifat umum (bock grant), dan

merupakan mayoritas dari total transfer pusat ke daerah. Beberapa kelemahan dari jenis
tranfer umum di Cina ini adalah desainnya lebih didominasi oleh upaya untuk
mengakomodasi kepentingan atau tntutan daerah tertentu, dan kriteria transfer
cenderung ad hoc, di mana pengukuran kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang
dalam sistem saat ini kurang memuliki dasar/basis ilmu ekonomi dan keuangan negara.
Sementara itu mekanisme ketiga mencakup berbagai trasfer dengan tujuan khusus,
seperti proyek pendidikan, subsidi harga, proyek ingkungan, bencana alam, dan
pengembangan daerah miskin.
Untuk contoh negara lain, seperti Filipina yang pada tahun 1991 mengeluarkan
undang-undang menyangkut pemerintah daerah termasuk aspek keuangannya (Local
Government Code 1991 ) yang mulai efektif tahun 1993. Regulasi ini menyerahkan

sebagian fungsi kepada daerah berikut aspek pembiayaannya. Bersamaan dengan
transfer fungsi ini juda dilaksanakan transfer pegawia, dan ditingkatkannya bagian
penerimaan negraa untuk daerah termausk di dalamnya transfer dari pemerintah pusat.
Beberapa karakteristik yang menarik dari sistem transfer di Filipina ini adalah
formulanya sederhana dan mudah dipahami, Formula tersebut merupakan hasil
negosiasi politik yang panjang di mana uoaya untuk mengubahnya bisa berakibat pada
munculnya formula yang kurang dapat diterima banyak pihak, dan Distribusi yang
demikian ternyata cukup memeratakan. Ada 3 elemen transfer pusat ke daerah, pertama ,
transfer umum yang didesain untuk membantu daerah-daerah terbelakang menggunakan
bagian-bagian dari PPh dan cukai. Kedua , transfer dari pemerintah federal kepada badan
pembangunan negara bagian. Ketiga , pinjaman daerah yang mesti disetujui pemerintah
pusat. Sumber dana yang diigunakan untuk trasfer oleh komisi keuangan adalah 77,5%

dari PPh dan 47,5% dari penerimaan cukai. Distribusi dana ini untuk mengurangi
perbedaan tingkat kualitas pelayanan publik, dengan cara memperhitungkan kebutuhan
belanja setiap negara bagian dengan memperhitungkan jumlah penduduk, usia sekolah,
jumlah penduduk usia lanjut, tingkat kemiskinan, tingkat kematian bayi, dan luas
wilayah. Beberapa kajian menunjukkan bahwa redistribusi ini cukup menciptakan
pemerataan dalam arti distribusi yang dilakukan berkorelasi negatif dengan pendapatan
per kapita dari tiap negara bagian.
Kasus lain yang mneunjukkan adanya perbedaan transfer adalah di negara
Brazil. Adanya demokratisasi dan desentralisasi di Brazil menyebabkan meningkatnya
porsi bagi hasil dan transfer yang bersifat umum (block grant) dalam sistem hubungan
keuangan pusat dan daerah di sana. Secara garis besar, transfer untuk negara bagian
bersumber dari 21,5% PPh dan PPn barang-barang industri. Sementara untuk
pemerintah daerah bersumber dari 22,5% PPh dan PPn barang-barang industri. Dana
untuk negara bagian dubagikan berdasarkan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita
(95%) dan berdasarkan luas wilyah (5%). Sementara dana untuk peerintah daerah
dibagikan dengan pertimbangan: kepada ibukota negara bagian menggunakan penduduk
dan pendapatan perkapita (10%) dan negara municipalities lain yang bukan ibukota
negara bagian berdasarkan penduduk (90%).
Beberapa kelemahan sistem ransfer Brazil adalah beberapa koefisien untuk
distribusi vertikal adalah tetap (fixed) sesuai dengan konstitusi. Dari sudut pandang
anggaran ini menguntungkan, namun dari sisi pemerintah federal rigiditas semacam ini
mengurangi mereka untuk menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk
stabilisasi makroekonomi, koefisien-koefisien untuk distribusi horizontal adalah hasil

negosiasi politik, dan tidak ada hubungannya dengan kapsitas pajak mauoun upaya
pajak (tax effort) ataupun terhadap kebutuhan pengeluaran, dan sistem yang ada
sekarang tidak memberikan hasil yang nyata/meyakinkan bahwa upaya untuk
mengurangai ketimpangan daerah yang cukup tinggi telah berhasil.
Keberhasilan transfer fiskal dipengaruhi oleh kapasitas fiskal negara dan
kebutuhan fiskal masing-masing daerah yang dalam perhitungannya pada umumnya
ditentukan oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain, kesenjangan fiskal yang tidak lain
adalah perbedaan kapasitas fiskal nasional dan kebeutuhan fiskal daerah merupakan
faktor terpenting sebagai dasar alokasi transfer fiskal. Untuk itu, fokus kajian ini adalah
memproyeksikan kapasitas fiskal dan memprediksi kebutuhan fiskal daerah secara total
sehingga dapat dihitung kesenjaangan antara kebutuhan dan kapasitas transfer fiskal.

METODE
Kondisi keuangan negara, baik dari aspek kapasitas penerimaan maupun
kebutuhan belanja, tergantung pada berbagai variabel ekonomi dan non ekonomi. Salah
satu faktor yang dominan adalah perkembangan jumlah dan struktur penduduk. Pola
hubungan antara dampak kedua perkembangan tersebut dengan keuangan negara
menjelaskan bahwa perubahan struktur penduduk akan mempengaruhi dua sisi
keuangan negara, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi pengeluaran, perubahan
jumlah dan struktur penduduk akan meningkatkan anggaran untuk pembiayaan belanja
pememrintah. Dampak pada sisi penerimaan akan terjadi dua kemungkinan, yaitu
penerimaan negara justru cenderung menurun jika perubahan struktur penduduk tidak
produktif yang meningkat. Perubahan struktur penduduk tidak produktif yang meningkat
akan mengakibatkan penurunan tingkat tabungan masyarakat. Penurunan tingkat

tabungan masyarakat ini disebabkan oleh penurunan jumlah penduduk yang bekerja
(labor force) dan peningkatan rasio ketergantungan. Penurunan labor force ini akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi, sehingga menurunkan tax base yang pada
akhirnya menurunkan penerimaan pajak. Sebaliknya jika jumlah penduduk produktif
meningkat, maka akan memiliki potensi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan penerimaan pajak. Pada kajian ini digunakan metode overlapping loss
generation (OLG) untuk menganalisis proyeksi penerimaan negara sebagai basis

penghitungan kapaistas fiskal nasional. Untuk menganalisis perkembangan kebutuhan
belanja digunakan analisisi trend perkembangan kebutuhan dana alokasi umum.

Proyeksi Kapasitas Fiskal Nasional
Untuk melakukan simulasi kapasitas fiskal nasional dengan pendekatan
overlapping loss generation (OLG) pada prinsipnya melibatkan variabel penduduk

sebagai fakor dominan seperti dikemukakan oleh Shimasawa (2004). Penurunan jumlah
penduduk bekerja ( N tw ) akan memperlambat pertumbuhan output, dan mengakibatkan
penurunan tingkat konsumsi dan asset. Penurunan tersebut berdampak pada penurunan
฀  negara/kapasitas fiskal ( T ) dan menambah defisit anggaran negara.
penerimaan
t

Kenaikan jumlah penduduk akan menaikan proporsi pengeluaran negara terhadap

฀
produk nasional ( gt ) dan menambah
subsidi (SubP). Secara notasi, berbagai persamaan
yang digunakan untuk melakukan simulasi dijelaskan sbeagai berikut:
฀  output: Y  F(K,L)  (X N w ) K1
Persamaan
t
t t
t

Belanja Pemerintah: Gt  gtYt

฀ pajak: Tt  to  Yt
Penerimaan

฀

(1)
(2)
(3)

Potensi kapasitas fiskal nasional: Tt  Tax  NonTax

(4)

Persamaan utang pemerintah: Bt  bt Y,

(5)

Utang luar negeri: RW ,t

(6)

Persamaan defisit anggaran: DBt 1  [(1 RW ,t )Bt ]  Gt  SubP  Tt

(7)

฀

Berdasarkan฀ persamaan tersebut dapat dilakukan simulasi kapasitas fiskal
nasional berdasarkan data-data secara komprehensif. Berbagai variabel yang dibutuhkan
untuk analisis dan sumber data adalah:
Jenis Data

Keterangan

Sumber Data

Y

Pendapatan Nasional

BPS

K

Kapital

BPS

N

Jumlah penduduk

BPS

G

Belanja Pemerintah

BPS dan Depkeu

SubP

Subsidi Pemerintah

Depkeu

R

Utang Luar negeri

Bank Indonesia dan BPS

S

Tabungan

Bank Indonesia dan BPS

T

Penerimaan Pajak

Depkeu

B

Total utang pemerintah

Depkeu

Defisit anggaran

Depkeu

DB

Pendekatan Kebutuhan Fiskal
Studi ini mencoba memformulasikan kebutuhan transfer dari pusat ke daerah, yang
dalam hal ini dilihat dari Dana Alokasi Umum dengan memasukkan variabel kapasitas
fiskal, jumlah penduduk, dan ketergantungan fiskal daerah. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan kesenjangan fiskal, yaitu:
DAUi = FNi - FCi

di mana:
DAUi adalah Dana Alokasi Umum yang diterima Daerah i
FNi adalah kebutuhan fiskal daerah i
FCi adalah kapasitas fiskal daerah i
Untuk maksud tersebut perlu ditentukan variabel-variabel yang digunakan dan
formula perhitungan dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskalnya. Studi ini mencoba
memodifikasi model transfer yang sudah ada dengan memasukkan variabel penduduk dan
ketergantungan fiskal. Model yang dimodifikasi adalah model transfer DAU seperti yang
dikemukanan oleh Hamid (2005). Dalam model tersebut variabel yang digunakan. untuk
menentukan besarnya kebutuhan fiskal adalah Jumlah Penduduk (P), Ketergantungan
Fiskal (KtF), dan Kapasitas Fiskal Daerah (KpF). Dengan menggunakan variabel-variabel
tersebut, dirumuskan formula untuk melakukan simulasi Kebutuhan Fiskal daerah ke-i
(FNi) sebagai berikut:
FNi = α0 + α1P + α2 KtF + α3 KpF
Ketergantungan fiskal merupakan selisih antara total belanja daerah dikurangi
pendapatan asli daerah (PAD), sednagkan kapsitas fiskal dihitung berdasarkan UU No.
33/2004, yang dirumuskan:
KFi= PADi + PBBi + BPHTBi + PPhit + SDAi
Agar alokasi DAU sebesar persentase tertentu dari penerimaan dalam negeri
dapat mencukupi secara tepat DAU semua daerah, maka jumlah dari besarnya DAU
aktual (aDAU) yang diterima semua daerah sama dengan kapasitas fiskal untuk transfer
sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004, yaitu 26% dari total penerimaan pemerintah
pusat.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Kapasitas Fiskal Nasional
Hasil simulasi dnegan berdasarkan aplikasi metode OLG ditampilkan pad Tabel
2. Penerimaan total mengalami peningkatan sampai tahun 2015, namun mulai tahun
2020 mengalami penurunan. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah di luar cicilan utang
justru mengalami peningkatan. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini disebabkan oleh
peningkatan pada berbagai komponen pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan
akibat perkembangan jumlah penduduk. Akibatnya potensi defisit

mengalami

peningkatan sehingga akan mempengaruhi kapasitas fiskal pememrintah.

Tabel 2. Berbagai Indikator Proyeksi Fiskal (% dari PDB, kecuali disebut lain)
Indikator Fiskal

2005

2010

2015

2020

2025

A. Penerimaan pajak

13.2

15.43

15.81

15.81

15.24

B. Asumsí pertumbuhan ekonomi

5%

5%

5%

5%

5%

C. Simulasi PDB (Trilyun)

2624.0

3348.0

4487.0

5727.0

7310.0

D. Tax Ratio

16.56

17.62

17.95

18.47

19.06

E. Penerimaan Total

19.60

21.92

22.38

22.38

22.01

F. Belanja non Cicilan Utang

18.40

19.58

19.94

20.52

21.17

Grafik 1. Data Simulasi Penerimaan Total Pemerintah
23
22

Persen dari PDB

21
20
19
18
17
16
15
1995

2000

2005

2010

2015

2020

Penerimaan Total

Grafik 2. Data Simulasi Belanja non Cicilan Utang

2025

22

Persen dari PDB

20
18
16
14
12
10
1995

2000

2005

2010

2015

2020

2025

Belanja non Utang

Grafik 3. Data Simulasi Keseimbangan Primer
6

Persen dari PDB

5
4
3
2
1
0
1995

2000

2005

2010

2015

Keseimbangan Primer

2020

2025

Grafik 4. Data Simulasi Penerimaan, Belanja dan
Keseimbangan Primer
24

Persen dari PDB

20
16
12
8
4
0
1995

2000

2005

2010

2015

2020

2025

Penerimaan Total
Belanja non Utang
Keseimbangan Primer

Kapasitas Transfer Fiskal
Kapasitas transfer fiskal dihitung berdasarkan kapsitas fiskal nasional,
sednagkan kapasitas fiskal nasional diperoleh dari proyeksi penenrimaan pajak. Adapun
hasil simulasi penerimaan pajak ditampilkan pada Grafik 5. Berikut.

Grafik 5. Data Simulasi Pajak dan Penerimaan Pemerintah

24

Persen dari PDB

20
16
12
8
4
0
1995

2000

2005

2010

2015

2020

2025

Penerimaan Pajak
Penerimaan Total
Penerimaan selain Pajak

Karena penurunan pajak dipengaruhi oleh perubahan struktur penduduk berupa
berkurangnya presentase penduduk produktif , maka usaha untuk meningkatkan pajak
sebaiknya dilakukan dengan meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan usaha-usaha
untuk meningkatkan efisiensi produksi nasional, sehingga dengan jumlah tenaga kerja
yang berkurang tersebut dapat dihasilkan output yang lebih besar.

Dilihat dari aspek penerimaan pajak, walaupun mengalami peningkatan namun
peningkatan penerimaan pajak tidak sebesar peningkatan pengeluaran pemerintah
sehingga semakin lama penerimaan pajak tidak mamapu memenuhi kebutuhan dana
pemerintah untuk menutup pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain dari tahun ke
tahun keuangan negara tidak mengalami sustainability yang semakin baik tetap justru
semakin buruk. Ini artinya keuangan negara semakin terancam. Pemerintah menghadapi
kekurangan dana untuk menutup kebutuhan pengeluaran pemerintah guna memenuhi

pelayanan kepada masyarakat baik dalam rangka belanja operasional maupun belanja
publik.
Implikasi dari penurunan pajak tentu saja adalah pada penerimaan total. Karena
pajak merupakan sumber utama penerimaan pemerintah, maka adanya peningkatan
penerimaan pajak yang tidak signifikan juga akan berakibat pada pnerimanan
pemerintah total yang juga tidak mampu menutup pengeluaran negara total. Dengan kata
lain pemerintah akan mengalami defisit yang semakin besar dari tahun ke tahun. Ini
tentu saja akan menimbulkan beban keuangan negara yang semain besar dari tahun ke
tahun berikutnya.Besarnya beban keuangan pemerintah yang harus ditanggung dapat
dilihat pada data-data hasil simulasi penerimaan total pemerintah.
Atas dasar data hasil simulasi penerimaan pajak dan penerimaan lainnya, maka
dapat dihitung penerimaan total pememrintah. Angka ini dapat dinominalkan dengan
mengalikan dengan nilai PDB hasil perhitungan dengan mengasumsikan ilai rata-rata
perumbuhan ekonomi 6% per tahun. Dari hasil nilai PDB ini, maka dapat dihitung nilai
kapasitas fiskal nasional. Dari nilai kapasitas fiskal nasional ini dapat dihitung pula nilai
kapasitas transfer pemerintah pusat ke daerah, yaitu sebesar 26% dari nilai penerimaan
total domestik. Angka ini didasarkan pada UU No 33 Tahun 2004 yang efektif
diberlakukan sejak tahun 2007. Hasil perhitungan kapasitas transfer disajikan pada
Grafik 6.

Grafik 6. Data Simulasi Penerimaan Pemerintah dan KapasitasTransfer

Rp. Triliyun

1.800,00
1.600,00
1.400,00
1.200,00
1.000,00
800,00
600,00
400,00
200,00
0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Tahun

Penerimaan Total Pemerintah

Kapasitas Transfer

Kesenjangan antara Kebutuhan dan Kapasitas Transfer Fiskal
Pada bagian ini dipaparkan hasil analisis hasil simulasi kebutuhan DAU, kapasitas
transfer yang dimiliki pememrintah serta gap antar kebutuhan dan kapasitas tranfer
fiskal. Dari hasil analisis diketahui bahwa gap tersebut semakin besar dalam kurun
waktu lima belas tahun sejak tahun 2010.

Tabel 3.Data Hasil Simulasi Kebutuhan DAU, Kapasitas Transfer dan
Gap DAU Tahun 2006-2025
TAHUN

KEBUTUHAN DAU
(TRILYUN RUPIAH)

2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

145.7825
160.5292
176.7676
194.6486
214.3383
236.0198
259.8944

KAPASITAS TRANSFER
(26% PENERIMAAN
TOTAL, TRILYUN
RUPIAH)
161,96
172,99
184,70
197,12
210,31
221,74
233,79

GAP ANTARA
KEBUTUHAN DAN
KAPASITAS TRANSFER
DAU
7.932425
2.471443
-4.028297
-14.27976
-26.10442

2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025

286.1841
315.1332
347.0106
382.1125
420.7653
463.3279
510.1960
561.8050
618.6346
681.2128
750.1211
825.9999
909.5542

-39.69412
-55.26317
-73.04057
-94.44254
-118.7053
-146.1679
-177.1760
-212.1350
-252.6746
-298.2028
-349.2711
-406.4899
-470.5142

246,49
259,87
273,97
287,67
302,06
317,16
333,02
349,67
365,96
383,01
400,85
419,51
439,04

Grafik 7. Kebutuhan DAU dan Kapasitas Transfer Fiskal
1000
900

Trilyun Rupiah

800
700
600
500
400
300
200
100
08

10

12

14

16

Kebutuhan T ransfer DAU

18

20

22

24

Kapasitas T ransfer DAU

KESIMPULAN
Dari hasil studi dapat diketahui bahwa Indonesia mengalami tekanan kuat
kepada peningkatan belanja pemerintah dan peningkatan defisit anggaran. Kondisi ini
mengakibatkan terancamnya kemampuan fiskal nasional, baik pemerintah pusat maupun
pememrintah daerah di Indonesia dalam jangka panjang. Dampak nyata yang terjadi

berkaitan dengan transfer fiskal adalah menurunnya kapasitas transfer dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah.
Penerimaan total mengalami peningkatan sampai tahun 2015, namun mulai
tahun 2020 mengalami penurunan. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah justru
mengalami peningkatan. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini disebabkan oleh
peningkatan pada berbagai komponen pengeluaran pemerintah. Akibatnya surplus
primer (primary surplus) mengalami penurunan sampai tahun 2025. Akibat berikutnya
adalah kapasitas transfer tidak dapat mengikuti kebutuhan DAU seiring dengan
peningkatan belanja pemerintah kota/kabupaten. Kondisi ini menuntut adanya
peningkatan penerimaan pemerintah, khususnya penerimaan dari pajak. Karena pada
masa mendatang jumlah tenaga kerja mengalami penurunan, maka untuk meningkatkan
penerimaan pajak perlu adanya kebijakan untuk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja sehingga akan dihasilkan peningkatan output nasional. Kebijakan ini untuk
meningkatkan kondisi tax financed dan menurunkan debt financed.
Penurunan penerimaan pajak dan peningkatan pengeluaran pemerintah telah
mengakibatkan penurunan kemandirian fiskal, baik dari ukuran rasio pajak-belanja non
utang maupun ukuran rasio pajak-belanja total. Kedua variabel yang mencerminkan
kemampuan keuangan negara dalam membiayai pengeluaran tersebut terus menerus
mengalami penurunan dalam kurun waktu 2015-2025. Oleh karena itu untuk menjaga
tax financed perlu dilakukan kebijakan peningkatan produktivitas alokasi pegeluaran
pemerintah. Secara ringkas perlu adanya kebijakan penguatan hubungan kausalitas
antara pajak dan pengeluaran pemerintah.Ini bertujuan agar alokasi pengeluaran

pemerintah dapat meningkatkan aktivitas ekonomi yang dapat menjadi sumber-sumber
pajak baru.
Dilihat dari aspek penerimaan pajak, walaupun mengalami peningkatan namun
peningkatan penerimaan pajak tidak sebesar peningkatan pengeluaran pemerintah
sehingga semakin lama penerimaan pajak tidak mamapu memenuhi kebutuhan dana
pemerintah untuk menutup pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain dari tahun ke
tahun keuangan negara tidak mengalami sustainability yang semakin baik tetap justru
semakin buruk. Ini artinya keuangan negara semakin terancam. Pemerintah menghadapi
kekurangan dana untuk menutup kebutuhan pengeluaran pemerintah guna memenuhi
pelayanan kepada masyarakat baik dalam rangka belanja operasional maupun belanja
publik.
Untuk meningkatkan pemerintah, maka selain peningkatan penerimaan pajak
juga dapat dilakukan dengan kebijakan peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Pemerintah juga perlu membuat formula baru transfer fiskal dengan mempertimbangan
kapasitas fiskal kabupaten/kota yang rendah. Selain itu juga perlu desain transfer fiskal
yang mempertimbangkan tingkat ketergantungan fiskal. Pelaksanaan transfer DAU
berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 perlu disiasati dengan memasukkan aspek transisi
demografi pada aspek penduduk, jadi bukan jumlah penduduk, tetapi tingkat kecepatan
transisi demografi menuju AP. Kebijakan praktis yang perlu dilakukan adalah revisi UU
No 33 Tahun 2004 tentang formula penetapan DAU dengan memasukkan aspek transisi
demografi, peningkatan besaran dana trasfer fiskal ke daerah (dari 26%) untuk
meningkatkan kapasitas fiskal di daerah, peningkatan pemerataan transfer fiskal dengan
mempertimbangkan ketergantungan fiskal daerah, mengurangi fluktuasi jumlah dana

DAU untuk menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah, melakukan
pergeseran dari alokasi anggaran administrasi yang terlalu besar menuju penerapan
kebijakan pemberian layanan masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin.
------------------------------------Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang dibiayai oleh Skim Penelitian Prioritas
Nasional, Dirlitabmas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Penidikan Nasional,
Republik Indonesia, Tahun 2010-2011.

Daftar Pustaka
Berument, Hakan, 1994, Political Parties and Government Financing: Empirical Evidence for
Industrialized Coutries, Southern Economic Journal, 61: 511-518.
Department of Economics and Social Affairs Population Division – UN, 2001.World
Population Ageing: 1950 – 2050, New York: United Nation.

Departemen Keuangan, 2005, Nota Keuangan dan Rancangan APBN, Berbagai Edisi,
Jakarta, Indonesia, http://depkeu.go.id/notakeuangan/
Departemen Keuangan, 2004, Naskah Akademis Undang-Undang Sitem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), Jakarta
Departemen Keuangan, 2005, Statistik Ekonomi dan Keuangan,Jakarta, Indonesia,
http://depkeu.go.id/statistikekonomi/
Departemen Keuangan, 2007, Dampak Ageing Population terhadap Keuangan Negara,
Laporan Penelitian, Kerjasama BKF-PPE FE UII Yogyakarta.
Hamid, Edy Suandi, 2005, Formula Alternatif Dana Alokasi Umum, UII Press,
Yogyakarta. Cetakan Pertama.
Higgins, M. 1998, „Demography, national savings and international capital flows‟,
International Economic Review, vol. 39, no. 2, pp. 343–69.
Hofman, Bert., Kadjatmiko, Kai Kaiser, dan Bambang Suharnoko Sjahrir, 2006,
Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia, World Bank Policy Research
Working Paper 3911,
Mertinez , Jorge -Vazquez, 2001, Principles for the Design of equalization Grants, Indonesia,
Workshop on Decentralization in Indonesia, May.

Masson, P, Bayoumi, T. and Samiei, H. 1995, International Evidence on the
Determinants of Private Saving, International Monetary Fund Working Paper no.
95/51, May.
Simanjuntak, R.A., dan Djoko Hidayanto, 2005, Dana Alokasi Umum di Masa Depan,
dalam Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek Di Era Otonomi
Daerah, LPEM Universitas Indonesia, Jakarta.
Shimasawa, Manabu. 2004, Population Ageing, Policy Reforms and Endogenous

Growth in Japan: A Computable Overlapping Generations Approarch ,
Economic and Social Reasearch Institute, Tokyo, Japan.

Tanzi, Vito, and Ludger Schuknecht, 2000, Public Spending in the 20th Century
(Cambridge,U.K.: Cambridge University Press).