Accuracy of Measles Immunization Records and Reporting in Maternal and Child Health Card and Cohort Book

AKURASI PENCATATAN DAN PELAPORAN IMUNISASI CAMPAK BAYI
PADA BUKU KIA DAN BUKU KOHORT
Accuracy of Measles Immunization Records and Reporting in Maternal and Child Health Card
and Cohort Book
Rekha Finazis
Departemen Epidemiologi FKM UA, finazisrekha@gmail.com
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga,
Surabaya, Jawa timur, Indonesia
ABSTRAK
Penyakit menular seperti penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi masih menjadi masalah di Indonesia, salah
satunya adalah penyakit campak. Pemerintah telah berupaya mencegahnya melalui program imunisasi campak pada bayi
berusia 9 bulan. Melihat upaya yang telah dilakukan melalui program imunisasi campak dan masih ditemukannya penyakit
campak di masyarakat, maka perlu dilakukan evaluasi terkait keberhasilan program imunisasi campak tersebut. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dari segi pencatatan dan pelaporan data imunisasi campak
khususnya terkait dengan kualitas data imunisasi campak. Populasi adalah 5 posyandu dengan jumlah balita terbanyak di
wilayah kerja Puskesmas Gunung Anyar Kota Surabaya. Jumlah responden adalah sebanyak 50 orang responden dengan
rincian setiap posyandu akan diambil 10 orang responden. Pemilihan sampel dilakukan melalui metode survei cepat.
Variabel yang diteliti adalah kualitas data imunisasi pada buku KIA/KMS atau catatan kesehatan lainnya dibandingkan
dengan data imunisasi pada buku kohort. Variabel lainnya adalah kualitas data pada buku regiter bayi di posyandu dengan
buku kohort. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase akurasi data campak di masyarakat dengan buku kohort
masih rendah di lima posyandu tersebut. Sementara itu, persentase akurasi daata pada buku register bayi di posyandu

dengan buku kohort juga terbilang sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas data imunisasi campak yang tercatat
masih terbilang rendah.
Kata kunci: imunisasi, campak, bayi, pencatatan, pelaporan
ABSTRACT
Infectious diseases such as diseases that can be prevented by immunization remains a problem in Indonesia, one of which is
measles. The government has sought to prevent through measles immunization in infants aged 9 months. Seeing the efforts
that have been made through measles immunization program and still finding measles in the community, it is necessary to
evaluate the success of programs related to the measles immunization. This study was conducted to determine the problems
that occur in terms of recording and reporting of data related to measles immunization in particular measles immunization
data quality. The population was 5 posyandu with the highest number of children under five in the region of new health
centers Gunung Anyar city of Surabaya. The number of respondents is as much as 50 respondents with details of each
neighborhood health center will take 10 respondents. The sample selection is done through a rapid survey method. The
variables studied were the quality of immunization data on books maternal and child health card or other health records
compared with immunization data on a cohort book. Other variables are the quality of data on infants in posyandu regiter
book by book cohort. The results showed that the percentage of the suitability of the data of measles in the community
with book five cohort remains low in the neighborhood health center. Meanwhile, the percentage of suitability daata on
the register books with babies in posyandu cohort book is also fairly low. This suggests that the quality of data recorded
measles immunization is relatively low.
Keywords: immunization, measles,infant recording, reporting


adalah penyakit akut yang menular dan disebabkan
oleh virus yang dapat menimbulkan kematian.
Penyakit campak merupakan penyakit yang
mudah menular melalui udara (air borne disease),
sehingga virus tersebut aktif dan berada di udara
dalam jangka waktu yang lama atau di permukaan

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara tropis yang memiliki
penyakit infeksi tergolong tinggi. Berkembangnya
penyakit infeksi yang tergolong tinggi diakibatkan
pengaruh suhu lingkungan yang mendukung
pertumbuhan mikrooganisme. Penyakit campak

184

Rekha Finazis, Akurasi Pencatatan dan Pelaporan…

yang terinfeksi sampai dua jam. Gejala penyakit
campak biasanya ditandai dengan adanya panas

badan berkisar 380. Selain itu gejala lain yang khas
ditemukan adalah adanya kokplik’s spot dan bercak
kemerahan atau rash. Penularan penyakit campak
dimulai saat 4 hari sebelum timbulnya ruam, hal
inilah yang menyebabkan rantai penularan sulit
untuk diputus. Selain menimbulkan kematian,
penyakit campak juga dapat menyebabkan
komplikasi serius termasuk kebutaan, ensefaliti,
diare berat, infeksi telinga dan pneumonia.
Daerah berisiko campak adalah daerah dengan
cakupan imunisasi rendah yakni kurang dari 80%.
Daerah risiko campak lainnya yakni daerah yang
padat dan kumuh, daerah rawan gizi, daerah yang
susah dijangkau dan jauh dari pelayanan kesehatan
serta daerah dengan kelompok masyarakat yang
tidak menerima imunisasi. Walaupun penyakit
campak belum ditemukan obatnya, namun penyakit
ini dapat dicegah dengan imunisasi campak.
Daerah yang berisiko penyakit campak
terutama pada daerah dengan pelayanan kesehatan

yang kurang memadai akan dapat mengakibatkan
kejadian luar biasa. Kejadian luar biasa terjadi
apabila ditemukan 5 atau lebih kasus klinis dalam
waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi secara
mengelompok dan dibuktikan dengan adanya
hubungan epidemiologi.
Adanya daerah dengan risiko campak yang
berpotensi menyebabkan kejadian luar biasa harus
diatasi agar daerah tersebut tidak menjadi endemis
campak. Endemis campak terjadi akibat adanya
transmisi campak import secara terus menerus
selama 12 bulan atau lebih di sebuah wilayah.
Setiap tahunnya terdapat lebih dari 20 juta orang
yang terkena campak (WHO, 2013). Berdasarkan
data bulanan WHO (2013), tercatat sebanyak
158.000 kematian global di tahun 2011 akibat
campak. Artinya terdapat 18 kematian global setiap
jamnya. Selain itu disebutkan pula, bahwa penemuan
kematian campak lebih dari 95% terjadi pada negara
berpenghasilan rendah dan kurang memadainya

pelayanan kesehatan di negara tersebut.
Imunisasi diberikan sebagai upaya pemeliharaan
kesehatan anak agar anak tersebut terhindar dari
penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi. Penggunaan vaksin campak dinilai aman,
efektif dan murah. Imunisasi campak merupakan
imunisasi dasar lengkap yang wajib diberikan pada
bayi usia 9 bulan.
Pemberian imunisasi ini dilakukan mengingat
banyaknya anak usia kurang 5 tahun yang banyak

185

terserang penyakit ini. Imunisasi campak juga
merupakan pencegahan jangka panjang untuk
pencegahan penyakit campak, karena pada sebagian
besar individu vaksin campak tersebut bersifat life
long.
World Health Organization (2013), menyatakan
bahwa beberapa negara berkembang di Asia dan

Afrika masih sering ditemukan kasus campak.
Disebutkan juga bahwa penyakit campak merupakan
salah satu penyakit utama yang menyebabkan
kematian pada balita. Melihat begitu besar dampak
yang disebabkan penyakit campak, World Health
Organization telah melakukan upaya pencegahan
melalui vaksinasi campak.
Pemberian vaksin campak telah dilakukan dari
tahun 2000–2011 dan berhasil menurunkan 71%
kasus campak di dunia. Oleh karena itu, cakupan
imunisasi campak rutin menjadi indikator millenium
development goals terkait kesehatan balita (WHO,
2013).
Indonesia, pada tahun 2011 terdapat 85,1%
bayi yang telah diimunisasi campak. Persentase
tersebut telah memenuhi target pada tahun tersebut.
Walaupun telah berhasil memenuhi target cakupan
imunisasi, namun masih ditemukan kematian akibat
campak dan ditemukan 21.893 kasus campak.
(Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Kota Surabaya menjadi kota dengan jumlah
kasus suspect campak tertinggi di Jawa Timur. Pada
tahun 2012 terdapat 717 orang kasus suspect campak
di kota Surabaya yang diperoleh dari pengamatan
secara klinis (Dinas Kesehatan Kota Surabaya,
2013). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa
wilayah kerja Puskesmas Gunung Anyar tercatat
sebagai daerah tertinggi kasus suspect campak di
Kota Surabaya yakni sebanyak 86 kasus (Dinas
Kesehatan Kota Surabaya, 2013).
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa
permasalahan yang masih terjadi pada pelaksanaan
program imunisasi di Jawa Timur adalah pada
tahap penyelenggaraan program imunisasi.
Penyelenggaraan imunisasi di Provinsi Jawa Timur
belum memberikan dampak yang optimal, hal ini
dibuktikan dengan adanya penemuan kasus campak
di beberapa kabupaten/kota. Kejadian tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal antara lain karena
ada kelompok masyarakat yang belum mendapat

imunisasi sehingga masyarakat tersebut tidak
memiliki kekebalan terhadap penyakit campak.
Selain itu, penyebab lainnya adalah kualitas
pencatatan dan pelaporan program imunisasi yang
masih rendah (Hargono, dkk, 2012).

186

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 184–195

Kota Surabaya menjadi satu-satunya kota yang
belum memenuhi target renstra tahun 2012 di Jawa
Timur terkait cakupan imunisasi campak. Untuk
Universal Child Immunization, Kota Surabaya hanya
mencapai sebesar 36,88% atau 59 desa/kelurahan
yang telah UCI dari 160 desa/kelurahan. (Dinas
Kesehatan Kota Surabaya, 2013)
Puskesmas Gunung Anyar pada tahun 2012
tercapai 84,45% cakupan imunisasi dan hanya ada
1 kelurahan dari 4 kelurahan di kecamatan Gunung

Anyar yang sudah mencapai UCI (Dinas Kesehatan
Kota Surabaya, 2013).
Beberapa penyebab terkait ketidakberhasilan
target UCI di Surabaya adalah karena tingginya
mobilitas penduduk. Selain itu juga disebabkan
belum semua sarana pelayanan kesehatan swasta
melaporkan hasil cakupan imunisasi pada instansi
yang terkait (Dinas Kesehatan Kota Surabaya,
2013).
Pada pertemuan nasional tahun 2010 terkait
evaluasi kegiatan akselerasi imunisasi dibahas
beberapa permasalahan yang dapat menghambat
keberhasilan program imunisasi, salah satunya
berkaitan dengan pencatatan dan pelaporan
imunisasi. Dalam pertemuan tersebut dijelaskan
bahwa.di tahun 2009 data cakupan imunisasi
pada 107 desa di 41 puskesmas di 22 Kab/Kota di
10 provinsi dari tingkat desa ke puskesmas akan
membaik ke tingkat yang lebih tinggi yang diketahui
melalui data quality self assessment (Usmays,

2010).
Imunisasi campak merupakan tolak ukur
kelengkapan imunisasi dasar wajib, maka akurasi
data harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini
tentu akan berkaitan dengan data pada tingkat
terendah. Data di tingkat puskesmas adalah data
penting karena data tersebut akan menjadi bagian
data dari tingkat kabupaten /kota bahkan hingga ke
tingkat provinsi dan pusat. Oleh karena itu, melalui
data quality self assessment diharapkan data di
tingkat puskesmas akan meningkatkan kualitas data
di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat provinsi
dan pusat.
Adapun evaluasi yang dilakukan untuk menilai
kualitas pencatatan dan pelaporan imunisasi telah
menjadi fokus World Health Organization melalui
alat penilaian melalui Data Quality Self Assessment
sejak tahun 2004 di Indonesia (Departemen
Kesehatan RI, 2009). Penelitian lain yang berkaitan
dengan kualitas data imunisasi rutin melalui data

quality self assessment menyebutkan kualitas data
secara keseluruhan di beberapa puskesmas lebih

rendah daripada di tingkat kabupaten/kota maupun
provinsi (Tarigan, 2009).
Data imunisasi dasar penting untuk
dipertanggungjawabkan tingkat akurasinya. Hal
ini dikarenakan data di tingkat puskesmas tersebut
akan dilaporkan hingga ke tingkat pusat. Evaluasi
imunisasi dapat dilakukan pada faktor pencatatan
dan pelaporan pada buku register kohort bayi dan
anak balita. Hal ini dikarenakan angka cakupan
imunisasi yang tinggi belum tentu menggambarkan
fakta di lapangan.
Pencatatan dan pelaporan register kohort bayi
dan anak balita merupakan faktor penting yang
mendukung untuk melakukan evaluasi imunisasi.
Gambaran angka cakupan imunisasi yang tinggi
belum menggambarkan fakta di lapangan. Data
imunisasi di dalam buku kohort maupun di dalam
buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) / Kartu Menuju
sehat (KMS) dengan kenyataan di lapangan bisa
berbeda.Oleh karena itu, diperlukan adanya cross
check data pada buku kohort maupun di dalam buku
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) / Kartu Menuju
sehat (KMS). Selain itu, permasalahan seperti tidak
ketahui jenis dan jumlah imunisasi secara pasti yang
diberikan, akan berpengaruh pada keteraturan dalam
pemberian imunisasi (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2010).
Penelitian survei tahun 2010 menyebutkan
bahwa permasalahan pelaksanaan program imunisasi
di Jawa Timur disebabkan antara lain karena ada
belum diimunisasi atau kualitas pencatatan dan
pelaporan program imunisasi yang masih rendah.
Pada penelitian tersebut diketahui hasil coverage
survey cakupan imunisasi di Surabaya memiliki
79,5% cakupan lengkap dan valid dose sebesar
40,5%. (Hargono dkk, 2010). Oleh karena itu,
diperlukan upaya dalam menilai dan mengetahui
kualitas pencatatan dan pelaporan data imunisasi
khususnya terkait akurasi data imunisasi.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah dapat
mengidentifikasi akurasi perbedaan penulisan tanggal
pemberian imunisasi campak pada buku Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) dengan buku kohort. Sebagai
tambahan, penelitian ini juga dapat mengidentifikasi
akurasi perbedaan penulisan tanggal imunisasi
campak pada buku register bayi posyandu terhadap
buku kohort bayi.
METODE
Rancang bangun penelitian ini adalah cross
sectional atau dapat dikatan data penelitian ini

Rekha Finazis, Akurasi Pencatatan dan Pelaporan…

diambil dalam satu waktu. Jenis penelitian ini adalah
deskriptif-evaluatif. Artinya penelitian ini dilakukan
untuk mengungkap fakta di lapangan yang berkaitan
dengan penilaian terhadap sesuatu. Tempat penelitian
adalah di lima posyandu di wilayah kerja Puskesmas
Gunung Anyar Kota Surabaya.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
ibu yang memiliki balita dan tinggal di 5 posyandu
wilayah kerja Puskesmas Gunung Anyar Kota
Surabaya dan dapat dibuktikan melalui Kartu
Keluarga (KK). Penentuan 5 posyandu dilakukan
secara purposive berdasarkan jumlah balita
terbanyak di posyandu wilayah kerja Puskesmas
Gunung Anyar Kota Surabaya. Data mengenai
jumlah balita terbanyak per posyandu didapat dari
laporan perkembangan SKDN di tingkat posyandu
wilayah kerja Puskesmas Gunung Anyar Kota
Surabaya per Januari 2014.
Sampel pada penelitian ini adalah ibu yang
memiliki balita usia 1 sampai 3 tahun, serta
memiliki buku KIA/KMS atau catatan imunisasi
lainnya. Jumlah sampel penelitian adalah sebanyak
50 responden. Rincian dari total 50 responden
tersebut adalah pada tiap posyandu diwakili
10 orang responden. Penentuan dan pengambilan
sampel menggunakan metode survei cepat atau door
to door.
Variabel pada penelitian ini adalah akurasi data
tanggal pemberian imunisasi campak pada Buku
KIA/KMS atau catatan kesehatan lain dengan buku
kohort. Selain itu, peneliti juga meneliti akurasi
data tanggal pemberian imunisasi campak pada
buku register bayi di posyandu dengan buku kohort
sebagai variabel tambahan. Verifikasi ini dilakukan
dengan membandingkan 2 jenis media pencatatan
dan pelaporan data imunisasi yang digunakan di
lapangan.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan kuesioner terkait status imunisasi.
Data yang diambil berupa data primer dan data
sekunder. Verifikasi dilakukan kepada responden di
masyarakat yang diperoleh dari data buku KIA/KMS
atau catatan kesehatan anak lainnya. Verifikasi inilah
yang menghasilkan data primer yang kemudian
akan dibandingkan dengan data sekunder. Analisis
dilakukan secara deskriptif dan hasil pengumpulan
data akan diolah menggunakan aplikasi komputer
yang akan ditampilkan dalam bentuk grafik batang
yang menggambarkan presentase keakuratan data
imunisasi campak.
Pedoman yang digunakan dalam melakukan
penelitian ini adalah pedoman pelaksanaan data

187

quality self assessment di Puskesmas yang telah
dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kemampuan
peneliti (Departemen Kesehatan RI, 2009). Peneliti
berfokus pada persentase perbedaan pancatatan
tanggal imunisasi campak bukan pada banyaknya
anak yang telah diimunisasi campak.
Sasaran penilaian kuantitatif pada data quality
self assessment meliputi pencatatan hasil pelayanan
imunisasi di posyandu seperti buku KIA/KMS atau
catatan kesehatan anak lainnya, dan buku register
bayi di posyandu serta buku kohort. Pedoman
tersebut peneliti mengadopsi pernyataan yang
menyebutkan bahwa verifikasi yang dilakukan adalah
dengan mencocokkan data hasil pelayanan imunisasi
pada pencatatan di tingkat yang lebih rendah dengan
data yang dilaporkan di tingkat yang lebih tinggi.
HASIL
Lima posyandu di wilayah kerja Puskesmas
Gunung Anyar tersebar di 4 kelurahan di kecamatan
gunung anyar kota surabaya. Pada tiap-tiap posyandu
diambil 10 orang untuk menjadi responden.
Karakteristik responden menurut usia terdiri dari
usia ≤ 20 tahun, usia antara 21–30 tahun, usia
antara 31–40 tahun, usia antara 41–50, dan usia
≥ 51 tahun. Responden terbanyak (34%) berusia
31–40 tahu, sebaliknya responden usia ≤ 20 tahun
adalah responden paling sedikit yakni sebesar 4%.
Selengkapanya dapat dilihat pada gambar di berikut
ini:

Gambar 1. Karakteristik Responden menurut
Usia
Menurut jenis pekerjaan, dari 50 responden
diketahui bahwa responden cenderung beragam

188

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 184–195

status pekerjaannya. Walaupun dapat dikatakan
beragam, namun jumlahnya terbilang sedikit. Oleh
karena itu, kelompok ini dikategorikan ke dalam
kelompok lain-lain. Sebagian besar responden adalah
70% ibu rumah tangga, selengkapnya dapat dilihat
pada gambar berikut :

Pada gambar tersebut diketahui bahwa
Posyandu C memiliki persentase sebesar 70%.
Artinya reponden di Posyandu C lebih banyak
membawa anak mereka untuk diimunisasi pada
unit pelayanan swasta. Sebaliknya Posyandu E
memiliki persentase sebesar 10%. Artinya pada
Posyandu E, responden lebih memilih imunisasi
di posyandu atau puskesmas untuk anak mereka.
Akibatnya media pencatatan imunisasi yang dimiliki
oleh responden sangat beragam tergantung tempat
dilakukan pemberian imunisasi.

Gambar 2. Karakteristik Responden menurut Jenis
Pekerjaan
Pada gambar tersebut juga dapat diketahui
bahwa sebanyak 8% responden yang bekerja sebagai
pengasuh. Selain itu, diketahui pula sebanyak 8%
responden dikategorikan kelompok lain-lain.
Saat dilakukan verifikasi di lapangan, diketahui
bahwa masyarakat tidak hanya mendapatkan
imunisasi pada posyandu atau pukesmas tetapi
masyarakat juga aktif melakukan imunisasi pada
unit pelayanan swasta, selengkapnya dapat dilihat
pada gambar berikut ini:

Gambar 4. Buku Kesehatan Ibu dan Anak

Gambar 3. Persentase Masyarakat yang Imunisasi
di Unit Pelayanan Kesehatan Swasta per
Posyandu

Gambar 5. Persentase Tanggal Pemberian Imunisasi
Campak di Masyarakat dengan Buku
Kohort

Menurut hasil penelitian terkait data imunisasi
campak di 5 posyandu dengan membandingkan
buku KIA/KMS atau catatan kesehatan anak lainnya
diperoleh hasil sebagai berikut:

Rekha Finazis, Akurasi Pencatatan dan Pelaporan…

Posyandu E memiliki persentase tertinggi 40%
dibandingkan dengan posyandu lainnya terkait
akurasi data imunisasi campak di masyarakat
melalui buku KIA/KMS atau catatan kesehatan lain.
dengan buku kohort sebesar. Persentase 40% pada
posyandu E memiliki arti bahwa 4 dari 10 responden
di posyandu E yang memiliki data status imunisasi
yang sesuai antara buku KIA/KMS atau catatan
kesehatan lain dengan data di buku kohort.
Pada Posyandu A, Posyandu B dan Posyandu
D memiliki persentase 0% terhadap data imunisasi
campak di masyarakat dengan buku kohort. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak terdapat data yang
sesuai pada buku KIA/KMS atau catatan kesehatan
lain dengan buku kohort. Hal ini terjadi karena data
imunisasi pada buku kohort kurang lengkap.
Data yang kurang lengkap yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah tidak ditemukan tanggal
pemberian imunisasi campak pada salah satu atau
kedua media pencatatan imunisasi. Selain tidak
ditemukan tanggal pemberian imunisasi, rendahnya
akurasi data diakibatkan belum terdaftarnya nama
balita tersebut pada buku kohort.
Saat melakukan verifikasi status imunisasi pada
buku KIA/KMS atau catatan kesehatan lain, peneliti
juga melakukan cross check data pada buku register
bayi di wilayah posyandu terhadap buku kohort
sebagai tambahan informasi. Adapun persentase
akurasi data campak pada buku register bayi
posyandu dengan buku kohort di 5 posyandu adalah
sebesar 0%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
data yang sesuai antara data imunisasi campak pada
buku register bayi posyandu dengan buku kohort.
Keadaan seperti ini diakibatkan oleh pengisian
tanggal imunisasi pada kedua media pencatatan
belum lengkap. Selain penulisan tanggal pemberian
imunisasi yang belum dicatat semua, permasalahan
lain yang juga ditemukan di salah satu posyandu
adalah sebagian besar penulisan nama bayi bukan
nama lengkap, tetapi berupa nama panggilan.
Pada daftar nama tersebut ditemukan dua nama
panggilan yang sama. Akurasi yang rendah antara
buku register bayi di posyandu terhadap buku
kohort juga diakibatkan adanya balita yang belum
terdaftar pada salah satu maupun kedua media
pencatatan imunisasi tersebut. Hal ini akan sangat
mempengaruhi kualitas data pencatatan.

buku kohort maupun buku register bayi di posyandu
menjadi rendah dikarenakan data mengenai tanggal
pemberian imunisasi campak tidak tertulis bahkan
terdapat beberapa balita yang belum tercatat pada
buku register posyandu atau buku kohort.
Kelengkapan data yang kurang akan
mempengaruhi akurasi data imunisasi. Dalam
pertemuan nasional evaluasi kegiatan akselerasi
imunisasi yang menyebutkan bahwa akurasi data
adalah hal yang perlu mendapat diperhatikan karena
terdapat perbedaan angka dengan rentang yang
cukup besar (Usmays, 2010).
Imunisasi campak memang merupakan
imunisasi terakhir yang diberikan agar status
imunisasi anak tersebut dapat disebut sudah
terimunisasi lengkap. Kartu imunisasi tidak hanya
mencatat tanggal imunisasi tetapi juga mencatat
beberapa data seperti jenis vaksin yang diberikan
dan nama tenaga medis pemberi vaksin (Batubara
dalam Ranuh, 2011). Responden yang membawa
anak mereka untuk diimunisasi di posyandu dan
puskesmas memiliki media pencatatan imunisasi
bayi yang biasanya berupa buku KIA atau KMS.
Untuk responden yang membawa anak mereka
ke unit pelayanan swasta, media pencatatan yang
digunakan sangat beragam. Pada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 284 Tahun 2004
tentang Buku kesehatan Ibu dan Anak disebutkan
bahwa buku KIA merupakan buku yang berisi
informasi dan catatan kesehatan ibu dan anak dan
buku KIA akan menggantikan KMS secara bertahap
(Kemenkes RI, 2004).
Dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa
buku KIA yang dimiliki ibu dan anak merupakan

PEMBAHASAN
Persentase akurasi data imunisasi pada buku
KIA/KMS atau catatan kesehatan lainnya terhadap

189

Gambar 6. Kartu Menuju Sehat (KMS)

190

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 184–195

catatan kesehatan yang lengkap termasuk catatan
imunisasi. Buku ini juga digunakan sejak anak lahir
hingga berusia lima tahu. Oleh karena itu, buku KIA
diharapkan dapat mencatat semua data kesehatan ibu
dan anak secara lengkap dibanding KMS. Walaupun
penggunaan KMS masih ditemukan pada responden,
hal terpenting yang perlu diingat adalah tercatatnya
data status imunisasi dengan mengesampingkan
media pencatatan yang digunakan.
Data status imunisasi campak pada buku KIA/
KMS atau catatan kesehatan lainnya diketahui bahwa
sebagian besar responden telah membawa anak
mereka untuk diimunisasi campak hal ini dibuktikan
dengan tercatatnya tanggal pemberian imunisasi.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa ada hubungan
antara pekerjaan ibu dengan kelengkapan pemberian
imunisasi dasar pada bayi (Mundari, 2014).
Sebagian besar responden penelitian ini
berstatus sebagai ibu rumah tangga, yang memiliki
waktu lebih banyak dalam mengurus anak. Selain
itu, penelitian tersebut menyebutkan bahwa jarak
tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan
memiliki hubungan yang signifikan terhadap
kelengkapan pemberian imunisasi dasar pada bayi
12 bulan.
Pada Posyandu C ditemukan fakta bahwa letak
geografis tempat tinggal tidak mengecilkan semangat
responden untuk membawa anaknya imunisasi pada
pelayanan kesehatan. Bahkan responden tersebut
mengaku sering membawa anak mereka ke unit
pelayanan swasta untuk imunisasi. Hal yang perlu
dicermati adalah bahwa tidak penting melakukan
imunisasi dimanapun tetapi yang terpenting adalah
anak responden tersebut telah diimunisasi.
Responden yang belum membawa anak mereka
untuk diimunisasi campak, tidak akan ditemukan
tanggal penulisan pemberian imunisasi campak.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi disebutkan
bahwa pencatatan hasil imunisasi dicatat di buku
KIA pada hari itu juga yakni setelah pemberian
pelayanan imunisasi (Kemenkes RI, 2013).
Saat dilakukan probing, responden yang
tidak ditemukan catatan status imunisasi campak
tersebut, mengaku bahwa belum memberi imunisasi
anaknya karena terkait kondisi kesehatan anaknya
saat itu yang sedang sakit. Oleh karena itu, kecil
kemungkinan petugas lupa menulis status imunisasi
pada buku KIA/KMS atau catatan kesehatan
lainnya.
Alasan lain yang dikemukakan responden adalah
karena jadwal posyandu yang bersamaan dengan jam

kerja orang tua balita tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor orang tua memiliki daya ungkit yang
tinggi. Peran ibu dapat menentukan status imunisasi
bayi, hal ini dikarenakan pengetahuan, sikap dan
perilaku ibu memiliki hubungan dengan pemberian
imunisasi dasar pada bayi (Yulistyowati, 2008).
Bayi yang tidak mendapat imunisasi campak,
dikhawatirkan saat dewasa nanti bayi tersebut
rentan terhadap penyakit campak. Pemberian
imunisasi campak pada usia 9 bulan didasarkan atas
pertimbangan maternal antibody yang dimiliki bayi
(Kemenkes RI, 2012). Bayi yang diimunisasi kurang
dari 9 bulan akan meyebabkan vaksin bereaksi
dengan maternal antibody (Setiawan, 2008). Oleh
karena itu, pemberian imunisasi campak harus sesuai
jadwal yakni pada usia 9 bulan.
Sebesar 40% kasus campak tertinggi di
Indonesia dari tahun 2006–2011 berusia 1–4 tahun
(Kemenkes RI, 2012). Selain itu, dalam penelitian
tersebut juga mengungkapkan bahwa 30–50%
kasus pada KLB campak tidak mendapat imunisasi.
Sebesar 80–95% bayi yang telah diimunisasi akan
terlindung dari PD3I. Dalam hal ini, kekebalan
individu akan memutus rantai penularan pada anak
yang tidak diimunisasi sebesar 5–20%. Hal ini
meupakan keuntungan sosial yang disebut herd
immunty (Ranuh, 2011).
Hal yang yang diperhatikan dalam pencatatan
imunisasi adalah pencatatan tanggal lahir bayi dan
tanggal pemberian imunisasi. Penulisan tanggal
lahir dan tanggal pemberian imunisasi harus
ditulis lengkap (tanggal, bulan, dan tahun). Hal ini
dikarenakan tanggal lahir dan tanggal pemberian
imunisasi akan berkaitan dengan valid doses. Valid
doses merupakan dosis yang tercatat saat bayi
mencapai usia minimum untuk imunisasi dan tercatat
dengan jarak yang tepat antara dosis menurut jadwal
imunisasi nasional (WHO, 2005).
Persentase Tanggal Pemberian Imunisasi
Campak di Masyarakat dengan Buku Kohort yang
sangat rendah diakibatkan oleh adanya data yang
belum terlaporkan secara lengkap pada buku kohort.
Data dari posyandu, poskesdes, pustu dan puskesmas
serta unit pelayanan swasta belum semua masuk ke
dalam buku kohort. Hal ini dikarenakan beberapa
responden mengaku membawa anaknya untuk
imunisasi langsung di pukesmas, rumah sakit, bidan
swasta, ataupun dokter swasta.
Untuk Posyandu C, masyarakat di posyandu
tersebut lebih banyak imunisasi ke unit pelayanan
swasta. Data imunisasi di unit pelayanan swasta
paling berisiko tidak terlaporkan. Hal ini merupakan

Rekha Finazis, Akurasi Pencatatan dan Pelaporan…

salah satu penyebab kurang lengkapnya data
imunisasi pada buku kohort sehingga mempengaruhi
akurasi data.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi disebutkan
bahwa unit pelayanan imunisasi swasta berperan
dalam mencatat hasil pelayanan imunisasi dan
melaporkan cakupan imunisasi (Kemenkes RI,
2013). Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan
kerjasama yang baik antara pihak yang bersangkutan
dalam melaporkan cakupan imunisasi, sehingga
pelaporan data imunisasi khususnya pada unit
pelayanan swasta berjalan dengan baik.
Terkait persentase akurasi perbedaan data
tanggal imunisasi campak pada buku register bayi
posyandu dengan buku kohort diketahui juga sangat
rendah dipengaruhi salah satu media pencatatan
yang tidak lengkap dalam pengisian status imunisasi
campak bayi. Pada masing-masing wilayah kerja
posyandu sudah memiliki buku register bayi yang
telah terstandarisasi di posyandu yang diisi oleh para
kader posyandu. Kelengkapan data imunisasi pada
buku register bayi dapat dipengaruhi faktor kader
posyandu. Hal ini terkait sikap kader salah satunya
adalah kedisiplinan dalam mencatat data imunisasi
pada buku tersebut.
Manajemen waktu oleh kader sangat
diperlukan mengingat beban kerja kader yang
utama bukan pada pencatatan dan pelaporan.
Sumber daya kader posyandu yang tidak sebanding
dengan jumlah peserta posyandu menjadi kendala
dalam mengimplementasikan program posyandu
(Handayani, 2011). Di beberapa posyandu wilayah
kerja Puskesmas Gunung Anyar terdapat beberapa
kader yang terdaftar pada posyandu tersebut sering
tidak aktif.
Saat posyandu, hal yang paling berisiko
terjadi pada posyandu adalah saat pencatatan status
imunisasi. Hal ini dikarenakan petugas imunisasi
yang lebih memiliki wewenang dalam mencatat
status imunisasi bayi pada meja 5 dibanding kader.
Di sisi lain, kader juga memiliki tugas untuk
mencatat status imunisasi bayi pada buku register
bayi di posyandu.
Konsekuensinya yang akan terjadi adalah kader
akan mencatat kembali tanggal imunisasi pada buku
register bayi posyandu di luar jam posyandu. Hal
ini akan sangat mengkhawatirkan karena justru saat
pencatatan dilakukan di luar jam posyandu akan
mengganggu aktivitas keseharian kader. Selain itu,
pencatatan yang dilakukan di luar jam posyandu

191

akan berisiko data yang terlaporkan dengan akurat
akan minim.
Format buku register bayi di posyandu yang
berlaku hanya satu tahun tentu memliki kelemahan.
Kader mencatat data bayi berdasarkan satu tahun
buku bukan berdasarkan satu tahun kehidupan bayi.
Apabila bayi tersebut dimasukkan pada buku register
tahun berikutnya, data tahun sebelumnya tidak
akan tercatat ulang. Kader akan kesulitan dalam
memeriksa riwayat imunisasi yang telah diberikan
pada balita tersebut. Oleh karena itu, data imunisasi
perlu disimpan dengan baik dan sebaiknya kader
mencatat kembali data tersebut pada buku register
yang baru.
Akibat lain yang akan timbul saat kader
tidak dapat menetukan jenis imunisasi yang akan
diberikan pada balita tersebut yakni terjadi hambatan
pada tahap perencanaan vaksinasi pada posyandu
berikutnya. Penelitian di salah satu puskesmas
menyimpulkan bahwa nilai pencatatan imunisasi
yang rendah selain diakibatkan buku register bayi
yang tidak terisi lengkap tetapi juga karena buku
tersebut setiap tahun berganti dan buku tersebut tidak
dimanfaatkan untuk pelacakan drop out (Tarigan,
2009).
Pengisian data imunisasi pada buku register
bayi di posyandu juga berkaitan dalam melihat valid
doses. Pada penjelasan pengisian register bayi dalam
wilayah kerja posyandu disebutkan bahwa kolom
pemberian imunisasi hanya diisi tanggal dan bulan.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, kader mencatat
status imunisasi bayi dengan menuliskan tanggal,
bulan, dan tahun pemberian imunisasi. Dalam hal
ini, kader telah melakukan hal yang benar walaupun
tidak sesuai penjelasan pengisian buku tersebut.
Fakta lain yang ditemukan di lapangan terkait
rendahnya data register bayi di posyandu adalah
karena bayi yang rutin menimbang ke posyandu
lebih memilih melakukan imunisasi di puskesmas
atau di unit pelayanan swasta saat jadwal imunisasi
pada posyandu. Saat dilakukan probing kepada
responden terkait hal ini, mereka mengaku lebih
percaya imunisasi di puskesmas atau di unit
pelayanan swasta, karena menurut mereka lebih
terjamin higinitasnya.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi disebutkan
bahwa pelaksanaan imunisasi harus memerhatikan
mutu pelayanan dengan menetapkan standar
pemberian suntikan yang aman (safe injection
practices) bagi penerima suntikan (Kemenkes RI,

192

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 184–195

2013). Hal terpenting yang perlu dicatat adalah
bayi tersebut telah mendapatkan imunisasi, tidak
melihat dari tempat melakukan imunisasi. Hal ini
dikarenakan, pemerintah telah mengatur standar
pelayanan imunisasi yang berlaku sama di semua
pelayanan kesehatan.
Untuk mengatasi kejadian seperti itu, diperlukan
skrining atau pencatatan kembali status imunisasi
agar dapat menjaring balita yang belum diimunisasi
untuk diimunisasi pada waktu selanjutnya
(Kemenkes RI, 2010). Dalam sumber tersebut,
dijelaskan pula bahwa perlu adanya drop out follow
up menggunakan buku register bayi. Hal inilah
yang menunjukkan bahwa pentingnya pengisian data
imunisasi pada buku register bayi di posyandu.
Sebuah penelitian menyebutkan adanya
beberapa faktor yang berhubungan dengan tingkat
pengetahuan dan keterampilan kader posyandu
yaitu meliputi umur, pendidikan, dan lamanya
menjadi kader (Munfarida, 2013). Faktor-faktor
inilah yang ditemukan pada beberapa kader di
5 posyandu wilayah kerja Puskesmas Gunung Anyar.
Selain itu disebutkan pula pemanfaatan data yang
belum dilaksanakan dengan baik, tentu didasarkan
pada peran aktif kader. Semakin tinggi pengetahuan
kader maka kader akan lebih berperan aktif dalam
pemberian motivasi pada orang tua (Indrawan,
2013).
Media pencatatan di posyandu tidak hanya
menggunakan buku register bayi di posyandu. Oleh
karena banyaknya media pencatatan yang dilakukan
oleh kader posyandu, tentunya akan berdampak
pada beban kerja kader. Selain buku register bayi
di posyandu yang wajib dimiliki di tiap posyandu,
buku kohort merupakan media pencatatan yang juga
telah standar dan tersedia pada puskesmas dan wajib
dilakukan pengisian data imunisasi bayi.
Buku kohort mencatat seluruh data imunisasi
dalam lingkup wilayah kerja puskesmas. Buku
kohort memiliki ukuran yang sangat besar, tidak
tersedianya buku kohort di posyandu karena buku
tersebut terlalu besar sehingga kerepotan dalam
membawa ke posyandu (Purwitasari, 2012). Buku
kohort memiliki peranan yang sama dengan buku
register bayi di posyandu. Hanya perbedaannya,
buku kohort diisi oleh petugas puskesmas.
Buku kohort mencatat riwayat kesehatan bayi
sejak dilahirkan, termasuk juga mencatat riwayat
pemberian vitamin A, imunisasi dan penimbangan
bayi. Kenyataan di dalam pengisian data pada
buku kohort masih rendah sehingga tidak dapat
dimanfaatkan sebagai informasi khususnya untuk

program imunisasi. Data imunisasi yang rendah pada
buku kohort dan buku register bayi disebabkan oleh
beberapa hal yang sama. Data imunisasi pada buku
KIA/KMS atau catatan kesehatan lainnya belum
dipindah ke dalam buku register bayi posyandu dan
buku kohort bayi. Hal ini dikarenakan data pada
pada buku KIA/KMS atau catatan kesehatan lainnya
yang dimiliki responden menyatakan bahwa anak
mereka telah diimunisasi.
Penyebab yang sama tersebut juga
mengakibatkan dampak yang terjadi juga sama.
Dampak tersebut misalnya terkait pemanfaatan data
mengenai valid doses, banyaknya sasaran imunisasi,
dan cakupan imunisasi. Buku KIA/KMS atau catatan
kesehatan lainnya merupakan sumber data awal di
masyarakat yang kemudian akan dilaporkan pada
media pencatatan data imunisasi yang lebih tinggi.
Buku register bayi di posyandu merupakan
buku pegangan kader posyandu dan dapat
dianggap sebagai media pencatatan perantara
untuk melaporkan sasaran anak yang diimunisasi di
posyandu. Sementara itu, buku kohort merupakan
buku terakhir yang mencatat data imunisasi sebelum
diolah ke pemantau wilayah setempat kesehatan ibu
dan anak.
Hal ini secara tidak langsung terjadi pada
kartu imunisasi anak yang kurang dimanfaatkan.
Kartu imunisasi merupakan instrumen penting yang
efektif dan murah, namun kurang dimanfaatkan
(Brown, 2012). Penelitian yang pernah dilakukan
di Kecamatan Gunung Anyar menyatakan bahwa
sebesar 40% petugas puskesmas masih kurang dalam
hal perencanaan kegiatan, pencatatan pelaporan dan
evaluasi kegiatan posyandu (Suwarti, 2006).
Buku kohort merupakan buku yang mencatat
data imunisasi dari semua unit pelayanan kesehatan
seperti pada posyandu, puskesmas pembantu,
poskesdes, puskesmas, dan unit pelayanan swasta.
Apabila data imunisasi yang terlaporkan pada buku
kohort sangat rendah, maka data dan informasi pada
Pemantau Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan
Anak (PWS KIA) juga rendah.
Bidan terutama bidan kelurahan mengaku
memiliki beban kerja yang banyak namun waktu
yang tersedia kurang memadai, hal inilah yang
menjadi kendala. Seperti yang diketahui, bidan
melakukan banyak pencatatan dan pelaporan yang
harus dikerjakan, selain bertugas menjadi bidan
dipuskesmas (Senewe dkk, 2011).
Grafik PWS KIA yang dihasilkan akan
digunakan untuk menganalisis cakupan pelayanan
dari data kohort bayi. PWS KIA juga dimanfaatkan

Rekha Finazis, Akurasi Pencatatan dan Pelaporan…

dalam menyusun rencana operasional di lintas
sektor. Selain itu, data imunisasi yang telah
diolah mengakibatkan cakupan imunisasi yang
dihasilkan akan rendah sehingga akan berdampak
pada terhambatnya target UCI (Universal Child
Immunization) desa/kelurahan.
Pencatatatan dan pelaporan yang berjalan
dengan baik akan menghasilkan kualitas pencatatan
dan pelaporan yang baik. Kualitas pencatatan dan
pelaporan inilah yang dibutuhkan dalam perencanaan
program imunisasi. Oleh karena itu, pencatatan dan
pelaporan adalah salah satu komponen terpenting
dalam penyelenggaraan imunisasi. Kenyataan ini
juga membuka mata kita bahwa masalah dalam
program imunisasi tidak hanya berkaitan dengan
kualitas vaksin, tetapi hal yang sering dianggap
kecil seperti pencatatan dan pelaporan juga dapat
mengakibatkan kesalahan yang besar. Hal yang
dimaksud tersebut adalah pencatatan imunisasi
dapat berdampak pada tingkat keberhasilan program
imunisasi seperti pencapaian UCI desa/kelurahan.
Pada tahap perencanaan program imunisasi
sangat dibutuhkan informasi tentang status
imunisasi, tempat melakukan imunisasi dan alasan
tidak memperoleh imunisasi di suatu wilayah
kerjanya. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah
informasi tersebut tidak selalu dapat diperoleh
dari hasil pencatatan dan pelaporan rutin yang
ada. Sistem pencatatan dan pelaporan rutin yang
telah berjalan hanya mencatat status imunsasi anak
yang melakukan imunisasi pada tempat pelayanan
imunisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Hal yang paling perlu dipikirkan ke depan adalah
mengenai sistem pencatatan dan pelaporan yang
sedang berjalan belum bisa mencatat alasan
seseorang terkait belum mendapatkan imunisasi
(Hargono, et al, 2012).
Imunisasi juga dapat dihubungkan dengan
surveilans, imunisasi campak yang merupakan
program pencegahan pennyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi akan berhubungan
dengan surveilans penyakit campak. Bidan dan
petugas surveilans saling bekerjasama dalam
pengelolaan data di unit puskesmas. Bidan
bertanggungjawab dalam pelaksanaan surveilans
rutin untuk kepentingan program seperti cakupan
imunisasi campak. Sementara itu petugas surveilans
bertanggung jawab terhadap penyakit-penyakit yang
berpotensi wabah ataupun yang tergolong kejadian
luar biasa seperti penyakit campak.
Surveilans adalah suatu komponen alat
kesehatan masyarakat yang memerlukan hubungan

193

sistemik dengan manajemen. Surveilans memiliki
sasaran data tertentu yang dikumpulkan, dianalisis,
diinterpretasi, dan dilakukan diseminasi informasi
untuk pengambilan keputusan secara terus menerus
dan sistematik. Oleh karena itu, diperlukan suatu
tindakan, program, atau informasi yang berintegrasi
dengan ketersediaan teknologi pemecahan masalah,
seperti surveilans penyakit campak dengan
manajemen program imunisasi campak (Depkes
RI, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menemukan bahwa pencatatan
data tanggal pemberian imunisasi pada buku register
bayi di posyandu dan buku kohort rendah. Sebagian
besar reponden telah membawa anak mereka untuk
diimunisasi, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
tanggal pemberian imunisasi campak pada buku
KIA/KMS atau catatan kesehatan anak lainnya.
Status imunisasi pada buku KIA/KMS atau
catatan kesehatan lainnya di posyandu belum
dilakukan skrinig atau pemindaian sehingga
data imunisasi yang masuk di buku register bayi
posyandu rendah. Hal tersebut berdampak pada
akurasi data tanggal pemberian imunisasi, apabila
dibandingkan antara buku KIA/KMS atau catatan
kesehatan lain dan buku register bayi di posyandu
dengan buku kohort masih rendah.
Keadaan yang seperti itu juga yang
menyebabkan pemanfaatan data pelaksanaan
program imunisasi campak belum berjalan dengan
baik terutama pada petugas kesehatan dan kader
posyandu. Salah satu hal yang perlu diperhatikan
dalam pencatatan dan pelaporan adalah kedisiplinan
petugas kesehatan dan kader posyandu dalam
mencatat dan melaporkan data imunisasi.
Kader di posyandu lebih menitikberatkan pada
data penimbangan bayi dibanding data imuniasi.
Permasalahan yang ditemukan di posyandu adalah
kader kesulitan memanajemen waktu dalam
melakukan pencatatan data imunisasi pada buku
register bayi di posyandu. Hal ini juga dikarenakan
petugas kesehatan lebih berperan dalam pelayanan
imunisasi pada meja 5 posyandu. Buku register
bayi di posyandu yang berlaku satu tahun akan
menyebabkan kader dan petugas kesehatan kesulitan
dalam meriwat imunisasi pada tahun sebelumnya
dengan cepat.
Fungsi manajemen penyelenggaraan imunisasi
belum optimal khususnya terkait hal pencatatan dan

194

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 184–195

pelaporan data imuinsasi. Hal tersebut berdampak
pada data riil di lapangan. Hal ini dikarenakan data
sasaran di lapangan tidak sesuai dengan sasaran yang
datang ke posyandu akibat banyaknya responden
yang membawa anaknya untuk imunisasi pada
puskesmas dan unit pelayanan swasta. Keadaan
ini diperparah juga oleh kurang koordinasi dan
komunikasi dari pihak unit pelayanan swasta.
Pelaporan data belum berjalan maksimal khususnya
data imunisasi dari unit pelayanan swasta.
Saran
Perlu diadakan skring status imunisasi pada
balita yang datang ke puskesmas atau posyandu agar
data imunisasi dapat tercatat pada buku register bayi
di posyandu dan buku kohort. Kemudian diperlukan
manjemen waktu yang baik bagi kader dan petugas
kesehatan dalam mencatat dan melaporkan data
imunisasi. Pengaturan manajemen waktu bagi
petugas kesehatan dan kader harus disesuaikan
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Pengarsipan data imunisasi pada media pencatatan
yang dimiliki masyarakat, kader dan petugas
kesehatan harus disimpan dengan baik.
Selanjutnya data yang telah tercatat pada buku
register bayi di posyandu dan pada buku kohort
harus dimanfaatkan sebagai informasi untuk program
imunisasi. Pemanfaatan informasi digunakan dalam
menentukan perencanaan vaksin dan sasaran
imunisasi serta pelacakan drop out. Diharapkan
juga, informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk
program atau sektor lainnya seperti untuk surveilans
penyakit campak. Selain itu, diperlukan suatu
tindakan, program, atau informasi yang berintegrasi
dengan ketersediaan teknologi pemecahan masalah
seperti surveilans penyakit campak dengan program
imunisasi campak.
Untuk di posyandu, perlu diadakan regenerasi
kader yang disertai peningkatan keterampilan,
pelatihan, dan pembinaan bagi para kader. Selain
itu, pemberian imunisasi pada pelayanan imunisasi
terutama pada posyandu harus memperhatikan mutu
pelayanan sesuai standart penyuntikan yang aman.
Pada unit pelayanan swasta, dibutuhkan koordinasi
dan komunikasi yang baik terkait data imunisasi di
unit pelayanan swasta.
Harapan dari penelitian ini adalah masyarakat,
petugas kesehatan dan pihak lain yang bersangkutan
dapat menyadari terkait pentingnya arsip pencatatan
imunisasi pada anak mereka. Hal yang terpenting
juga adalah informasi dari penelitian ini dapat

dimanfaatkan sebagai bahan dalam merencanakan
program imunisasi selanjutnya.
REFERENSI
Brown DW. 2012. Child immunization cards:
essential yet underutilized in national
immunization programmes. The Open Vaccine
Journal. 5, 1–7.
Departemen Kesehatan RI, 2007. Modul surveilans
KIA : peningkatan kapasitas agen perbekalan dan
pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak.
Jakarta; PT Nisarindo Jaya Abadi.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Petunjuk
pelaksanaan data quality self-assessment (DQS)
di puskesmas. Jakarta; Departemen Kesehatan
RI.
Dinas Kesehatan Kota Surabaya. 2013. Profil
Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2012. Surabaya;
Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Handayani ND. 2011. Evaluasi implementasi
posyandu studi evaluatif implementasi program
pokok posyandu di wilayah kelurahan mojo
surabaya. Skripsi. Surabaya; Universitas
Airlangga.
Hargono A, Windhu Purnomo, Suradi, Achsan, Yudi
Efriyanto. 2010. Hasil coverage survey cakupan
imunisasi di 8 kabupaten/kota di jawa timur
2009–2010. Surabaya; Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Timur.
Hargono A, Windhu Purnomo, Suradi, Achsan, Yudi
Efriyanto. 2012. Survei cepat cakupan imunisasi
dasar pada bayi di Kabupaten Lumajang Tahun
2010. Jurnal. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
Vol. 15 No. 1 Januari 2012: 55–60.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010/Info Imunisasi
Lengkap. http://imunisasi.net (sitasi 11 November
2013).
Indarawan I.B.M.D. 2013. Faktor yang berhubungan
dengan peran aktif kader posyandu dalam
pencapaian UCI Kelurahan (Studi di wilayah
kerja puskesmas Mojo Surabaya). Skripsi.
Surabaya; Universitas Airlangga.
Kementerian Kesehatan RI, 2004. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 284 Tahun
2004 tentang Buku Kesehatan Ibu dan Anak.
Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 482 Tahun 2010
tentang Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional
Universal Child Immunization 2010–2014.
Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.

Rekha Finazis, Akurasi Pencatatan dan Pelaporan…

Kementerian Kesehatan RI, 2012. Data Surveilans
dan KLB 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 42 Tahun 2013 tentang
Imunisasi. Jakarta: Kemenkes RI.
Mundari, R. 2014. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kelengkapan pemberian imunisasi
dasar pada bayi usia 12 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Karang Bandar Lampung.
Skripsi. Surabaya; Universitas Airlangga.
Munfarida, S., 2013. Faktor yang berhubungan
dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan
kader posyandu. Skripsi. Surabaya; Universitas
Airlangga.
Purwitasari, W., 2012. Indikator prediktif pencapaian
uci desa, pencapaian valid dose, pemberian
imunisasi, serta kualitas pengelolaan vaksin di
Kabupaten Jember tahun 2012. Tesis. Surabaya;
Universitas Airlangga.
Ranuh I G., Suyitno H, Hadinegoro SR. Kartasasmita
CB. Isomoedijanto, Soedjatmiko, dkk., 2011.
Pedoman imunisasi Indonesia. Jakarta; Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Senewe, Felly Philipus. Yuwana Wiryawan., 2011.
Pencatatan dan pelaporan sistem pemantauan
wilayah setempat – kesehatan ibu dan anak oleh
bidan di desa di Puskesmas Sepatan Kabupaten
Tangerang 2008. Jurnal Ekologi Kesehatan
Volume 10 No. 3.

195

Setiawan IM. 2008. Penyakit campak. Jakarta;
Sagung Seto.
Suwarti, 2006. Model posyandu berdasarkan analisis
penilaian kebutuhan dan harapan masyarakat
sesuai dengan kemampuan provider di kecamatan
gunung anyar kota surabaya. Tesis. Surabaya;
Universitas Airlangga.
Tarigan I. 2009. Kualitas imunisasi data rutin
berdasarkan metode data quality self assessment
(DQS). Jurnal. Media Litbang Kesehatan, 15.
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/
MPK/article/view/883 (sitasi 11 november
2013)
Usmays. 2010. Imunisasi: kerja keras untuk masa
depan anak bangsa yang lebih baik.http://www.
pppl.depkes.go.id/_asset/_download/ Imunisasi,_
kerjakeras.pdf
World Health Organization. 2005. Immunization
coverage cluster survey-reference manual.
Geneva; World Health Organization.
World Health Organization. 2013/Regional summary
of reported measles cases.http://www.who.int/
immunization_monitoring/diseases/measles_
monthlydata/en/ (sitasi 11 November 2013).
Yulistyowati T. 2008. Hubungan peranan ibu
dan peranan kader dengan status imunisasi
campak pada crash program. Skripsi. Surabaya:
Universitas Airlangga.