MENGGAGAS PERADABAN MASA DEPAN masa
MENGGAGAS PERADABAN MASA DEPAN:
Masihkah Berharap Dengan Negara Bangsa dan Kapitalisme
Keinginan untuk membangun sistem dunia yang saling menopang
serta bebas dari diskriminasi dan dominasi, di mana semua bangsa bisa
saling bersaudara, bersatu dan berbagi tanpa dihalang-halangi lagi oleh
arogansi nationalistik, telah mendorong sejumlah pemikir untuk
menggagas system alternative dunia masa depan.
Keinginan ini
dilatarbelakangi sebuah kesadaran akan kegagalan nation state (negara
bangsa) dan kapitalisme dalam mengantarkan manusia menuju
kebersamaan dan kesejahteraan universal. Bahkan, keduanya nyatanyata telah menimbulkan dampak destruktif bagi umat manusia.
Pada tahun 1977, Herman Kahn, di dalam bukunya The Next Two
Hundred Years; a Scenario for America and The World, dengan percaya
diri menyatakan bahwa, Amerika adalah satu-satunya model dunia, dan
semua bangsa mesti sebisa mungkin mendekati model tersebut. (Herman
Kahn, 1977). Sayangnya, hingga tahun 2007 ini,
Kegagalan dan Ketidakmampuan Negara Bangsa (Nation State)
Menurut Sardar, nasionalisme merupakan indikator destruktif bagi
peradaban masa depan. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa paham ini
telah berimplikasi buruk bagi umat manusia. Pertama; meningkatnya
jumlah negara yang hanya mementingkan dirinya sendiri dengan
mengesampingkan bahkan cenderung mengorbankan kepentingan pihak
lain; kedua; munculnya rasialisme yang bersifat massal; ketiga,
nasionalisme telah memecah belah umat manusia, bahkan menutup trend
dunia global yang saling menopang dan mendukung.(Sardar, 1979). Data
di lapangan menunjukkan; sejak PD II, 20 juta jiwa hilang karena konflikkonflik yang berdimensi nasionalistik. 29 konflik dari 30 konflik terjadi
pada dimensi domestik. Di Sovyet lebih dari 20 konflik terjadi dan
menelan korban raturan ribu bahkan hingga mencapai jutaan.
Selain itu,
nation state juga diyakini sebagai penyebab
tersendatnya lalu lintas barang dan manusia di dunia, serta memunculkan
cost-cost ekonomi yang tidak perlu --biaya paspor dan visa, proteksi, dan
lain sebagainya. Dampak tersendatnya lalu lintas barang dan manusia,
serta munculnya biaya-biaya tak perlu adalah; harga barang menjadi
mahal, banyak persoalan ekonomi internal negara bangsa yang tidak bisa
ditangani, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan global,
menumpuknya aset kekayaan pada negara-negara tertentu.
Negara bangsa (nation-states), meminjam istilah E.F Schumacher,
terbukti terlalu besar untuk masalah-masalah lokal yang lebih kecil, dan
terlalu kecil untuk masalah-masalah global yang besar.(E.F. Schumacher,
2002).
Kita telah menyaksikan, bagaimana jatuhnya mata uang baht
Thailand telah menyeret hampir seluruh negara Asia ke dalam krisis
moneter yang berlarut-larut.
Menurut Kalim Siddiqui (1979), selain rentan terhadap krisis,
negara bangsa juga dipercaya menjadi penyebab dasar munculnya
beberapa problem kemanusiaan; diantaranya; pertama, meningkatnya
jumlah negara yang hanya mementingkan kemajuan dan kepentingan
dirinya
sendiri
dengan
mengesampingkan
bahkan
cenderung
mengorbankan kepentingan pihak lain; kedua, lahirnya rasialisme,
teritorialisme, dan ultranasionalisme yang telah mengeleminasi nilai-nilai
kemanusiaan dan kebersamaan. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa
nasionalisme ditunjang oleh berbagai faktor, seperti teritorial, bahasa,
budaya dan keunggulan ras.
Atas dasar itu, nasionalisme pasti
berdampak pada rasialisme-teritorialisme, teritorialisme, bahasaisme, dan
cara pandang lain yang "tidak manusiawi"; ketiga, nasionalisme telah
memecah belah kesatuan umat Islam dalam ikatan-ikatan yang bermutu
rendah. Lebih dari itu, nasionalisme telah menempatkan manusia ke
dalam sekat-sekat maya yang menjadikan mereka terasing dan
diasingkan dari nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan. Contohnya,
betapa umat Islam di negeri-negeri Islam tidak mampu berbuat apa-apa
untuk menolong saudara-saudaranya di Palestina yang ditindas oleh
Israel. Padahal, mereka bersaudara dan diikat dengan ideologi yang
sama. Mereka tidak mampu mengulurkan tangannya untuk membantu
saudara-saudaranya dikarenakan dinding maya yang tidak mampu
mereka lampui; yakni nation state.
Kenyataan di atas menyadarkan kita; nasionalisme sudah tidak
layak lagi menjadi model kenegaraan yang mampu menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan universal.
Nasionalisme juga tidak
mungkin mampu menciptakan tatanan masyarakat yang altruistik dan
dipenuhi dengan semangat kebersamaan dan saling menolong.
Nasionalisme Dalam Tantangan Unifikasi dan Universalisasi
Sangat naif memang, pada saat dunia telah membuka dirinya,
bahkan terjadi kecenderungan unifikasi, orang masih bersikukuh untuk
mempertahankan ikatan nasionalisme dengan dalih mempertahankan
kedaulatan politik dan ekonominya.1
Padahal pada saat yang sama
negara-negara tersebut tidak akan mungkin bisa berdampingan dengan
negara-negara lain --khususnya dalam percaturan ekonomi dan politik-ketika arus global menghendaki adanya hubungan-hubungan tidak hanya
sebatas hubungan yang bersifat nasionalistik.
Ini terlihat dengan
bersatunya beberapa negara Eropa membentuk
Eropa Bersatu;
munculnya pakta-pakta ekonomi, misalnya, GATT, Putaran Uruguay,
APEC, dan lain-lain. Walaupun unifikasi ini masih "terhalang" dengan
sekat-sekat negara bangsa, namun fenomena ini minimal menunjukkan
bahwa ikatan nasionalisme sudah tidak relevan lagi untuk mengikat
perikehidupan negara pada masa mendatang, terutama bila dikaitkan
dengan tendensi politik dan ekonomi.2
1
2
Bandingkan dengan Lester Thurow, The Future of Capitalism; Clobal Challenges to
National Economic Policies; hal. 127-131; 1997, Nicholas Brealey Publishing Limited, London.
Untuk melihat gambaran lebih jelas untuk nasionalisme, lihat pula, Adam Malik, In The Service
of The Republic;1980; PT. Gunung Agung; pada bagian Foreward.
Penolakan nasionalisme tidak hanya ditinjau dari analisa keadaan ekonomi dunia mendatang,
namun lebih banyak ditelusur dari faktir ideologis. Kapitalisme, sosialisme, dan Islam adalah
ideologi yang bersifat universal. Islam misalnya sangat menolak paham nasionalisme. Bisa
dilihat misalnya tulisan, Shabir Ahmed & Abid Karim, The Roots of Nationalism in the Muslim
World (terj. Akar Nasionalisme di Dunia Islam, pentj: Zettira Nadia Rahma), ed.I, 1997, AlIzzah. Lihat pula penolakan serupa dalam Al-Nabhani, Nidzam al-Islaam, ed.V, 1953; Al-Qudz;
hal. 21. Al-Nabhani mengemukakan tiga alasan penolakan terhadap nasionalisme; (1) karena
ikatan nasionalisme adalah ikatan yang lemah, tidak berfungsi sama sekali untuk mengikat
manusia ketika ia menginginkan suatu kebangkitan, (2) ikatan nasionalisme adalah ikatan yang
Dihapuskannya tarif bea masuk barang, serta penghapusanpenghapusan beberapa proteksi menunjukkan bahwa semua negara ingin
membuka dirinya dengan negara lain. Lebih-lebih lagi, dengan adanya
kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi dan keinginan-keinginan
membentuk sistem ekonomi global, nasionalisme 3 seakan menjadi rival
berat atas isu ekonomi global, atau isu bangkitnya ideologi-ideologi besar
dunia -kapitalisme, komunisme, dan Islam. 4
Kerja sama dalam bidang
ekonomiyang melibatkan beberapa negara dengan cakupan kerjasama
yang lebih besar terlihat dalam Eropa Bersatu. Namun, kerjasama
tersebut dirasa belum memadai untuk menciptakan kekuatan ekonomi
bersama yang tangguh. Sebab, kerjasama itu belum ditopang oleh ikatan
ideologis yang kuat.5
II.3. Arogansi Nasionalistik Dan Keinginan Untuk Bersatu
Trend unifikasi yang berwujud penyatuan geografis, ekonomis,
sosial, teknologi dan budaya dalam batas ideologis merupakan
fenomena faktual yang semakin menguat belakangan ini. 6 Trend ini
3
4
5
6
'athifiyyah, yang muncul dari gharizah al-baqa' (naluri mempertahankan diri), (3) ikatan
nasionalisme adalah ikatan yang temporal, yang muncul ketika terjadi intervensi, namun ketika
tidak ada intervensi, maka ikatan ini tidak ada. Lihat pula, A. Hassan, Islam dan Kebangsaan;
cet-1, 1984; Lajnah Penerbitan Pesantren PERSIS Bangil.
Menurut Robert a.Isaak, nasionalisme atau sistem negara bangsa modern muncul dari
perpecahan kesatuan umat Kristen abad pertengahan dan pertama kali diakui secara resmi sebagai
sistem di banyak negara di Eropa oleh Perdamaian Westphalia tahun 1648 dan perjanjian Ultrecht
1713. Konsepsi Eropa tentang negara berdaulat merupakan konsepsi yang memusatkan perhatian
pada kekuasaan politik yang memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan di dalam batasbatas wilayahnya. [Robert A. Isaak, International Political Economy; (terj) Ekonomi Politik
Internasional (pentj. Muhadi Sugiono); ed.1, 1995, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta; hal. 27-28]
Dalam bukunya yang berjudul The Rise of The Trading State; Richard Rosecrance,
menyatakan bahwa kerjasama antar negara dapat tercipta hanya dengan mengganti arah menuju
sistem perdagangan yang memuat saling ketergantungan, dan tidak lagi mengharap otonomi guna
memperoleh lebih banyak akses ke arah sumber daya ekonomi dan pasaran dunia. Kemajuan
teknologi transportasi dan komunikasi telah membawa bangsa-bangsa pada hubungan yang lebih
erat. Bahkan mereka tidak bisa menghindar dari interaksi --yang akan membawa implikasi
kerugian atau keuntungan secara politik, ekonomi-- dengan bangsa lain di dunia, terutama negara
yang kuat secara ekonomi dan militer. Saling ketergantungan antar negara dunia adalah suatu
fenomena tidak bisa dielakkan. Namun apa yang diungkap oleh Richard Rosecrance, tidak lebih
adalah pewujudan nyata dari politik perdagangan negara-negara kapitalis raksasa --US-- , yang
ingin melakukan ekspansi dengan berlindung dibalik isu pasar bebas. Sedangkan Lester Thurow,
menyatakan bahwa, "A Global economy creates a fundamental disconnect between national
political institutions and their policies to control economic events and the international economic
forces that have to be controlled. Instead of a world where national policies guide economic
forces, a global economy gives rise to a world in which extranational geoeconomic forces dictate
national economic policies. With internationalization, national goverments lose many of their
traditional levers of economic control. [lihat Lester Thurow, The Future of Capitalism, first
edition, 1997, Nicholas Brealey Publishing Limited, London; hal.127].
Lihat Lester Thurow, The Future of Capitalism, first edition, 1997, Nicholas Brealey
Publishing Limited, London; hal.240]. Lihat pula dalam, Ralph C. Bryant, "Increasing Economic
Integration and Eroding Political Sovereignty, " The Brookings Review, Fall 1994, p.42]
Hubungan antara demokrasi, negara bangsa (nasionalisme), dan ekonomi dunia, digambarkan
oleh Lester Thurow , "Cooperative policies are needed to make the global economy work, but
cooperation will require the surrender of a lot of national sovereignity.[Lester Thurow, The
Future of Capitalism, first edition, 1997, Nicholas Brealey Publishing Limited, London; hal.138.]
Thurow juga menyebutkan bahwa, tanpa ada penopang ideologis yang kuat , maka kehidupan
bersama yang damai sangat sulit didapatkan, ".... All of this occurs in a world where one might
think that global comunications would be integrating peoples as everyone absorbs a common
memberi pertanda bagi masyarakat dunia untuk melihat kehidupan
modern lebih integral lagi, diantara lokalitas budaya, ekonomi, dan
sosial budaya. Trend ini ditandai dengan fenomena bersatunya blok-blok
ekonomi yang dilakukan oleh beberapa negara dunia --bahkan ada yang
sudah lebih luas cakupan unifikasinya.
Hanya saja, trend ini juga tidak lepas dari tujuan-tujuan
terselubung negara maju terhadap negara-negara ketiga; terutama untuk
menciptakan pasar baru dan lahan imperialisme baru yang terselubung. 7
Dengan bersembunyi dibalik isu globalisasi, negara-negara kuat --dalam
hal ini Amerika Serikat—berhasil menyeret dan memaksa negara ketiga
untuk lebih membuka dirinya dan menghilangkan proteksi-proteksi yang
bersifat
nasionalistik;
yang
ujung-ujungnya
untuk
mewujudkan
kepentingan Amerika juga.8
Walaupun trend unifikasi yang lebih luas daripada negara bangsa
telah menjadi isu utama, terutama untuk menyongsong terbentuknya
pasar bebas, akan tetapi kita harus tetap waspada dengan trend
globalisasi yang ditujukan untuk kepentingan kaum kapitalis. Sebab, isuisu globalisasi, pasar bebas, dan lain sebagainya, adalah isu-isu politis
yang digulirkan negara maju untuk mempertahankan hegemoni ekonomi
dan politiknya atas dunia Islam,..9
Akan tetapi, fenomena di atas memberikan gambaran kepada
kita, bahwa lokalitas mulai melemah kekuatannya ketika mainstream
globalisasi yang dihembuskan negara maju semakin menguat. Bahkan,
sangatlah naif, ketika arus ekonomi dan produk-produk industri global
mengalir bagai air bah dan ditengah arus ideologis yang demikian kuatnya
orang masih bersikukuh untuk mempertahankan ikatan-ikatan rentan,
seperti nasionalisme. Lebih-lebih lagi, negara adidaya beserta sekutusekutunya, terus menerus melakukan hegemoni ke negara-negara dunia
ketiga.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam?
Apakah
mereka akan menghadapi hegemoni ini hanya dengan mengandalkan
ikatan nasionalisme?
II.4. Asal-usul Nasionalisme di Negeri-Negeri Islam
7
8
9
electronic culture and where almost everyone wants to give up some of their national sovereignty
by joining larger regional economic trading groups, as the European Community.[Ralph C.
Bryant, "Increasing Economic Integration and Eroding Political Sovereignty, " The Brookings
Review, Fall 1994, p.42] But without a sustaining ideology or an outside threat, living peacefully
together become much harder. Without a challenger, without dominant ideology that is being
propagated or defended, and with no dominant power, history tells us, nation-ste drift into
confrontation with their neighbors.(Lester Thurow; hal. 240]
Politik luar negara AS, yang ingin membentuk Tata Dunia Baru (The New World Order),
diwujudkan dengan pembentukan lembaga-lembaga internasional di bidang politik, ekonomi,
kesehatan, peradilan, dan pendidikan. Muncul kemudian IMF, PBB, Bank Dunia, Mahkamah
Internasional. Intervensi AS lewat lembaga-lembaga ini, sebenarnya untuk menghancurkan
kedaulatan (sovereignty) negara-negara target. Untuk lebih detail, berkenaan dengan analisa
politik mengenai skenario global AS untuk memantapkan dirinya sebagai satu-satunya kekuatan
ideologis dunia, lihat analisa brilian dalam buku berjudul, Hazaat al-Aswaaq al-Maaliyah,
Asbabuha wa Hukm al-Syar'iy fi hadzihi al-Asbaab (Kegoncangan Pasar Modal, Sebab dan
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sebab-Sebab Tersebut), 1998.
Hazaat Aswaaq al-Maaliyah, Asbabuha wa Hukm al-Syar'iy fi hadzihi al-Asbaab; November,
1998
op.cit.
Kelahiran nasionalisme dan negara-negara bangsa tidak bisa
dilepaskan dari sejarah perang ideologis antara Islam dengan Yahudi dan
Kristen.
Sebelum keruntuhan kekuasaan Islam pada tahun 1924, Islam
tampil sebagai peradaban yang paling tinggi dan unggul; dan Islam
menjadi negara super power yang mampu memimpin hampir di 2/3
wilayah dunia.
Keadaan ini tentunya sangat menyulitkan rival-rival
ideologis Islam, yakni Yahudi dan Nashrani.
Lalu, dirancanglah upayaupaya untuk melemahkan kekuatan Islam dengan cara menggerogoti
persatuan
dan
kesatuan
kaum
Muslim,
diantaranya
adalah
menghembuskan paham nasionalisme di negeri-negeri Islam. Paham ini
sengaja dihembuskan agar kaum Muslim saling bermusuhan dan
memisahkan diri dari kekuasaan Islam di Turki Ustmaniy. Akhirnya,
perlahan-lahan namun pasti, negeri-negeri Islam mulai melepaskan diri
dari kekuasaan Islam tanpa tahu untuk apa mereka melepaskan diri.10
Ini
menunjukkan,
bahwa
paham
nasionalisme
telah
bertanggungjawab atas hancurnya kesatuan dan kesatuan kaum Muslim,
dan lemahnya kekuasaan Islam hingga pada era Turki Utsmani.11
Agar
paham
nasionalisme
semakin
berkembang,
barat
menyekolahkan dan memberikan bea siswa kepada mahasiswamahasiswa yang berasal dari negeri-negeri Islam di pendidikanpendidikan barat.
Di sana, mahasiswa-mahasiswa ini dipengaruhi
dengan paham ini, dan didorong untuk menyebarluaskannya ke negera
asalnya.
Cara semacam ini sangat efektif untuk menyebarluaskan
nasionalisme ke negara-negara ketiga.12
III. 1. Kesenjangan Pendapatan Antara Negara Dunia Ketiga
dengan Negara Maju
Dari 157 negara berkembang yang menjadi anggota penuh PBB
pada tahun 1997, sebanyak 87 negara memiliki kurang dari 5 juta
penduduk, 58 negara memiuliki kurang dari 2,5 juta, dan 35 negara
memiliki jumlah penduduk kurang dari 500,000 orang.
Tabel.1. Sepuluh Negara dengan Penduduk Paling Banyak dan Paling
Sedikit serta Pendapatan Per Kapita Negara-negara Tersebut, 1997
Negara
dengan
Penduduk
Paling Besar
1. China
2. India
3. AS
10
11
12
Jumlah
Pendudu
k
(juta
orang)
1227
961
268
GNP
Per
Kapita
(dalam
US$)
860
390
28700
Negara
Penduduk
Sedikit
dengan Jumlah
Paling Pendudu
k
(ribuan
orang)
1. Nauru
8
2. Tuvalu
11
3. Saint Kitts-Nevis
41
GNP
Per
Kapita
(dalam
US$)
8070
330
6160
Lihat, dan bandingkan dengan, Shabir Ahmed & Abid Karim, The Roots of Nationalismin in
the Muslim World; terj. Akar Nasionalisme di Dunia Islam ; pentj. Zettira Nadia Rahma; ed.1;
1997, Al-Izzah, Bangil, hal. 73-77. Bandingkan dengan Stephen Krasner, Structural Causes and
Regime Consequences: Regime as Intervening Variables, International Organization 36,(Spring
1982):73-91. Bandingkan pula dengan Susan Strange, Cave! Hic Dragones: A Critique of Regime
Analysis, International Organization 36 (Spring, 1982), hal. 299-324.
Ibid. hal. 73
Ibid. hal.53
4.
200
1110
4.
Antiqua
$ 66
7380
Indonesia
Barbuda
5. Brasil
164
4720
5. Dominica
74
3120
6. Rusia
147
2740
6. Seychelle
78
6880
7. Pakistan
137
490
7. Kiribati
83
910
8. Jepang
126
37850
8. Tonga
98
1830
9.
124
270
9. Grenada
99
3000
Bangladesh
10. Nigeria
118
260
10.Saint Vincent
112
2500
Sumber: World Bank, World Development Report, 1998/99: Knowledge
for Development (New York:Oxford University Press, 1998)
Pada tahun 1997, total produk nasional dari seluruh negara di dunia
mencapai nilai lebih dari US$ 29 triliun. Dari total tersebut, lebih dari US$
22 triliun dihasilkan oleh negara-negara maju dan kurang dari US$ 7
triliun dihasilkan oleh negara-negara berkembang.
Ditinjau dari sudut penyebaran penduduk dunia, sekitar 80% dari
nilai total pendapatan dunia dihasilkan oleh negara-negara maju yang
jumlah penduduknya kurang dari 20% penduduk dunia. Ini menunjukkan
lebih dari 4/5 penduduk dunia hanya menghasilkan 1/5 dari total output
dunia. Yang lebih penting lagi, negara-negara Dunia Ketiga dengan
jumlah penduduk hampir meliputi 80% dari total penduduk dunia hanya
memperoleh bagian pendapatan di bawah 20% dari total pendapatan
dunia.
Kenyataan ini menunjukkan betapa timpangnya pendapatan antara
negara-negara Dunia Ketiga dengan negara-negara maju.
Pada tahun
1997, pendapatan per kapita paling tinggi di dunia adalah Swiss. Angka
perkapitanya 403 kali dibandingkan dengan tingkat pendapatan per kapita
dari salah satu negara termiskin di dunia, Ethiopia, dan masih 114 kali
lebih besar dibanding dengan negara terluas di dunia, yakni India.
Tabel.2.
yang
Ketimpangan Pendapatan Global antara 20% Penduduk Dunia
Terkaya dan yang Termiskin, 1960-1991
% Pendapatan Global
Rasio Pendapatan
Tahun
20% Termiskin
20%
Terkaya
terhadap
Terkaya
Termiskin
1960
2,3 30 banding 1
70,2
1970
2,3 32 banding 1
73,9
1980
1,7 45 banding 1
76,3
1991
1,4 61 banding 1
85,0
Sumber: United Nations Development Program, Human Development
Report, 1992, hal.36
III. 2. Tingkat Kemiskinan
Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara ditentukan
oleh dua factor utama, yaitu: (1) tingkat pendapatan nasional rata-rata,
(2) lebar-sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan.
Tabel. Kemiskinan Absolut di Negara-negara Berkembang, 1993
Wilayah
Kelompok
Negara
atau Jumlah
Proporsi
Jumlah Jumlah
Penduduk yang Keseluruhan
Penduduk
Hidup di Bawah Penduduk
Miskin Miskin
Garis
(%)
(juta
Kemiskinan
orang)
(%)
Negara-negara
4
1
11
Arab
Amerika
Latin 24
9
110
dan karibia
Asia Timur, Asia 26
34
446
Tenggara,
dan
Wilayah Pasifik
Sub-Sahara
39
17
219
Afrika
Asia Selatan
43
39
515
Seluruh Negara 32
100
1301
Berkembang
Sumber: United Nations Development Program, Human Development
Report, 1994, hal. 134-135. Garis kemiskinan ditetapkan US$ 1 per hari
orang dalam satuan PPP dolar tahun 1985.
Dari data di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pada tahun 1993,
sekitar 1,3 miliar penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan
(sangat miskin). Jika kita lihat masing-masing wilayah, kita temukan
tingkat kemiskinan tertinggi di Asia Selatan, dimana jumlah penduduk
termiskin terbesar (515 juta) hidup. Wilayah Afrika Sub-Sahara yang
memiliki 219 juta penduduk sangat miskin memiliki tingkat pertumbuhan
kemiskinan paling cepat. Diperkirakan tingkat pertumbuhan kemiskinan di
Afrika mencapai 50%, pada abad 21.
III. 3. Rendahnya Mutu Kesehatan Negara Ketiga
Selain harus membanting tulang untuk mendapatkan pendapatan,
penduduk negara berkembang juga harus berjuang menghadapi penyakit
dan kekurangan gizi. Tidak sedikit yang kemudian menyerah dan mati,
karena penyakit dan malnutrisi.
Meskipun kondisi kesehatan negara berkembang sudah membaik,
sejak tahun 1960, namun kenyataannya, pada tahun 1998, rata-rata usia
harapan hidup di negara-negara yang paling terbelakang di dunia hanya
mencapai 48 tahun, bandingkan dengan usia 63 tahun di negara
berkembang lainnya, dan 75 tahun di negara-negara maju.
Tingkat kematian bayi (infant mortality rates), yakni jumlah anak
yang mati sebelum berusia 1 tahun untuk setiap 1000 kelahiran, di
negara-negara yang paling terbelakang rata-rata mencapai 96;
sedangkan di negara-negara yang berkembang lainnya mencapai 64; dan
8 di negara-negara maju.
Tabel. Jumlah Penduduk yang Kekurangan Gizi
Kawasan
Jumlah Orang (juta)
%
dari
Total
Penduduk
Amerika Latin
112
36
Asia
707
63
Timur Tengah
61
33
Afrika
193
61
Total
1073
55
Sumber:Shlomo Reutlinger dan Marcelo Selowsky, Malnutrition and
Poverty, Magnitude and Policy Options (Baltimore: John Hopkins
University Press, 1976.
Dari table di atas bisa disimpulkan, bahwa pada tahun 1970-an,
lebih dari 1 miliar penduduk negara-negara Dunia Ketiga menderita
kekurangan gizi. Pada decade 1990-an keadaan ini semakin memburuk,
terutama di kawasan Afrika sub-Sahara.
Penduduk di kawasan ini,
bahkan sering tidak memiliki sesuatu sekedar untuk mengganjal perut.
Wabah kelaparan terus melanda Afrika hingga berlarut-larut. Di Asia dan
Afrika, lebih dari 60% penduduknya tidak mampu memenuhi keperluaan
kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat. Padahal, kekurangan
nutrisi ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian
dunia. Hal ini bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan
bahwa kelaparan dunia disebabkan karena terbatasnya produksi
pertanian. Walhasil, yang menjadi sebab kelaparan adalah buruknya
distribusi pangan se dunia.
Tabel. Deprivasi Kesehatan Manusia di Negara-negara Dunia
Ketiga, 1995
Bentuk Deprivasi
Jumlah Penderita
Ketiadaan akses pelayanan kesehatan
766 juta
Ketiadaan sumber air bersih
1,2 miliar
Ketiadaan sanitasi
1,9 miliar
Kematian balita (sebelum berumur 5 tahun)
12,2 juta
Malnutrisi di kalangan balita (di bawah 5 158 juta
tahun)
Sumber: United Nations Development Program, Human Development
Report, 1994, halk.134-135.
Pada tahun 1990, menurut data statistik, 67% anak-anak di
Bangladesh, 43% di Afrika Selatan, 63% anak-anak India, 42% di
Vietnam, 38% di Ethiopia, dan36% di Ghana kekurangan berat badan.
Data terakhir, pada tahun 1995, disebutkan bahwa jumlah dokter di
negara-negara paling terbelakang rata-rata hanya 4,4 untuk setiap
100.000 penduduk. Ironisnya, sebagian besar fasilitas kesehatan di
negara-negara berkembang terpusat di kota-kota besar yang jumlahnya
hanya 25 % dari total jumlah penduduk. Di India, contohnya, 80% dari
dokternya membuka praktek di daerah perkotaan yang hanya dihuni oleh
sekitar 20% penduduk. Kota Bolivia hanya sepertiga dari penduduknya
hidup di kota-kota, tetapi di situlah terdapat 90% fasilitas kesehatan. Di
Nairobi, ibu kota Kenya, angka perbandingan antara penduduk dengan
dokter adalah 672:1, sedangkan di daerah-daerah pedesaannya dimana
87% penduduk Kenya tinggal, angka perbandingannya jauh lebih
memprihatinkan, yakni 20.000:1.
Dalam penyediaan biaya kesehatan, 75% biaya kesehatan negaranegara berkembang dialokasikan untuk membangun rumah-rumah sakit
yang ada di kota-kota besar yang tarifnya relatif mahal.
Korban meninggal akibat penyakit AIDS di seluruh dunia
diperkirakan 6 juta jiwa, sedangkan yang terjangkit virus HIV lebih dari
30 juta. Padahal 90% dari total penduduk yang terkena virus HIV ada di
negara-negara berkembang.
Jumlah penduduk wanita yang terkena
virus HIV berjumlah hampir setengahnya dari total penduduk yang
terkena infeksi HIV. Sedangkan 1 juta anak juga diperkirakan terkena
virus HIV.
Pada tahun 1998, jumlah terbesar korban HIV/AIDS, yaitu
sebanyak 19,83 juta orang –berada di wilayah Afrika sub-Sahara, 6,35
juta berada di Asia, dan 1,28 juta berada di negara-negara Amerika Latin.
III. 4. Masalah Pendidikan
Ilustrasi atas rendahnya kualitas hidup di negara-negara
berkembang terlihat juga dalam bidang pendidikan. Di Amerika Latin
diperkirakan 60 dari 100 anak didik yang memasuki sekolah dasar putus
sekolah sebelum sempat menamatkannya. Di negara-negara Asia dan
Afrika, median anak putus sekolah berkisar 20-54%. Akan tetapi jurang
perbedaan antar negara yang berada dalam satu kawasan ternyata juga
sangat besar.
Ada sejumlah negara kawasan Afrika dan Asia yang
tingkat putus sekolahnya saja mencapai 81% dan 64%.
Pada tingkatan sekolah menengah pertama, median anak putus
sekolah mencapai 38,7% bagi negara-engara berkembang di kawasan
Afrika, dan 18% untuk negara berkembang di kawasan Latin dan Asia. Di
Eropa, angka ini hanya sekitar 11,4%.
Persentase penduduk dewasa (yakni 15 tahun ke atas) yang buta
huruf di negara-negara berkembang telah menurun dari 60% pada tahun
1960 menjadi 31 persen di tahun 1995. Namun, sehubungan dengan
demikian pesatnya pertumbuhan penduduk, jumlah absolut penduduk
dewasa yang buta huruf dalam periode yang sama justru telah meningkat
dari sekitar 150 juta jiwa menjadi kira-kira 872 juta jiwa pada tahun
1996. Tingkat buta huruf penduduk daerah pedesaan yang paling tinggi
ditemukan di daerah-daerah Asia Selatan (50%), diikuti negara-negara
Arab(43%), Afrika sub-Sahara (43%), Asia Timur (16%), dan Amerika
Latin (13%). Di Amerika Utara dan Eropa, tingkat buta huruf penduduk
dewasanya masing-masing hanya sekitar 1,0% dan 2,5%.
Tabel. Rasio Penyediaan Biaya Pendidikan Tahunan Per Siswa pada
Berbagai Tingkat Pendidikan
Biaya Relatif Pendidikan
Kelompok Negara
Menengah Terhadap Tinggi
Dasar
Dasar
Amerika Serikat, Inggris, 6,6
17,6
Terhadap
Selandia Baru,
Malaysia, Ghana, Korea 11,9
Selatan, Kenya, Uganda,
Nigeria, dan India
Sumber: George Psacharopulos, The
International Comparison, table. 8-2.
87,9
Return
to
Education:
An
Data di atas menunjukkan bahwa rasio biaya pendikan menengah
dengan pendidikan dasar sebesar 6,6 dibanding 1.
Ini artinya, biaya
pendidikan yang dihabiskan oleh seorang murid sekolah menengah
selama satu tahun di negara Amerika Serikat, bisa digunakan untuk
menyekolahkan 7 siswa SD. Rasio itu tampak timpang pada negaranegara berkembang, lebih-lebih lagi rasio biaya pendidikan sekolah tinggi
dan sekolah dasar. Biaya yang dihabiskan oleh seorang mahasiswa –di
negara berkembang—selama satu tahun, sebenarnya bisa digunakan
untuk membiayai 88 siswa sekolah dasar selama satu tahun. Data ini
juga menunjukkan, bahwa negara-negara berkembang mengeluarkan
biaya pendidikan yang lebih besar kepada segelintir mahasiswa perguruan
tinggi.
III. 5. Kesempatan Kerja: Problem Pengangguran
Negara-negara berkembang juga menghadapi masalah penyediaan
lapangan pekerjaan. Pengangguran di negara berkembang masih cukup
tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju.
Tabel Tenaga Kerja dan Pengangguran di Negara-negara Berkembang,
1960-1990 (dalam satuan ribuan).
Indikator
1960
1970
1973
1980
1990
Semua Negara Berkembang
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
Persentase
Total
Pengangguran
(terbuka
terselubung)
507416
36466
6,7
25
617244
48798
7,4
27
658000
54130
7,6
29
773110
65620
7,8
-
991600
88693
8,2
-
Afrika
Asia
Amerika Latin
31
24
18
39
26
20
38
28
25
-
-
100412
8416
7,7
119633
12831
9,6
127490
13890
9,8
149390
15973
9,8
191180
21105
9,9
340211
24792
6,8
413991
31440
7,1
441330
34420
7,2
516800
43029
7,7
660300
59485
8,3
Seluruh Afrika
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
Seluruh Asia
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
Seluruh Amerika Latin
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
66793
3258
4,7
83620
4527
5,1
89180
5820
6,1
106920
6618
5,8
140120
8103
5,5
Sumber: Yves Sabolo,”Employment and Unemployment, 1960-1990,
International Labor Review 112 .
Data di atas menunjukkan bahwa pengangguran di negara-negara
berkembang terus meningkat dari tahun ke tahun. Terlihat dengan jelas
bahwa pengangguran pada tahun 1960 sebanyak 36,5 juta, melonjak
menjadi 54 juta pada tahun 1970.
Jadi dalam periode ini terjadi
peningkatan pengangguran sebanyak 46%, atau rata-rata 3% per tahun.
Bila pengangguran dihubungkan dengan tingkat pendidikan akan terlihat
pada data-data berikut ini:
Tabel. Persentase Pengangguran Menurut Tingkat
Sejumlah Negara-negara Berkembang (persen).
Pendidikan
Negara
Tahun
A
B
C
D
Aljazair
1989
9,
2
2
4,
2
2
8,
9
5,
8
Tunisia
1989
1
1,
2
2
0,
4
1
7,
4
5,
2
Ghana
1988
3,
4
7,
6
1
3,
5
14
,7
Kenya
1986
1
3,
5
1
5,
6
2
2,
2
5,
4
Zimbabwe
1987
1,
6
6,
8
1
1,
6
-
Malaysia
1985
4,
7
2
2,
9
3
0,
6
3,
9
India
1989
2,
0
3,
0
9,
0
12
,0
Indonesia
1985
0,
6
1,
5
7,
5
5,
3
Sri Lanka
1981
4,
5
1
4,
1
5,
4,
2
di
Pantai
Gading
1985
1,
0
5
1
5,
2
2
1,
7
13
,7
Catatan:
A = Pengangguran di kalangan yang tidak berpendidikan
B = Pengangguran di antara lulusan sekolah dasar
C = Pengangguran di antara lulusan sekolah lanjutan
D = Pengangguran di antara lulusan universitas
Sumber : UNDP, Human Development Report, 1993, hal.38
Data di atas menunjukkan bahwa pengangguran yang berasal dari
penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi cukup tinggi. Di Indonesia
misalnya, pengangguran dari kalangan berpendidikan tinggi sebanyak 5,3
% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan sekolah
dasar.
Dari data lain juga didapatkan bahwa pengangguran yang
terbanyak berada pada usia 15-24 tahun. Di Indonesia, pada tahun 1986,
pengangguran di usia ini (15-24 tahun) sebanyak 23,4%, lebih banyak
dibandingkan usia di atas 25 tahun yang hanya 2,6%. Di Srilanka bahkan
mencapai jumlah 40,2%, Kenya 38,1%, India 19,4%, dan di Filipina
18,6%.
III. 6. Masalah Lingkungan Hidup
Kemiskinan, tingkat pendapatan rendah, serta pendidikan minim
secara tidak langsung berpengaruh terhadap sikap penduduk negara
berkembang kepada lingkungan
hidup. Dengan kata lain, masalah
lingkungan hidup yang dihadapi oleh negara-negara berkembang lebih
disebabkan karena mereka tidak memiliki pilihan lain –karena kemiskinan
mereka- untuk menjalani hidup tidak sehat.
Selama dekade 1980-an, tingkat kesuburan tanah per kapita
merosot 1,9% per tahun.
Masalah ini pada gilirannya memperparah
kelangkaan lahan subur yang kemudian memaksa penduduk miskin di
daerah pedesaan untuk mengandalkan hidupnya pada lahan-lahan
marjinal yang produktivitas dan kesuburannya sangat terbatas. Sejauh
ini diperkirakan bahwa lebih dari 60% penduduk termiskin di berbagai
negara berkembang harus mempertahankan kelangsungan hidupannya
dengan mengandalkan lahan pertanian marjinal yang sulit ditanami.
Akhirnya, hutan yang jumlahnya semakin sedikit dibabat dan diolah
menjadi lahan garapan, dan kebanyakan dari lahan itu mengalami
pengikisan kualitas dan kesuburan secara cepat sebagai akibat dari
metode-metode pertanian yang sama sekali tidak efisien.
Setiap
tahunnya, dunia kehilangan sekitar 270.000 kilometer persegi lahan
subur.
Secara keseluruhan 1,2 miliar area lahan telah kehilangan
kesuburannya. Untuk membayangkan luas area ini, bayangkan luas
wilayah Cina dan India yang dijadikan satu.
Buruknya sanitasi dan kesehatan yang dialami penduduk negara
berkembang telah menyebabkan masalah-masalah baru. Hampir 80%
dari total penyakit yang diderita oleh penduduk negara Dunia Ketiga
diakibatkan karena sanitasi air yang payah. Sembilan puluh persen
(90%) dari total kematian anak-anak yang jumlahnya mencapai 13 juta
jiwa setiap tahunnya juga disebabkan karena masalah serupa. Meskipun
begitu, jumlah penduduk yang harus hidup tanpa sanitasi dan air bersih
justru terus meningkat. Pada periode antara tahun 1970 sampai tahun
1980, jumlahnya terus bertambah 135 juta jiwa.
Di Amerika Latin, pada tahun 2030 diprediksi bahwa penyediaan air
bersih untuk penduduknya boleh dikatakan sebagai kemustahilan.
Ini
disebabkan karena ledakan pertumbuhan penduduk demikian besarnya.
Jumlah penduduk yang harus dilayani meningkat 250%, padahal untuk
sekarang saja tidak semua orang bisa menikmati layanan social tersebut.
Angka tersebut sudah membuat kita tercengang, padahal ada 1,2 miliar
penduduk di daerah-daerah pedesaan yang keperluan-keperluan
sanitasinya harus dipenuhi.
Unsur-unsur polusi atau polutan yang memenuhi udara juga akan
mengancam kesehatan penduduk negara-negara Dunia Ketiga. Polusi di
dalam rumah akibat pembakaran mengancam 400 juta hingga 700 juta
manusia yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Asap dan
percikan debu dapur diyakini telah menyebabkan kematian 4,3 juta anakanak setiap tahunnya sebagai akibat penyakit pernafasan akut.
Di daerah perkotaan, sumber polusi yang mengancam kesehatan
lebih banyak lagi. Menurut laporan WHO, 1,3 miliar manusia yang hidup
di daerah perkotaan menjalani kehidupan sehari-hari berdampingan
dengan aneka rupa polutan udara yang membahayakan.
Di masa
mendatang kondisinya diperkirakan akan semain mengerikan, karena
diprediksi pada tahun 2020 nanti jumlah pabrik di daerah perkotaan akan
meningkat 600% dari jumlah yang ada sekarang ini.
Sebagai ilustrasi sederhana betapa tidak efisiennya kehidupan di
negara-negara berkembang adalah apa yang terjadi di Lima dan Jakarta.
Keluarga-keluarga miskin di kota itu hanya bisa mengkonsumsi air 1/6
dari volume air yang dikonsumsi oleh keluarga-keluarga yang
berpenghasilan tinggi. Ironisnya, pengeluaran mereka untuk membeli air
justru tiga kali lipat lebih tinggi. Padahal, air yang mereka konsumsi
kualitasnya sangat rendah sehingga harus direbus lama. Ini tentunya
semakin memperbesar cost mereka untuk membeli bahan bakar. Selain
itu, kompor yang mereka gunakan tingkat efisiensinya rendah, sehinga
asap dan polutan yang dihasilkan juga sangat tinggi.
Jika mereka
diharuskan memasak air sesuai dengan yang disarankan pemerintah,
maka tambahan biaya untuk bahan bakar akan menghabiskan 29% dari
total pendapatan mereka. Di Jakarta, sekitar US$ 50 juta habis per tahun
hanya untuk merebus air.
III. 7. Ketergantungan Negara-negara Ketiga Terhadap Negara
Maju
Sejauh mana tingkat ketergantungan suatu negara terhadap pihak
luar, baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik, menurut Todaro,
ternyata berhubungan dengan luas wilayah, karunia sumber daya alam,
serta sejarah politik dari negara yang bersangkutan.
Menurut Todaro,
ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga terhadap negara-negara lain
cukuplah besar.
Kebanyakan negara-negara berkembang yang
berukuran kecil sangat tergantung kepada hubungan perdagangan luar
negerinya dengan negara-engara maju.
Hampir semua negara kecil
tersebut benar-benar tergantung kepada negara-negara maju (biasanya
bekas negara penjajahnya) untuk memperoleh pasokan teknologi
produksi yang sebenarnya tidak cocok dengan kondisi dasar yang ada di
negara-negara berkembang tersebut.
Inilah fakta kehancuran negara Dunia Ketiga, serta prestasi
kapitalisme dalam menciptakan kesenjangan hidup antara negara Dunia
Ketiga dengan Negara Maju. Dunia terus dirundung masalah yang tidak
pernah ada habisnya, meskipun berbagai macam solusi telah dicurahkan
untuk menghentikannya. Sayangnya, solusi itu telah gagal.
Lantas,
kepada siapa harapan itu digantungkan? Apakah kita akan berharap pada
sistem sosialisme –yang menurut penganutnya diyakini sebagai obat
mujarab bagi penyakit kapitalisme? Padahal, pada saat yang sama paham
ini telah runtuh dan terbukti juga menimbulkan masalah bagi kehidupan
manusia?
Kita pasti akan menjawab, pilihan itu jatuh kepada sistem dan
peradaban Islam.
Islam dengan sistem dan peradabannya terbukti
mampu mengantarkan manusia ke puncak kesejahteraan dan
kemakmuran. Selain itu, sistem Islam juga terbukti mampu menjawab
trend global yang cenderung untuk menyatu dan melelehkan sekat-sekat
negara bangsa (nation state).
Masihkah Berharap Dengan Negara Bangsa dan Kapitalisme
Keinginan untuk membangun sistem dunia yang saling menopang
serta bebas dari diskriminasi dan dominasi, di mana semua bangsa bisa
saling bersaudara, bersatu dan berbagi tanpa dihalang-halangi lagi oleh
arogansi nationalistik, telah mendorong sejumlah pemikir untuk
menggagas system alternative dunia masa depan.
Keinginan ini
dilatarbelakangi sebuah kesadaran akan kegagalan nation state (negara
bangsa) dan kapitalisme dalam mengantarkan manusia menuju
kebersamaan dan kesejahteraan universal. Bahkan, keduanya nyatanyata telah menimbulkan dampak destruktif bagi umat manusia.
Pada tahun 1977, Herman Kahn, di dalam bukunya The Next Two
Hundred Years; a Scenario for America and The World, dengan percaya
diri menyatakan bahwa, Amerika adalah satu-satunya model dunia, dan
semua bangsa mesti sebisa mungkin mendekati model tersebut. (Herman
Kahn, 1977). Sayangnya, hingga tahun 2007 ini,
Kegagalan dan Ketidakmampuan Negara Bangsa (Nation State)
Menurut Sardar, nasionalisme merupakan indikator destruktif bagi
peradaban masa depan. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa paham ini
telah berimplikasi buruk bagi umat manusia. Pertama; meningkatnya
jumlah negara yang hanya mementingkan dirinya sendiri dengan
mengesampingkan bahkan cenderung mengorbankan kepentingan pihak
lain; kedua; munculnya rasialisme yang bersifat massal; ketiga,
nasionalisme telah memecah belah umat manusia, bahkan menutup trend
dunia global yang saling menopang dan mendukung.(Sardar, 1979). Data
di lapangan menunjukkan; sejak PD II, 20 juta jiwa hilang karena konflikkonflik yang berdimensi nasionalistik. 29 konflik dari 30 konflik terjadi
pada dimensi domestik. Di Sovyet lebih dari 20 konflik terjadi dan
menelan korban raturan ribu bahkan hingga mencapai jutaan.
Selain itu,
nation state juga diyakini sebagai penyebab
tersendatnya lalu lintas barang dan manusia di dunia, serta memunculkan
cost-cost ekonomi yang tidak perlu --biaya paspor dan visa, proteksi, dan
lain sebagainya. Dampak tersendatnya lalu lintas barang dan manusia,
serta munculnya biaya-biaya tak perlu adalah; harga barang menjadi
mahal, banyak persoalan ekonomi internal negara bangsa yang tidak bisa
ditangani, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan global,
menumpuknya aset kekayaan pada negara-negara tertentu.
Negara bangsa (nation-states), meminjam istilah E.F Schumacher,
terbukti terlalu besar untuk masalah-masalah lokal yang lebih kecil, dan
terlalu kecil untuk masalah-masalah global yang besar.(E.F. Schumacher,
2002).
Kita telah menyaksikan, bagaimana jatuhnya mata uang baht
Thailand telah menyeret hampir seluruh negara Asia ke dalam krisis
moneter yang berlarut-larut.
Menurut Kalim Siddiqui (1979), selain rentan terhadap krisis,
negara bangsa juga dipercaya menjadi penyebab dasar munculnya
beberapa problem kemanusiaan; diantaranya; pertama, meningkatnya
jumlah negara yang hanya mementingkan kemajuan dan kepentingan
dirinya
sendiri
dengan
mengesampingkan
bahkan
cenderung
mengorbankan kepentingan pihak lain; kedua, lahirnya rasialisme,
teritorialisme, dan ultranasionalisme yang telah mengeleminasi nilai-nilai
kemanusiaan dan kebersamaan. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa
nasionalisme ditunjang oleh berbagai faktor, seperti teritorial, bahasa,
budaya dan keunggulan ras.
Atas dasar itu, nasionalisme pasti
berdampak pada rasialisme-teritorialisme, teritorialisme, bahasaisme, dan
cara pandang lain yang "tidak manusiawi"; ketiga, nasionalisme telah
memecah belah kesatuan umat Islam dalam ikatan-ikatan yang bermutu
rendah. Lebih dari itu, nasionalisme telah menempatkan manusia ke
dalam sekat-sekat maya yang menjadikan mereka terasing dan
diasingkan dari nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan. Contohnya,
betapa umat Islam di negeri-negeri Islam tidak mampu berbuat apa-apa
untuk menolong saudara-saudaranya di Palestina yang ditindas oleh
Israel. Padahal, mereka bersaudara dan diikat dengan ideologi yang
sama. Mereka tidak mampu mengulurkan tangannya untuk membantu
saudara-saudaranya dikarenakan dinding maya yang tidak mampu
mereka lampui; yakni nation state.
Kenyataan di atas menyadarkan kita; nasionalisme sudah tidak
layak lagi menjadi model kenegaraan yang mampu menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan universal.
Nasionalisme juga tidak
mungkin mampu menciptakan tatanan masyarakat yang altruistik dan
dipenuhi dengan semangat kebersamaan dan saling menolong.
Nasionalisme Dalam Tantangan Unifikasi dan Universalisasi
Sangat naif memang, pada saat dunia telah membuka dirinya,
bahkan terjadi kecenderungan unifikasi, orang masih bersikukuh untuk
mempertahankan ikatan nasionalisme dengan dalih mempertahankan
kedaulatan politik dan ekonominya.1
Padahal pada saat yang sama
negara-negara tersebut tidak akan mungkin bisa berdampingan dengan
negara-negara lain --khususnya dalam percaturan ekonomi dan politik-ketika arus global menghendaki adanya hubungan-hubungan tidak hanya
sebatas hubungan yang bersifat nasionalistik.
Ini terlihat dengan
bersatunya beberapa negara Eropa membentuk
Eropa Bersatu;
munculnya pakta-pakta ekonomi, misalnya, GATT, Putaran Uruguay,
APEC, dan lain-lain. Walaupun unifikasi ini masih "terhalang" dengan
sekat-sekat negara bangsa, namun fenomena ini minimal menunjukkan
bahwa ikatan nasionalisme sudah tidak relevan lagi untuk mengikat
perikehidupan negara pada masa mendatang, terutama bila dikaitkan
dengan tendensi politik dan ekonomi.2
1
2
Bandingkan dengan Lester Thurow, The Future of Capitalism; Clobal Challenges to
National Economic Policies; hal. 127-131; 1997, Nicholas Brealey Publishing Limited, London.
Untuk melihat gambaran lebih jelas untuk nasionalisme, lihat pula, Adam Malik, In The Service
of The Republic;1980; PT. Gunung Agung; pada bagian Foreward.
Penolakan nasionalisme tidak hanya ditinjau dari analisa keadaan ekonomi dunia mendatang,
namun lebih banyak ditelusur dari faktir ideologis. Kapitalisme, sosialisme, dan Islam adalah
ideologi yang bersifat universal. Islam misalnya sangat menolak paham nasionalisme. Bisa
dilihat misalnya tulisan, Shabir Ahmed & Abid Karim, The Roots of Nationalism in the Muslim
World (terj. Akar Nasionalisme di Dunia Islam, pentj: Zettira Nadia Rahma), ed.I, 1997, AlIzzah. Lihat pula penolakan serupa dalam Al-Nabhani, Nidzam al-Islaam, ed.V, 1953; Al-Qudz;
hal. 21. Al-Nabhani mengemukakan tiga alasan penolakan terhadap nasionalisme; (1) karena
ikatan nasionalisme adalah ikatan yang lemah, tidak berfungsi sama sekali untuk mengikat
manusia ketika ia menginginkan suatu kebangkitan, (2) ikatan nasionalisme adalah ikatan yang
Dihapuskannya tarif bea masuk barang, serta penghapusanpenghapusan beberapa proteksi menunjukkan bahwa semua negara ingin
membuka dirinya dengan negara lain. Lebih-lebih lagi, dengan adanya
kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi dan keinginan-keinginan
membentuk sistem ekonomi global, nasionalisme 3 seakan menjadi rival
berat atas isu ekonomi global, atau isu bangkitnya ideologi-ideologi besar
dunia -kapitalisme, komunisme, dan Islam. 4
Kerja sama dalam bidang
ekonomiyang melibatkan beberapa negara dengan cakupan kerjasama
yang lebih besar terlihat dalam Eropa Bersatu. Namun, kerjasama
tersebut dirasa belum memadai untuk menciptakan kekuatan ekonomi
bersama yang tangguh. Sebab, kerjasama itu belum ditopang oleh ikatan
ideologis yang kuat.5
II.3. Arogansi Nasionalistik Dan Keinginan Untuk Bersatu
Trend unifikasi yang berwujud penyatuan geografis, ekonomis,
sosial, teknologi dan budaya dalam batas ideologis merupakan
fenomena faktual yang semakin menguat belakangan ini. 6 Trend ini
3
4
5
6
'athifiyyah, yang muncul dari gharizah al-baqa' (naluri mempertahankan diri), (3) ikatan
nasionalisme adalah ikatan yang temporal, yang muncul ketika terjadi intervensi, namun ketika
tidak ada intervensi, maka ikatan ini tidak ada. Lihat pula, A. Hassan, Islam dan Kebangsaan;
cet-1, 1984; Lajnah Penerbitan Pesantren PERSIS Bangil.
Menurut Robert a.Isaak, nasionalisme atau sistem negara bangsa modern muncul dari
perpecahan kesatuan umat Kristen abad pertengahan dan pertama kali diakui secara resmi sebagai
sistem di banyak negara di Eropa oleh Perdamaian Westphalia tahun 1648 dan perjanjian Ultrecht
1713. Konsepsi Eropa tentang negara berdaulat merupakan konsepsi yang memusatkan perhatian
pada kekuasaan politik yang memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan di dalam batasbatas wilayahnya. [Robert A. Isaak, International Political Economy; (terj) Ekonomi Politik
Internasional (pentj. Muhadi Sugiono); ed.1, 1995, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta; hal. 27-28]
Dalam bukunya yang berjudul The Rise of The Trading State; Richard Rosecrance,
menyatakan bahwa kerjasama antar negara dapat tercipta hanya dengan mengganti arah menuju
sistem perdagangan yang memuat saling ketergantungan, dan tidak lagi mengharap otonomi guna
memperoleh lebih banyak akses ke arah sumber daya ekonomi dan pasaran dunia. Kemajuan
teknologi transportasi dan komunikasi telah membawa bangsa-bangsa pada hubungan yang lebih
erat. Bahkan mereka tidak bisa menghindar dari interaksi --yang akan membawa implikasi
kerugian atau keuntungan secara politik, ekonomi-- dengan bangsa lain di dunia, terutama negara
yang kuat secara ekonomi dan militer. Saling ketergantungan antar negara dunia adalah suatu
fenomena tidak bisa dielakkan. Namun apa yang diungkap oleh Richard Rosecrance, tidak lebih
adalah pewujudan nyata dari politik perdagangan negara-negara kapitalis raksasa --US-- , yang
ingin melakukan ekspansi dengan berlindung dibalik isu pasar bebas. Sedangkan Lester Thurow,
menyatakan bahwa, "A Global economy creates a fundamental disconnect between national
political institutions and their policies to control economic events and the international economic
forces that have to be controlled. Instead of a world where national policies guide economic
forces, a global economy gives rise to a world in which extranational geoeconomic forces dictate
national economic policies. With internationalization, national goverments lose many of their
traditional levers of economic control. [lihat Lester Thurow, The Future of Capitalism, first
edition, 1997, Nicholas Brealey Publishing Limited, London; hal.127].
Lihat Lester Thurow, The Future of Capitalism, first edition, 1997, Nicholas Brealey
Publishing Limited, London; hal.240]. Lihat pula dalam, Ralph C. Bryant, "Increasing Economic
Integration and Eroding Political Sovereignty, " The Brookings Review, Fall 1994, p.42]
Hubungan antara demokrasi, negara bangsa (nasionalisme), dan ekonomi dunia, digambarkan
oleh Lester Thurow , "Cooperative policies are needed to make the global economy work, but
cooperation will require the surrender of a lot of national sovereignity.[Lester Thurow, The
Future of Capitalism, first edition, 1997, Nicholas Brealey Publishing Limited, London; hal.138.]
Thurow juga menyebutkan bahwa, tanpa ada penopang ideologis yang kuat , maka kehidupan
bersama yang damai sangat sulit didapatkan, ".... All of this occurs in a world where one might
think that global comunications would be integrating peoples as everyone absorbs a common
memberi pertanda bagi masyarakat dunia untuk melihat kehidupan
modern lebih integral lagi, diantara lokalitas budaya, ekonomi, dan
sosial budaya. Trend ini ditandai dengan fenomena bersatunya blok-blok
ekonomi yang dilakukan oleh beberapa negara dunia --bahkan ada yang
sudah lebih luas cakupan unifikasinya.
Hanya saja, trend ini juga tidak lepas dari tujuan-tujuan
terselubung negara maju terhadap negara-negara ketiga; terutama untuk
menciptakan pasar baru dan lahan imperialisme baru yang terselubung. 7
Dengan bersembunyi dibalik isu globalisasi, negara-negara kuat --dalam
hal ini Amerika Serikat—berhasil menyeret dan memaksa negara ketiga
untuk lebih membuka dirinya dan menghilangkan proteksi-proteksi yang
bersifat
nasionalistik;
yang
ujung-ujungnya
untuk
mewujudkan
kepentingan Amerika juga.8
Walaupun trend unifikasi yang lebih luas daripada negara bangsa
telah menjadi isu utama, terutama untuk menyongsong terbentuknya
pasar bebas, akan tetapi kita harus tetap waspada dengan trend
globalisasi yang ditujukan untuk kepentingan kaum kapitalis. Sebab, isuisu globalisasi, pasar bebas, dan lain sebagainya, adalah isu-isu politis
yang digulirkan negara maju untuk mempertahankan hegemoni ekonomi
dan politiknya atas dunia Islam,..9
Akan tetapi, fenomena di atas memberikan gambaran kepada
kita, bahwa lokalitas mulai melemah kekuatannya ketika mainstream
globalisasi yang dihembuskan negara maju semakin menguat. Bahkan,
sangatlah naif, ketika arus ekonomi dan produk-produk industri global
mengalir bagai air bah dan ditengah arus ideologis yang demikian kuatnya
orang masih bersikukuh untuk mempertahankan ikatan-ikatan rentan,
seperti nasionalisme. Lebih-lebih lagi, negara adidaya beserta sekutusekutunya, terus menerus melakukan hegemoni ke negara-negara dunia
ketiga.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam?
Apakah
mereka akan menghadapi hegemoni ini hanya dengan mengandalkan
ikatan nasionalisme?
II.4. Asal-usul Nasionalisme di Negeri-Negeri Islam
7
8
9
electronic culture and where almost everyone wants to give up some of their national sovereignty
by joining larger regional economic trading groups, as the European Community.[Ralph C.
Bryant, "Increasing Economic Integration and Eroding Political Sovereignty, " The Brookings
Review, Fall 1994, p.42] But without a sustaining ideology or an outside threat, living peacefully
together become much harder. Without a challenger, without dominant ideology that is being
propagated or defended, and with no dominant power, history tells us, nation-ste drift into
confrontation with their neighbors.(Lester Thurow; hal. 240]
Politik luar negara AS, yang ingin membentuk Tata Dunia Baru (The New World Order),
diwujudkan dengan pembentukan lembaga-lembaga internasional di bidang politik, ekonomi,
kesehatan, peradilan, dan pendidikan. Muncul kemudian IMF, PBB, Bank Dunia, Mahkamah
Internasional. Intervensi AS lewat lembaga-lembaga ini, sebenarnya untuk menghancurkan
kedaulatan (sovereignty) negara-negara target. Untuk lebih detail, berkenaan dengan analisa
politik mengenai skenario global AS untuk memantapkan dirinya sebagai satu-satunya kekuatan
ideologis dunia, lihat analisa brilian dalam buku berjudul, Hazaat al-Aswaaq al-Maaliyah,
Asbabuha wa Hukm al-Syar'iy fi hadzihi al-Asbaab (Kegoncangan Pasar Modal, Sebab dan
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sebab-Sebab Tersebut), 1998.
Hazaat Aswaaq al-Maaliyah, Asbabuha wa Hukm al-Syar'iy fi hadzihi al-Asbaab; November,
1998
op.cit.
Kelahiran nasionalisme dan negara-negara bangsa tidak bisa
dilepaskan dari sejarah perang ideologis antara Islam dengan Yahudi dan
Kristen.
Sebelum keruntuhan kekuasaan Islam pada tahun 1924, Islam
tampil sebagai peradaban yang paling tinggi dan unggul; dan Islam
menjadi negara super power yang mampu memimpin hampir di 2/3
wilayah dunia.
Keadaan ini tentunya sangat menyulitkan rival-rival
ideologis Islam, yakni Yahudi dan Nashrani.
Lalu, dirancanglah upayaupaya untuk melemahkan kekuatan Islam dengan cara menggerogoti
persatuan
dan
kesatuan
kaum
Muslim,
diantaranya
adalah
menghembuskan paham nasionalisme di negeri-negeri Islam. Paham ini
sengaja dihembuskan agar kaum Muslim saling bermusuhan dan
memisahkan diri dari kekuasaan Islam di Turki Ustmaniy. Akhirnya,
perlahan-lahan namun pasti, negeri-negeri Islam mulai melepaskan diri
dari kekuasaan Islam tanpa tahu untuk apa mereka melepaskan diri.10
Ini
menunjukkan,
bahwa
paham
nasionalisme
telah
bertanggungjawab atas hancurnya kesatuan dan kesatuan kaum Muslim,
dan lemahnya kekuasaan Islam hingga pada era Turki Utsmani.11
Agar
paham
nasionalisme
semakin
berkembang,
barat
menyekolahkan dan memberikan bea siswa kepada mahasiswamahasiswa yang berasal dari negeri-negeri Islam di pendidikanpendidikan barat.
Di sana, mahasiswa-mahasiswa ini dipengaruhi
dengan paham ini, dan didorong untuk menyebarluaskannya ke negera
asalnya.
Cara semacam ini sangat efektif untuk menyebarluaskan
nasionalisme ke negara-negara ketiga.12
III. 1. Kesenjangan Pendapatan Antara Negara Dunia Ketiga
dengan Negara Maju
Dari 157 negara berkembang yang menjadi anggota penuh PBB
pada tahun 1997, sebanyak 87 negara memiliki kurang dari 5 juta
penduduk, 58 negara memiuliki kurang dari 2,5 juta, dan 35 negara
memiliki jumlah penduduk kurang dari 500,000 orang.
Tabel.1. Sepuluh Negara dengan Penduduk Paling Banyak dan Paling
Sedikit serta Pendapatan Per Kapita Negara-negara Tersebut, 1997
Negara
dengan
Penduduk
Paling Besar
1. China
2. India
3. AS
10
11
12
Jumlah
Pendudu
k
(juta
orang)
1227
961
268
GNP
Per
Kapita
(dalam
US$)
860
390
28700
Negara
Penduduk
Sedikit
dengan Jumlah
Paling Pendudu
k
(ribuan
orang)
1. Nauru
8
2. Tuvalu
11
3. Saint Kitts-Nevis
41
GNP
Per
Kapita
(dalam
US$)
8070
330
6160
Lihat, dan bandingkan dengan, Shabir Ahmed & Abid Karim, The Roots of Nationalismin in
the Muslim World; terj. Akar Nasionalisme di Dunia Islam ; pentj. Zettira Nadia Rahma; ed.1;
1997, Al-Izzah, Bangil, hal. 73-77. Bandingkan dengan Stephen Krasner, Structural Causes and
Regime Consequences: Regime as Intervening Variables, International Organization 36,(Spring
1982):73-91. Bandingkan pula dengan Susan Strange, Cave! Hic Dragones: A Critique of Regime
Analysis, International Organization 36 (Spring, 1982), hal. 299-324.
Ibid. hal. 73
Ibid. hal.53
4.
200
1110
4.
Antiqua
$ 66
7380
Indonesia
Barbuda
5. Brasil
164
4720
5. Dominica
74
3120
6. Rusia
147
2740
6. Seychelle
78
6880
7. Pakistan
137
490
7. Kiribati
83
910
8. Jepang
126
37850
8. Tonga
98
1830
9.
124
270
9. Grenada
99
3000
Bangladesh
10. Nigeria
118
260
10.Saint Vincent
112
2500
Sumber: World Bank, World Development Report, 1998/99: Knowledge
for Development (New York:Oxford University Press, 1998)
Pada tahun 1997, total produk nasional dari seluruh negara di dunia
mencapai nilai lebih dari US$ 29 triliun. Dari total tersebut, lebih dari US$
22 triliun dihasilkan oleh negara-negara maju dan kurang dari US$ 7
triliun dihasilkan oleh negara-negara berkembang.
Ditinjau dari sudut penyebaran penduduk dunia, sekitar 80% dari
nilai total pendapatan dunia dihasilkan oleh negara-negara maju yang
jumlah penduduknya kurang dari 20% penduduk dunia. Ini menunjukkan
lebih dari 4/5 penduduk dunia hanya menghasilkan 1/5 dari total output
dunia. Yang lebih penting lagi, negara-negara Dunia Ketiga dengan
jumlah penduduk hampir meliputi 80% dari total penduduk dunia hanya
memperoleh bagian pendapatan di bawah 20% dari total pendapatan
dunia.
Kenyataan ini menunjukkan betapa timpangnya pendapatan antara
negara-negara Dunia Ketiga dengan negara-negara maju.
Pada tahun
1997, pendapatan per kapita paling tinggi di dunia adalah Swiss. Angka
perkapitanya 403 kali dibandingkan dengan tingkat pendapatan per kapita
dari salah satu negara termiskin di dunia, Ethiopia, dan masih 114 kali
lebih besar dibanding dengan negara terluas di dunia, yakni India.
Tabel.2.
yang
Ketimpangan Pendapatan Global antara 20% Penduduk Dunia
Terkaya dan yang Termiskin, 1960-1991
% Pendapatan Global
Rasio Pendapatan
Tahun
20% Termiskin
20%
Terkaya
terhadap
Terkaya
Termiskin
1960
2,3 30 banding 1
70,2
1970
2,3 32 banding 1
73,9
1980
1,7 45 banding 1
76,3
1991
1,4 61 banding 1
85,0
Sumber: United Nations Development Program, Human Development
Report, 1992, hal.36
III. 2. Tingkat Kemiskinan
Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara ditentukan
oleh dua factor utama, yaitu: (1) tingkat pendapatan nasional rata-rata,
(2) lebar-sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan.
Tabel. Kemiskinan Absolut di Negara-negara Berkembang, 1993
Wilayah
Kelompok
Negara
atau Jumlah
Proporsi
Jumlah Jumlah
Penduduk yang Keseluruhan
Penduduk
Hidup di Bawah Penduduk
Miskin Miskin
Garis
(%)
(juta
Kemiskinan
orang)
(%)
Negara-negara
4
1
11
Arab
Amerika
Latin 24
9
110
dan karibia
Asia Timur, Asia 26
34
446
Tenggara,
dan
Wilayah Pasifik
Sub-Sahara
39
17
219
Afrika
Asia Selatan
43
39
515
Seluruh Negara 32
100
1301
Berkembang
Sumber: United Nations Development Program, Human Development
Report, 1994, hal. 134-135. Garis kemiskinan ditetapkan US$ 1 per hari
orang dalam satuan PPP dolar tahun 1985.
Dari data di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pada tahun 1993,
sekitar 1,3 miliar penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan
(sangat miskin). Jika kita lihat masing-masing wilayah, kita temukan
tingkat kemiskinan tertinggi di Asia Selatan, dimana jumlah penduduk
termiskin terbesar (515 juta) hidup. Wilayah Afrika Sub-Sahara yang
memiliki 219 juta penduduk sangat miskin memiliki tingkat pertumbuhan
kemiskinan paling cepat. Diperkirakan tingkat pertumbuhan kemiskinan di
Afrika mencapai 50%, pada abad 21.
III. 3. Rendahnya Mutu Kesehatan Negara Ketiga
Selain harus membanting tulang untuk mendapatkan pendapatan,
penduduk negara berkembang juga harus berjuang menghadapi penyakit
dan kekurangan gizi. Tidak sedikit yang kemudian menyerah dan mati,
karena penyakit dan malnutrisi.
Meskipun kondisi kesehatan negara berkembang sudah membaik,
sejak tahun 1960, namun kenyataannya, pada tahun 1998, rata-rata usia
harapan hidup di negara-negara yang paling terbelakang di dunia hanya
mencapai 48 tahun, bandingkan dengan usia 63 tahun di negara
berkembang lainnya, dan 75 tahun di negara-negara maju.
Tingkat kematian bayi (infant mortality rates), yakni jumlah anak
yang mati sebelum berusia 1 tahun untuk setiap 1000 kelahiran, di
negara-negara yang paling terbelakang rata-rata mencapai 96;
sedangkan di negara-negara yang berkembang lainnya mencapai 64; dan
8 di negara-negara maju.
Tabel. Jumlah Penduduk yang Kekurangan Gizi
Kawasan
Jumlah Orang (juta)
%
dari
Total
Penduduk
Amerika Latin
112
36
Asia
707
63
Timur Tengah
61
33
Afrika
193
61
Total
1073
55
Sumber:Shlomo Reutlinger dan Marcelo Selowsky, Malnutrition and
Poverty, Magnitude and Policy Options (Baltimore: John Hopkins
University Press, 1976.
Dari table di atas bisa disimpulkan, bahwa pada tahun 1970-an,
lebih dari 1 miliar penduduk negara-negara Dunia Ketiga menderita
kekurangan gizi. Pada decade 1990-an keadaan ini semakin memburuk,
terutama di kawasan Afrika sub-Sahara.
Penduduk di kawasan ini,
bahkan sering tidak memiliki sesuatu sekedar untuk mengganjal perut.
Wabah kelaparan terus melanda Afrika hingga berlarut-larut. Di Asia dan
Afrika, lebih dari 60% penduduknya tidak mampu memenuhi keperluaan
kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat. Padahal, kekurangan
nutrisi ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian
dunia. Hal ini bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan
bahwa kelaparan dunia disebabkan karena terbatasnya produksi
pertanian. Walhasil, yang menjadi sebab kelaparan adalah buruknya
distribusi pangan se dunia.
Tabel. Deprivasi Kesehatan Manusia di Negara-negara Dunia
Ketiga, 1995
Bentuk Deprivasi
Jumlah Penderita
Ketiadaan akses pelayanan kesehatan
766 juta
Ketiadaan sumber air bersih
1,2 miliar
Ketiadaan sanitasi
1,9 miliar
Kematian balita (sebelum berumur 5 tahun)
12,2 juta
Malnutrisi di kalangan balita (di bawah 5 158 juta
tahun)
Sumber: United Nations Development Program, Human Development
Report, 1994, halk.134-135.
Pada tahun 1990, menurut data statistik, 67% anak-anak di
Bangladesh, 43% di Afrika Selatan, 63% anak-anak India, 42% di
Vietnam, 38% di Ethiopia, dan36% di Ghana kekurangan berat badan.
Data terakhir, pada tahun 1995, disebutkan bahwa jumlah dokter di
negara-negara paling terbelakang rata-rata hanya 4,4 untuk setiap
100.000 penduduk. Ironisnya, sebagian besar fasilitas kesehatan di
negara-negara berkembang terpusat di kota-kota besar yang jumlahnya
hanya 25 % dari total jumlah penduduk. Di India, contohnya, 80% dari
dokternya membuka praktek di daerah perkotaan yang hanya dihuni oleh
sekitar 20% penduduk. Kota Bolivia hanya sepertiga dari penduduknya
hidup di kota-kota, tetapi di situlah terdapat 90% fasilitas kesehatan. Di
Nairobi, ibu kota Kenya, angka perbandingan antara penduduk dengan
dokter adalah 672:1, sedangkan di daerah-daerah pedesaannya dimana
87% penduduk Kenya tinggal, angka perbandingannya jauh lebih
memprihatinkan, yakni 20.000:1.
Dalam penyediaan biaya kesehatan, 75% biaya kesehatan negaranegara berkembang dialokasikan untuk membangun rumah-rumah sakit
yang ada di kota-kota besar yang tarifnya relatif mahal.
Korban meninggal akibat penyakit AIDS di seluruh dunia
diperkirakan 6 juta jiwa, sedangkan yang terjangkit virus HIV lebih dari
30 juta. Padahal 90% dari total penduduk yang terkena virus HIV ada di
negara-negara berkembang.
Jumlah penduduk wanita yang terkena
virus HIV berjumlah hampir setengahnya dari total penduduk yang
terkena infeksi HIV. Sedangkan 1 juta anak juga diperkirakan terkena
virus HIV.
Pada tahun 1998, jumlah terbesar korban HIV/AIDS, yaitu
sebanyak 19,83 juta orang –berada di wilayah Afrika sub-Sahara, 6,35
juta berada di Asia, dan 1,28 juta berada di negara-negara Amerika Latin.
III. 4. Masalah Pendidikan
Ilustrasi atas rendahnya kualitas hidup di negara-negara
berkembang terlihat juga dalam bidang pendidikan. Di Amerika Latin
diperkirakan 60 dari 100 anak didik yang memasuki sekolah dasar putus
sekolah sebelum sempat menamatkannya. Di negara-negara Asia dan
Afrika, median anak putus sekolah berkisar 20-54%. Akan tetapi jurang
perbedaan antar negara yang berada dalam satu kawasan ternyata juga
sangat besar.
Ada sejumlah negara kawasan Afrika dan Asia yang
tingkat putus sekolahnya saja mencapai 81% dan 64%.
Pada tingkatan sekolah menengah pertama, median anak putus
sekolah mencapai 38,7% bagi negara-engara berkembang di kawasan
Afrika, dan 18% untuk negara berkembang di kawasan Latin dan Asia. Di
Eropa, angka ini hanya sekitar 11,4%.
Persentase penduduk dewasa (yakni 15 tahun ke atas) yang buta
huruf di negara-negara berkembang telah menurun dari 60% pada tahun
1960 menjadi 31 persen di tahun 1995. Namun, sehubungan dengan
demikian pesatnya pertumbuhan penduduk, jumlah absolut penduduk
dewasa yang buta huruf dalam periode yang sama justru telah meningkat
dari sekitar 150 juta jiwa menjadi kira-kira 872 juta jiwa pada tahun
1996. Tingkat buta huruf penduduk daerah pedesaan yang paling tinggi
ditemukan di daerah-daerah Asia Selatan (50%), diikuti negara-negara
Arab(43%), Afrika sub-Sahara (43%), Asia Timur (16%), dan Amerika
Latin (13%). Di Amerika Utara dan Eropa, tingkat buta huruf penduduk
dewasanya masing-masing hanya sekitar 1,0% dan 2,5%.
Tabel. Rasio Penyediaan Biaya Pendidikan Tahunan Per Siswa pada
Berbagai Tingkat Pendidikan
Biaya Relatif Pendidikan
Kelompok Negara
Menengah Terhadap Tinggi
Dasar
Dasar
Amerika Serikat, Inggris, 6,6
17,6
Terhadap
Selandia Baru,
Malaysia, Ghana, Korea 11,9
Selatan, Kenya, Uganda,
Nigeria, dan India
Sumber: George Psacharopulos, The
International Comparison, table. 8-2.
87,9
Return
to
Education:
An
Data di atas menunjukkan bahwa rasio biaya pendikan menengah
dengan pendidikan dasar sebesar 6,6 dibanding 1.
Ini artinya, biaya
pendidikan yang dihabiskan oleh seorang murid sekolah menengah
selama satu tahun di negara Amerika Serikat, bisa digunakan untuk
menyekolahkan 7 siswa SD. Rasio itu tampak timpang pada negaranegara berkembang, lebih-lebih lagi rasio biaya pendidikan sekolah tinggi
dan sekolah dasar. Biaya yang dihabiskan oleh seorang mahasiswa –di
negara berkembang—selama satu tahun, sebenarnya bisa digunakan
untuk membiayai 88 siswa sekolah dasar selama satu tahun. Data ini
juga menunjukkan, bahwa negara-negara berkembang mengeluarkan
biaya pendidikan yang lebih besar kepada segelintir mahasiswa perguruan
tinggi.
III. 5. Kesempatan Kerja: Problem Pengangguran
Negara-negara berkembang juga menghadapi masalah penyediaan
lapangan pekerjaan. Pengangguran di negara berkembang masih cukup
tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju.
Tabel Tenaga Kerja dan Pengangguran di Negara-negara Berkembang,
1960-1990 (dalam satuan ribuan).
Indikator
1960
1970
1973
1980
1990
Semua Negara Berkembang
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
Persentase
Total
Pengangguran
(terbuka
terselubung)
507416
36466
6,7
25
617244
48798
7,4
27
658000
54130
7,6
29
773110
65620
7,8
-
991600
88693
8,2
-
Afrika
Asia
Amerika Latin
31
24
18
39
26
20
38
28
25
-
-
100412
8416
7,7
119633
12831
9,6
127490
13890
9,8
149390
15973
9,8
191180
21105
9,9
340211
24792
6,8
413991
31440
7,1
441330
34420
7,2
516800
43029
7,7
660300
59485
8,3
Seluruh Afrika
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
Seluruh Asia
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
Seluruh Amerika Latin
Penyerapan
Pengangguran
Persentase pengangguran
66793
3258
4,7
83620
4527
5,1
89180
5820
6,1
106920
6618
5,8
140120
8103
5,5
Sumber: Yves Sabolo,”Employment and Unemployment, 1960-1990,
International Labor Review 112 .
Data di atas menunjukkan bahwa pengangguran di negara-negara
berkembang terus meningkat dari tahun ke tahun. Terlihat dengan jelas
bahwa pengangguran pada tahun 1960 sebanyak 36,5 juta, melonjak
menjadi 54 juta pada tahun 1970.
Jadi dalam periode ini terjadi
peningkatan pengangguran sebanyak 46%, atau rata-rata 3% per tahun.
Bila pengangguran dihubungkan dengan tingkat pendidikan akan terlihat
pada data-data berikut ini:
Tabel. Persentase Pengangguran Menurut Tingkat
Sejumlah Negara-negara Berkembang (persen).
Pendidikan
Negara
Tahun
A
B
C
D
Aljazair
1989
9,
2
2
4,
2
2
8,
9
5,
8
Tunisia
1989
1
1,
2
2
0,
4
1
7,
4
5,
2
Ghana
1988
3,
4
7,
6
1
3,
5
14
,7
Kenya
1986
1
3,
5
1
5,
6
2
2,
2
5,
4
Zimbabwe
1987
1,
6
6,
8
1
1,
6
-
Malaysia
1985
4,
7
2
2,
9
3
0,
6
3,
9
India
1989
2,
0
3,
0
9,
0
12
,0
Indonesia
1985
0,
6
1,
5
7,
5
5,
3
Sri Lanka
1981
4,
5
1
4,
1
5,
4,
2
di
Pantai
Gading
1985
1,
0
5
1
5,
2
2
1,
7
13
,7
Catatan:
A = Pengangguran di kalangan yang tidak berpendidikan
B = Pengangguran di antara lulusan sekolah dasar
C = Pengangguran di antara lulusan sekolah lanjutan
D = Pengangguran di antara lulusan universitas
Sumber : UNDP, Human Development Report, 1993, hal.38
Data di atas menunjukkan bahwa pengangguran yang berasal dari
penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi cukup tinggi. Di Indonesia
misalnya, pengangguran dari kalangan berpendidikan tinggi sebanyak 5,3
% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan sekolah
dasar.
Dari data lain juga didapatkan bahwa pengangguran yang
terbanyak berada pada usia 15-24 tahun. Di Indonesia, pada tahun 1986,
pengangguran di usia ini (15-24 tahun) sebanyak 23,4%, lebih banyak
dibandingkan usia di atas 25 tahun yang hanya 2,6%. Di Srilanka bahkan
mencapai jumlah 40,2%, Kenya 38,1%, India 19,4%, dan di Filipina
18,6%.
III. 6. Masalah Lingkungan Hidup
Kemiskinan, tingkat pendapatan rendah, serta pendidikan minim
secara tidak langsung berpengaruh terhadap sikap penduduk negara
berkembang kepada lingkungan
hidup. Dengan kata lain, masalah
lingkungan hidup yang dihadapi oleh negara-negara berkembang lebih
disebabkan karena mereka tidak memiliki pilihan lain –karena kemiskinan
mereka- untuk menjalani hidup tidak sehat.
Selama dekade 1980-an, tingkat kesuburan tanah per kapita
merosot 1,9% per tahun.
Masalah ini pada gilirannya memperparah
kelangkaan lahan subur yang kemudian memaksa penduduk miskin di
daerah pedesaan untuk mengandalkan hidupnya pada lahan-lahan
marjinal yang produktivitas dan kesuburannya sangat terbatas. Sejauh
ini diperkirakan bahwa lebih dari 60% penduduk termiskin di berbagai
negara berkembang harus mempertahankan kelangsungan hidupannya
dengan mengandalkan lahan pertanian marjinal yang sulit ditanami.
Akhirnya, hutan yang jumlahnya semakin sedikit dibabat dan diolah
menjadi lahan garapan, dan kebanyakan dari lahan itu mengalami
pengikisan kualitas dan kesuburan secara cepat sebagai akibat dari
metode-metode pertanian yang sama sekali tidak efisien.
Setiap
tahunnya, dunia kehilangan sekitar 270.000 kilometer persegi lahan
subur.
Secara keseluruhan 1,2 miliar area lahan telah kehilangan
kesuburannya. Untuk membayangkan luas area ini, bayangkan luas
wilayah Cina dan India yang dijadikan satu.
Buruknya sanitasi dan kesehatan yang dialami penduduk negara
berkembang telah menyebabkan masalah-masalah baru. Hampir 80%
dari total penyakit yang diderita oleh penduduk negara Dunia Ketiga
diakibatkan karena sanitasi air yang payah. Sembilan puluh persen
(90%) dari total kematian anak-anak yang jumlahnya mencapai 13 juta
jiwa setiap tahunnya juga disebabkan karena masalah serupa. Meskipun
begitu, jumlah penduduk yang harus hidup tanpa sanitasi dan air bersih
justru terus meningkat. Pada periode antara tahun 1970 sampai tahun
1980, jumlahnya terus bertambah 135 juta jiwa.
Di Amerika Latin, pada tahun 2030 diprediksi bahwa penyediaan air
bersih untuk penduduknya boleh dikatakan sebagai kemustahilan.
Ini
disebabkan karena ledakan pertumbuhan penduduk demikian besarnya.
Jumlah penduduk yang harus dilayani meningkat 250%, padahal untuk
sekarang saja tidak semua orang bisa menikmati layanan social tersebut.
Angka tersebut sudah membuat kita tercengang, padahal ada 1,2 miliar
penduduk di daerah-daerah pedesaan yang keperluan-keperluan
sanitasinya harus dipenuhi.
Unsur-unsur polusi atau polutan yang memenuhi udara juga akan
mengancam kesehatan penduduk negara-negara Dunia Ketiga. Polusi di
dalam rumah akibat pembakaran mengancam 400 juta hingga 700 juta
manusia yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Asap dan
percikan debu dapur diyakini telah menyebabkan kematian 4,3 juta anakanak setiap tahunnya sebagai akibat penyakit pernafasan akut.
Di daerah perkotaan, sumber polusi yang mengancam kesehatan
lebih banyak lagi. Menurut laporan WHO, 1,3 miliar manusia yang hidup
di daerah perkotaan menjalani kehidupan sehari-hari berdampingan
dengan aneka rupa polutan udara yang membahayakan.
Di masa
mendatang kondisinya diperkirakan akan semain mengerikan, karena
diprediksi pada tahun 2020 nanti jumlah pabrik di daerah perkotaan akan
meningkat 600% dari jumlah yang ada sekarang ini.
Sebagai ilustrasi sederhana betapa tidak efisiennya kehidupan di
negara-negara berkembang adalah apa yang terjadi di Lima dan Jakarta.
Keluarga-keluarga miskin di kota itu hanya bisa mengkonsumsi air 1/6
dari volume air yang dikonsumsi oleh keluarga-keluarga yang
berpenghasilan tinggi. Ironisnya, pengeluaran mereka untuk membeli air
justru tiga kali lipat lebih tinggi. Padahal, air yang mereka konsumsi
kualitasnya sangat rendah sehingga harus direbus lama. Ini tentunya
semakin memperbesar cost mereka untuk membeli bahan bakar. Selain
itu, kompor yang mereka gunakan tingkat efisiensinya rendah, sehinga
asap dan polutan yang dihasilkan juga sangat tinggi.
Jika mereka
diharuskan memasak air sesuai dengan yang disarankan pemerintah,
maka tambahan biaya untuk bahan bakar akan menghabiskan 29% dari
total pendapatan mereka. Di Jakarta, sekitar US$ 50 juta habis per tahun
hanya untuk merebus air.
III. 7. Ketergantungan Negara-negara Ketiga Terhadap Negara
Maju
Sejauh mana tingkat ketergantungan suatu negara terhadap pihak
luar, baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik, menurut Todaro,
ternyata berhubungan dengan luas wilayah, karunia sumber daya alam,
serta sejarah politik dari negara yang bersangkutan.
Menurut Todaro,
ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga terhadap negara-negara lain
cukuplah besar.
Kebanyakan negara-negara berkembang yang
berukuran kecil sangat tergantung kepada hubungan perdagangan luar
negerinya dengan negara-engara maju.
Hampir semua negara kecil
tersebut benar-benar tergantung kepada negara-negara maju (biasanya
bekas negara penjajahnya) untuk memperoleh pasokan teknologi
produksi yang sebenarnya tidak cocok dengan kondisi dasar yang ada di
negara-negara berkembang tersebut.
Inilah fakta kehancuran negara Dunia Ketiga, serta prestasi
kapitalisme dalam menciptakan kesenjangan hidup antara negara Dunia
Ketiga dengan Negara Maju. Dunia terus dirundung masalah yang tidak
pernah ada habisnya, meskipun berbagai macam solusi telah dicurahkan
untuk menghentikannya. Sayangnya, solusi itu telah gagal.
Lantas,
kepada siapa harapan itu digantungkan? Apakah kita akan berharap pada
sistem sosialisme –yang menurut penganutnya diyakini sebagai obat
mujarab bagi penyakit kapitalisme? Padahal, pada saat yang sama paham
ini telah runtuh dan terbukti juga menimbulkan masalah bagi kehidupan
manusia?
Kita pasti akan menjawab, pilihan itu jatuh kepada sistem dan
peradaban Islam.
Islam dengan sistem dan peradabannya terbukti
mampu mengantarkan manusia ke puncak kesejahteraan dan
kemakmuran. Selain itu, sistem Islam juga terbukti mampu menjawab
trend global yang cenderung untuk menyatu dan melelehkan sekat-sekat
negara bangsa (nation state).