Jonna dan Joni Pasangan Buta yang Membuk
JONNA DAN JONI:
Pasangan Buta yang Membuka Mata Banyak Orang
Ishak Salim
Anggota Komunitas Ininnawa Makassar
INI SEBUAH makan malam dengan topik perbincangan yang hangat. Bertiga kami duduk
melingkari sebuah meja makan bundar di salah satu restoran di Denpasar. Kebetulan kami
dipertemukan oleh sebuah pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil se-dunia guna mempersiapkan
masukan untuk PBB menyangkut kelanjutan MDGs yang berakhir pada 2015. Ratusan aktifis
sosial dari berbagai penjuru dunia hadir di sini. Dua diantara mereka benama Jonna Aman
Damanik dan M Joni Yulianto, yang berasal dari dua organisasi pembela orang-orang
penyandang disabilitas atau difabel.
Walau keduanya buta, aku tak melihat tongkat keduanya sejak tadi. Mungkin mereka memilih
menyimpannya di tas punggung. Tadi, sewaktu kami memutuskan mengobrol di restoran ini, aku
bangkit dan meraih lengan Joni bermaksud menuntunnya. Jonna juga berdiri. Ia memperbaiki tas
ransel di punggungnya yang lebar lalu meletakkan telapak tangan kanannya di bahu kiri Joni
yang kurus. Kamipun mulai melangkah beriringan.
Jonna Aman Damanik
Jonna dan Joni belum saling mengenal akrab. Jonna bermukim di Jakarta dan Joni di Jogjakarta.
Jonna adalah pengelola media bagi kaum difabel, Majalah DIFFA. Sementara Joni seorang
penggiat gerakan advokasi kaum difabel di Jogjakarta, melalui lembaga yang didirikannya:
SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel).
M Joni Yulianto
Kedua kawanku ini tidak menyetujui penyematan kata ‘cacat’ pada penyandang disabilitas.
Mereka lebih memilih menggunakan kata ‘difabel’, yang merupakan akronim dari frase different
abilities people atau orang dengan kemampuan yang berbeda.
Adalah Dr Mansyur Fakih (almarhum) yang mempopulerkan Istilah difabel di ranah gerakan
sosial di Indonesia. Ia seorang akademisi sekaligus aktifis gerakan sosial dan mendirikan sebuah
payung organisasi dari banyak komunitas di seluruh Indonesia, INSIST di Jogjakarta. Istilah
difabel lahir dari hasil diskusinya pada pada tahun 1996 dengan seorang penyandang tunanetra
dan pendidik dengan metode inklusi, Drs. Setia Adi Purwanta, MPd.
Dalam diskusi mereka saat itu, Mansour Fakih dan Setia Adi Purwanta menelusuri makna kata
‘cacat’, yang digunakan pemerintah, yang pemaknaannya menurut keduanya bisa dikotomik
semisal cacat dan tidak cacat. Atau dalam konteks kedua orang ini: Setia Adi Purwanta yang
‘cacat’ karena kebutaannya dan Mansour Fakih yang ‘normal’ karena ketiadaan kecacatan yang
tampak secara fisik.
Dalam diskusi itu, keduanya lalu menyepakati bahwa perbedaan di antara mereka adalah
perbedaan kemampuan, bukan ketidakmampuan atau kecacatannya. Sebagaimana Mansour
Fakih pandai membaca huruf Latin melalui kedua matanya, Setia Adi Purwanta juga pandai
membaca huruf Braille dengan rabaan jemarinya. Informasi yang dibacanya boleh jadi sama,
hanya cara mereka saja yang berbeda. Lalu lahirlah istilah diffabel yang atas usulan dari seorang
penerjemah bahasa Inggris, kata ini di-Indonesiakan menjadi ‘difabel’.
Jadi, tidak ada ciptaan Tuhan yang cacat, yang ada hanyalah perbedaan kemampuan. Kira-kira
seperti itu kesimpulan singkatnya.
Secara etimologi kalau di Indonesia, kata ‘cacat’, ‘kecacatan’, atau bahkan ‘disabilitas’ ini bisa
menjadi diskusi yang amat panjang, kata Joni. Jonna yang bekerja di dunia media massa juga
menyadari bahwa ada kesulitan untuk menjembatani pemahaman kawan-kawan di media dengan
aktifis disabilitas. Parahnya, konsep disabilitas ini didominasi oleh sudut pandang ‘kesehatan’ di
mana penyandang cacat itu selalu dimaknai sebagai orang yang sakit.
“Saya ini buta, tapi saya tidak sakit.” Kata Jonna. Kalimatnya membuatku berpikir dan lalu
membenarkannya. Ia tidak sakit walau ia buta.
Menurut Joni, terminologi kecacatan jika merujuk pada literatur di Eropa, maka ada tiga kata
yang masing-masing memiliki pengertian yang berbeda, yang sayangnya di Indonesia
terminologi ini ditunggalkan menjadi sekadar ‘cacat’ dan penderitanya disebut ‘penyandang
cacat’. Ketiga kata itu adalah impairments, disabilities, dan handicaps,dan ketiganya memiliki
hirarki makna sebagai berikut:
Impairment bermakna kehilangan atau ketiadaan salah satu anggota tubuh, baik secara psikologis
atau fisiologis secara fungsional, sejak lahir maupun karena penyakit tertentu atau karena
kecelakaan. Misalnya, seorang yang buta atau tuli.
Disability merujuk pada keterbatasan kemampuan dalam mengerjakan tugas kesehariannya.
Misalnya, si buta tak mampu menambah pengetahuan karena ketiadaan akses mempelajari huruf
braille, baik untuk menulis maupun membaca, atau menggunakan handphone atau laptop dengan
program jaws yang memberi efek suara pada setiap teks di layar handphone dan laptop. Begitu
pula si tuli yang tidak memiliki peralatan mendengarkan atau kemampuan menggunakan bahasa
isyarat sehingga tidak dapat merespon suara saat berbicara.
“Seorang yang tuli sejak lahir dengan sendirinya tidak memiliki kemampuan menerima respon
suara sehingga tidak bisa menirukan aneka bunyi dan akhirnya membuatnya bisu. Suara yang
dapat didengar telinga adalah dasar seseorang bisa berbicara,” jelas Joni dengan rinci.
Handicap berarti ketidakberuntungan seseorang—baik impairment maupun handicap—dalam
menjalankan fungsi sosial akibat tatanan sosial di mana ia berada tidak memberinya kesempatan
baik di dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Misalnya karena ia buta ia tidak bisa
menjadi seorang muadzin dan si tuli tidak bisa masuk di sekolah seni suara.
Saya orang yang awam soal disabilitas dan penjelasan Joni dan Jonna soal ini tentu merupakan
pengetahuan berharga yang amat disayangkan bila tidak menyerapnya secara seksama. Karena
pencerahan merekalah yang mendorong saya menuliskan pandangan dan pengalamanpengalaman keduanya.
Dari beberapa pengertian di atas, istilah cacat dalam regulasi negeri ini sudah mengalami
perbaikan arti. Kini kata kecacatan diganti dengan disabilitas. Sebuah kata yang maknanya tidak
lagi mengandung unsur negatif semisal abnormalitas. Kata ini—yang walaupun masih belum
mampu menyamai makna ‘difabel’ Dr. Mansour Fakih, tentu sebuah kemajuan. Kini kata
disabilitas atau frase penyandang disabilitas lebih banyak digunakan dalam forum-forum resmi
ketimbang penyandang cacat.
BEBERAPA WAKTU lalu, organisasi SIGAB mengadvokasi seorang korban perkosaan: gadis
tuna rungu yang juga menderita retardasi mental, di mana mentalnya masih seperti anak usia 9
tahun. Joni menjadi salah satu juru bicara.
“Peristiwa kekerasan yang menimpa gadis itu sungguh memilukan. Ia diperkosa oleh gurunya,
berkali-kali. Bahkan guru itu pernah melakukan perkosaan tersebut di hadapan istrinya sendiri
yang rupanya mengidap kelainan seks sehingga turut menikmati perkosaan bejat itu,” kenang
Joni.
Joni menceritakan kronologis kejadian: bagaimana sang guru membujuk korban untuk
berkunjung ke rumahnya. Ia meminta korban duduk melihat dirinya mandi dan bersenggama
dengan istrinya. Setelah itu, ia memerkosa korban dengan terlebih dulu mengancam akan
membunuh jika korban menolak.
“Saat itu ada perdebatan soal penerjemah bahasa isyarat di pengadilan. Menurut hakim,
berdasarkan KUHAP, seorang penerjemah bahasa dalam persidangan ini adalah seorang
penerjemah yang mengantongi sertifikat khusus penerjemah bahasa,” Saat mengucapkan itu
wajahnya menghadap ke wajahku, namun bola matanya yang terbuka menatap ke langit-langit.
Joni tampak serius. Aku dan Jonna mendengarkan dengan seksama.
“Pak Hakim yang terhormat,” Joni memilih angkat bicara. “Dalam kasus ini substansi
penerjemah yang dibutuhkan di pengadilan adalah orang yang bisa menjembatani komunikasi
antara korban yang tuna rungu dengan pihak pengadilan,” tukas Joni menjelaskan ucapannya
pada hakim di pengadilan. Joni menegaskan pentingnya posisi penerjemah bahasa isyarat walau
bukan seorang penerjemah bahasa sebagai dimaksud KUHAP. Jelas KUHAP tak mengakomodir
kepentingan penyandang disabilitas yang menjadi korban.
“Bahasa isyarat tak berbeda dengan bahasa Jawa atau Indonesia,” lanjut Joni. Ia lalu memberi
contoh untuk membuat Hakim meengerti.
”Sekarang kalau seandainya kami tutup mulut Anda atau karena kecelakaan sehingga Anda tidak
bisa bicara, lalu Anda mau minta minum apa yang Anda lakukan?” ia diam sejenak menanti
respon si Hakim.
“Tentu Anda akan memberi isyarat untuk minum. Nah dalam kasus itu, apakah Anda mau
dikatakan bahwa itu tidak diketahui oleh orang dalam artian orang tidak mengerti isyarat Anda?”
Joni berharap sang hakim dapat mengerti.
Joni memilih angkat bicara dalam persidangan itu karena ia amat jengkel. Soalnya, hakim
sempat berpikir bahwa perkosaan ini didasarkan rasa suka sama suka, dengan alasan karena
berlangsung beberapa kali. Padahal Joni memahami bagaimana si korban mengalami trauma
setiap ia melihat si pelaku.
Beruntung sang hakim berpikir positif dan lalu berkata, “Kami akan mengkajinya di tingkat
majelis hakim, apapun keputusan hakim nantinya tidak bisa diganggu gugat!” Sidang ditutup. Si
pelaku untuk sementara mendekam di tahanan.
Usai sidang itu, Joni memutuskan memantau perkembangan dan mulai membangun jaringan
kepedulian. Ia dan rekan-rekan di SIGAB meminta bantuan LBH dan Pusham UII.
Belakangan, hakim mengakomodir tuntutan SIGAB dengan memutuskan bahwa penerjemah
bahasa isyarat itu dianalogikan sama dengan penerjemah bahasa verbal walau tanpa sertifikat.
Joni merasa lega dengan keputusan itu. tapi ia belum puas. Ia dan kawan-kawannya berharap
kelak ada perubahan pada diktum KUHAP agar lebih berpihak kepada penyandang disbilitas. Ia
lalu meraba-raba permukaan meja dan berusaha menemukan cangkir kopinya. Sekejap saja ia
sudah meraba dinding cangkir, meraih gagangnya dan meminumnya seteguk.
Joni melanjutkan ceritanya.
“Tiga hari sebelum masa tahanan terdakwa habis atau sebelum surat P21 keluar yang
memungkinkan si pelaku dibebaskan tanpa syarat, kami membuat surat ke kejaksaan dan
menembuskan ke Bupati, DPRD, Komnas Perempuan, Polres setempat dan Komnas Anak. Lalu
kami beraudiensi dengan keseluruhan pimpinan lembaga ini satu persatu dalam sehari,” urai
Joni.
“Begitu audiens dengan bupati, bupati marah. Ia menelepon Kepala Dinas Pendidikan,
menyayangkan kenapa ada kasus memalukan seperti ini,” lanjut Joni.
“Bahkan ketika kami ke pihak kejaksaan, rupanya jaksa juga sudah menerima telepon dari
bupati.” Saya dan Jonna terpana dengan keseriusan Joni dkk berupayan menemui pihak-pihak
terkait.
Singkat cerita, Joni dan kawan-kawannya berhasil memenangkan kasus ini dan si pelaku serta
istrinya dihukum.
Setelah kami sempat terdiam sekian detik, Joni berujar lemah, “Kasus seperti ini bukan yang
pertama, ada banyak kasus lain yang tidak terungkapkan. Di sekolah-sekolah SLB, terutama
mereka yang menderita mental atau multiple impairment atau handicap, orang tua murid bahkan
memberikan pil KB setiap hari untuk menghindari ‘kejadian di mana anak gadis mereka
dijadikan objek seksual,” jelas Joni. Ia menyadari bahwa tindakan seperti ini tidak berarti si
korban terbebas dari tindakan pencabulan. Tindakan ini dilakukan hanyalah karena orang tua
tidak bisa mengawasi setiap hari dan di sisi lain anak juga tidak bisa atau tak tahu bagaimana
membela diri. Joni menyampaikan kabar mengenaskan ini dengan pelan membuatku
menajamkan pendengaran dan diam-diam mengutuk keadaan yang tidak adil ini.
“Dari pada menjadi aib keluarga,” Joni menutup kalimatnya.
Aku manarik nafas dalam-dalam dan membayangkan sebuah pergerakan massif mesti dibangun
untuk melawan kasus kekerasan yang terjadi pada bangsa ini.
Jonna memberi contoh lain soal eksploitasi seksual para penyandang disabilitas.
“Tahun lalu November 2012, seorang tunanetra ganteng dan masih muda meninggal. Profesinya
pemijat. Meninggalnya aneh. Sepertinya ia menderita HIV AIDS. Ternyata setelah ditelusuri
pemijat ini rupanya menjadi objek seksual pelanggannya. Beberapa pelanggannya yang
perempuan usai dipijat mengajaknya making love.
“Ayolah, toh gak ada yang melihat,” Jonna membayangkan ucapan si pelanggan. Ia bercerita
dengan serius dan menunjukkan kepada saya bahwa ia tak sedang bergurau soal cerita seks. Aku
juga, sama seriusnya dalam mendengarkan.
Lagi-lagi Jonna menyampaikan suatu kepiluan.
“Ini mengerikan, gila! Mereka inikan punya keterbatasan mental, tetapi bukan berarti tidak
punya naluri loh. Dua minggu lalu saya ke Wisma Tuna Ganda di Jakarta. Pengasuhnya sampai
memisahkan yang laki-laki dengan perempuan. Pasalnya, kalau naluri itu datang, misalnya yang
perempuan, maka dia seperti berperilaku seperti binatang, they want sex! Tapi Mereka tidak tahu
bagaimana bersikap atas hasrat itu, sehingga tidak bisa mengontrol diri.” Sejenak kami terdiam
sebelum Joni berkomentar.
“Saya baru 5 bulan mendalami kasus seperti ini, dari situ saya merasa kok sepertinya kita belum
berbuat apa-apa yah. Kami teriak-teriak soal anti diskriminasi, kesetaraan dan ternyata kejadiankejadian memilukan terus terjadi di depan kita sendiri!” Joni meninggikan suaranya. Ia seperti
sedang mencaci banyak hal, tetapi sepertinya cacian itu sedang benar-benar ia tujukan bagi
dirinya sendiri, bagi orang-orang di sekelilingnya yang belum bekerja banyak menolong sekian
banyak korban.
Jonna, Joni, dan banyak aktifis penyandang disabilitas menyadari keterbatasan masing-masing.
Joni pernah berdiskusi dengan kawan-kawannya yang banyak membantu menangani kasus
kekerasan dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Jogjakarta. Mereka sudah
mendampingi kasus-kasus serupa ini sejak 2003. Mereka bilang perlu energi ekstra dalam
mendampingi kasus-kasus seperti ini, akibatnya karena keterbatasan mereka hanya dapat
mendampingi kasus-kasus khusus yang bisa mereka dampingi di mana terkadang berdasarkan
desakan dari luar dan membiarkan banyak kasus lainnya lepas begitu saja tak mampu ditangani.
Masih ada ada sekira 90 persen kasus-kasus serupa yang terjadi tidak dapat mereka ditangani.
Tiba-tiba aku teringat sepotong puisi Chairil Anwar, “Kerja belum selesai, belum apa-apa” dan
membayangkan jalan yang terbentang amat panjang dan menempuhnya akan menghadirkan
kelelahan-kelelahan yang tak berkesudahan.
PERBINCANGAN lalu beralih ke soal respon kaum agamawan soal disabilitas ini.
“Memang, sekian puluh tahun sejak negeri ini lepas dari penjajahan asing, orang-orang masih
salah memaknai perbedaan fisik seseorang sebagai perbedaan yang melulu berarti kekurangan
atau ketidaksempurnaan,” kata Joni.
Ia memberi satu contoh. Suatu hari ia berdikusi dengan seorang akademisi dari Universitas
Muhammadiyah dan UIN Kalijaga di Jogjakarta. Berdasarkan diskusi mereka, rupanya terdapat
sejumlah agamawan yang berpandangan negatif terhadap penyandang disabilitas. Misalnya
dalam urusan menjadi imam dalam shalat. Penafsiran bahwa seorang imam shalat adalah seorang
yang sempurna secara fisik mendiskreditkan mereka yang menyandang disabilitas. Akibatnya
sulit menerima di mesjid-mesjid di Indonesia seorang yang menyandang disabilitas untuk
menjadi imam shalat karena berdampak pada ketidaksempurnaan shalat.
Demikian pula dalam konteks adzan. Menurut Joni dengan mengutip penafsiran agama yang tak
sensitif pada konsep disabilitas, seorang tunanetra dianggap tak bisa menjadi seorang modin.
Alasannya, seorang pelantun adzan haruslah orang yang bisa melihat langsung fenomena alam
dengan memerhatikan peralihan waktu. Akibatnya, seorang buta yang tidak mungkin melihat
perubahan waktu, baik melalui mesin seperti jam tangan maupun alamiah tak diperbolehkan
menjadi modin. Padahal, menurut Joni, teknologi manusia berkembang dan fiqh atau hukum
islam dengan demikian seharunya juga berkembang. Sehingga, dalam konteks disabilitas,
kemampuan yang berbeda seorang tunanetra dalam melihat waktu seharusnya memungkinkan
mereka menjadi seorang modin.
Memang, kini bermunculan aneka teknologi yang memungkinkan para penyandang disabilitas
melakukan pekerjaan dengan cara yang berbeda dengan para non-penyandang disabilitas. Joni
misalnya, Ia memiliki sebuah talepon genggam bersuara karena program Jaws di dalamnya.
Dengan perangkat ini setiap teks akan dialihkan menjadi suara, sehingga Joni bisa
berkomunikasi dengan mudah baik melalui sms, membaca dan membalas email, menulis artikel
di blog pribadinya, bahkan sekadar updating status di akun twitternya untuk menyampaikan
pesan kepada istrinya [yang tak buta] di mana ia berada dan apa yang sedang dilakukannya saat
ia dalam perjalanan di suatu tempat.
Untuk soal HP, Jonna sepertinya mengenyampingkan fasilitas canggih seperti yang dikenakan
Joni. Ia lebih kerap berkata kepada saya, “Ishak, pinjam mata elo dong,’ jika sebuah pesan masuk
di cell phone-nya yang sudah cukup ketinggalan jaman. Maksudnya, ia meminta kepadaku
membacakan pesan itu. Lalu setelah itu ia juga akan meminta aku membalasnya. Bagiku, Ia
sedang membangun relasi yang lebih dekat antara aku yang tak buta dengan dirinya yang buta.
Dengan cara itu ia sedang mengajarkan kepadaku bagaimana relasi sosial yang baik bisa
terbangun antara orang-orang yang menyandang disabilitas maupun yang tidak.
Tapi lebih dari soal relasi itu, ia punya mimpi yang lebih penting. Ia sedang memikirkan
bagaimana agar kelak lahir berbagai perangkat teknologi yang memudahkan kaum difabel
berkomunikasi dengan biaya serendah-rendahnya.
Dari kaum agamawan yang berpikiran negatif perbincangan kami lalu beralih ke kaum musisi.
Rupanya hal yang sama juga diidap oleh sebagian musisi. Lagi-lagi Joni memaparkan satu
contoh. Ia menunjuk salah satu sekolah seni, Institut Seni Indonesia.
Joni memberi contoh seorang kawannya yang ditolak belajar di ISI. Namanya Isaac Matheus dari
Papua—kini bernama Muhammad Ishak setelah memeluk Islam.
Karena tak diterima untuk belajar seni musik, Joni lalu memperkenalkannya kepada Thomas,
seorang guru gitar di sekolah seni Presendo. Seorang guru yang pernah berujar bahwa ISI itu
adalah sekolah seni yang orang-orangnya tidak tahu seni. Si Isaac lalu digembleng oleh Thomas
dan kini menjadi mahir memainkan alat-alat musik.
Tak lama berselang, Isaac lalu pulang kampung dan mendirikan sanggar seni di Papua.
TIBA-TIBA dipikiranku melintas bayangan bagaimana seorang penyandang disabilitas hidup di
sawah atau di lahan-lahan perkebunan. Joni tiba-tiba teringat seorang kawannya di Kulon Progo.
Ia seorang petani kebun kelapa yang buta. Aku tak menanyakan berapa luas kebunnya. Katanya,
suatu hari Ia dan beberapa rekannya datang mengunjungi kawannya yang buta itu di kebunnya.
“Dia memiliki keterampilan yang unik. Sebagaimana layaknya seorang petani kelapa, ia juga
memiliki keterampilan mengetahui mana pohon yang memiliki buah kelapa yang muda atau tua,
dan mana di antara buah-buah kelapa dalam satu pohon yang muda sehingga enak diminum dan
dimakan daging buahnya.” Ujar Joni sambil menahan senyumnya.
“Jon, kau mau kelapa muda? tanya kawanku itu. aku bilang, mau!” kenang Joni.
Petani itu lalu bangkit dan mulai memegang batang pohon kelapa, merabanya, dan lalu
menepuk-nepuknya. Ia berupaya mengetahui ada tidaknya kelapa muda pada pohon itu melalui
kekasaran kulit pohon, kelembabannya, dan suara tepukannya pada kulit pohon. Menyadari
pohon yang sedang diperiksanya tidak ada kelapa muda ia lalu memeriksa pohon yang lain yang
sudah ia hapal di mana letak-letak tumbuhnya. Setelah memastikan di pohon ini ada kelapa
mudanya ia lalu mulai memanjat dengan cekatan.
Menurut Joni, sang petani buta ini melakukan hal yang sama terhadap buah: merabanya dan
menepuknya. Lalu setelah menemukan kelapa muda itu, iapun memutar buahnya sampai
tangkainya yang berserabut terputus dan lalu menjatuhkannya ke tanah. Setelahnya ia turun dan
mulai membelah buah kelapa itu dengan sebilah parang dan menyerahkan ke Joni.
“Wah benar, enak sekali rasanya,” kenang Joni sambil tertawa-tawa. Ia lalu meminta kawannya
mengajarkannya. Kawannya menuntunnya dengan beberapa petunjuk. Setelah mengetahui urutan
langkahnya, Joni mulai mencoba pengetahuan barunya. Hasilnya, Joni tinggal sekadar
memegang, meraba, dan menepuknya.
“Nggak ada bedanya, sama semua!” Tawanya lepas. Jonna juga tertawa lepas. Aku tentu saja
turut melepaskan tawa. Aku lalu menyapu pandang restoran itu. khawatir kalau-kalau tawa kami
menggagu pengunjung. Rupanya mereka juga sibuk dengan cerita masing-masing.
Joni meminum kopinya setelah tawanya reda. Ia lalu mengatakan bahwa keterampilanketerampilan seperti ini tak bisa dengan mudah mengajarkannya kepada penyandang disabilitas
lainnya. Ia mengatakan bahwa kawan petaninya ini mulai menyadari kemampuannya sejak ia
beranjak remaja. Ia memang hidup sebagai petani kelapa dan pengetahuannya akan kelapa
berkembang sesuai dengan caranya memahami sesuatu.
Jonna punya cerita lain. Seorang tunanetra yang pandai memperbaiki pipa PDAM yang bocor.
Peralatannya hanya sebetang besi pengetuk setinggi tubuhnya. Ia bekerja dengan cara yang
serupa dengan petani kelapa itu mendeteksi buah kelapa yang muda. Jika ada pipa bocor, maka ia
akan mengetukkan besinya ke pipa air. Menurut Jonna, dalam radius 2 kilometer panjang pipa ia
bisa tahu di mana letak bocornya. Aku menggeleng-geleng takjub.
“Kini ia bekerja sebagai pegawai PDAM,” kata Jonna.
MALAM MULAI larut. Satu persatu meja ditinggalkan pengunjungnya. Tinggal satu meja yang
orang-orangnya masih tinggal mengobrol, kami bertiga.
Lalu perbincangan kami mengarah ke tipologi gerakan pembelaan kaum difabel. Ketiga orang ini
berjuang di tiga tempat yang berbeda sejak lama dan kini mulai tumbuh sebagai aktifis difabel
yang tak bisa disepelekan.
Menurut Joni, pusat gerakan disabilitas bisa dikatakan berpusat di Jogjakarta. Tipologinya sama
dengan gerakan sosial yang digerakkan oleh para non penyandang disabilitas. Perbedaannya
hanya pada skala. Skala para penggerak sosial kaum penyandang disabilitas ini sedikit sehingga
jika kita memasuki ruang mereka akan dengan mudah memetakannya. Kesan bahwa para
penggerak ini tidak kompak dengan mudah terlihat. Joni tidak menyalahkan pembacaan ini
karena hal yang sama sesungguhnya terlihat juga pada gerakan sosial lain oleh para non
penyandang disabilitas.
“Di Jogjakarta gerakan kaum penyandang disabilitas di Jogjakarta lebih berwarna-warni, ujarnya
datar. Menurutnya, Ada beberapa hal yang menyebabkannya seperti aspek ideologi dan corak
pendonornya. Tapi Jonna punya pandangan lain. Menurutnya budayalah yang menjadi sebab
mengapa tipologi gerakan kaum penyandang disabilitas berbeda antara satu dengan lainnya.
Joni menyinggung sebuah buku berjudul ‘disability in Java’.
“Penulisnya seorang etnolog asal Belanda. Ia menulis sejarah baseline tentang bagaimana
rehabilitasi medis diperkenalkan di Indonesia sebagai bagian dari konsep rehabilitasi sosial untuk
kaum difabel. Itu mengadopsi dari perkembangan di Belanda yang saat itu masih menangani
kaum difabel secara eksklusif, segregatif, dan rehabilitatif. Berdasarkan cara pandang seperti itu,
Pemerintah Belanda lalu membangun panti-panti di Indonesia,” Aku menikmati cerita Joni dan
lalu menyalakan sebatang kretek lagi. Jonna demikian pula. Baru saja ia memesan sebungkus
kretek tak berfilter kepada seorang pelayan. Ia memberi isyarat kepadaku meminjam korek.
Korek yang berwarna merah dengan gas cair yang masih penuh kuserahkan. Ia memantiknya
dengan cekatan.
“Di Bandung mereka membangun Panti Tunanetra, di Solo mereka membangun Panti
Tunadaksa, di Wonosobo berdiri Panti Tunarungu. Cara pandang inilah yang kemudian diadopsi
oleh pemerintah Indonesia dengan sistem rehab di bawah departemen sosial melalui bentuk
santunan serupa bantuan sosial,” Joni dengan lancar menceritakannya.
“Model penanganan kaum difabel inilah yang kemudian menimbulkan banyak kekecewaan dan
ketidakpuasan dari segelintir kaum difabel kemudian melahirkan berbagai organisasi difabel
yang mewadahi perjuangan memperbaiki sistem penanganan kaum difabel,” diam-dia aku
mengagumi pengetahuan Joni soal ini.
“Apakah kesadaran ini muncul akibat dari bacaan-bacaan kritis segelintir orang ini?” tanyaku
kemudian.
“Tidak, justru bisa dikatakan bahwa kaum difabel miskin dari bacaan-bacaan kritis. Perlawanan
kaum difabel murni muncul akibat ketidakpuasan dari kebijakan pemerintah. Dari kekecewaan
ini mereka mengorganisir diri dan lahirlah beberapa organisasi massa sesuai mandatnya masingmasing,” kata Joni.
Di era 80-an, Pemerintah mulai mengikuti pandangan dunia yang mengaitkan antara aspek
disabilitas dengan HAM. Pemerintah membuat organisasi payung bagi kaum difabel yang
bernama PPCI yang sayangnya fungsinya masih tetap karikatif dan rehabilitatif dan sekadar
menjadikan PPCI sebagai alat legitimasi pemerintah untuk menggambarkan bahwa pemerintah
seolah-olah peduli pada kaum disabilitas,” saya dan Jonna menyimak. Tapi saya tak yakin kalau
Jonna tak tahu penjelasan Joni seperti saya yang buta akan pengetahuan soal ini.
“Lalu organisasi ini menjadi mandul karena berada dalam kontrol pemerintah. Nanti tahun 1990an mulai muncul kelompok-kelompok kecil yang tidak memercayai organisasi-organisasi seperti
panti asuhan, organisasi payung, SLB dan lainnya. Mereka lalu mulai membentuk kelompokkelompok kecil dan mulai mendiskusikannya secara kritis,” sambung Joni yang sudah
menyalakan sebatang kretek berikutnya.
Aku memerhatikan Jonna. Menunggu responnya. Tapi sepertinya ia masih berharap Joni
bercerita lagi.
“Sewaktu saya menyusun tesis di Leed University saya mencari-cari buku ‘disability in java’ ini
di perpustakaan kampus. Saya tak menemukannya. Nanti setelah minta tolong kepada Slamet
Tohari untuk mencarikannya barulah saya tahu kalau buku ini ada di Leiden University,” kata
Joni.
Tiba-tiba Jonna tersentak.
“Oh jadi elu yang cari buku itu Jon, baru gue tahu, rek!” Jonna terbahak-bahak menyadari bahwa
sudah lama ia mencari tahu siapa orang yang mencari-cari buku ini. Ia sepertinya memiliki
kedekatan dengan Slamet Tohari dan mungkin Amet—panggilan akrabnya—pernah
menceritakan kepada Jonna bahwa ada seorang mahasiswa yang sedang mencari-cari buku
penting ini. Ia masih tersenyum-senyum. Joni juga tertawa menyadari keterkaitan mereka satu
dengan lainnya.
Tesis Joni mengenai ‘Disability Movement in Indonesia’ akhirnya selesai dan dia meraih
gelarnya di jurusan HAM dan disability. Menurutnya, Amazon sudah menerbitkannya.
Belakangan aku mengecek harganya, 79 dollar!
Sayangnya buku ini belum ia terjemahkan. Joni punya rencana menerjemahkannya dan
memecahnya menjadi tulisan-tulisan pendek lalu mempublikasikannya di blog pribadinya.
“Rencana ini belum terwujud sampai sekarang,” Ia berujar sambil menjentikkan batang
kreteknya di asbak dengan cara berbeda. Saya memerhatikan detail geraknya. Dengan jemari
kirinya ia meraba meja dan meraih asbak lalu mendekatkan ujung batang kretek yang menyala
itu di bibir asbak. Jonna asyik dengan kretek tanpa filternya.
Di atas meja, sebuah piring dan sepasang garpu-sendok tertelungkup di atasnya. Nyaris tak ada
makanan tersisa di bekas piring makan Jonna. Ada tiga gelas berisi kopi masing-masing
tergeletak di depan kami dan sebuah poci keramik persis di tengah meja. Hanya ada dua asbak
yang berada di dekat jangkauan Jonna dan Joni. Aku memilih salah satunya setiap hendak
menjentikkan abu kretekku.
Malam sudah larut. Rasa hangat saat kami duduk di restoran terbuka ini kini berubah dingin.
Setelah membayar pada seorang pelayan, kami lalu bangkit. Aku menggandeng lengan Joni dan
Jonna menyentuh bahu kiri. Kami lalu menuju kamar Jonna dan kemudian ke kamar Joni. Betapa
kedua orang ini membuka mataku yang selama ini buta soal disabilitas[].
Makassar, 9 Mei 2013
Pasangan Buta yang Membuka Mata Banyak Orang
Ishak Salim
Anggota Komunitas Ininnawa Makassar
INI SEBUAH makan malam dengan topik perbincangan yang hangat. Bertiga kami duduk
melingkari sebuah meja makan bundar di salah satu restoran di Denpasar. Kebetulan kami
dipertemukan oleh sebuah pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil se-dunia guna mempersiapkan
masukan untuk PBB menyangkut kelanjutan MDGs yang berakhir pada 2015. Ratusan aktifis
sosial dari berbagai penjuru dunia hadir di sini. Dua diantara mereka benama Jonna Aman
Damanik dan M Joni Yulianto, yang berasal dari dua organisasi pembela orang-orang
penyandang disabilitas atau difabel.
Walau keduanya buta, aku tak melihat tongkat keduanya sejak tadi. Mungkin mereka memilih
menyimpannya di tas punggung. Tadi, sewaktu kami memutuskan mengobrol di restoran ini, aku
bangkit dan meraih lengan Joni bermaksud menuntunnya. Jonna juga berdiri. Ia memperbaiki tas
ransel di punggungnya yang lebar lalu meletakkan telapak tangan kanannya di bahu kiri Joni
yang kurus. Kamipun mulai melangkah beriringan.
Jonna Aman Damanik
Jonna dan Joni belum saling mengenal akrab. Jonna bermukim di Jakarta dan Joni di Jogjakarta.
Jonna adalah pengelola media bagi kaum difabel, Majalah DIFFA. Sementara Joni seorang
penggiat gerakan advokasi kaum difabel di Jogjakarta, melalui lembaga yang didirikannya:
SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel).
M Joni Yulianto
Kedua kawanku ini tidak menyetujui penyematan kata ‘cacat’ pada penyandang disabilitas.
Mereka lebih memilih menggunakan kata ‘difabel’, yang merupakan akronim dari frase different
abilities people atau orang dengan kemampuan yang berbeda.
Adalah Dr Mansyur Fakih (almarhum) yang mempopulerkan Istilah difabel di ranah gerakan
sosial di Indonesia. Ia seorang akademisi sekaligus aktifis gerakan sosial dan mendirikan sebuah
payung organisasi dari banyak komunitas di seluruh Indonesia, INSIST di Jogjakarta. Istilah
difabel lahir dari hasil diskusinya pada pada tahun 1996 dengan seorang penyandang tunanetra
dan pendidik dengan metode inklusi, Drs. Setia Adi Purwanta, MPd.
Dalam diskusi mereka saat itu, Mansour Fakih dan Setia Adi Purwanta menelusuri makna kata
‘cacat’, yang digunakan pemerintah, yang pemaknaannya menurut keduanya bisa dikotomik
semisal cacat dan tidak cacat. Atau dalam konteks kedua orang ini: Setia Adi Purwanta yang
‘cacat’ karena kebutaannya dan Mansour Fakih yang ‘normal’ karena ketiadaan kecacatan yang
tampak secara fisik.
Dalam diskusi itu, keduanya lalu menyepakati bahwa perbedaan di antara mereka adalah
perbedaan kemampuan, bukan ketidakmampuan atau kecacatannya. Sebagaimana Mansour
Fakih pandai membaca huruf Latin melalui kedua matanya, Setia Adi Purwanta juga pandai
membaca huruf Braille dengan rabaan jemarinya. Informasi yang dibacanya boleh jadi sama,
hanya cara mereka saja yang berbeda. Lalu lahirlah istilah diffabel yang atas usulan dari seorang
penerjemah bahasa Inggris, kata ini di-Indonesiakan menjadi ‘difabel’.
Jadi, tidak ada ciptaan Tuhan yang cacat, yang ada hanyalah perbedaan kemampuan. Kira-kira
seperti itu kesimpulan singkatnya.
Secara etimologi kalau di Indonesia, kata ‘cacat’, ‘kecacatan’, atau bahkan ‘disabilitas’ ini bisa
menjadi diskusi yang amat panjang, kata Joni. Jonna yang bekerja di dunia media massa juga
menyadari bahwa ada kesulitan untuk menjembatani pemahaman kawan-kawan di media dengan
aktifis disabilitas. Parahnya, konsep disabilitas ini didominasi oleh sudut pandang ‘kesehatan’ di
mana penyandang cacat itu selalu dimaknai sebagai orang yang sakit.
“Saya ini buta, tapi saya tidak sakit.” Kata Jonna. Kalimatnya membuatku berpikir dan lalu
membenarkannya. Ia tidak sakit walau ia buta.
Menurut Joni, terminologi kecacatan jika merujuk pada literatur di Eropa, maka ada tiga kata
yang masing-masing memiliki pengertian yang berbeda, yang sayangnya di Indonesia
terminologi ini ditunggalkan menjadi sekadar ‘cacat’ dan penderitanya disebut ‘penyandang
cacat’. Ketiga kata itu adalah impairments, disabilities, dan handicaps,dan ketiganya memiliki
hirarki makna sebagai berikut:
Impairment bermakna kehilangan atau ketiadaan salah satu anggota tubuh, baik secara psikologis
atau fisiologis secara fungsional, sejak lahir maupun karena penyakit tertentu atau karena
kecelakaan. Misalnya, seorang yang buta atau tuli.
Disability merujuk pada keterbatasan kemampuan dalam mengerjakan tugas kesehariannya.
Misalnya, si buta tak mampu menambah pengetahuan karena ketiadaan akses mempelajari huruf
braille, baik untuk menulis maupun membaca, atau menggunakan handphone atau laptop dengan
program jaws yang memberi efek suara pada setiap teks di layar handphone dan laptop. Begitu
pula si tuli yang tidak memiliki peralatan mendengarkan atau kemampuan menggunakan bahasa
isyarat sehingga tidak dapat merespon suara saat berbicara.
“Seorang yang tuli sejak lahir dengan sendirinya tidak memiliki kemampuan menerima respon
suara sehingga tidak bisa menirukan aneka bunyi dan akhirnya membuatnya bisu. Suara yang
dapat didengar telinga adalah dasar seseorang bisa berbicara,” jelas Joni dengan rinci.
Handicap berarti ketidakberuntungan seseorang—baik impairment maupun handicap—dalam
menjalankan fungsi sosial akibat tatanan sosial di mana ia berada tidak memberinya kesempatan
baik di dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Misalnya karena ia buta ia tidak bisa
menjadi seorang muadzin dan si tuli tidak bisa masuk di sekolah seni suara.
Saya orang yang awam soal disabilitas dan penjelasan Joni dan Jonna soal ini tentu merupakan
pengetahuan berharga yang amat disayangkan bila tidak menyerapnya secara seksama. Karena
pencerahan merekalah yang mendorong saya menuliskan pandangan dan pengalamanpengalaman keduanya.
Dari beberapa pengertian di atas, istilah cacat dalam regulasi negeri ini sudah mengalami
perbaikan arti. Kini kata kecacatan diganti dengan disabilitas. Sebuah kata yang maknanya tidak
lagi mengandung unsur negatif semisal abnormalitas. Kata ini—yang walaupun masih belum
mampu menyamai makna ‘difabel’ Dr. Mansour Fakih, tentu sebuah kemajuan. Kini kata
disabilitas atau frase penyandang disabilitas lebih banyak digunakan dalam forum-forum resmi
ketimbang penyandang cacat.
BEBERAPA WAKTU lalu, organisasi SIGAB mengadvokasi seorang korban perkosaan: gadis
tuna rungu yang juga menderita retardasi mental, di mana mentalnya masih seperti anak usia 9
tahun. Joni menjadi salah satu juru bicara.
“Peristiwa kekerasan yang menimpa gadis itu sungguh memilukan. Ia diperkosa oleh gurunya,
berkali-kali. Bahkan guru itu pernah melakukan perkosaan tersebut di hadapan istrinya sendiri
yang rupanya mengidap kelainan seks sehingga turut menikmati perkosaan bejat itu,” kenang
Joni.
Joni menceritakan kronologis kejadian: bagaimana sang guru membujuk korban untuk
berkunjung ke rumahnya. Ia meminta korban duduk melihat dirinya mandi dan bersenggama
dengan istrinya. Setelah itu, ia memerkosa korban dengan terlebih dulu mengancam akan
membunuh jika korban menolak.
“Saat itu ada perdebatan soal penerjemah bahasa isyarat di pengadilan. Menurut hakim,
berdasarkan KUHAP, seorang penerjemah bahasa dalam persidangan ini adalah seorang
penerjemah yang mengantongi sertifikat khusus penerjemah bahasa,” Saat mengucapkan itu
wajahnya menghadap ke wajahku, namun bola matanya yang terbuka menatap ke langit-langit.
Joni tampak serius. Aku dan Jonna mendengarkan dengan seksama.
“Pak Hakim yang terhormat,” Joni memilih angkat bicara. “Dalam kasus ini substansi
penerjemah yang dibutuhkan di pengadilan adalah orang yang bisa menjembatani komunikasi
antara korban yang tuna rungu dengan pihak pengadilan,” tukas Joni menjelaskan ucapannya
pada hakim di pengadilan. Joni menegaskan pentingnya posisi penerjemah bahasa isyarat walau
bukan seorang penerjemah bahasa sebagai dimaksud KUHAP. Jelas KUHAP tak mengakomodir
kepentingan penyandang disabilitas yang menjadi korban.
“Bahasa isyarat tak berbeda dengan bahasa Jawa atau Indonesia,” lanjut Joni. Ia lalu memberi
contoh untuk membuat Hakim meengerti.
”Sekarang kalau seandainya kami tutup mulut Anda atau karena kecelakaan sehingga Anda tidak
bisa bicara, lalu Anda mau minta minum apa yang Anda lakukan?” ia diam sejenak menanti
respon si Hakim.
“Tentu Anda akan memberi isyarat untuk minum. Nah dalam kasus itu, apakah Anda mau
dikatakan bahwa itu tidak diketahui oleh orang dalam artian orang tidak mengerti isyarat Anda?”
Joni berharap sang hakim dapat mengerti.
Joni memilih angkat bicara dalam persidangan itu karena ia amat jengkel. Soalnya, hakim
sempat berpikir bahwa perkosaan ini didasarkan rasa suka sama suka, dengan alasan karena
berlangsung beberapa kali. Padahal Joni memahami bagaimana si korban mengalami trauma
setiap ia melihat si pelaku.
Beruntung sang hakim berpikir positif dan lalu berkata, “Kami akan mengkajinya di tingkat
majelis hakim, apapun keputusan hakim nantinya tidak bisa diganggu gugat!” Sidang ditutup. Si
pelaku untuk sementara mendekam di tahanan.
Usai sidang itu, Joni memutuskan memantau perkembangan dan mulai membangun jaringan
kepedulian. Ia dan rekan-rekan di SIGAB meminta bantuan LBH dan Pusham UII.
Belakangan, hakim mengakomodir tuntutan SIGAB dengan memutuskan bahwa penerjemah
bahasa isyarat itu dianalogikan sama dengan penerjemah bahasa verbal walau tanpa sertifikat.
Joni merasa lega dengan keputusan itu. tapi ia belum puas. Ia dan kawan-kawannya berharap
kelak ada perubahan pada diktum KUHAP agar lebih berpihak kepada penyandang disbilitas. Ia
lalu meraba-raba permukaan meja dan berusaha menemukan cangkir kopinya. Sekejap saja ia
sudah meraba dinding cangkir, meraih gagangnya dan meminumnya seteguk.
Joni melanjutkan ceritanya.
“Tiga hari sebelum masa tahanan terdakwa habis atau sebelum surat P21 keluar yang
memungkinkan si pelaku dibebaskan tanpa syarat, kami membuat surat ke kejaksaan dan
menembuskan ke Bupati, DPRD, Komnas Perempuan, Polres setempat dan Komnas Anak. Lalu
kami beraudiensi dengan keseluruhan pimpinan lembaga ini satu persatu dalam sehari,” urai
Joni.
“Begitu audiens dengan bupati, bupati marah. Ia menelepon Kepala Dinas Pendidikan,
menyayangkan kenapa ada kasus memalukan seperti ini,” lanjut Joni.
“Bahkan ketika kami ke pihak kejaksaan, rupanya jaksa juga sudah menerima telepon dari
bupati.” Saya dan Jonna terpana dengan keseriusan Joni dkk berupayan menemui pihak-pihak
terkait.
Singkat cerita, Joni dan kawan-kawannya berhasil memenangkan kasus ini dan si pelaku serta
istrinya dihukum.
Setelah kami sempat terdiam sekian detik, Joni berujar lemah, “Kasus seperti ini bukan yang
pertama, ada banyak kasus lain yang tidak terungkapkan. Di sekolah-sekolah SLB, terutama
mereka yang menderita mental atau multiple impairment atau handicap, orang tua murid bahkan
memberikan pil KB setiap hari untuk menghindari ‘kejadian di mana anak gadis mereka
dijadikan objek seksual,” jelas Joni. Ia menyadari bahwa tindakan seperti ini tidak berarti si
korban terbebas dari tindakan pencabulan. Tindakan ini dilakukan hanyalah karena orang tua
tidak bisa mengawasi setiap hari dan di sisi lain anak juga tidak bisa atau tak tahu bagaimana
membela diri. Joni menyampaikan kabar mengenaskan ini dengan pelan membuatku
menajamkan pendengaran dan diam-diam mengutuk keadaan yang tidak adil ini.
“Dari pada menjadi aib keluarga,” Joni menutup kalimatnya.
Aku manarik nafas dalam-dalam dan membayangkan sebuah pergerakan massif mesti dibangun
untuk melawan kasus kekerasan yang terjadi pada bangsa ini.
Jonna memberi contoh lain soal eksploitasi seksual para penyandang disabilitas.
“Tahun lalu November 2012, seorang tunanetra ganteng dan masih muda meninggal. Profesinya
pemijat. Meninggalnya aneh. Sepertinya ia menderita HIV AIDS. Ternyata setelah ditelusuri
pemijat ini rupanya menjadi objek seksual pelanggannya. Beberapa pelanggannya yang
perempuan usai dipijat mengajaknya making love.
“Ayolah, toh gak ada yang melihat,” Jonna membayangkan ucapan si pelanggan. Ia bercerita
dengan serius dan menunjukkan kepada saya bahwa ia tak sedang bergurau soal cerita seks. Aku
juga, sama seriusnya dalam mendengarkan.
Lagi-lagi Jonna menyampaikan suatu kepiluan.
“Ini mengerikan, gila! Mereka inikan punya keterbatasan mental, tetapi bukan berarti tidak
punya naluri loh. Dua minggu lalu saya ke Wisma Tuna Ganda di Jakarta. Pengasuhnya sampai
memisahkan yang laki-laki dengan perempuan. Pasalnya, kalau naluri itu datang, misalnya yang
perempuan, maka dia seperti berperilaku seperti binatang, they want sex! Tapi Mereka tidak tahu
bagaimana bersikap atas hasrat itu, sehingga tidak bisa mengontrol diri.” Sejenak kami terdiam
sebelum Joni berkomentar.
“Saya baru 5 bulan mendalami kasus seperti ini, dari situ saya merasa kok sepertinya kita belum
berbuat apa-apa yah. Kami teriak-teriak soal anti diskriminasi, kesetaraan dan ternyata kejadiankejadian memilukan terus terjadi di depan kita sendiri!” Joni meninggikan suaranya. Ia seperti
sedang mencaci banyak hal, tetapi sepertinya cacian itu sedang benar-benar ia tujukan bagi
dirinya sendiri, bagi orang-orang di sekelilingnya yang belum bekerja banyak menolong sekian
banyak korban.
Jonna, Joni, dan banyak aktifis penyandang disabilitas menyadari keterbatasan masing-masing.
Joni pernah berdiskusi dengan kawan-kawannya yang banyak membantu menangani kasus
kekerasan dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Jogjakarta. Mereka sudah
mendampingi kasus-kasus serupa ini sejak 2003. Mereka bilang perlu energi ekstra dalam
mendampingi kasus-kasus seperti ini, akibatnya karena keterbatasan mereka hanya dapat
mendampingi kasus-kasus khusus yang bisa mereka dampingi di mana terkadang berdasarkan
desakan dari luar dan membiarkan banyak kasus lainnya lepas begitu saja tak mampu ditangani.
Masih ada ada sekira 90 persen kasus-kasus serupa yang terjadi tidak dapat mereka ditangani.
Tiba-tiba aku teringat sepotong puisi Chairil Anwar, “Kerja belum selesai, belum apa-apa” dan
membayangkan jalan yang terbentang amat panjang dan menempuhnya akan menghadirkan
kelelahan-kelelahan yang tak berkesudahan.
PERBINCANGAN lalu beralih ke soal respon kaum agamawan soal disabilitas ini.
“Memang, sekian puluh tahun sejak negeri ini lepas dari penjajahan asing, orang-orang masih
salah memaknai perbedaan fisik seseorang sebagai perbedaan yang melulu berarti kekurangan
atau ketidaksempurnaan,” kata Joni.
Ia memberi satu contoh. Suatu hari ia berdikusi dengan seorang akademisi dari Universitas
Muhammadiyah dan UIN Kalijaga di Jogjakarta. Berdasarkan diskusi mereka, rupanya terdapat
sejumlah agamawan yang berpandangan negatif terhadap penyandang disabilitas. Misalnya
dalam urusan menjadi imam dalam shalat. Penafsiran bahwa seorang imam shalat adalah seorang
yang sempurna secara fisik mendiskreditkan mereka yang menyandang disabilitas. Akibatnya
sulit menerima di mesjid-mesjid di Indonesia seorang yang menyandang disabilitas untuk
menjadi imam shalat karena berdampak pada ketidaksempurnaan shalat.
Demikian pula dalam konteks adzan. Menurut Joni dengan mengutip penafsiran agama yang tak
sensitif pada konsep disabilitas, seorang tunanetra dianggap tak bisa menjadi seorang modin.
Alasannya, seorang pelantun adzan haruslah orang yang bisa melihat langsung fenomena alam
dengan memerhatikan peralihan waktu. Akibatnya, seorang buta yang tidak mungkin melihat
perubahan waktu, baik melalui mesin seperti jam tangan maupun alamiah tak diperbolehkan
menjadi modin. Padahal, menurut Joni, teknologi manusia berkembang dan fiqh atau hukum
islam dengan demikian seharunya juga berkembang. Sehingga, dalam konteks disabilitas,
kemampuan yang berbeda seorang tunanetra dalam melihat waktu seharusnya memungkinkan
mereka menjadi seorang modin.
Memang, kini bermunculan aneka teknologi yang memungkinkan para penyandang disabilitas
melakukan pekerjaan dengan cara yang berbeda dengan para non-penyandang disabilitas. Joni
misalnya, Ia memiliki sebuah talepon genggam bersuara karena program Jaws di dalamnya.
Dengan perangkat ini setiap teks akan dialihkan menjadi suara, sehingga Joni bisa
berkomunikasi dengan mudah baik melalui sms, membaca dan membalas email, menulis artikel
di blog pribadinya, bahkan sekadar updating status di akun twitternya untuk menyampaikan
pesan kepada istrinya [yang tak buta] di mana ia berada dan apa yang sedang dilakukannya saat
ia dalam perjalanan di suatu tempat.
Untuk soal HP, Jonna sepertinya mengenyampingkan fasilitas canggih seperti yang dikenakan
Joni. Ia lebih kerap berkata kepada saya, “Ishak, pinjam mata elo dong,’ jika sebuah pesan masuk
di cell phone-nya yang sudah cukup ketinggalan jaman. Maksudnya, ia meminta kepadaku
membacakan pesan itu. Lalu setelah itu ia juga akan meminta aku membalasnya. Bagiku, Ia
sedang membangun relasi yang lebih dekat antara aku yang tak buta dengan dirinya yang buta.
Dengan cara itu ia sedang mengajarkan kepadaku bagaimana relasi sosial yang baik bisa
terbangun antara orang-orang yang menyandang disabilitas maupun yang tidak.
Tapi lebih dari soal relasi itu, ia punya mimpi yang lebih penting. Ia sedang memikirkan
bagaimana agar kelak lahir berbagai perangkat teknologi yang memudahkan kaum difabel
berkomunikasi dengan biaya serendah-rendahnya.
Dari kaum agamawan yang berpikiran negatif perbincangan kami lalu beralih ke kaum musisi.
Rupanya hal yang sama juga diidap oleh sebagian musisi. Lagi-lagi Joni memaparkan satu
contoh. Ia menunjuk salah satu sekolah seni, Institut Seni Indonesia.
Joni memberi contoh seorang kawannya yang ditolak belajar di ISI. Namanya Isaac Matheus dari
Papua—kini bernama Muhammad Ishak setelah memeluk Islam.
Karena tak diterima untuk belajar seni musik, Joni lalu memperkenalkannya kepada Thomas,
seorang guru gitar di sekolah seni Presendo. Seorang guru yang pernah berujar bahwa ISI itu
adalah sekolah seni yang orang-orangnya tidak tahu seni. Si Isaac lalu digembleng oleh Thomas
dan kini menjadi mahir memainkan alat-alat musik.
Tak lama berselang, Isaac lalu pulang kampung dan mendirikan sanggar seni di Papua.
TIBA-TIBA dipikiranku melintas bayangan bagaimana seorang penyandang disabilitas hidup di
sawah atau di lahan-lahan perkebunan. Joni tiba-tiba teringat seorang kawannya di Kulon Progo.
Ia seorang petani kebun kelapa yang buta. Aku tak menanyakan berapa luas kebunnya. Katanya,
suatu hari Ia dan beberapa rekannya datang mengunjungi kawannya yang buta itu di kebunnya.
“Dia memiliki keterampilan yang unik. Sebagaimana layaknya seorang petani kelapa, ia juga
memiliki keterampilan mengetahui mana pohon yang memiliki buah kelapa yang muda atau tua,
dan mana di antara buah-buah kelapa dalam satu pohon yang muda sehingga enak diminum dan
dimakan daging buahnya.” Ujar Joni sambil menahan senyumnya.
“Jon, kau mau kelapa muda? tanya kawanku itu. aku bilang, mau!” kenang Joni.
Petani itu lalu bangkit dan mulai memegang batang pohon kelapa, merabanya, dan lalu
menepuk-nepuknya. Ia berupaya mengetahui ada tidaknya kelapa muda pada pohon itu melalui
kekasaran kulit pohon, kelembabannya, dan suara tepukannya pada kulit pohon. Menyadari
pohon yang sedang diperiksanya tidak ada kelapa muda ia lalu memeriksa pohon yang lain yang
sudah ia hapal di mana letak-letak tumbuhnya. Setelah memastikan di pohon ini ada kelapa
mudanya ia lalu mulai memanjat dengan cekatan.
Menurut Joni, sang petani buta ini melakukan hal yang sama terhadap buah: merabanya dan
menepuknya. Lalu setelah menemukan kelapa muda itu, iapun memutar buahnya sampai
tangkainya yang berserabut terputus dan lalu menjatuhkannya ke tanah. Setelahnya ia turun dan
mulai membelah buah kelapa itu dengan sebilah parang dan menyerahkan ke Joni.
“Wah benar, enak sekali rasanya,” kenang Joni sambil tertawa-tawa. Ia lalu meminta kawannya
mengajarkannya. Kawannya menuntunnya dengan beberapa petunjuk. Setelah mengetahui urutan
langkahnya, Joni mulai mencoba pengetahuan barunya. Hasilnya, Joni tinggal sekadar
memegang, meraba, dan menepuknya.
“Nggak ada bedanya, sama semua!” Tawanya lepas. Jonna juga tertawa lepas. Aku tentu saja
turut melepaskan tawa. Aku lalu menyapu pandang restoran itu. khawatir kalau-kalau tawa kami
menggagu pengunjung. Rupanya mereka juga sibuk dengan cerita masing-masing.
Joni meminum kopinya setelah tawanya reda. Ia lalu mengatakan bahwa keterampilanketerampilan seperti ini tak bisa dengan mudah mengajarkannya kepada penyandang disabilitas
lainnya. Ia mengatakan bahwa kawan petaninya ini mulai menyadari kemampuannya sejak ia
beranjak remaja. Ia memang hidup sebagai petani kelapa dan pengetahuannya akan kelapa
berkembang sesuai dengan caranya memahami sesuatu.
Jonna punya cerita lain. Seorang tunanetra yang pandai memperbaiki pipa PDAM yang bocor.
Peralatannya hanya sebetang besi pengetuk setinggi tubuhnya. Ia bekerja dengan cara yang
serupa dengan petani kelapa itu mendeteksi buah kelapa yang muda. Jika ada pipa bocor, maka ia
akan mengetukkan besinya ke pipa air. Menurut Jonna, dalam radius 2 kilometer panjang pipa ia
bisa tahu di mana letak bocornya. Aku menggeleng-geleng takjub.
“Kini ia bekerja sebagai pegawai PDAM,” kata Jonna.
MALAM MULAI larut. Satu persatu meja ditinggalkan pengunjungnya. Tinggal satu meja yang
orang-orangnya masih tinggal mengobrol, kami bertiga.
Lalu perbincangan kami mengarah ke tipologi gerakan pembelaan kaum difabel. Ketiga orang ini
berjuang di tiga tempat yang berbeda sejak lama dan kini mulai tumbuh sebagai aktifis difabel
yang tak bisa disepelekan.
Menurut Joni, pusat gerakan disabilitas bisa dikatakan berpusat di Jogjakarta. Tipologinya sama
dengan gerakan sosial yang digerakkan oleh para non penyandang disabilitas. Perbedaannya
hanya pada skala. Skala para penggerak sosial kaum penyandang disabilitas ini sedikit sehingga
jika kita memasuki ruang mereka akan dengan mudah memetakannya. Kesan bahwa para
penggerak ini tidak kompak dengan mudah terlihat. Joni tidak menyalahkan pembacaan ini
karena hal yang sama sesungguhnya terlihat juga pada gerakan sosial lain oleh para non
penyandang disabilitas.
“Di Jogjakarta gerakan kaum penyandang disabilitas di Jogjakarta lebih berwarna-warni, ujarnya
datar. Menurutnya, Ada beberapa hal yang menyebabkannya seperti aspek ideologi dan corak
pendonornya. Tapi Jonna punya pandangan lain. Menurutnya budayalah yang menjadi sebab
mengapa tipologi gerakan kaum penyandang disabilitas berbeda antara satu dengan lainnya.
Joni menyinggung sebuah buku berjudul ‘disability in Java’.
“Penulisnya seorang etnolog asal Belanda. Ia menulis sejarah baseline tentang bagaimana
rehabilitasi medis diperkenalkan di Indonesia sebagai bagian dari konsep rehabilitasi sosial untuk
kaum difabel. Itu mengadopsi dari perkembangan di Belanda yang saat itu masih menangani
kaum difabel secara eksklusif, segregatif, dan rehabilitatif. Berdasarkan cara pandang seperti itu,
Pemerintah Belanda lalu membangun panti-panti di Indonesia,” Aku menikmati cerita Joni dan
lalu menyalakan sebatang kretek lagi. Jonna demikian pula. Baru saja ia memesan sebungkus
kretek tak berfilter kepada seorang pelayan. Ia memberi isyarat kepadaku meminjam korek.
Korek yang berwarna merah dengan gas cair yang masih penuh kuserahkan. Ia memantiknya
dengan cekatan.
“Di Bandung mereka membangun Panti Tunanetra, di Solo mereka membangun Panti
Tunadaksa, di Wonosobo berdiri Panti Tunarungu. Cara pandang inilah yang kemudian diadopsi
oleh pemerintah Indonesia dengan sistem rehab di bawah departemen sosial melalui bentuk
santunan serupa bantuan sosial,” Joni dengan lancar menceritakannya.
“Model penanganan kaum difabel inilah yang kemudian menimbulkan banyak kekecewaan dan
ketidakpuasan dari segelintir kaum difabel kemudian melahirkan berbagai organisasi difabel
yang mewadahi perjuangan memperbaiki sistem penanganan kaum difabel,” diam-dia aku
mengagumi pengetahuan Joni soal ini.
“Apakah kesadaran ini muncul akibat dari bacaan-bacaan kritis segelintir orang ini?” tanyaku
kemudian.
“Tidak, justru bisa dikatakan bahwa kaum difabel miskin dari bacaan-bacaan kritis. Perlawanan
kaum difabel murni muncul akibat ketidakpuasan dari kebijakan pemerintah. Dari kekecewaan
ini mereka mengorganisir diri dan lahirlah beberapa organisasi massa sesuai mandatnya masingmasing,” kata Joni.
Di era 80-an, Pemerintah mulai mengikuti pandangan dunia yang mengaitkan antara aspek
disabilitas dengan HAM. Pemerintah membuat organisasi payung bagi kaum difabel yang
bernama PPCI yang sayangnya fungsinya masih tetap karikatif dan rehabilitatif dan sekadar
menjadikan PPCI sebagai alat legitimasi pemerintah untuk menggambarkan bahwa pemerintah
seolah-olah peduli pada kaum disabilitas,” saya dan Jonna menyimak. Tapi saya tak yakin kalau
Jonna tak tahu penjelasan Joni seperti saya yang buta akan pengetahuan soal ini.
“Lalu organisasi ini menjadi mandul karena berada dalam kontrol pemerintah. Nanti tahun 1990an mulai muncul kelompok-kelompok kecil yang tidak memercayai organisasi-organisasi seperti
panti asuhan, organisasi payung, SLB dan lainnya. Mereka lalu mulai membentuk kelompokkelompok kecil dan mulai mendiskusikannya secara kritis,” sambung Joni yang sudah
menyalakan sebatang kretek berikutnya.
Aku memerhatikan Jonna. Menunggu responnya. Tapi sepertinya ia masih berharap Joni
bercerita lagi.
“Sewaktu saya menyusun tesis di Leed University saya mencari-cari buku ‘disability in java’ ini
di perpustakaan kampus. Saya tak menemukannya. Nanti setelah minta tolong kepada Slamet
Tohari untuk mencarikannya barulah saya tahu kalau buku ini ada di Leiden University,” kata
Joni.
Tiba-tiba Jonna tersentak.
“Oh jadi elu yang cari buku itu Jon, baru gue tahu, rek!” Jonna terbahak-bahak menyadari bahwa
sudah lama ia mencari tahu siapa orang yang mencari-cari buku ini. Ia sepertinya memiliki
kedekatan dengan Slamet Tohari dan mungkin Amet—panggilan akrabnya—pernah
menceritakan kepada Jonna bahwa ada seorang mahasiswa yang sedang mencari-cari buku
penting ini. Ia masih tersenyum-senyum. Joni juga tertawa menyadari keterkaitan mereka satu
dengan lainnya.
Tesis Joni mengenai ‘Disability Movement in Indonesia’ akhirnya selesai dan dia meraih
gelarnya di jurusan HAM dan disability. Menurutnya, Amazon sudah menerbitkannya.
Belakangan aku mengecek harganya, 79 dollar!
Sayangnya buku ini belum ia terjemahkan. Joni punya rencana menerjemahkannya dan
memecahnya menjadi tulisan-tulisan pendek lalu mempublikasikannya di blog pribadinya.
“Rencana ini belum terwujud sampai sekarang,” Ia berujar sambil menjentikkan batang
kreteknya di asbak dengan cara berbeda. Saya memerhatikan detail geraknya. Dengan jemari
kirinya ia meraba meja dan meraih asbak lalu mendekatkan ujung batang kretek yang menyala
itu di bibir asbak. Jonna asyik dengan kretek tanpa filternya.
Di atas meja, sebuah piring dan sepasang garpu-sendok tertelungkup di atasnya. Nyaris tak ada
makanan tersisa di bekas piring makan Jonna. Ada tiga gelas berisi kopi masing-masing
tergeletak di depan kami dan sebuah poci keramik persis di tengah meja. Hanya ada dua asbak
yang berada di dekat jangkauan Jonna dan Joni. Aku memilih salah satunya setiap hendak
menjentikkan abu kretekku.
Malam sudah larut. Rasa hangat saat kami duduk di restoran terbuka ini kini berubah dingin.
Setelah membayar pada seorang pelayan, kami lalu bangkit. Aku menggandeng lengan Joni dan
Jonna menyentuh bahu kiri. Kami lalu menuju kamar Jonna dan kemudian ke kamar Joni. Betapa
kedua orang ini membuka mataku yang selama ini buta soal disabilitas[].
Makassar, 9 Mei 2013