BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Ka

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis dengan perspektif konflik dan mengaitkannya dengan integrasi sosial yang dilakukan diberbagai daerah, dan etnis di Indonesia, Eka Hrendry, dkk (2013) mengungkapkan bahwa masyarakat yang tinggal di Sei Kelambu merupakan daerah yang ikut menjadi korban kerusuhan yang terjadi di Sambas, menyimpan benih integrasi sosial, dan menjadi embrio pada penguatan potensi integrasi sosial di Kalimantan Barat. Eka (2013), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terbentuknya integrasi dikarenakan oleh

  1. Adanya pola pemukiman suku yang menyebar memudahkan pembauran antar suku dalam masyarakat tidak ada yang mengkonsentrasikan rumah- rumah dalam satu titik 2. kuantitas jarak fisik (tetangga) sebanding dengan kualitas jarak sosial

  (harmoni) hal ini bisa menghalang halangi faktor pengentalan ekslusivisme suku.

3. Ikatan kekerabatan antar warga masyarakat lewat pola perkawinan campur juga sangat mempengaruhi terbangunnya integrasi dalam masyarakat.

  4. Menghilangkan perkumpulan / orgnisasi-organisasi yang berbasis suku, karean dapat membuat masyarakat terbelah

  5. Terkait modal sosial yaang dapat mempercepat atau memperluat integrasi sosial seperti persamaan historis masyarakat yang berdampak pada kebangaan asal-usul dan sebagai penanda identitas , selain itu juga modal sosial integrasi sosial lainnya adalah kearifan lokal

  6. Adanya peranan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi secara efektif dalam menjaga haarmoni dalam masyarakat. Modal budaya ini sangat penting tumbuh ditengah-tengah masyarakat yang terjadi secara sporadis sebagai tradisi yang diwariskan sehingga ketika terjadi konflik sosial, maka terjadi upaya penguatan atau revitalisasi modal budaya tersebut menjadi modal sosial terjadinya integrasi sosial dalam masyrakat.

  Sejalan dengan penelitian Eka dkk (2009), dalam penelitiannya Anwar (2013), juga menemukan beberapa faktor yang dapat mempertahankan integrasi sosial dilingkungan masyarakat 1. intensitas gotongroyong antar suku yang kental diberbagai kegiatan masyarakat desa seperti panggelan (selamatan), perkawinan, peringatan hari keagamaan. Dalam kegiatan gotong-royong, masyarakat desa tak sekedar menyumbangkan tanaga, tetapi juga menyumbangkan bantuan material dalam pesta perkawinan, guna memenuhi kebutuhan pokok pesta perkawinan,

  2. selain itu adanya toleransi antar umat beragama sangat ditekankan.

  Dalam penelitian Sakti (2012) terkait dengan orientasi nilai budaya dan potensi konflik batak toba muslim dan kristen di Sumatera Utara Kabupaten Asahan, menemukan bahwa Toba Muslim dan Toba Kristen di daerah tersebut diwarnaai konflik pada tahun 2010. Migrasi yang dilakukan Toba Kristen dari kampung induk ke kabupaten Asahan, umumnya mengalami penolakan dari Toba Muslim , Batak Melayu 1.

   Sikap dan kebiasaan hidup sehari-hari.

  Toba muslim sangat antipati pada hewan peliharaan anjing dan babi milik Toba Kristen.

2. Pola hidup dan kebersihan lingkungan tempat tinggal.

  Toba Kristen hidup dengan cara yang kurang dan tidak peduli dengan persoalan kebersihan dan kenyamanan.

  Integrasi sosial yang terbangun berdasarkan ikatan primordialisme kesukuan dan kesamaan budaya kelihatannya mulai mengalami perubahan. Perasaan emosional sebagai sebuah kelompok dengan identitas budaya yang sama mulai digantikan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis. Pada tataran empiris ternyata kesamaan entitas budaya semata belum memastikan bahwa konflik sosial tidak akan terjadi. Konflik sosial seperti pelemparan rumah rumah ibadat, pengrusakan barang barang antar masyarakat setempat serta tindakan tindakan seperti pengrampasan yang terjadi menunjukkan bahwa meskipun diyakini nilai-nilai budaya dan kearifan lokal orang Batak dianggap efektif meredam konflik sosial sesama orang Batak yang berbeda agama, namun sebagian nilai budayanya juga berpotensi memunculkan konflik sosial. Meskipun secara konsepsi kebudayaan, dikarenakan kesamaan latar belakang sosio-kultural orang Batak diikat oleh perasaan persaudaraan yang erat.

  Pemicu konflik sosial yang terjadi di tahun 2010 dikarenakan oleh beberapa faktor: a.

  Adanya perbedaan agama Perbedaan agama sampai level tertentu telah menjadikan sekat-sekat komunikasi dan interaksi sosial antara warga meskipun memiliki latar belakang budaya sama. Perbedaan agama dan keyakinan, pada tataran empiris ternyata berdampak pada konsepsi mereka tentang halak kita. Meski sama-sama orang Batak, variabel agama tetap menjadi bagian yang sangat menentukan dalam proses interaksi sosial sesama orang Toba. Perbedaan agama sampai tingkat tertentu telah membatasi interaksi sosial mereka yang berlatar belakang keyakinan keagamaan yang berbeda. Kesaamaan agama juga menentukan suatu hubungan sosial, hal ini dilihat dari pengelompokan marga marga batak toba yang berdasarkan agama. Walaupun sama-sama etnis batak toba yang semarga, namun jika berbeda agama, etnis toba yang bergama non muslim tidak bisa ikut bergabung dalam perkumpulan marga tersebut, demikian juga sebaliknya. selain itu perbedaan agama dalam hal ini menjadi faktor penting dalam persaingan antar kelompok sosial dan konflik.

  b.

  Adanya perubahan kebudayaan dan pola interaksi antara sesama orang batak Munculnya konflik antarwarga bersumber dari adanya perubahan kebudayaan dan pola interaksi sesama orang Batak. Penyebabnya adalah perubahan kebudayaan pada orang-orang Batak. Partuturan sudah tidak lagi ditanamkan, yang dengan partuturan ini akan muncul sopan santun dan sikap saling menghargai.Informasi ini menggambarkan bahwa komunikasi dan interaksi sosial yang berlangsung sangat terbatas.

  Terbatasnya interaksi tersebut memang sengaja dilakukan oleh kelompok pemuda Islam di Haunapitu. Sebab tidak banyak di antara mereka yang tertarik melakukan kebiasaan kumpul dan minum tuak di kedai-kedai

  pakter tuak c.

  Pada masyarakat primordial, suku dan agama dianggap sebagai dasar utama dalam pengelompokan sosial. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembentukan komunitas-komunitas di dalam masyarakat selalu mengacu pada kesamaan atau perbedaan suku dan agama.

  d.

  Konsepsi persaudaraan yang awalnya berdasarkan kesamaan budaya berubah menjadi kesamaan agama.

  e.

  Adanya streotype dan prasangka terhadap sesama etnis yang berbeda agama.

  Di daerah rantaunya, meskipun hidup berdampingan, wilayah segragasi desa dan variabel sosial lainnya seperti ekonomi dan pola komunikasi sosial yang cenderung tertutup secara tidak terduga telah mendorong munculnya stereotipe dan praduga-praduga negatif yang secara tersembunyi berpotensi menimbulkan konflik sosial. Orang Toba Kristen memandang Toba Muslim tidak memiliki komitmen dan kesetiaan terhadap nilai-nilai budayanya, dikarenakan Toba Muslim menganggap sebagian dari nilai-nilai kebudayaan Batak Toba Syirik menurut Toba Muslim, sementara itu Toba muslim melebelkan Toba

  Kristen merupakan batak gingging (orang batak yang mempunyai watak keras kepala). Label negatif ini menunjukkan sikap keras dan mau menang sendiri yang ditujukan pada mereka. Tidak hanya itu, mereka juga dicap ambisius dan rakus serta menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuan, terutama ekonomi dan keuntungan individu.

  f.

  Proses interaksi sosial antar etnis di dalam desa masih sangat tertutup, tidak hanya terbatas dalam interaksi sosial sehari-hari kedua kelompok yang sama-sama berlatar etnis Batak tersebutpun sangat terbatas. Perbedaan agama sampai level tertentu telah menjadikan sekat-sekat komunikasi dan interaksi sosial antara warga meskipun memiliki latar belakang budaya sama. Tingkat keterikatan pada nilai-nilai primordialisme kesukuan serta budaya berkurang.

  g.

  Adanya wilayah pemukiman yang tersegregasi berdasarkan agama, pola pemukiman yang demikian membuat proses interaksi sosial sangat terbatas.

  h.

  Konflik lebih dominan dikarenakan adanya persaingan dalam bidang ekonomi, yaitu persaingan dalam mendapatkan harta kekayaan atau

  

hamoraon., karena orang Batak Toba memiliki pandangan bahwa daerah

  perantauan merupakan perluasan dari kampung halaman. Dengan pandangan yang demikian, orang Toba memiliki misi perluasan kampung halaman dengan mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon) di perantauan. Pertimbangan halal-haram dalam membangun kekayaan bukan menjadi pertimbangan utama. Sebab itu kompetisi dan persaingan ekonomi merupakan unsur yang sangat potensial dalam memicu konflik antar kelompok sosial. Orientasi nilai budaya yang terlalu tinggi dalam memperoleh hamoraon ini pada Toba Kristen dikuatkan pula dengan pandangan mereka tentang konflik. Individu Toba Kristen cenderung lebih berani menghadapi konflik dan tidak menghindarinya. Adapun individu Toba Muslim cenderung menghindarkan diri dari konflik. Tetapi jika tidak terpecahkan konflik sesuatu yang harus dihadapi juga. Dalam konteks ini individu Toba sama-sama berpotensi untuk memunculkan konflik. Sementara itu,Eriyanti (2013) dalam penelitiannya mengenai aspek sosio budaya, kebijakan pemerintah, mentalitas terhadap integrasi sosial pada masyarakat Sumatera Barat, juga menemukan bahwa satu-satunya potensi konflik di bidang sosio budaya pada masyarakat minangkabau adalah perbedaan agama, apalagi kalau pendatang itu menyebarkan agama mereka kepada orang Minangkabau dan/atau mendirikan tempat ibadah selain masjid di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

  Terkait disintegrasi sosial / disorganisasi sosial, dalam penelitian Ria manurung (2005), menemukan bahwa terjadinya disintegrasi sosial / disorganisasi sosial antara etnis Tionghoa dan Pribumi, dipicu oleh: 1.

  Masih terdapat jarak sosial objektif antara etnik 2. Kurang positifnya persepsi antar etnik 3. Adanya sentimen kebudayaan leluhur dengan cara tetap memegang teguh tradisi leluhurnya yang ekstrim dan cenderung bersifat anti pati. Hal ini tercermin dalam Chiness culturalism, yaitu rasa kesatuan dan keterikatan pada pola-pola kehidupan dan tanah leluhur yang menunjukkan tingginya etnosentrisme etnis Cina serta kurang memperdulikan norma-norma kehidupan sosial kultur pihak lain Banyak studi membuktikan bahwa konflik nyaris tidak pernahdapat terselesaikan secara tuntas, sekalipun kelompok yang berbeda tersebut sebagian diantaranya telah terjadi asimilasi dan hubungan personal yang akrab. Secara teoritis pada tingkat individu, konflik memang dapat dieliminasi dengan adanya proses interaksi sosial yang intens dan mekanisme cross cutting-affilation. Tetapi pada tingkat kelompok yang namanya prasangka, streotip, dendam akan tetap ada.

  Perseteruan seperti yang dikatakan Paul Spencer dalam Narwoko dan Suyato (2004) pada dasarnya dampak dari terjadinya suatu kematian yang menimbulkan perasaan dendam berdarah antar kelompok yang berseteru. Perseteruan biasanya hanya dapat diredam melalui aksi kekerasan yang diwarnai dengan pertumpahan darah yang dianggap sebagai bentuk penyelesaian yang rasional. Jika dalam kurun waktu tertentu konflik antar-etnis belum meledak, maka itu semua hanyalah jeda sosial yang fungsinya sekadar menunda konflik terbuka yang sesungguhnya.

  (Narwoko dan Suyanto 2004: 201) Diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah tergelincir dan dimanipulasi hingga melahirkan disorganisasi sosial atau disintegrasi sosial. Tetapi disisi yang bersamaan, adanya diferensiasi sosial sebenarnya tidak selalu berubah menjadi konflik jika masyarakat dapat menjaga dan mengelola konflik. Studi yang dilakukan Nasikun (1984), menemukan ada dua faktor yang menyebabkan konflik di masyarakat pluralis meletup menjadi konflik terbuka, yakni:

  1. cross-cutting affilation 2. cross-cutting loyalities

  Menurut Nasikun, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affilation). Karena dengan demikian, setiap konflik yang terjadi diantara kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities)dari para anggota masyarakat terhadap berbagai anggota masyarakat terhadap berbagai kelompok sosial. Konflik antar suku bangsa, misalnya akan segera diredusir oleh bertemunya loyalitas agama atau daerah. Perselisishan golongan yang berbeda etnis. Dalam banyak kasus bisa diredam atau bahkan dihilangkan bila pihak-pihak yang berselisih memiliki persamaan dalam agama yang dianut atau berasal dari wilayah yang sama. Tanpa adanya keanggotaan dan loyalitas yang bersifat silang- menyilang, maka diferensiasi sosial akan menjadi benih yang cepat atau lambat bisa menyebabkan disorganisasi sosial. . (Narwoko dan Suyanto 2004: 205)

  Terlepas dari penelitian-penelitian diatas, sebuah studi yang dilakukan FISIP Universitas Airlangga, menemukan paling tidak ada tiga faktor sosial yang berfungsi positif mengeliminasi agar perbedaan etnis, kelompok sosial yang ada tidak meruncing menjadi pergesekan sosial yang manifest. Pertama, karena adanya pola hubungan yang bersifat “simboiosis-mutualisme” antar satuan unit sosial yang berbeda dalam kegiatan produksi. Seorang etnis madura yang bekerja pada jurangan Cina, misalnya ia tidak akan mempersoalkan status dan peran sosialnya sepanjang dalam soal upah dapat disepakati oleh kedua belah pihak, dan satu sama lain saling bertoleransi dengan caranya masing-masing. Dengan kata lain, tanpa harus melakukan dan terjadi asimilasi kultural, asalnya dalam hubungan produksi yang berjalan terbangun pola hubungan yang patront-client yang adil, maka konflik pun relatif dapat ternetralisir, bahkan dapat menumbuhkan hubungan sosial yang erat dan saling membutuhkan. Kedua, karena adanya forum dan zona netral yang dapat dijadikan pertemuan antar-etnis yang secara kultural berbeda- yang berfungsi dalam melahirkan cross-cutting

  

loyalitie. Dengan menjalin hubungan sosial dan komunikasi yang intensif, antar

  etnis satu dan yang lain, ataupun antar kelompok sosial bukan saja semakin mengenal karakter masing-masing, tetapi disana secara perlahan akan mulai tumbuh kesadaran bahwa antar satu kelompok sosial atau etnis dengan kelompok sosial atau etnis yang lain memang berbeda namun tidak harus saling mensubordinasi. Empati dan toleransi adalah dua hal yang tumbuh bersamaan dengan makin intensifnya kegiatan yang saling menyapa antar-individu, kelompok sosial, bahkan etnis yang berbeda dalam sebuah titik pertemuan yang netral. Interaksi sosial suatu kelompok sosial yang berbeda tidak selalu berlangsung tulus, namun masing-masing pihak harus menyadari perlunya kerja sama dan sikap saling menoleransi, maka perselisihan yang frontal pun dapat dihindari. Ketiga, karena sense of belonging yang tinggi dari tokoh masyarakat dan agama serta lembaga sosial untuk tetap menjaga dan mencegah kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang terbuka. (Narwoko dan Suyanto 2004 :203)

  Dalam penelitian Saputra (2010) terkait integrasi sosial multietnik di desa gerokgak, menemukan adanya harmonisasi yang tercipta diantara masyarakat tersebut sekalipun desa tersebut terdiri dari beragam etnis dan agama. Integrasi sosial semacam ini yang terdapat pada daerah tersebut menurut Saputra (2010) dalam penelitiannya kendala,yang kerap kali terjadi sebagai penghalang terjadinya suatu integrasi yakni di desa Gerokgak adalahsebagai berikut : a.

  Lemahnya komunikasi yang terjadi antar masyarakat sehingga menimbulkan suatu miss communication yang dapat menimbulkan suatu kesalahpahaman baik dalam menerima informasi maupun yang lainnya.

  b.

  Adanya suatu sifat egoisme dari masyarakat itu sendiri sehingga lebih menonjolkan sikap individualis yang berlebihan. Dari data dan fakta yang ada, hal ini memang benar adanya. Sikap egois dan individualis serta kurangnya informasi yang ada sangat membahayakan serta sangat menghambat terjadinya suatu integrasi. konflik yang kerap kali terjadi pada masyarakat khususnya terjadi karena mereka mementingkan individu mereka sendiri atau biasanya disebut dengan sifat Egoisme. Tidak dapat dipungkiri bahwa keegoisan seseorang akan dapat menimbulkan dampak khususnya dampak yang tidak baik bagi keberlangsungan hidupnya disebabkan kita adalah makhluk sosial. Dari penelitian Saputra (2010), menemukan bahwa fakta yang ada diatas memang benar adanya. Sikap egois dan individualis serta kurangnya informasiyang ada sangat membahayakan serta sangat menghambat terjadinya suatu integrasi

  Dari studi kepustakaan yang dilakukan peneliti dari jurnal-jurnal terkait integrasi sosial , menemukan berbagai bentuk terciptanya Integrasi sosial.

  Integrasi sosial juga dikarenakan adanya media integrasi. Hidayat mengungkapkan (2012), mengungkapkan bahwa terjadinya Integrasi sosial dikareknakan adanya media, 3 media integrasi tersebut , antara lain a.

  Agama dan aktivitas ritual bersama merupakan media integrasi.

  Agama merupakan salah satu alat pengintegrasi antara Etnis Banjar dengan Etnis Madura. Melalui berbagai kegiatan ritual-ritual keagamaan, masyarakat yang berbeda budaya ini berbaur menjadi satu. Kedua suku ini dapat terintegrasi oleh kesamaan agama (Islam). Melalui acara-acara ritual keagamaan, mereka berbaur dan saling bersilaturrahmi sehingga bisa dijadikan sebagai media untuk saling memahami antar dua kebudayaan yang berbeda Walau berbeda etnis, etnis Banjar dan etnis memiliki kesamaan yaitu agama. Beberapa ajaran agama Islam yang mengajarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah saudara. Persaudaraan yang dibangun atas jalinan kesamaan agama telah menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda baik dalam garis keturunan atau darah maupun dalam berbudaya. Nilai persaudaraan inilah yang dapat meredam potensi konflik yang muncul dalam proses interaksi.

  b.

  Hukum, penegakan hukum dalam masyarakat telah menimbulkan rasa hormat masyarakat terhadap hak orang lain. Selain itu penegakan hukum jelas menghindarkan adanya dominasi kekuatan antara dua kelompok, karena dalam hal ini, yang memiliki kekuatan tertinggi adalah hukum yang berlaku. Intinya, Penegakan hukum merupakan salah satu alat di dalam menangkal terjadinya konflik antar kelompok masyarakat. c.

  Sikap saling mengormati. Sikap saling menghormati yang ditunjukkan oleh etnis Madura yang menghormati budaya lokal mampu menumbuhkan pemahaman yang baik pada masyarakat etnis Banjar.

  d.

  Adanya posisi sejajar antara Etnis Banjar dan Etnis Madura dalam proses perdagangan mengingat keduanya sama-sama mempunyai tradisi berdagang menciptakan posisi yang berimbang di antara keduanya e. Selain itu faktor pertahanan juga patut diperimbangkan, karena rapinya masalah pertanahan ini telah meredam kemungkinan konflik karena faktor pertanahan yang banyak terjadi di berbagai tempat Hampir sama dengan Hidayat (2010), Eriyanti (2013), dalam penelitiannya menyangkut aspes sosio-budaya, kebijakan pemerintah dan mentalitas yang berpanguruh dalam integrasi sosial masyarakat Sumatera barat menemukan bahwa Sumatera Barat satu dari wilayah Indonesia, juga memiliki masyarakat yang beragam dari segi suku dan agama. Penduduk asli adalah etnik Minangkabau dan memeluk agama Islam. Sejauh ini masyarakat pendatang hidup aman dan damai dengan masyarakat Minangkabau, bahkan ada yang masuk dalam struktur sosial Minangkabau. Meskipun terjadi konflik, namun tidak menjadi konflik yang berkepanjangan dan mendalam. Konflik di Sumatera Barat yang pernah terjadi pun hanya sebatas pertikaian antar kelompok, tidak sampai dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingannya dan bersifat berlarut-larut. Eriyanti (2013) menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat bersifat terbuka karena terbiasa hidup berdampingan dengan “orang lain” baik di perantauan atau di daerah sendiri. Eriyanti (2013) juga dalam penelitannya menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor unsur unsur budaya lokal yang menjadi potensi ntegrasi sosial yaitu,

  1. Dalam sosio-budaya masyarakat Minangkabau ditemukan suatu bentuk sistem kekerabatan yang dapat mempererat integrasi sosial yang disebut

  malakok . Dengan malakok seorang pendatang yang masuk dan bertempat

  tinggal pada satu daerah bergabung dengan salah satu suku yang ada dalam daerah tersebut. Dengan demikian pendatang akan dianggap sebagai saudara sesuku. Implikasinya pendatang akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asal dalam berbagai persoalan yang menyangkut dengan adat istiadat seperti perkawinan, kematian dan kegiatan lainnya. Dengan sistem malakok semua etnik (pendatang) di Minangkabau dianggap dan diperlakukan sebagai dunsanak (saudara).

  2. Integrasi sosial tercipta karena adanya peran kepemimpinan adat dalam struktur masyarakat Minangkabau, di samping pemerintahan formal (wali nagari). Dalam sektor formal peranan wali nagari lebih dominan, tetapi dalam sektor informal peranan adat masih kuat. Hal ini tidak terlepas dari struktur masyarakat Minangkabau yang terdiri dari suku-suku. Secara adat makna kampung atau nagari bagi orang Minangkabau erat kaitan dengan keberadaan suku. Dari struktur ini kelihatan bahwa masyarakat pemilik nagari adalah masyarakat adat yang terdiri dari suku-suku. Adalah sangat wajar peranan pimpinan adat (penghulu) masih dihormati dalam tatanan masyarakat. Oleh karena itu ketika ada pendatang masuk ke salah satu wilayah nagari, maka yang pertama diharapkan adalah pendatang menyatu

  (malakok) dengan salah satu suku yang ada. Integrasi terjadi jika masyarakat pendatang dapat melihat pentingnya peran pimpinan adat dalam struktur masyarakat Minangkabau, dan dapat menghormati struktur tersebut.

  3. Integrasi sosial terjadi dalam sikap dan mentalitas yang bersifat terbuka dan toleran. Bagi masyarakat Minangkabau “pandai dan hati-hati dalam bergaul” adalah satu di antara syarat-syarat terbentuknya kehidupan haromonis. Sepanjang sesama anggota masyarakat memiliki sifat-sifat ini maka keharmonisan cepat terjadi. Mentalitas ini bahkan melebihi persaudaraan satu suku. Artinya jika ada dalam masyarakat orang yang pandai bergaul lebih diutamakan untuk dipilih oleh masyarakat sebagai pimpinan dalam nagari. Mentalitas. Secara garis besar mentalitas masyarakat Minangkabau yang menjadi perekat dan harmonisasi dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  • Solidaritas suku

  Sifat dasar masyarakat Minangkabau adalah kepemilikan bersama (komunal bezit). Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya, sebaliknya, tiap kelompok (suku/nagari) menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling me-miliki ini menjadi sumber dari timbulnya solidaritas, rasa kebersamaan, dan rasa tolong menolong. Tiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota suku akan selalu mengayomi setiap individu yang menjadi anggota sukunya.

  • Tenggang Rasa Adat Minangkabau mengajarkan supaya manusia selalu berhati-hati dalam pergaulan, baik dalam ucapan, tingkah laku maupun perbuatan. Setiap orang Minangkabau dituntut memiliki sikap tenggang rasa ini. begitu pula tuntutan orang Minangkabau terhadap orang lain, termasuk terhadap para pendatang yang berdomisili di lingkungan masyarakat Minangkabau. Meskipun tidak semua pendatang itu malakok, bahkan ada yang berbeda agama, namun selagi mereka mengembangkan sikap tenggang rasa maka mereka dapat hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Minangkabau.
  • Setia (Loyal)

  Setia (loyal) adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan. Sifat ini merupakan awal sikap saling membantu, saling membela dan saling berkorban untuk sesama. Apabila terjadi suatu konflik dan orang Minangkabau terpaksa harus memilih, maka ia akan memihak kepada dunsanak (saudara) nya.

  • Terbuka (tahu diri)

  Secara umum masyarakat Minangkabau adalah masyarakat terbuka dan mudah bergaul dengan masyarakat lain. Kenyataan ini di dasari pada fakta bahwa sebagian besar masyarakat Minangkabau punya kebiasaan “merantau” pergi atau hijrah ke tempat lain karena berbagai faktor seperti ekonomi, pendidikan, dan keluarga. Karena itu lahirlah nasehat- nasehat filosofis agar pandai-pandai dalam bermasya-rakat seperti “jika masuk kandang kambing membebek, masuk kandang jawi malanguah” (kalau masuk kandang kambing membebek masuk kandang lembu melenguh). Artinya kemana pergi pandai menyesuaikan diri tidak menentang arus, tetapi juga tidak hanyut oleh arus.

  4. Faktor Agama Agama merupakan persoalan yang sangat sensitive bagi orang Minangkabau. Jika pendatang berbeda agama, orang Minangkabau akan tetap membiarkan mereka, sepanjang mereka tidak menyebarkan agama mereka kepada orang Minangkabau dan tidak mendirikan tempat ibadah selain masjid di temgah-tengah masyarakat Minangkabau.

  5. asal dan kesamaan suku.

  Maksudnya kalau pendatang adalah dari daerah lain yang masih suku Minangkabau, maka mereka akan mudah mencari pergaulan pertama melalui suku.

  6. lokasi pemukiman, bila pendatang bermukim di tengah mayoritas penduduk asli, maka pendatang dengan otomatis akan berusaha mencari tempat malakok karena segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka akan terkait dengan suku atau ninik mamak.

  7. Akulturasi.

  Jika pendatang menyatu dengan penduduk asli melalui perkawinan, maka otomatis pendatang akan dipandang sebagai orang bagian dalam suku istrinya atau suaminya. Secara adat mereka punya posisi sendiri dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu dalam penelitian Saputra (2010), terkait integrasi sosial masyarakat multi etnik beberapa upaya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat desa Gerokgak agar terhindar dari konflik sosial yang berujung perpecahan adalah: a.

  Lebih mengikuti sosilaisasi yang diberikan oleh perangkat desa untuk mengoptimalkan proses integrasi dengan cara lebih sering menghormarti dan salingmenghargai.

  b.

  Mengadakan gotong royong bersama seminggu sekali untuk mengakrabkan seluruh komponen masyarakat di desa.

  c.

  Peduli dan saling tolong-menolong antar umat beragama dan antar etnis tanpa memandang bulu.

  d.

  Menumbuhkembangkan kepedulian sosial antar masyarakat demi kelestarian rasa kekeluargaan dan menjaga keutuhan integrasisosial.

  e.

  Lebih mengedepankan siafat nasionalisme daripada sifat egoism yang kerap kali mengganggu atau yang menjadi batu sandungan terciptanya suatu integrasi sosialpada masyarakat yang multietniskhususnya.

  f.

  Adanya pola perkwinan campur yang diadakan oleh dua etnis maupun agama yang berbeda g.

  Peleburan dua kebudayaan yang menciptakan kebudayaan baru Masih terkait tentang integrasi sosial pada masyarakat multikultural, dari penelitian yang dilakukan oleh Bumulo (2013), terkait berbagai macam fenomena dan realitas yang terjadi dalam masyarakat multikultural Di desa Bunuroja Kabupaten Pohuwato, merumuskan suatu kesimpulan yakni, Banuroja yang terkenal dengan kerukunan dan keharmonisan hidup masyarakatnya yang multietnik, tidak serta merta jauh dari gejolak dan benturan kepentingan masing- masing etnik. Tetapi hal demikian, mampu diminimalisir dan dicarikan suatu desain spesifik untuk tetap berada dalam pusaran integrasi dan keharmonisan hidup. Berbagai macam gejolak yang terjadi pada masyarakat Banuroja, seperti 1. gejolak antar agama yakni, menggunakan kesempatan untuk mengajak penganut agama lain untuk ikut memeluk agama mereka,

  2. gejolak mengenai fitnah yang dilontarkan untuk menghancurkan keharmonisan antara kedua etnis,

  3. pengakuan hak atas tanah yang terlibat di dalamnya beberapa etnis yang menempati tanah tersebut.

  Hal demikian mampu mereka bendung, sehingga benturan kepentingan tersebut tidak merambah ke konflik sosial. Realitas keragaman ini, merupakan manifestasi yang tertuang dalam sebuah falsafah Bhineka Tunggal Ika (berbeda- beda tetap satu). Setidaknya, terdapat juga beberapa instrumen perekat silaturahmi yang dilakukan oleh masyarakat di Banuroja, antara lain: saling mengundang dan mengunjungi ketika ada kegiatan keagamaan dan kegiatan desa, misalnya Majelis Ta’lim, perayaan Hari Raya, dan kegiatan desa. Dalam mengelola keserasian sosial antar masyarakat, terdapat beberapa konstruksi ide, gagasan, dan solusi yang dilakukan oleh masyarakat Banuroja untuk membendung konflik sosial pada masyarakat. Antara lain:

1. Agama Sebagai Instrumen Perekat Dalam Mengkonstruksi Keserasian

  Sosial

  Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, di mana salah satu faktor pemicunya adalah konflik bernuansa agama. Setiap agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain pada dasarnya tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Masyarakat Banuroja sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai dan menghormati terhadap masyarakat yang berbeda agama. Spritualitas dalam kehidupan sangatlah kental, karena masyarakat memahami misi-misi perdamaian dalam agamanya masing-masing, sehingga egosentrisme agama tidak muncul ke permukaan. Agama merupakan hal yang sangat esensial karena berkaitan dengan masalah kehidupan dan kematian, bahkan semua agama pasti mempunyai ajaran tentang rasa saling menyapa dan cinta kasih. Tetapi, jika hal tersebut disalah-pahami dan dijadikan sebagai teori pembenaran oleh pemeluknya, maka, ini hanyalah melahirkan sikap keangkuhan dan memandang agama orang lain adalah kesalahan.

2. Pesantren, Peranannya Dalam Proses Interaksi Sosial dan Sosialisasi

  Pendidikan Multikultural Pesantren Salafiyah Safiiyah yang berlokasi di Banuroja, merupakan sebuah institusi pendidikan yang membentuk sebuah pola pikir siswanya untuk saling menghargai perbedaan dari masing-masing latar belakang etnik maupun agama. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya banyak anak didik yang berasal dari etnik berbeda untuk menuntut ilmu di pesantrin tersebut. Bahkan bukan hanya siswa tetapi Guru-gurunya juga berasal dari etnis dan agama yang berbeda. Dalam pendirian pesantren itupun, tidak lepas dari kontribusi masyarakat yang berasal dari agama dan etnis yang bereda, baik kontribusi tenaga maupun pikiran. Kehidupan para anak didik dalam keseharian mereka sangatlah rukun, meskipun tidak dapat dipungkiri ada berbagai masalah gesekan sesama teman yang berbeda etnik maupun sesama etnik, tetapi dapat diredam tanpa harus melalui jalan konflik. Mereka mengutamakan sebuah kebersamaan karena terjadi pembauran.

3. Tokoh, Peran dan Interpensi Dalam Mengkonsiliasi Permasalahan di

  Masyarakat Heterogen Sosok tokoh yang mempunyai kepiawaian sangat penting, dalam melahirkan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat.

  Agar bahtera kehidupan mampu menggiring arus pluralisme budaya dan suku, sosok tokoh harus mampu memahami dan mapan dalam menerjemhkan ke mana bahtera tersebut berlabuh. Tentu, berpedoman pada wasiat leluhur yakni, Bhineka Tunggal Ika untuk dijadikan sebagai kompas peradaban menuju integrasi nasional. Dalam penelitian Atik Budiati (2010), menemukan bahwa Isu SARA dianggap sebagai “kambing hitam” penyebab munculnya masalah-masalah sosial di

  Indonesia. Kota Solo merupakan kota yang pertama menciptakan peristiwa rasial anti Cina. Konflik Jawa dan Tionghoa yang terjadi pada Mei 1998, mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat Tionghoa. Peristiwa ini juga mengakibatkan ikatan solidaritas masyarakat kota Solo tercerai berai, dan sosialisasi nilai-nilai kekerasan antar generasi pun terjadi . Padahal keberadaan etnik Cina dapat menjadi bandul perubahan tatanan sosial maupun ekonomi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, seiring dengan perkembangannya maka terjadilah pembauran sosial antar etnik Cina dan Jawa yang memberikan warna baru sebagai wujud terbangunnya kohesi sosial. Identitas kultural masing-masing tetap dibangun tanpa penyeragaman, beberapa simbol-simbol kultural Cina masih tetap bertahan sebagai saksi biksu atas kelanggengan hubungan kedua etnis ini.

  Dalam penelitian Haryono (2011) tentang estimasi parameter integrasi Sosial Tionghoa-Jawa di Yogyakarta dan Surakarta menyebutkan untuk mempertahankan ketahanan suatu masyarakat dalam mewujudkan suatu integrasi sosial, diperlukan pendidikan nilai demokrasi , status ekonomi sosial, simpati dan aksi.

  Atik Budiarti (2010), menyebutkan beberapa upaya pencegahan konflik dengan meningkatkan kemampuan masyrakat dalam menegelola konflik melalui program ketahanan masyarakat yang mempunyai tujuan sebagai berikut: 1.

  Memahami dan memetakan akar konflik dan kekerasan 2. Memperoleh data mengenai tingkat dan besaran konflik 3. Mengembangkan aktivitas-aktivitas perdamaian 4. Menyusun model pengelolaan konflik 5. Membangun jejaring lintas etnis dan golongan

  Budiarti juga menegaskan bahwa terciptanya ketahanan masyarakat atau komunitas tertentu merupakan sebuah gejala sosial yang dijadikan sebagai suatu antisipasi dari segala bentuk perubahan sosial, budaya. politik dan ekonomi. Istilah ketahanan masyarakat dapat dikembangkan melalui upaya terjaringnya modal sosial yang ada di masyarakat. Baik modal sosial berupa norma dan jaringan sosial, ataupun kepercayaan sosial yang mampu mendorong tindakan . kolektifitas demi mencapai manfaat bersama Ketahanan masyarakat menggambarkan kemampuan internal masyarakat dalam menggalang konsensus dan mengatur sumber daya maupun kemampuannya dalam mengantisispasinya faktor eksternal menjadi sumber ancaman menjadi peluang, oleh karena itu ketahanan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai final or finis product tetapi juga

  

process or dynamic product . Oleh karena itu pengembangan ketahan masyarakat

  tidak hanya sekedar pada upaya mengubah perubahan menjadi peluang menjadi kesempatan tetapi harus mamapu memberikan solusi konflik dan pencegahannya.

  Sebuah konsep ketahanan masyarakat yang lain menawarkan pemahaman bahwa ketahanan sosial diperlukan pada status sehat (sebagai antibody) dan pada status sakit (sebagai obat). Rochwan Achwan dalam penelitian Atik Budiarti (2010) mengungkapkan bahwa suatu komunitas dianggap memiliki ketahanan apabila

  1. Mampu melindungi secara efektif anggota keluarganya yang cenderung rentan pada perubahan sosial yang mempengaruhinya

  2. Mampu melakukan investasi sosial dalam jaringan sosial yang menguntungkan

3. Mampu mengembangkan mekanisme yang efektif dalam mengelola konflik dan kekerasan.

  Budiarti menyimpulkan bahwa tujuan dari diadakannya program ketahanan pada masyarakat kota Solo antara lain:

  1. Terbangunnya kesadaran warga akan pentingnya budaya damai dan kesediaan warga untuk berperan aktif dalam menciptakan budaya damai

  2. Menguatnya peran lembaga-lembaga formal dan informal di masyarakat dalam mengupayakan perdamaian.

  3. Menguatnya peran tokoh-tokohmasyarakat, agama, etnis dan kepemudaan dalam mengupayakan perdamaian

  4. Tersedianya data yang lengkap tentang pola-pola konflik di masyarakat 5.

  Terciptanya mekanisme damai dalam pengelolaan konflik di masyarakat 6. Adanya dokumentasi tentang kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang berkembangnya perdamaian yang sesuai dengan situasi dan kondisimasyarakat. Budiarti juga menatakan terciptanya ketahanan masyarakat diindikasikan dengan kemampuan segenap komponen pemerintah, asosiasi lokal, pengusaha, lembaga swadana masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, dan lembaga keagamaan, guna melakukan peace keeping (menjaga perdamaian), antisipasi konflik, resolusi konflik, dan social recovery dalam proses kehidupan sosial). Selain itu, komponen-komponen inilah pula yang perlu memelihara dan memainkan fungsinya sebagai adaptasi, integrasi, goalattainment, dan latence- pattern Maintenace. Agar, ketahanan masyarakat bukan sebuah impiansematadalamkondisi sosial yang tidak menentu seperti sekarang ini.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengaruh 2.1.1 Pengertian Pengaruh - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Keluarga Melalui Model Family Care Unit (FCU) Di Desa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Keluarga Melalui Model Family Care Unit (FCU) Di Desa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja - Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

0 0 20

Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

0 0 14

iv KATA PENGANTAR - Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Stakeholder - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 2 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 0 10

Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 0 8

BAB II SALURAN TRANSMISI - Analisis Pengaruh Frekuensi Terhadap Redaman pada Kabel Koaksial

0 2 20

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 10