BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1. Pengertian Kinerja - Hubungan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas KIA di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kinerja

2.1.1. Pengertian Kinerja

  Kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Srimindarti, 2006).

  Menurut Mangkunegara (2000), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

  Kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kerja kelompok personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi (Ilyas, 2001).

  Deskripsi dari kinerja menyangkut tiga komponen penting, yaitu: tujuan, ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberi arah dan memengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap setiap personel. Walaupun demikian, penentuan tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu dibutuhkan ukuran, apakah seseorang telah mencapai kinerja yang diharapkan. Untuk kuantitatif dan kualitatif standar kinerja untuk setiap tugas dan jabatan memegang peranan penting.

2.1.2. Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja.

  Beberapa teori menerangkan tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja seorang baik sebagai individu atau sebagai individu yang ada dan bekerja dalam suatu lingkungan. Sebagai individu setiap orang mempunyai ciri dan karakteristik yang bersifat fisik maupun non fisik. Dan manusia yang berada dalam lingkungan maka keberadaan serta perilakunya tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerjanya.

  Menurut Gibson yang dikutip oleh Ilyas (2001), secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut memengaruhi kelompok kerja yang pada akhirnya memengaruhi kinerja personel. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.

  Diagram teori perilaku dan kinerja digambarkan sebagai berikut:

  Variabel individu : Perilaku Individu Psikologis:

  (apa yang dikerjakan)

  • Kemampuan dan
  • Persepsi keterampilan:
  • Sikap -mental Kinerja • Kepribadian -fisik (hasil yang diharapkan)
  • Belajar • Latar belakang:
  • Motivasi -keluarga
    • tingkat sosial

  

Variabel Organisasi:

  • pengalaman
    • Sumber daya
    • Demografis • Kepemimpinan -
    • Imbalan -etnis
    • Struktur -jenis kelamin
    • Desain pekerjaan

Gambar 2.1. Diagram skematis teori perilaku dan kinerja dari Gibson (1987).

  Variabel individu dikelompokkan pada sub-variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub-variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

  Variabel psikologik terdiri dari sub-variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987), banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit untuk diukur, juga menyatakan sukar mencapai kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut, karena seorang individu masuk dan bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang budaya dan keterampilan berbeda satu dengan yang lainnya.

  Variabel organisasi, menurut Gibson (1987) berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub-variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

  Menurut Kapolmen yang dikutip oleh Ilyas (2001), ada empat determinan utama dalam produktifitas organisasi termasuk didalamnya adalah prestasi kerja.

  Faktor determinan tersebut adalah lingkungan, karakteristik organisasi, karakteristik kerja dan karakteristik individu. Karakteristik kerja dan karakteristik organisasi akan memengaruhi karakteristik individu seperti imbalan, penetapan tujuan akan meningkatkan motivasi kerja, sedangkan prosedur seleksi tenaga kerja serta latihan dan program pengembangan akan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan dari individu. Selanjutnya variabel karakteristik kerja yang meliputi penilaian pekerjaan akan meningkatkan motivasi individu untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi.

  Menurut Stoner yang dikutip oleh Adiono (2002), mengemukakan bahwa prestasi individu disamping dipengaruhi oleh motivasi dan pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor persepsi peran yaitu pemahaman individu tentang perilaku apa yang diperlukan untuk mencapai prestasi individu. Kemampuan (ability) menunjukkan kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan dan tugas.

  Sedangkan menurut Notoatmodjo (2002), ada teori yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja yang disingkat menjadi “ACHIEVE” yang artinya Ability (kemampuan pembawaan), Capacity (kemampuan yang dapat dikembangkan), Help (bantuan untuk terwujudnya kinerja), Incentive (insentif material maupun non material), Environment (lingkungan tempat kerja karyawan), Validity (pedoman/petunjuk dan uraian kerja), dan Evaluation (adanya umpan balik hasil kerja).

  Menurut Davies (1989) yang dikutip oleh Adiono (2002), juga mengatakan bahwa faktor yang memengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Faktor kemampuan secara psikologik terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality, yang artinya karyawan yang memiliki diatas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan keterampilan dalam mengerjakan tugas sehari-hari maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan.

  Menurut teori Atribusi atau Expectancy Theory, dikemukakan oleh Heider, pendekatan atribusi mengenai kinerja dirumuskan sebagai berikut: K= M x A, yaitu K adalah kinerja, M adalah motivasi, dan A adalah ability. Konsep ini menjadi sangat populer dan sering kali diikuti oleh ahli-ahli lain, menurut teori ini, kinerja adalah interaksi antara motivasi dengan ability (kemampuan dasar).

  Dengan demikian orang yang tinggi motivasinya tetapi memiliki kemampuan yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah, begitu pula orang yang berkemampuan tinggi tetapi rendah motivasinya. Motivasi merupakan faktor penting dalam mendorong setiap karyawan untuk bekerja secara produktif, sehingga berdampak pada kinerja karyawan (Siagian, 1995).

2.1.3. Penilaian Kinerja.

  Penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seseorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya dalam suatu organisasi melalui instrumen penilaian kinerja. Pada hakikatnya, penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja individu (personel) dengan membandingkan dengan standard baku penampilan. Menurut Hall, penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personel dan usaha untuk memperbaiki kerja personel dalam organisasi. Menurut Certo, penilaian kinerja adalah proses penelusuran kegiatan pribadi personel pada masa tertentu dan menilai hasil karya yang ditampilkan terhadap pencapaian sasaran sistem manajemen (Ilyas, 2001).

  Pada dasarnya ada dua model penilaian kinerja: a. Penilaian sendiri (Self Assessment). Penilaian sendiri adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaaan individu. Ada dua teori yang menyarankan peran sentral dari penilaian sendiri dalam memahami perilaku individu. Teori tersebut adalah teori kontrol dan interaksi simbolik.

  Menurut teori kontrol yang dijelaskan oleh Carver dan Scheier (1981) yang dikutip oleh Ilyas (2001), individu harus menyelesaikan tiga tugas untuk mencapai tujuan mereka. Mereka harus (1) menetapkan standar untuk perilaku mereka, (2) mendeteksi perbedaan antara perilaku mereka dan standarnya (umpan balik), dan (3) berperilaku yang sesuai dan layak untuk mengurangi perbedaan ini. Selanjutnya, disarankan agar individu perlu melihat dimana dan bagaimana mereka mencapai tujuan mereka. Dengan pengenalan terhadap kesalahan yang dilakukan, mereka mempunyai kesempatan melakukan perbaikan dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan mereka.

  Inti dari teori interaksi simbolik adalah preposisi yaitu kita mengembangkan konsep sendiri dan membuat penilaian sendiri berdasarkan pada kepercayaan kita tentang bagaimana orang memahami dan mengevaluasi kita. Teori ini menegaskan pentingnya memahami pendapat orang lain disekitar mereka terhadap perilaku mereka. Interaksi simbolik juga memberikan peran sentral bagi interpretasi individu tentang dunia sekitarnya. Jadi individu tidak memberikan respon secara langsung dan naluriah terhadap kejadian, tetapi memberikan interpretasi terhadap kejadian tersebut Preposisi ini penting sebagai pedoman interpretasi tentang penilaian sendiri yang digunakan dalam mengukur atau menilai kinerja personel dalam organisasi.

  Penilaian sendiri dilakukan bila personel mampu melakukan penilaian terhadap proses dari hasil karya yang mereka laksanakan sebagai bagian dari tugas organisasi. Penilaian sendiri ditentukan oleh sejumlah faktor kepribadian, pengalaman, dan pengetahuan, serta sosio-demografis seperti suku dan pendidikan. Dengan demikian, tingkat kematangan personel dalam menilai hasil karya sendiri menjadi hal yang patut dipertimbangkan (Ilyas, 2001).

  b. Penilaian 360 derajat (360 Degree Assessment).

  Teknik ini akan memberikan data yang lebih baik dan dapat dipercaya karena dilakukan penilaian silang oleh bawahan, mitra dan atasan personel Data penilaian merupakan nilai kumulatif dari penilaian ketiga penilai. Hasil penilaian silang diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadi kerancuan, bila penilaian kinerja hanya dilakukan oleh personel sendiri saja (Ilyas, 2001).

  Penilaian atasan, pada organisasi dengan tingkat manajemen majemuk, personel biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi. Penilaian ini termasuk yang dilakukan oleh penyelia atau atasan langsung yang kepadanya laporan kerja personel disampaikan. Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit lain. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian lain dibatasi, hanya pada situasi kerja kelompok dimana individu sering melakukan interaksi.

  Penilaian mitra, biasanya penilaian mitra lebih cocok digunakan pada kelompok kerja yang mempunyai otonomi yang cukup tinggi, dimana wewenang pengambilan keputusan pada tingkat tertentu telah didelegasikan oleh manajemen kepada anggota kelompok kerja. Penilaian mitra dilakukan oleh seluruh anggota kelompok dan umpan balik untuk personel yang dinilai dilakukan oleh komite kelompok kerja dan bukan oleh penyelia. Penilaian mitra biasanya lebih ditujukan untuk pengembangan personel dibandingkan untuk evaluasi. Yang perlu diperhatikan pada penilaian mitra adalah kerahasiaan penilaian untuk mencegah reaksi negatif dari personel yang dinilai.

  Penilaian bawahan, terhadap kinerja personel dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan dan umpan balik personel. Program ini meminta kapada manajer untuk dapat menerima penilaian bawahan sebagai umpan balik atas kemampuan manajemen mereka. Umpan balik bawahan berdasarkan kriteria sebagai berikut: pencapaian perencanaan kinerja strategik, pencapaian komitmen personel, dokumentasi kinerja personel, umpan balik dan pelatihan personel, pelaksanaan penilaian kinerja, dan imbalan kinerja. Manajer diharapkan mengubah perilaku manajemen sesuai dengan harapan bawahan.

2.2 Motivasi Kerja

2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja

  Robbins (1996) mengatakan motivasi kerja sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual. Sedangkan Munandar (2001) mendefinisikan motivasi kerja dapat dipandang sebagai suatu ciri yang ada pada calon tenaga kerja ketika diterima masuk kerja di suatu perusahaan atau organisasi.

  Menurut Hasibuan (2004), motivasi kerja merupakan daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama dan bekerja efektif dengan segala daya upaya untuk mencapai kepuasan. Sementara itu Siagian (2002) mendefinisikan motivasi kerja sebagai daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya, dengan pengertian bahwa tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan.

  Motivasi kerja merupakan suatu model dalam menggerakkan dan mengarahkan para karyawan atau pekerja agar dapat melaksanakan tugasnya masing-masing dalam mencapai sasaran dengan penuh kesadaran, kegairahan dan bertanggungjawab (Anoraga, 1998).

  Motivasi kerja dapat memberi energi yang menggerakkan segala potensi yang ada, menciptakan keinginan yang tinggi dan luhur, serta meningkatkan kebersamaan. Motivasi terbagi dua, yaitu segi pasif dimana motivasi tampak sebagai satu usaha positif dalam menggerakkan daya dan potensi tenaga kerja agar secara produktif berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

  Berdasarkan mencapai tujuan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja dengan mengeluarkan tingkat upaya untuk memberikan kontribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya,

2.2.2. Faktor-Faktor Penggerak Motivasi Kerja

  Menurut Herzberg (dalam Munandar, 2001) motivasi kerja pada seseorang pekerja dapat menimbulkan kepuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan motivasi kerja terbagi dua yaitu: a.

  Faktor Intrinsik yang terdiri atas:

  1. Tanggung jawab (responsibility), besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja untuk menjalankan fungsi jabatan yang ditugaskan kepadanya sesuai dengan kemampuan dan pengarahan yang diterima.

  2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya seperti naik pangkat.

  3. Pekerjaan itu sendiri (the work it self), besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya. Aspek ini meliputi pelaksanaan kerja yang aktual dapat dilihat dari rutinitas, jumlah pekerjaan dan sifat pekerjaan.

  4. Pencapaian (achievement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang optimal. Aspek ini meliputi keberhasilan atau kegagalan yang dinilai secara spesifik, misalnya pelaksanaan kerja, penyelesaian masalah dan usaha untuk mempertahankan keberhasilan.

  5. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas hasil kerja. Aspek ini meliputi segala tindakan peringatan, pujian atau teguran yang dapat bersumber dari penyelia, manajemen sebagai suatu kekuatan interpersonal, rekan kerja dan masyarakat umum.

  b.

  Faktor Ekstrinsik yang terbagi atas:

  1. Aministrasi dan kebijaksanaan perusahaan, derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan. Aspek ini meliputi keadekuatan organisasi dan manajemen perusahaan, peraturan dan administrasi perusahaan.

  2. Penyeliaan (supervisi), derajat kewajaran penyelia yang dirasakan diterima oleh karyawan dari atasannya. Aspek ini meliputi keadilan atasan dalam memperlakukan karyawan ketika atasan memberikan pengarahan dan bimbingan kepada karyawan.

  3. Insentif, derajat kewajaran dari insentif yang diterima sebagai imbalan perilaku-kerja karyawan.

  4. Hubungan antar pribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lain. Aspek ini meliputi interaksi antara karyawan dengan penyelia, bawahan dan rekan kerjanya.

  5. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya. Aspek ini meliputi kondisi fisik tempat karyawan bekerja, termasuk fasilitas dan ciri-ciri ruangan.

  Jika faktor intrinsik tersebut ada dapat memberi motivasi yang kuat dan kepuasan dalam diri seseorang, namun tidak menyebabkan ketidakpuasan bila faktor tersebut tidak ada. Sedangkan faktor ekstrinsik, bila kurang atau tidak diberikan maka akan menyebabkan ketidakpuasan pada tenaga kerja tetapi dapat menyebabkan tidak ada ketidakpuasan jika faktor tersebut ada.

  Sedangkan Sagir (2002) mengemukakan bahwa motivasi tenaga kerja ditentukan oleh perangsangnya, perangsang yang dimaksud merupakan mesin pengerak motivasi tenaga kerja sehingga menimbulkan pengaruh perilaku individu tenaga kerja yang bersangkutan. Adapun unsur penggerak motivasi kerja tersebut adalah: a.

  Kinerja, seberapa besar kemungkinan sesorang untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Kebutuhan ini merupakan daya penggerak yang memotivasi kerja karyawan.

  b.

  Penghargaan, pengakuan yang diperoleh sesorang atas suatu kinerja yang telah dicapainya.

  c.

  Tantangan, suatu sasaran yang memiliki tingkat kesulitan merupakan perangsang kuat bagi manusia dan menumbuhkan kegairahan untuk mengatasinya, d. Tanggung jawab, adanya suatu rasa ikut memiliki akan menimbulkan motivasi sesorang untuk bekerja e.

  Pengembangan, pengembangan kemapuan-kemampuan dan kesempatan untuk maju, merupakan perangsang kuat bagi tenaga kerja untuk bekerja lebih giat.

  f.

  Keterlibatan, adanya rasa ikut terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan atau langkah-langkah kebijakan yang akan diambil pihak perusahaan.

  g.

  Kesempatan, adanya peluang untuk maju dalam bentuk jenjang karir yang terbuka dari tingkat bawah sampai tingkat manajemen puncak merupakan perangsang yang cukup kuat. Sementara Gomes (2003) menbagi faktor-faktor motivasi kerja dalam dua bagian, yaitu: a.

  Faktor individual yang mencakup kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan- tujuan (goals), sikap-sikap (attitudes), dan kemampuan-kemampuan (abilities) b. Faktor organisasioanal meliputi gaji (pay), keamanan pekerjaan (job

  security ), sesama pekerja (co-workes), pengawasan (supervision), pujian (praise), dan pekerjaan itu sendiri (the work it self).

  Berdasarkan apa yang telah dikemukakan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penggerak dari motivasi kerja pada diri seseorang terdiri atas faktor yang berasal dari dalam diri individu tersebut atau disebut intrinsik dan faktor yang berasal dari luar dari individu atau disebut juga faktor ekstrinsik.

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja

  Menurut Siagian (1995) faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang dapat diketahui berdasarkan karakteristik dari individu yang bersifat khas yang terdiri dari delapan faktor yaitu:

  1. Karakteristik Biografikal yang meliputi: a.

  Usia, hal ini penting karena usia mempunyai kaitan yang erat dengan berbagai segi kehidupan organisasional. Misalnya kaitan usia dengan ting kat “kedewasaan” sesorang, yang dimaksud disini adalah kedewasaan teknis yaitu keterampilan melaksanakan tugas.

  b.

  Jenis Kelamin, karena jelas bahwa implikasi jenis kelamin para pekerja merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian secara wajar dengan demikian perlakuan terhadap mereka pun dapat disesuaikan yang bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

  c.

  Status perkawinan, dengan status perkawinan ini secara tidak langsung dapat memberikan petunjuk cara, dan teknik motivasi yang cocok digunakan bagi para pegawai yang telah menikah dibandingkan dengan pegawai yang belum menikah.

  d.

  Jumlah tanggungan, dalam hal ini jumlah tanggungan dilihat dari kaca mata “sosial budaya”. Pada masyarakat yang menganut konsep “Extended

  family system

  ” yang dianggap menjadi tanggungan seorang pencari nafkah utama keluarga adalah semua orang yang biaya hidupnya tergantung pada pencari nafkah utama tersebut, tidak terbatas hanya pada istri atau suami dan anak-anaknya. Interpretasi ini mempunyai implikasi yang kompleks karena dalam masyarakat demikian, secara formal yang diperhitungkan sebagai tanggungan seorang pegawai hanyalah istri atau suami dan anak- anak kedua orang tua yang bersangkutan, padahal dalam kenyataannya yang menjadi tanggungan sesorang bisa lebih dari jumlah tanggungan yang secara sah diakui berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  e.

  Masa kerja, dalam organisasi perlu diketahui masa kerja seseorang karena masa kerja merupakan salah satu indikator kecenderungan para pekerja dalam bebagai segi organisasional sperti: produktivitas kerja dan daftar kehadiran. Karena semakin lama seseorang bekerja ada kemungkinan untuk mereka mangkir atau tidak masuk kerja disebabkan karena kejenuhan.

  2. Kepribadian Kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi motivasi kerja sesorang karena kepribadian sebagai keseluruhan cara yang digunakan oleh sesorang untuk bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

  3. Persepsi Interpretasi seseorang tentang kesan sensorisnya mengenai lingkungan sekitarnya akan sangat berpengaruh pada perilaku yang pada gilirannya menentukan faktor-faktor yang dipandangnya sebagai faktor organisasional yang kuat.

  4. Kemampuan belajar Belajar adalah proses yang berlangsung seumur hidup dan tidak terbatas pada pendidikan formal yang ditempuh oleh seseorang diberbagai belajarnya seseorang adalah perubahan dalam persepsi, perubahan dalam kemauan dan perubahan dalam tindakan.

  5. Nilai-nilai yang dianut Sistem nilai pribadi seseorang biasanya dikaitkan dengan sistem nilai sosial yang berlaku diberbagai jenis masyarakat dimana seseorang menjadi anggota.

  6. Sikap Sikap merupakan suatu pernyataan evaluatif sesorang terhadap objek tertentu, orang tertentu atau peristiwa tertentu. Artinya sikap merupakan pencerminan perasaan seseorang terhadap sesuatu.

  7. Kepuasan kerja

  Kepuasan kerja adalah sikap umum sesorang yang positif terhadap kehidupan organisasionalnya.

  8. Kemampuan Kemampuan dapat digolongkan atas dua jenis yaitu kemampuan fisik dan kemampuan intelektual. Kemampuan fisik meliputi kemampuan sesorang dalam menyelesaikan tugas-tugas yang bersifat teknis, mekanistik dan repetatif, sedangkan kemampuan intelektual meliputi cara berfikir dalam menyelesaikan masalah.

2.2.4. Ciri-Ciri Individu yang Memiliki Motivasi Kerja

  Motivasi seorang pekerja untuk bekerja biasanya merupakan hal yang rumit, menurut Arep & Tanjung (2004) ciri-ciri individu yang memiliki motivasi kerja adalah:

  1. Bekerja sesuai standar, dimana pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan dalam waktu yang sudah ditentukan.

  2. Senang dalam bekerja, yaitu sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat ia senang untuk mengerjakannya.

  3. Merasa berharga, dimana seseorang akan merasa dihargai, karena pekerjaannya itu benar-benar berharga bagi orang yang termotivasi.

  4. Bekerja keras, yaitu seseorang akan bekerja keras karena dorongan yang begitu tinggi untuk menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan.

  5. Sedikit pengawasan, yaitu kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi kerja memiliki ciri-ciri antara lain bekerja sesuai standar, senang dalam bekerja, merasa berharga, bekerja keras, dan sedikit pengawasan.

2.2.5. Bentuk- Bentuk Motivasi Kerja

  Pada umumnya bentuk motivasi kerja yang sering dianut perusahaan meliputi empat unsur utama (Sastrohadiwiryo, 2003), yaitu a.

  Kompensasi bentuk uang b. Salah satu bentuk yang paling sering diberikan kepada tenaga kerja adalah berupa kompensasi dan kompensasi yang sering diberikan berbentuk uang.

  Pemberian kompensasi bentuk uang sebagai motivasi kerja para pegawai memiliki dua pengaruh perilaku. Keanggotaan adalah pengaruh yang paling luas, yang kedua adalah negatif dari sudut pandang perusahaan adalah dan cenderung terbatas dan hanya pada tenaga kerja yang pendapatannya tidak lebih dari tingkat “standar kehidupan yang layak” dan cenderung menganggap kompensasi bentuk uang tidak seimbang.

  c.

  Pengarahan dan pengendalian Pengarahan maksudnya menentukan apa yang harus mereka kerjakan atau tidak mereka kerjakan, sedangkan pengendalian maksudnya menentukan bahwa tenaga kerja harus mengerjakan hal-hal yang telah diinstruksikan.

  d.

  Penetapan pola kerja yang efektif Pada umumnya rekasi dari kebosanan kerja akan menghambat produktifitas kerja untuk menanggapinya digunakan beberapa teknik:

  1. Memperkaya pekerjaan yaitu penyusuaian tuntutan pekerjaan dengan kemampuan tenaga kerja.

  2. Manajemen partisipatif yaitu penggunaan berbagai cara untuk melibatkan pekerja dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi pekerjaan mareka.

  3. Mengalihkan perhatian para pekerja dari pekerjaan yang membosankan kepada intrumen (alat), waktu luang untuk istirahat atau sarana lain yang lebih fantastis.

  e.

  Kebajikan Kebajikan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang diambil dengan sengaja oleh manajemen untuk mempengaruhi sikap atau perasaan para tenaga kerja.

2.3. Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

  Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal. Salah satu tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu. Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisian. Pemantapan pelayanan KIA dewasa ini diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut:

  1. Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan dengan mutu sesuai standar serta menjangkau seluruh sasaran

  2. Peningkatan pertolongan persalinan ditujukan kepada peningkatan pertolongan oleh tenaga kesehatan kebidanan secara berangsur.

  3. Peningkatan deteksi dini resiko tinggi/komplikasi kebidanan, baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat oleh kader dan dukun bayi serta penanganan dan pengamatannya secara terus menerus.

  4. Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan secara adekuat dan pengamatan secara terus menerus oleh tenaga kesehatan.

  5. Peningkatan pelayanan neonatal dan ibu nifas dengan mutu sesuai standar dan menjangkau seluruh sasaran.

2.3.1. Pelayanan Antenatal

  Pelayanan antenatal mencakup banyak hal, meliputi anamnesia, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi dasar dan khusus (sesuai resiko yang ada termasuk penyuluhan dan konseling). Namun dalam penerapan antenatal, terdiri atas: (a) timbang berat badan dan ukur tinggi badan, (b) tekanan darah, (c) tinggi fundus uteri, (d) Tetanus Toksoid (TT) lengkap, (e) Tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan. Dengan demikian, apabila pelayanan antenatal tidak memenuhi standar “5T” tersebut, belum dianggap suatu pelayanan antenatal. Selain itu pelayanan antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan, tidak oleh dukun bayi.

  Menurut Depkes RI (2007) dalam program perencanaan kesehatan ibu dan anak melalui pendekatan tim, menyebutkan bahwa kebijaksanaan pelayanan antenatal terdiri dari kebijaksanaan umum adalah memberikan pelayanan antenatal sesuai dengan standar pada jenjang pelayanan yang ada yaitu: (a) meningkatkan peran serta masyarakat (suami, keluarga, kader) dalam menunjang penyelenggaraan pelayanan antenatal dan pencegahan resiko tinggi melalui kegiatan bimbingan dan penyuluhan kesehatan, (b) meningkatkan mutu dan jumlah tenaga pelaksana maupun peralatan fasilitas pelayanan antenatal, (c) melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali yaitu: pada triwulan pertama 1 kali, triwulan kedua 1 kali, dan pada triwulan ke tiga 2 kali, (d) meningkatkan sistem rujukan kehamilan resiko tinggi, mendapatkan umpan balik rujukan sesuai dengan jenjang pelayanan.

2.3.2. Pertolongan persalinan

  Dalam program KIA dikenal beberapa jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat. Jenis tenaga tersebut adalah dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat bidan. Masalah pertolongan persalinan di daerah pedesaan sangat memprihatinkan, hal ini semakin diperparah apabila selama masa kehamilan seorang ibu juga tidak pernah melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan, walaupun dilakukan pemeriksaan hanya kepada dukun bayi yang tentunya tidak memiliki kemampuan dan fasilitas yang cukup untuk mengetahui dan mendeteksi secara dini apabila terdapat kelainan atau penyakit yang mengiringi kehamilan tersebut

  Masalah mendasar yang sering menjadi kendala dalam peningkatan kesehatan perempuan adalah sering terjadinya nilai-nilai sosial budaya yang menempatkan posisi perempuan pada posisi subordinatif yaitu stereotip masyarakat terhadap peran dan kedudukan perempuan (Sumaryoto, 2003). Upaya Untuk meningkatkan harga diri dan martabat perempuan selain pendidikan keterampilan, juga sangat memperhatikan character building. Pembangunan hanya bias sukes jika masyarakat termasuk perempuan mempunyai karakter yang baik. Penerapan kemampuan harus berjalan secara selaras. Negara hanya dapat bertahan jika etika dan moral penduduknya bagus. Masyarakat yang pintar secara intelektual tidak bermanfaat apabila moral dan etikanya rusak karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat. Kenyataan selama ini perempuan baru bisa dihargai jika memiliki kemampuan intelektual dan emosi yang seimbang

2.3.3. Deteksi Dini Ibu Hamil Berisiko

  Untuk menurunkan angka kematian ibu secara bermakna, kegiatan deteksi dini dan penanganan ibu hamil berisiko/ komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik di fasilitas pelayanan KIA maupun di masyarakat. Dalam rangka itulah deteksi ibu hamil berisiko/ komplikasi kebidanan perlu difokuskan pada keadaan yang menyebabkan kematian ibu bersalin di rumah dengan pertolongan oleh dukun bayi.

  Tingginya AKI di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh timbulnya penyulit persalinan yang tidak dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu. Faktor waktu dan transportasi merupakan hal yang sangat menentukan dalam merujuk kasus risiko tinggi. Penempatan bidan di desa memungkinkan penanganan dan rujukan ibu hamil berisiko sejak dini, serta identifikasi tempat persalinan yang tepat bagi ibu hamil sesuai dengan resiko yang disandangnya.

  2.3.4. Penanganan Komplikasi Kebidanan

  Kejadian komplikasi kebidanan dan risiko tinggi diperkirakan terdapat pada sekitar 15-20% ibu hamil. Komplikasi dana kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga atau diramalkan sebelumnya, sehingga ibu hamil harus berada sedekat mungkin pada sarana pelayanan yang mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Agar puskesmas mampu melaksanakan PONED maka harus didukung pula oleh tenaga medis terampil yang telah dilatih dan adanya sarana medis maupun non medis yang memadai. Kebijakan dalam penyediaan puskesmas yang mampu melaksanakan PONED adalah bahwa setiap kabupaten/kota harus mempunyai minimal 4 (empat) puskesmas yang mampu melaksanakan PONED. Untuk keperluan tersebut Depkes RI telah menerbitkan pedoman khusus yang dapat menjadi acuan pengembangan puskesmas yang mampu melaksanakan PONED. Pelayanan medis yang dapat dilakukan di puskesmas meliputi pelayanan obstetri yang terdiri dari: (a) pencegahan dan penanganan pendarahan, (b) pencegahan dan penanganan pre- eklamsia, (c) pencegahan dan penanganan infeksi, (d) penanganan partus lama/macet, (e) pencegahan dan penanganan abortus.

  2.3.5. Pelayanan Kesehatan Neonatal dan Ibu Nifas

  Masa nifas atau pueperium adalah masa setelah placenta lahir dan berakhir ketika alat “kandungan seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama ± 6 minggu (Buku panduan praktis pelayanan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, 2002). Masa nifas adalah masa setelah partus selesai dan berakhir kira-kira 6 minggu dan seluruh alat genital pulih kembali sperti sebelum ada kehamilan dalam waktu 3 bulan pulih kembali mulai dari partus selesai sampai alat kandungan kemabali seperti pra hamil kehamilan lamanya 6-8 minggu (Prawirohardjo, 2002).

  Pergerakan yang segera mungkin dilakukan dapat mengurangi angka kejadian dari gangguan trombo simbolik dan sebagian wanita akan merasa nyaman dalam melakukan ambulasi. Untuk wanita Asia mereka juga membutuhkan rawat gabung dengan bayinya yanng bertujuan untuk istirahat dan penyembuhan sesudah bayi lahir untuk mempermudah melakukan konsep dari perawatan dari post natal dan mereka juga menemukan hal yang tidak cocok dari apa yang mereka harapkan untuk melakukan tahap sesegera mungkin.

  Perawatan post natal untuk ibu dan bayinya merupakan pertimbangan dari suku dan budaya. Ambulasi yang terlambat pada wanita akan mengalami gangguan epidural sampai kembalinya stimulus seperti semula dan juga membutuhkan pertolongan yang intensif dari seseorang. Perawatan post partum sejak uri lahir dengan menghindari kemungkinan perdarahan post partum dan infeksi 8 jam post partum, wanita harus tidur terlentang untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum. Setelah 8 jam boleh miring ke kiri dan kanan untuk mencegah terjadinya trombosis.

2.4. Kerangka Konsep

  Menurut Mangkuprawira (2009), Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan suskes jika yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. Sementara Menurut Herzberg dalam Siagian (2002) motivasi merupakan suatu daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang sebesarbesarnya demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya, dengan pengertian bahwa tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan. Karyawan termotivasi untuk bekerja disebabkan oleh dua faktor, yaitu : instrinsik dan ekstrinsik.

  Dalam hal ini sangat jelas menyatakan bahwa semakin karyawan termotivasi maka kinerja karyawan pun juga sekaligus dapat meningkat pada perusahaan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka dibuat kerangka konseptualnya yang dapat dilihat pada Gambar 2.2

  

Variabel Bebas Variabel Terikat

Motivasi Intrinsik

  • Tanggung jawab (Responsibility)
  • Kemajuan (Advancement)
  • Pekerjaan itu sendiri

  (The work it self)

  • Pencapaian (Achievement)
  • Pengakuan (Recognition)
  • Administrasi dan kebijaksanaan organisasi
  • Penyeliaan - Insentif - Hubungan antar pribadi
  • Kondisi kerja

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Motivasi Ekstrinsik

  Kinerja Petugas KIA

2.5. Hipotesa Penelitian

  Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka hipotesis penelitian ini adalah adanya hubungan motivasi kerja terhadap kinerja petugas KIA di Kota Binjai Tahun 2015.

Dokumen yang terkait

BAB II GAMBARAN UMUM DESA JANJI MAULI 2.1 Kondisi Alam dan Geografis - Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

0 0 13

BAB II DESKRIPSI PROYEK - Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung

0 1 47

BAB I PENDAHULUAN - Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Etil Ester Sebagai Biodiesel Dari Crude Palm Oil Menggunakan Katalis Choline Hydroxide

0 0 9

1. Usia BapakIbu saat ini Tahun 2. Jenis Kelamin BapakIbu Laki-laki Perempuan 3. Sudah berapa lama BapakIbu bekerja sebagai Guru di Di Dinas Pendidikan Kabupaten Toba Samosir sejak pengangkatan pertama: Tahun 4. Pendidikan Terakhir BapakIbu DIIISarjana Mu

0 0 29

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu Iskandar (2012), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Motivasi - Analisis Pengaruh Lingkungan Kerja, Disiplin Dan Tunjangan Profesi Guru Terhadap Kinerja Guru Di Dinas Pendidikan Kabupaten Toba

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Lingkungan Kerja, Disiplin Dan Tunjangan Profesi Guru Terhadap Kinerja Guru Di Dinas Pendidikan Kabupaten Toba Samosir

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Proses Transesterifikasi Minyak Sawit Menggunakan Novozyme® 435 Untuk Menghasilkan Biodiesel Sawit

0 7 11

KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PETUGAS KIA DI PUSKESMAS KOTA BINJAI TAHUN 2015

0 1 30