Uji Mutu Bahan Baku Riboflavin Sebagai Bahan Baku Vitamin B Kompleks Yang Diproduksi Oleh Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

   Obat adalah unsur aktif secara fisiologi dipakai dalam diagnosis,

  pencegahan, pengobatan, atau penyembuhan suatu penyakit pada manusia atau hewan. Obat dapat berasal dari alam diperoleh dari sumber mineral, tumbuh- tumbuhan atau hewan atau dapat dihasilkan dari sintesis kimia organik atau biosintesis (Ansel, 1989).

  Menurut undang-undang, yang dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Syamsuni, 2007).

  Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tapi banyak kejadian yang mengakibatkan seseorang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan (Anief, 2007).

2.2 Bahan baku

  Menurut Dirjen POM (2012), bahan aktif obat adalah tiap bahan yang digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila digunakan dalam pembuatan obat akan menjadi zat aktif obat tersebut. Bahan tersebut bertujuan untuk menghasilkan khasiat farmakologi atau memberikan efek langsung lain dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit, atau untuk memengaruhi struktur dan fungsi tubuh.

  Semua bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan resmi farmakope atau persyaratan lain yang disetujui oleh regulator atau oleh industri farmasi yang bersangkutan. Selain itu, bahan–bahan yang dibeli harus sesuai dengan spesifikasi hasil uji praformulasi agar diperoleh mutu obat yang konsisten dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, stabilitas, dan ketersediaan hayati (Siregar, 2010).

  Formulasi pembuatan tablet vitamin B kompleks yang diproduksi oleh PT. Kimia Farma Plant. Medan R/ Thiamin mononitrat 2 mg Riboflavina 2 mg Pyridoksina 2 mg Nikotinamide 2 mg Kalsium Pantotenat 10 mg Bobot vitamin B kompleks 100 mg.

2.3 Uji Mutu Bahan Baku

  2.3.1 Pemerian Pemerian memuat paparan mengenai sifat zat yang diuraikan secara umum

  terutama meliputi wujud, rupa, warna, rasa, bau dan untuk beberapa hal dilengkapi dengan sifat kimia atau sifat fisiknya, dimaksudkan untuk dijadikan petunjuk dalam pembuatan, peracikan dan penggunaan, di samping juga berguna untuk membantu pemeriksaan pendahuluan dalam pengujian. Karena itu, pernyataan yang terdapat di dalamnya tidak cukup kuat dijadikan syarat baku (Ditjen POM, 1984).

  2.3.2 Kelarutan Untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam pengertian

  umum kadang-kadang perlu digunakan, tanpa mengindahkan perubahan kimia yang mungkin terjadi pada pelarutan tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20º dan kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut. Pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka adalah kelarutan pada suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika dilarutkan boleh menunjukkan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas saring, serat dan butiran debu. Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa 1g zat padat atau 1 ml zat cair dalam sejumlah ml pelarut. Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat ditunjukkan dengan kelarutan yang tertera pada kelarutan dalam etanol merupakan syarat baku obat yang bersangkutan (Ditjen POM, 1984).

  2.3.3 Susut Pengeringan

  Susut pengeringan adalah banyaknya bagian zat yang mudah menguap, termasuk air, ditetapkan dengan cara pengeringan, kecuali dinyatakan lain, dilakukan pada suhu 105º hingga bobot tetap (Ditjen POM, 1984).

  Prosedur ini digunakan untuk penetapan jumlah semua jenis bahan yang mudah menguap dan hilang pada kondisi tertentu. Untuk zat yang diperkirakan mengandung air sebagai satu-satunya bahan mudah menguap, cara yang terdapat pada penetapan kadar air sudah memadai dan dicantumkan dalam masing-masing monografi (Ditjen POM, 1995).

  2.3.4 Suhu Lebur Suhu lebur zat adalah suhu pada saat zat tepat melebur seluruhnya yang ditunjukkan pada saat fase padat tepat hilang (Ditjen POM, 1984).

  Dalam farmakope, jarak lebur atau suhu lebur zat padat didefinisikan sebagai rentang suhu atau suhu pada saat zat padat menyatu dan melebur sempurna (Ditjen POM, 1995).

  2.3.5 Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis

  Spektrofotometri serap adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnet panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik, yang diserap zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190 nm – 380 nm) atau pada daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380 nm – 780 nm) (Ditjen POM, 1984).

  Identifikasi zat secara spektrofotometri pada daerah ultraviolet pada umumnya dilakukan dengan menggambarkan spektrum serapan larutan zat dalam pelarut, dan dengan kadar seperti yang tertera pada monografi, untuk menetapkan letak serapan maksimum atau minimum (Ditjen POM, 1984).

  Penetapan secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur serapan larutan zat dalam pelarut serta pada panjang gelombang tertentu. Pengukuran serapan biasanya dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum dan yang umumnya telah dicantumkan pada monografi (Ditjen POM, 1984).

2.4 Vitamin

  Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu, harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas spesifik di dalam tubuh. Karena vitamin adalah zat organik maka vitamin dapat rusak karena penyimpanan dan pengolahan (Almatsier, 2009).

  Vitamin dikenal sebagai mikronutrien karena vitamin dibutuhkan pada makanan manusia hanya dalam jumlah miligram atau mirogram per hari. Vitamin masuk ke dalam tubuh bersama makanan. Kebutuhan tubuh akan berbagai vitamin tidak sama setiap hari sebab masing-masing vitamin mempunyai fungsi yang berbeda. Jumlah kebutuhan vitamin per hari ada yang dapat ditentukan dengan pasti dan ada yang tidak (Sumardjo, 2009).

  Kebutuhan tubuh akan vitamin ada batasnya. Kelebihan suatu vitamin tidak selalu dibuang, tetapi ada juga yang disimpan. Contohnya vitamin A, disimpan dalam jumlah besar di hati, sedangkan penyimpanan vitamin K dalam hati terbatas. Untuk vitamin-vitamin yang penyimpanannya dalam tubuh terbatas, diperlukan tambahan setiap hari dan hal ini diperoleh dari makanan (Sumardjo, 2009).

  Vitamin dibagi menjadi dua golongan yaitu (1) vitamin larut lemak: vitamin A, D, E, dan K; dan (2) vitamin larut air: vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin larut air disimpan dalam tubuh hanya dalam jumlah terbatas dan sisanya dibuang, sehingga untuk mempertahankan saturasi jaringan vitamin larut air perlu sering dikonsumsi. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air dalam jumlah berlebihan selain merupakan pemborosan, juga mungkin menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sebaliknya vitamin larut lemak dapat disimpan dalam jumlah banyak, sehingga untuk timbulnya gejala defisiensi dibutuhkan waktu lebih lama dan kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar dari pada vitamin larut air (Setiabudy, 2007).

  2.4.1 Fungsi Vitamin

  Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau sebagai bagian dari enzim. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein (Almatsier, 2009).

  2.4.2 Vitamin Larut Lemak Vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K) diabsorpsi dengan cara yang

  kompleks dan sejalan dengan absorpsi lemak. Vitamin-vitamin ini disimpan terutama di hati dan diekskresi melalui feses. Karena metabolismenya sangat lambat, dosis yang berlebihan dapat menimbulkan efek toksik (Setiabudy, 2007).

  Vitamin larut dalam lemak, pada umumnya stabil terhadap pemasakan, namun kandungannya dalam bahan makanan akan berkurang bila bahan makanan tersebut menjadi tengik, kering, atau layu. Penyerapan vitamin golongan ini dalam usus membutuhkan lemak dalam makanan dan aktivitas asam-asam empedu.

  Kelebihan vitamin akan disimpan dalam tubuh, terutama di hati (Sumardjo, 2009).

2.4.3 Vitamin Larut Air

   Vitamin larut air terdiri dari vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin

  B kompleks mencakup sejumlah vitamin dengan rumus kimia dan efek biologik yang sangat berbeda yang digolongkan bersama karena dapat diperoleh dari sumber yang sama, antara lain hati dan ragi. Yang termasuk dalam golongan vitamin ini adalah: tiamin (vitamin B

  1 ), riboflavin (vitamin B 2 ), asam nikotinat

  (niasin), piridoksin (vitamin B

  6 ), asam pantotenat, biotin, kolin, inositol, asam

  para-amino benzoat, asam folat dan sianokobalamin (vitamin B

  12 ) (Setiabudy, 2007).

  Sebagian besar vitamin larut air merupakan komponen sistem enzim yang banyak terlibat dalam membantu metabolisme energi. Vitamin larut air biasanya tidak disimpan di dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin dalam jumlah kecil. Oleh sebab itu vitamin larut air perlu dikonsumsi tiap hari untuk mencegah kekurangan yang dapat mengganggu fungsi tubuh normal (Almatsier, 2009).

2.5 Vitamin B 2 (Riboflavin)

   Vitamin B 2 (riboflavin) sangat penting dalam berbagai proses yang terjadi didalam sel, terutama yang menghasilkan energi dan metabolisme asam amino. Sumber makanan yang banyak mengandung vitamin B

  2 adalah produk-produk olahan susu, daging, ikan dan unggas (Kristanti, 2010).

  Riboflavin terutama berfungsi sebagai komponen koenzim Flavin Adenin Dinukleotida (FAD) dan Flavin Adenin Mononukleotida (FMN). Kedua enzim flavoprotein terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi berbagai jalur metabolisme energi dan mempengaruhi respirasi sel (Almatsier, 2009).

  Riboflavin yang berwarna kuning jingga sangat sukar larut dalam air, dalam pelarut organik praktis tidak larut. Sebaliknya senyawa ini larut baik dalam asam klorida pekat ataupun dalam larutan alkali hidroksida encer dengan pembentukan garam secara mudah. Larutan dalam basa terurai dengan cepat.

  Penentuan kadar dilakukan dengan penentuan ekstinksi larutan riboflavin pada 444 nm. Kadarnya selanjutnya dihitung dengan bantuan ekstinksi jenis (Schunack, dkk., 1990).

  Riboflavin dalam bentuk murni diperoleh dari isolasi ragi, hati, putih telur, dan susu. Vitamin ini dinamakan riboflavin karena terjadi dari persenyawaan ribosa (suatu gula lima karbon) dengan suatu zat berwarna kuning oranye yang memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan. Sifat riboflavin larut dalam air dan tahan panas di dalam larutan netral atau asam, namun dapat rusak bila dipanaskan dalam larutan basa atau bila kena sinar matahari (Kusharto, 1992).

  Penyebab kekurangan vitamin B jarang terjadi, kecuali di daerah-daerah

  

2

  dimana makanan terutama berupa padi giling. Kekurangan vitamin ini juga bisa terjadi pada:

  • Peminum alkohol
  • Penderita penyakit hati
  • Penderita diare menahun Gejala yang paling sering terjadi adalah luka terbuka di sudut mulut, yang diikuti dengan bibir pecah-pecah, yang bisa meninggalkan jaringan parut. Jika didaerah mulut terjadi thrush (suatu infeksi jamur), akan tampak bercak-bercak putih keabuan. Warna lidah berubah menjadi magenta dan pada daerah diantara hidung dan bibir muncul bercak-bercak berminyak (seboroik). Kadang tumbuh pembuluh darah ke dalam kornea, menyebabkan mata silau. Pada laki-laki kulit buah zakar mengalami peradangan (Kristanti, 2010).

  Menurut Dirjen POM (1995), sifat fisika dan kimia riboflavin adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1. Struktur Riboflavin

  Rumus molekul : C

  17 H

  2 ON

  4 O

  6 Berat molekul : 376,37 Pemerian : Serbuk hablur, kuning hingga kuning jingga; bau lemah.

  Melebur pada suhu lebih kurang 280º. Larutan jernihnya netral terhadap lakmus. Jika kering tidak begitu dipengaruhi oleh cahaya terdifusi, tetapi dalam larutan cahaya sangat cepat menyebabkan peruraian, terutama jika ada alkali.

  Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam larutan natrium klorida 0,9%; sangat mudah larut dalam larutan alkali encer; tidak larut dalam eter dan dalam kloroform.

  Baku pembanding : Riboflavin BPFI; lakukan pengeringan pada suhu 105º sebelum digunakan.

  Identifikasi : Larutan 1 mg dalam 100 ml air dilihat dengan cahaya yang ditransmisikan larutan berwarna kuning pucat kehijauan, berfluoresensi hijau kekuningan intensif, yang dengan penambahan asam mineral atau alkali, fluoresensi hilang. Susut pengeringan : Tidak lebih dari 1,5%, lakukam pengeringan pada suhu 105º selama 2 jam, menggunakan 500 mg.

  Syarat kadar : Riboflavin mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C

  17 H

  2 ON

  4 O 6 , dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

  Perhitungan penetapan kadar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

  C � �

  Keterangan :

  C : Kadar Riboflavin BPFI dalam µg per ml

  Iu : Serapan Larutan Uji Is : Serapan Larutan Baku

  2.5.1 Indikasi Penggunaanya yang utama adalah untuk pencegahan dan terapi defisiensi

  vitamin B yang sering menyertai pelagra atau defisiensi vitamin B kompleks

  2

  lainnya, sehingga riboflavin sering diberikan bersama vitamin lain. Dosis untuk pengobatan adalah 5-10 mg/hari (Setiabudy, 2007).

  Kebutuhan riboflavin per hari untuk bayi sekitar 0,6 mg; anak-anak dan orang dewasa sekitar 0,9-2,5 mg, sedangkan untuk ibu-ibu selama hamil dan menyusui sekitar 3 mg. Defisiensi riboflavin dapat menyebabkan luka-luka khas pada bibir (cheilocis), radang pada lidah (glossitis), dan radang pada selaput mata (conjunctivis) (Sumardjo, 2009).

  2.5.2 Farmakologi

  Defisiensi riboflavin ditandai dengan gejala sakit tenggorok dan radang di sudut mulut (stomatitis angularis), keilosis, glositis, lidah berwarna merah dan licin. Timbul dermatitis seboroik di muka, anggota gerak dan seluruh badan. Gejala-gejala pada mata adalah fotofobia, lakrimasi, gatal dan panas (Setiabudy, 2007).

2.6 Metode Analisis Vitamin B 2 (Riboflavin)

2.6.1 Metode Spektrofotometri

   Larutan riboflavin dalam dapar pH 4,0 menunjukkan absorbansi 1% 1 320. Cara ini digunakan untuk maksimum (λ maks) pada 444 nm dengan

  menetapkan kemurnian riboflavin atau untuk penetapan riboflavin dengan kadar lebih besar dari 90%. Penetapan riboflavin dilakukan dengan cara terlindung dari cahaya (Rohman, 2008).

  Cara penetapan riboflavin tunggal secara spektrofotometri: lebih kurang 100 mg riboflavin yang ditimbang saksama dilarutkan dengan pemanasan dalam campuran 2 mL asam asetat glasial dan 150 mL air. Larutan selanjutnya diencerkan dengan air, didinginkan, ditambah air secukupnya hingga 1000 mL.

  Pada 10,0 mL larutan ditambah 3,5 mL natrium asetat 0,1 M kemudian ditambah air secukupnya hingga 100 mL. Larutan akhir diukur absorbansinya dengan kuvet 1 cm pada panjang gelombang 444 nm. Kadar riboflavin dihitung dengan menggunakan riboflavin baku sebagai pembanding (Rohman, 2008).

2.7 Spektrofotometer

2.7.1 Spektrofotometer UV-Vis

  Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang (Khopkar, 2008).

  Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800 nm (Rohman, 2007).

  Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV- Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).

2.7.2 Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis

  Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut ”spektrometer” atau spektrofotometer. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi: (1) sumber tenaga radiasi yang stabil, (2) sistem yang terdiri atas lensa- lensa, cermin, celah-celah, dan lain-lain, (3) monokromator untuk mengubah radiasi menjadi komponen-komponen panjang gelombang tunggal, (4) tempat cuplikan yang transparan, dan (5) detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat (Sastrohamidjojo, 1991).

  Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

  a. Sumber tenaga radiasi Sumber radiasi ultraviolet. Sumber-sumber radiasi ultraviolet yang kebanyakan digunakan adalah lampu hidrogen dan lampu deuterium. Mereka terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung dalam tabung gelas dan diisi dengan gas hidrogen atau deuterium pada tekanan yang rendah. Bila tegangan yang tinggi dikenakan pada elektroda-elektroda, maka akan dihasilkan elektron- elektron yang mengeksitasikan elektron-elektron lain dalam molekul gas ke tingkatan tenaga yang tinggi. Bila elektron-elektron kembali ke tingkat dasar mereka melepaskan radiasi yang kontinyu dalam daerah sekitar 180 dan 350 nm.

  Sumber radiasi ultraviolet yang lain adalah lampu xenon, tetapi ia tidak se stabil lampu hidrogen (Sastrohamidjojo, 1991).

  b. Monokromator Seperti kita ketahui bahwa sumber radiasi yang umum digunakan menghasilkan radiasi kontinu dalam kisaran panjang gelombang yang lebar.

  Dalam spektrometer, radiasi yang polikromatik ini harus diubah menjadi radiasi monokromatik. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk mengurai radiasi polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring dan monokromator. Penyaring dibuat dari benda khusus yang hanya meneruskan radiasi pada daerah panjang gelombang tertentu dan menyerap radiasi dari panjang gelombang yang lain. Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif/panjang gelombang-gelombang tunggalnya dan memisahkan panjang gelombang-gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sangat sempit (Sastrohamidjojo, 1991).

  c. Tempat cuplikan Cuplikan yang akan dipelajari pada daerah ultraviolet atau terlihat yang biasanya berupa gas atau larutan ditempatkan dalam sel atau cuvet. Untuk daerah ultraviolet biasanya digunakan Quartz atau sel dari silika yang dilebur, sedangkan untuk daerah terlihat digunakan gelas biasa atau quartz (Sastrohamidjojo, 1991).

  d. Detektor Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti sebagai arus listrik atau perubahan-perubahan panas. Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat mengaktifkan meter atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan sinyal yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya. Persyaratan-persyaratan penting detektor meliputi: (1) sensitivitas tinggi hingga dapat mendeteksi tenaga cahaya yang mempunyai tingkatan rendah sekalipun, (2) waktu respon yang pendek, (3) stabilitas yang panjang/lama untuk menjamin respon secara kuantitatif, dan (4) sinyal elektronik yang mudah diperjelas (Sastrohamidjojo, 1991).

Dokumen yang terkait

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Analisis Paparan Kebisingan dan Penanggulangannya Secara Ergonomis di PT.Permata Hijau Palm Oleo Medan

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Paparan Kebisingan dan Penanggulangannya Secara Ergonomis di PT.Permata Hijau Palm Oleo Medan

0 1 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Teori Tentang Motivasi 2.1.1 Pengertian Motivasi - Pengaruh Motivasi, Persepsi, Pembelajaran, Kepercayaan Dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Laptop Merek Asus Pada Pengunjung Plaza Medan Fair

0 0 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Motivasi, Persepsi, Pembelajaran, Kepercayaan Dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Laptop Merek Asus Pada Pengunjung Plaza Medan Fair

0 0 12

Pengaruh Motivasi, Persepsi, Pembelajaran, Kepercayaan Dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Laptop Merek Asus Pada Pengunjung Plaza Medan Fair

0 0 11

BAB II BIOGRAFI BAPAK ZULKARNAEN LUBIS 2.1 Biografi Bapak Zulkarnaen Lubis - Organologi Akustika Gitar Bass Solid Elektrik Fretless oleh Bapak Zulkarnaen Lubis di Jalan Bridgen Katamso No.89 Kelurahan Kampung Baru Kota Medan

0 0 7

Organologi Akustika Gitar Bass Solid Elektrik Fretless oleh Bapak Zulkarnaen Lubis di Jalan Bridgen Katamso No.89 Kelurahan Kampung Baru Kota Medan

0 0 12

Organologi Akustika Gitar Bass Solid Elektrik Fretless oleh Bapak Zulkarnaen Lubis di Jalan Bridgen Katamso No.89 Kelurahan Kampung Baru Kota Medan

0 0 20

Analisis Tekstual dan Melodi Dalam Sukut-Sukutan Nangan si Tapisuria Turang si Palameka yang Disajikan Oleh Rosintan Kesigihen pada Masyarakat Pakpak di Dusun Lae Salak, Desa Lae Sireme, Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara

0 0 18

Analisis Tekstual dan Melodi Dalam Sukut-Sukutan Nangan si Tapisuria Turang si Palameka yang Disajikan Oleh Rosintan Kesigihen pada Masyarakat Pakpak di Dusun Lae Salak, Desa Lae Sireme, Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara

0 0 17