BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Dinamika Kesenian Lesung Sanggar Seni ”Sekar Jagad” Desa Kotakan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo Tahun 2004-2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni Lesung adalah satu seni tradisional kuno yang hidup dan

  berkembang di pedesaan dan banyak dimainkan oleh para petani. Di tengah arus deras modernisasi ini mulai pudar dimakan zaman, untuk mempertahankan eksistensi seni khas masyarakat agraris ini. Lesung yang terbuat dari seonggok kayu dengan beberapa lubang ditengahnya ini menyiratkan suatu simbol dari perwujudan manusia yakni antara laki-laki dan perempuan. Lesung tak ubahnya disimbolkan sebagai seorang hawa dan alu disimbolkan sebagai seorang pria. Tak terpikirkan kesenian yang terlahir secara sederhana yang menggambarkan negara agraris ini menyimpan nilai keluhuran yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia sesungguhnya.

  Kesenian tradisional, khususnya seni pertunjukan rakyat tradisional yang dimiliki, hidup dan berkembang dalam masyarakat sebenarnya mempunyai fungsi penting. Hal ini terlihat terutama dalam dua segi, yaitu daya jangkau penyebarannya dan fungsi sosialnya. Dari segi daya jangkau penyebarannya, seni pertunjukan rakyat memiliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh lapisan masyarakat. Dari segi fungsi sosialnya, daya tarik pertunjukan rakyat terletak

  1 pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok.

  Oleh karena itu, seni pertunjukan tradisional itu mempunyai nilai dan fungsi bagi 1 commit to user

  Umar Kayam. Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan dalam Heddy Shri kehidupan masyarakat pemangkunya.

  Kesenian tradisional seni lesung yang masih ada dan berkembang salah satunya adalah kesenian lesung. Sebagai suatu bentuk seni produk perkembangannya tentunya kesenian lesung telah mengalami perkembangan- perkembangan melalui proses kreatif. Proses kreatifitas seni yang sungguh- sungguh bebas dapat menghasilkan seni dan kita menghormati proses kreatif yang

  2 bebas ini.

  Menurut Edy Sedyawati bahwa pada umumnya kesenian yang bukan primitive tidak lahir semata-mata penemuan baru yang tiba-tiba ada, dalam waktu yang panjang hal yang baru tersebut senantiasa bertolak dari yang sudah ada baik yang bersifat tehnik lama diteruskan atau dilawan tetapi merupakan awal

  3

  bertolak. Dengan demikian sebuah kesenian mengalami perkembangan, bukan berarti kesenian tersebut merupakan kesenian baru, melainkan karena pengaruh jaman yang maju, sehingga mengalami penambahan dan pengurangan.

  Kesenian lesung hadir karena adanya budaya masyarakat agraris, yaitu lesung sebagai sebuah alat untuk memproses padi menjadi beras. Lesung kemudian berkembang menjadi sebuah media yang mempunyai nilai-nilai simbolik di dalamnya. Oleh karena itu lesung berkaitan dengan kehidupan masyarakat agraris atau masyarakat petani. Dengan kata lain, pada teknologi menumbuk padi dengan lesung tercipta pula sebuah permainan yang dikategorikan sebagai seni musik, yaitu seni lesung. Kesenian dapat tumbuh dan 2 Muchtar Lubis. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. (Jakarta : Yayasan Ober

  Indonesia, 1980). Hal 15 3 commit to user Edy Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono. Seni dalam Masyarakat Indonesia. ( berkembang karena dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungan di mana kesenian itu berada, misalnya kesenian lesung.

  Seni tradisional kotekan lesung boleh dikatakan tidak sepenuhnya mati. Di beberapa daerah, meski frekuensinya tidak terlalu sering masih ada anggota masyarakat yang berlatih memainkan kotekan lesung, Ketidakmampuan pihak kelurahan menggerakkan warganya untuk berlatih seni kotekan lesung ini tidak lain karena minimnya anggaran yang ada. Meskipun demikian, dari tahun ke tahun, kelurahan tidak pernah kesulitan melakukan alih generasi seniman kotekan lesung.

  Kabupaten Sukoharjo sebelah selatan Kota Surakarta merupakan kawasan berbasis industri dan pertanian yang menyimpan sumber kekayaan seni tradisi yaitu karawitan, ketoprak, wayang kulit, wayang orang, musik lesung, pembuatan gamelan dan lain-lain. Salah satunya musik lesung yang merupakan sebuah permainan instrumen musik tradisional kerakyatan yang hidup di pedesaan, memiliki keunikan namun kesenian ini sudah hampir punah. Banyak falsafah hidup yang bisa ditarik dalam permainan kesenian lesung ini. Lesung memang lekat dalam alam berpikir masyarakat agraris karena ada filosofi di dalamnya, seperti ritual lesung masih ada untuk hajatan tertentu. Zaman yang terus bergerak maju memaksa kotekan lesung untuk mengubah fungsinya mengikuti kebutuhan masyarakat. Dulu, petani memanfaatkan kesenian ini sebagai hiburan saat menumbuk padi atau sebagai media penanda saat ada bahaya, seperti bencana alam, gerhana bulan, atau gerhana matahari. Suara tabuhan lesung juga kerap

  

commit to user menjadi alat untuk memanggil warga agar hadir dalam perhelatan bersih desa dan upacara panen padi.

  Para petani dari warga Desa Kotakan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo salah satunya yang masih melestarikan musik tradisional yang dikenal dengan nama kotekan. Sungguh suatu pertunjukan musik sederhana ala warga Kotakan Bakalan Sukoharjo.

  Suatu kesadaran untuk kembali menghidupkan seni yang berakar dari pedesaan ini merupakan suatu perwujudan semangat yang patut diapresiasi.

  Pasalnya bukan suatu pekerjaan yang gampang, menghadirkan kembali seni yang nyaris terlupakan, di tengah pesatnya industri hiburan moderen. Dan secara tidak langsung mereka tengah mengingatkan kepada masyarakat bahwa ini merupakan saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang dikenal dengan negara agraris.

  Keberadaan seni tradisional ini ternyata sudah mengakar sejak zaman terdahulu dan sudah suatu keharusan untuk tetap dilestarikan, Keberadaan lesung didalam masyarakat agraris memang tidak bisa dilepaskan dari alam berpikir masyarakatnya juga filosofi yang terkandung didalamnya. Di desa ini ritual tabuh lesung sudah ada sejak dulu dan masih digunakan untuk hajatan tertentu.

  Selain untuk melestarikan keberadaan seni tradisional ini, dengan adanya kotekan secara tidak langsung telah membentuk suatu keguyuban antar warga, guna meminimalisir konflik sosial di desa tersebut. Hal terpenting adalah melalui seni dan budaya, bisa dibangun sepirit pancasila. Sehingga orang lebih bisa memahami nilai luhur seni dan budaya yang berakar dari negara agraris.

  Seiring kemajuan zaman yang tidak bisa terbendung, membuat fungsi

  

commit to user kotekan dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pada zaman terdahulu kesenian ini digunakan sebagai alat penghibur dikala menumbuk padi. Selain kentongan sebagai alat tradisional yang digunakan pada zaman dahulu, kesenian ini sekaligus sebagai media untuk penanda saat ada bahaya seperti bencana alam, gerhana bulan atau gerhana matahari. Tak hanya itu saja, dengan lesung inilah bisa mengumpulkan masyarakat saat dilaksanakannya perhelatan bersih desa dan upacara panen padi.

  Seperti yang tergambar di desa Kotakan, warga melakukan ritual tabuh lesung saat dilaksanakannya tanam pohon yang dikerjakan secara bergotong royong. Ini tentunya untuk menguatkan memori tersebut meski secara aspek musikal juga mempunyai kekuatan daya panggil dan bisa membawa kegembiraan bersama.

  Dibalik alunan suaranya yang khas, permainan musik kotekan ini menyimpan nilai kehidupan yakni kesabaran, ikhlas, mituhu dan budi luhur yang menjadi anutan kehidupan masyarakat jawa. Suara yang ada ini tidak hanya sekedar asal memukul lesung saja, namun ada gending-gending pakem dan semua berbicara soal pertanian Salah satu contoh gendhing yang kerap di tabuhkan adalah gendhing lesung Asu Gencet, artinya anjing kawin. Istilah lesung Asu Gencet disini adalah tetabuhan dicirikan khusus dua penabuh lesung yang saling beradu pantat metafor dari posisi anjing kawin. Metafor tersebut membawa pesan tentang tatanan musim di Jawa yang dikenal dengan istilah pranoto mongso, Dimana ketika masyarakat sering melihat banyaknya anjing kawin di jalanan maka itu sebagai tanda untuk memulai panen padi di Jawa yang di kenal dengan

  

commit to user istilah mongso ke songo.

  Selain itu kesenian lesung ini dilestarikan lebih mendalam dengan terbentuknya sanggar seni “Sekar Jagad” yang merupakan wadah kesenian bagi warga Desa Kotakan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Joko Ngadimin yang merupakan motivator yang membuat wadah kesenian masyarakat desanya semata-mata bukan karena kepercayaan Diatas. Namun lebih kepada bagaimana kembali menguatkan kehidupan masyarakat pedesaan yang guyup, rukun serta mampu mandiri secara ekonomi dan sosial.

  Sanggar ”Sekar Jagad” di rintis sejak bulan September 2004 lalu memang mewadahi warga Kotakan dalam bidang kesenian. Warga yang sebagian besar petani, sepulang bekerja di sawah atau ladang, malamnya berkumpul menghibur diri dengan bermain karawitan, lesung, kentongan, maupun wayang. Kegiatan ini tak hanya diikuti warga Desa Kotakan yang tergabung dalam Sekar Jagad, namun juga hampir seluruh desa di Kabupaten Sukoharjo. Mereka membentuk kantong- kantong kesenian baru di desanya masing-masing. Dengan harapan, langkah ini bisa menyebar hingga seluruh desa di Indonesia bahkan mendunia. Karena jika semua desa sudah guyup, rukun, dan mandiri tentu tak ada lagi ancaman-ancaman disintegrasi bangsa. Karena sejatinya masyarakat desa itu hatinya tulus dan jujur.

  Hingga saat ini lebih dari 500 warga desa dan seniman yang aktif membangun komunitas kesenian desa ini, telah bergabung dengan Sekar Jagad. Selain juga bergerak dalam penguatan ekonomi kerakyatan dengan membuat kas untuk

  

commit to user

  4 memberi modal bagi warga.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Kelompok sosial mana yang berperan aktif dalam organisasi seni lesung ”Sekar Jagad” di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo ?

  2. Bagaimana perkembangan organisasi kesenian lesung sanggar seni ”Sekar Jagad” tahun 2004-2012 di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo ? 3. Bagaimana peranan Kesenian Lesung Sanggar seni ”Sekar Jagad” terhadap kohesi sosial dengan masyarakat sekitar Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo?

C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui kelompok sosial yang berperan aktif dalam organisasi keseni an lesung ”Sekar Jagad” di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.

  4

commit to user

Anita Widyaning Putri. Lewat Kesenian, Satukan Masyarakat Desa .

  

commit to user

  2. Untuk perkembangan organisasi kesenian lesung sanggar seni ”Sekar Jagad” tahun 2004-2012 di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.

  3. Untuk mengetahui peranan kesenian lesung sanggar s eni ”Sekar Jagad” terhadap kohesi sosial dengan masyarakat sekitar Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.

D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini mencakup :

  1. Manfaat Akademis

  a. Dapat mengungkap dan mengetahui nilai-nilai budaya yang terdapat dalam kesenian lesung sanggar seni ”Sekar Jagad” di Desa Kotakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.

  b. Untuk memperkaya khasanah keilmuan tentang dinamika kesenian lesung di masyarakat, khususnya di Kabupaten Sukoharjo.

  2. Manfaat Praktis

  a. Dapat memberikan peluang bagi para seniman, budayawan dan masyarakat luas untuk menilik kembali mengenai proses dinamika masyarakat dalam melestarikan kesenian lesung.

  b. Dapat menjadi wacana bagi pemerintah daerah akan perlunya perhatian ekstra dalam pengembangan kesenian lesung yang hampir punah keberadaannya sehingga lebih ditradisikan lagi sebagai kesenian tradisional rakyat yang mampu bersaing dengan kesenian modern. c. Dapat memberi sumbangan pengetahuan dan tambahan referensi kepustakaan bagi penelitian sejenis di masa mendatang

E. Tinjauan Pustaka

  Diperlukan studi pustaka guna memperoleh kerangka pikiran dan melengkapi hal-hal yang belum tercakup di dalam sumber dokumen dengan cara meninjau buku-buku yang relevan dengan tema atau rumusan masalah dalam penelitian ini. Terdapat beberapa karya yang membahas atau sedikitnya menyinggung tentang seni pertunjukan Kesenian Lesung ”Sekar Jagad” yang sekiranya dapat dipergunakan sebagai acuan pokok dalam ini. Adapun buku-buku yang dijadikan referensi dalam penelitian ini diantaranya adalah :

  Dalam buku karya Edy Sedyawati (1981) yang berjudul Pertumbuhan Seni

  

Pertunjukan dipaparkan sebuah kajian kesenian yang dipandang dari sudut

  antropologis dan sosiologis. Kajiannya yang mendalam tentang konsep-konsep seni, sejarah seni pertunjukan Indonesia, perkembangan seni pertunjukan tradisional dan pada akhirnya bermuara kepada pelestarian budaya bangsa dibahas secara lugas. Buku ini memberikan gambaran perkembangan seni pertunjukan Indonesia yang sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist). Secara umum buku ini merupakan kumpulan artikel yang menggambarkan sejarah seni pertunjukan Indonesia seperti seni tari, seni teater dan seni musik. Secara khusus, Edy Sedyawati menjelaskan tentang seni tradisional yang sesuai dengan tradisi dan mempunyai suatu pola erangka ataupun aturan yang selalu berulang dalam kerangka tertentu. Kesenian yang tidak tradisional tidak terikat kepada suatu

  

commit to user

  18

  kerangka apapun. Meskipun terdapat perbedaan antara seni tradisional dan seni tidak tradisional, namun dalam bukunya Edy Sedyawati mengungkapkan bahwa terdapat sebuah kesulitan untuk membedakan keduanya apabila melihat suatu pertunjukan yang nyata. Lebih lanjut Edy Sedyawati menjelaskan bahwa untuk menyebutkan suatu pertunjukan tradisional atau tidak, perlu dibedakan dataran- dataran wilayahnya, apakah yang dimaksud unsur-unsur dasarnya ataukah unsure- unsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap dan pola konversi penyajian atau ketiga-tiganya.

  Dalam bukunya Triyono Bramantyo, yang berjudul Revitalisasi Musik

Tradisi dan Masa Depan dalam “Mencari Ruang Hidup Seni Tradisi” , (2000).

  Buku ini membahas tentang keberadaan musik tradisi ini hampir punah. Musik tradisional pada saat ini makin hari makin menyusut, kepunahan seni musik tradisi dalam era transformasi budaya dari masyarakat agraris ke semi industrial terutama akibat minimnya kesempatan genre ini untuk eksis menjadi bagian yang dulu seolah tak terpisahkan dari masyarakat pendukungnye. Seperti contohnya kesenian lesung/kotekan pada saat ini telah jarang terdengar. Baik di desa apalagi di kota. Jika kita bertanya pada masyarakat tentang musik lesung/ kotekan ada sebagian yang tahu tetapi lebih banyak yang tidak tahu. Dan dalam buku ini Bramantyo, menawarkan dalam menghidupkan dan mengembangkan musik tradisional yang memiliki persfektif kemasa depan yaitu melalui transmisi formal dan pelaksanaan program penelitian besar-besaran dalam kesinambungan yang terpadu (integratid continuity). Proses ini sekaligus akan mendorong dunia 18

commit to user penciptaan karya seni dengan teknik yang lebih sophisticated (canggih), dan

  15 sekaligus akan diikuti landasan estetika yang lebih raesonable.

  Buku karya Umar Kayam dkk, berjudul Ketika Orang Jawa Nyeni (2000) yang disunting oleh Heddy Shri Ahimsa Putra memuat beberapa karangan mengenai fenomena kesenian dengan menggunakan sudut pandang (perspektif) sosio kultural. Berbagai hal mengenai fenomena kesenian dipahami sebagai bagian dari suatu realitas sosio kultural, yakni suatu realitas yang terkait dengan berbagai macam fenomena sosial budaya diluar kesenian itu sendiri. Ada pemikiran atas suatu keprihatinan bersama di kalangan penulis dan seniman yakni mengenai kemungkinan memudarnya berbagai jenis kesenian tradisional di Indonesia, yang sangat mungkin berakhir pada kepunahan sebagai akibat adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Timbul tenggelamnya suatu kesenian dalam masyarakat tidak bisa terlepas dari kehidupan seniman pendukungnya dan masyarakatnya sendiri, baik penggemarnya maupun juga institusi-institusi tertentu

  5 yang terkait.

  Atot Rasoma, Sejarah Kebudayaan, (1971). Berisi tentang perjalanan perkembangan seni disetiap wilayah etnis yang telah banyak mempengaruhi perkembangan seni di Indonesia. Pergeseran fungsi-fungsi seni tradisi mempunyai suatu bentuk seni pertunjukan maupun masuknya pengaruh luar sebagai unsur asing yang mengakibatkan timbulnya beberapa kemungkinan. Misalnya, meningkatnya nilai-nilai estetika seni tanpa mempengaruhi fungsi perilaku atau 15 Triyono Bramantyo. Revitalisasi Musik Tradisi dan Masa Depan dalam “Mencari

  

commit to user Ruang idup Seni Tradisi. (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), 2000). Hal. 28 5 hilangnya pangkal tolak makna dari seni karena hilangnya fungsi seni dalam

  6 masyarakat tersebut.

  Buku yang berjudul Abangan, Santri, Priayi Dalam Masyarakat Jawa, (1989) karangan Clifford Geert. Dalam buku ini menjelaskan tentang hubungan antara sruktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasian dengan simbol-simbol tertentu. Perbedaan yang nampak diantara struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat hanyalah bersifat komplementer. Keberadaan folklor dalam hal ini terutama mitos, melegitimasi sistem religi didalam masyarakat. Kepercayaan terhadap folklor dalam bentuk sesaji, upacara ritual, slametan, perilaku religius tertentu ditempat-tempat yang sakral, dan praktek magis yang ditunjukan bagi tokoh-tokoh yang dikeramatkan dalam cerita-cerita folklor dengan satu tujuan tertentu. Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu eksistensi dan tempat manusia itu dalam alam semesta beserta segala isi dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Dengan buku ini penulis dapat memahami tentang simbol-simbol dalam masyarakat beserta arti dan

  7 maknanya.

  Joko Suryo, Soedarsono, RM dan Djoko Sukiman, Gaya Hidup Jawa di , (1985). Referensi ini

  Pedesaan ; Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya

  membahas tentang pengaruh budaya yang dianggap ebagai budaya moern yang mampu memberikan respon terhadap gejala pembaharuan yang datang dari luar, 6 7 Clifford Geert. Abangan, Santri, Priayi Dalam Masyarakat Jawa.. commit to user Indonesia and the Malay World,Volume 35, Issue 101, Atot Rasoma. Sejarah Kebudayaan. (Magelang : Yayasan Indonesiatera, 1971). Hal. 89

Maret 2007, terj. Noor Cholis . 1989. ( baik dalam bentuk adaptasi maupun adopsi unsur-unsur baru. Adanya sifat elastis dan dinamis pada masyarakat pedesaan memungkinkan penerimaan perubahan- perubahan yang terjadi, tetapi dilain pihak tetap berusaha mempertahankan pola kehidupan yang telah ada sebelumnya. Referensi ini membantu untuk mengupas

  8 mengenai masyarakat pedesaan.

  Koentowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (1987). Buku ini mengupas tentang kajian perkembangan masyarakatdan kebudayaan. Memuat tentang masyarakat pada masa transisi dari masyarakat tradisional agraris menjadi masyarakat industri. Buku ini membantu dalam memberikan tafsiaran tentang perubahan masyarakat dan kebudayaan ikut pula dalam menentukan kedudukan

  9 suatu seni pertunjukan.

  Singgih Wibisono, Membangun Lagi Tari Rakyat (2000). Buku ini menguraikan tentang dinamika kehidupan keenian yang senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat pendukung dan jiwa jaman, apakah kesenian tersebut mampu bertahan hidup dengan alih generasi lebih kreatif atau kesenian itu menjadi bagian dari sistem sosial budaya masyarakat pendukungnya. Selain itu juga membahas tentang masyarakat tradisional yang secara turun temurun memelihara, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang sudah ada di dalam

  10 kultur nenek moyang.

  Buku yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (1983). Karangan Koentjaraningrat dijelaskan bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga 8 Joko Suryo, Soedarsono, RM dan Djoko Sukiman. Gaya Hidup Jawa di Pedesaan ;

  Poloa Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya . (Bandung : Pusataka Jaya, 1985). Hal. 65 9 10 commit to user Koentowijoyo. Budaya dan Masyarakat. (Yogyakarta : Penerbit Arti, 1987). Hal. 24 Singgih Wibisono. Membangun Lagi Tari Rakyat, (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2000). wujud ialah : wujud ideal, wujud kelakuan dan wujud fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat disebut adat tata kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah aturan sopan santun untuk memberi uang sumbangan kepada seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat ialah : tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan

  11 tingkat aturan khusus.

  Buku yang berjudul Folklor Indonesia, (1984) karangan James Danandjaja. Dalam buku ini menjelaskan mengenai pengertian folklore yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Namun yang lebih penting lagi adalah mereka sudah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan lore adalah tradisi folk yang telah diwariskan secara turun menurun dengan cara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Dalam buku ini dijelaskan bentuk- bentuk folklor menurut tipenya antara lain adalah folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), folklor bukan lisan (non verbal folklore), buku ini bermanfaat untuk penulis dalam referensi

  12 bentuk-bentuk folklor secara rinci.

11 Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta : Bentang

  Budaya, 1983). Hal. 51 12 commit to user James Danandjaja. Folklor Indonesia,(Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,

  Buku yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Karangan Ateeuw, (1988), dalam buku ini menjelaskan disisi lain folklor merupakan bentuk dari karya sastra lisan tradisional dari kelompok masyarakat, maka untuk menginterpretasikan makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu dikaji secara hermenutis. Dari pendekan hermenutis akan diperoleh suatu makna dan nilai-nilai dari suatu folklor. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Hermenutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasikan karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas. Dalam praktek interpretasi sastra lingkaran hermenutik dipecahkan secara dialetik, bertetangga, dan bersifat spiral. Dari pendekatan hermenutik ini akan diperoleh suatu

  13 interpretasi makna yang total dan bagian-bagian yang optimal.

  Buku yang berjudul Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Karangan Claire Holt, (2000), buku ini merupakan buku yang memeriksa secara kritis dan menyeluruh tentang khasanah seni di Indonesia. Buku ini menulis tentang perpaduan yang hampir lengkap mengenai seni serta pengetahuan secara arkeologis dan rasa bahasa yang tajam, hingga Claire Holt berhasil menampilkan rujukan penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Melalui pendekatan multidisiplin, buku ini membahas dengan cerdas berbagai perkembangan seni kontemporer serta hubungannya dengan tradisi lokal ; mulai dari arkeologi, seni

  14 rupa, arsitektur hingga seni pertunjukan.

13 Ateeuw. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta : Masyarakat Seni

  Pertunjukan Indonesia, 1988). Hal. 20 14 commit to user Claire Holt. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. (Bandung : Humaniora

  Menurut Umar Kayam dalam bukunya Seni tradisi, Masyarakat (2000), diuraikan mengenai seni rakyat adalah seni pedesaan yang masih akrab, homogen dan berfungsi untuk mengikat solidaritas komunitas. Berlainan dengan seni adiluhung yang penuh sofistikasi, seni rakyat umumnya bersahaja, spontan dan responsip, dan bentuk maupun nada dan melodinya sederhana. Dalam hal ini seni pertunjukan rakyat iramanya pun sederhana namun dinamik, berulang-ulang dan cenderung cepat. Pertunjukan musik selalu tergantung pada konteks dan setiap pertunjukan selalu ada improvisasi. Kehidupan kesenian tidak lepas dari fungsi

  16

  dan peran dalam masyarakatnya. Banyak istilah untuk menyebut musik yang berkembang di masyarakat. Khususnya pada masa kerajaan sebagai pusat pemerintahan dalam kesenian lebih disebut sebagai kesenian adiluhung atau tradisi termasuk di dalamnya musik atau gamelan. Anggapan demikian masih sampai dengan saat ini, pada masyarakat Jawa musik tradisi diasumsikan dengan musik gamelan atau karawitan. Sehingga masyarakat di luar Jawa enggan dikatakan musiknya adalah musik karawitan atau gamelan. Di luar musik tradisi masyarakat mengenal dengan istilah musik rakyat, yaitu musik yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat itu sendiri. Jenis musik rakyat sangat beragam sesuai dengan kehidupan masyarakatnya. Musik rakyat, yaitu musik yang berkembang di lingkungan pedesaan di luar lingkar istana atau pusat-pusat kesenian yang bisa menopang timbulnya budaya agung atau budaya adiluhung.

  Musik rakyat meupakan seni yang bersahaja, spontan dan jujur. Contohnya musik patrol, kentrung, musik ronda dan sebagainya. Disamping gamelan di masyarakat 16

commit to user juga berkembang kesenian rakyat yang kemunculannya banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan masyarakat. Dari perangkat kerja tradisional kita jumpai permainan lesung sebagai alat penumbuk padi yang selanjutnya dikenal dengan nama Kothekan (Jawa). Para petugas ronda memainkan kenthongan dengan berbagai irama pukulan sehingga menimbulkan orkes-kentongan. Di Jawa Timur bahkan merupakan gamelan lengkap. Banyak alat tradisionalnya yang diangkat dari perangkat alat kerja sehari-hari seperti: Gowangan, Tudung-punduk, Caping- buyuk dan sebagainya. Tradisi dipandang sesuatu yang kolod (ketinggalan jaman) kadaluarsa, monoton dan mungkin juga tidak memiliki daya tarik, tidak ada daya rangsang dalam menarik simpati anak-anak remaja. Kita masih ingat ketika lagu campursari muncul disambut hangat oleh masyarakat bahkan sempat buming dalam pasar industri rekaman dan melahirkan penyanyi, musisi baru. Kehadiran campursari menimbulkan daya tarik dari segala kalangan usia untuk ikut menikmati, bahkan populasi para penyanyi, musisi, pencipta lagu bahkan sampai dengan menjamurnya grup-grup baru yang ikut meramaikan kahadiran campursari. Apabila kita amati bahwa sumber penciptaan atau lagu dalam campursari berangkat dari seni tradisi. Terciptanya satu ensambel musik rakyat yang ada sekarang adalah merupakan proses pengembangan dari musik rakyat yang telah ada. Wilayah Madura misalnya yang saat ini sedang booming dengan musik daulnya bahkan dalam setiap tahunnya mengadakan festival musik tradisi yang dominasinya adalah musik Daul. Lagu rakyat (folk song) Banyuwangi dijadikan inspirasi dalam penciptaan lagu-lagu berbau orkes melayu, dalam hal ini menebalkan rasa etnisitas Banyuwangi, yang kehadirannya memiliki ciri kas

  

commit to user tersendiri. Musik tradisi di Banyuwangi masih nampak kental pada pijakan tradisi dan yang diperkuat oleh kekuatan budaya osing. Sementara kekentalan tradisi yang mampu bertahan menumbuhkan daya kreativitas yang tinggi. Sumber materi pada tradisi tetapi dengan pengolahan atau penggarapan penuh kreatif maka akan menghasilkan hasil karya seni yang bersifat inovatif.

  Seni tradisi juga harus menyesuaikan dengan aspek pariwisata sebagaimana gagasan teori yang di sampaikan oleh Soedarsono, Industri

  

Pariwisata: sebuah Tantangan dan Harapan Bagi Negara berkembang dalam

Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa (1993), bentuk mini, bentuk tiruan,penuh

  variasi, tidak sakral, pendek pelaksanaannya, dan murah harganya menurut konsep wisatawan. Sangat penting untuk dipikirkan bagaimana konsep pertunjukan musik tradisi dalam berbagai kepentingan. Tentu saja dengan dilakukan penyesuaian situasi dan kondisi di mana seni musik rakyat itu berkembang. Untuk mewujudkan pengembangan seni atau musik tradisi diperlukan daya kreativitas pada para pendukungnya dan selalu bereksis dengan pertunjukan-pertunjukannya sebagai wadah ekspresi dalam pengembangan seni

  17

  tradisi atau seni tradisional. Jika diartikan, seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu bangsa tertentu.

  Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena ketidakmauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut.

17 Soedarsono. Industri Pariwisata: sebuah Tantangan dan Harapan Bagi Negara

  

commit to user

berkembang dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Ed. Tjok Rai Sudharnata, et.al. Secara harfiah, tradisional artinya sikap dan cara berpikir maupun bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Jadi dalam konsep ini ada acuan waktu. Selain masalah waktu, konsep ini mengabaikan batasan norma dan adat kebiasaan mana yang diacu.

  Pijakan karya seni yang dilandasi nilai-nilai tradisi merupakan satu kebangkitan bagi musik rakyat atau juga disebut sebagai musik tradisi kerakyatan.

  Semestinya sesuatu akan mengalami sesuatu yang berubah, dari tradisi menjadi inovatif, dari ritual menjadi pertunjukan atau hiburan. Perubahan fungsi yang terjadi pada seni tradisional berjalan besama-sama dengan perubahan masyarakatnya. Sebagaimana pada saat ini dalam kepentingan hiburan terkait dengan pengembangan pariwisata, seni tradisi memiliki peluang untuk andil dalam program pengembangan pariwisata. Fleksibilitas seni tradisi yang mampu menyatu dalam berbagai kepentingan masyarakat seperti pada aspek pariwisata. Sebagai timbal baliknya pariwisata ikut mendukung eksistensi musik traidisi.

  Selanjutnya, buku karya Edy Sedyawati (1981) yang berjudul

  

Pertumbuhan Seni Pertunjukan dipaparkan sebuah kajian kesenian yang

  dipandang dari sudut antropologis dan sosiologis. Kajiannya yang mendalam tentang konsep-konsep seni, sejarah seni pertunjukan Indonesia, perkembangan seni pertunjukan tradisional dan pada akhirnya bermuara kepada pelestarian budaya bangsa dibahas secara lugas. Buku ini memberikan gambaran perkembangan seni pertunjukan Indonesia yang sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist). Secara umum buku ini merupakan kumpulan artikel yang menggambarkan sejarah seni pertunjukan Indonesia seperti seni tari, seni teater

  

commit to user dan seni musik. Secara khusus, Edy Sedyawati menjelaskan tentang seni tradisional yang sesuai dengan tradisi dan mempunyai suatu pola erangka ataupun aturan yang selalu berulang dalam kerangka tertentu. Kesenian yang tidak

  18

  tradisional tidak terikat kepada suatu kerangka apapun. Meskipun terdapat perbedaan antara seni tradisional dan seni tidak tradisional, namun dalam bukunya Edy Sedyawati mengungkapkan bahwa terdapat sebuah kesulitan untuk membedakan keduanya apabila melihat suatu pertunjukan yang nyata. Lebih lanjut Edy Sedyawati menjelaskan bahwa untuk menyebutkan suatu pertunjukan tradisional atau tidak, perlu dibedakan dataran-dataran wilayahnya, apakah yang dimaksud unsur-unsur dasarnya ataukah unsure-unsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap dan pola konversi penyajian atau ketiga-tiganya.

  Dalam bukunya Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Edy Sedyawati (1981) juga mengungkapkan mengenai teori modulasi kesenian yang menyebutkan bahwa seni pertunjukan yang berasal dari lingkungan tradisional atau lebih mendapatkan perkembangannya justru apabila ditempatkan di daerah perkotaan, dimana terdapat tempat pagelaran kesenian, sistem imbalan jasa, dasar kesepakatan harga sebagai landasan pagelaran kesenian dan kecenderungan pengkhususan dalam memilih bidang kegiatan. Modulasi-modulasi yang dijelaskan dalam karya Edy Sedyawati pada dasarnya ditimbulkan oleh tata kehidupan kota, pada gilirannya bisa saja menyerbu ke daerah, ke desa dengan suatu tampang bahwa itulah ciri-ciri kemodernan. Berdasarkan unsur-unsur dasarnya atau unsure-unsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap dan 18

commit to user pola konvensi penyajian, kesenia Lesung saat ini merupakan salah satu kesenian pertunjukan yang bersifat tradisional. Dalam hal ini pertunjukan, sesuai dengan teori modulasi yang dipaparkan Edy Sedyawati, sepertinya kesenian Lesung saat belum menunjukkan adanya perkembangan ke arah sana, hal ini tidak lain karena pengelolaan atau manajemennya yang tidak profesional.

  Selain itu dalam buku Edy Sedyawati (1981) yang berjudul Pertumbuhan

  

Seni Pertunjukan, dipaparkan bahwa pengkajian mengenai upaya kualitatif dan

  kuantitatif. Upaya kuantitatif adalah mengembangkan seni pertunjukan Indonesia berarti membesarkan volume penyajiannya, meluaskan wilayah pengenalannya.

  Berbeda dengan pengertian sebelumnya, sedangkan yang dimaksud dengan upaya kualitatif adalah mengolah memperbarui wajah dan penampilan kesenian tersebut. Edy Sedyawati (1981) juga memaparkan bahwa pengembangan seni pertunjukan tradisional selain secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan juga sarana dan prasarana serta karyanya tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Dalam konteksnya seni pertunjukan Indonesia berangkat dari lingkungan etnik ini terdapat suatu kesepakatan yang turun temurun mengenai perilaku, wewenang untuk menentukan bangkitnya seni pertunjukan. Kajian- kajian yang membahas tentang kesenian Lesung sudah dilakukan oleh beberapa orang. Secara keseluruhan penulisan mengenai kesenian Lesung mencoba menggambarkan keberadaan kesenian Lesung sebagai kesenian asli masyarakat jawa yang tidak dapat dilepaskan dengan sebuah realitas social dan karakter budaya masyarakat jawa pada saat kesenian ini lahir.

  

commit to user Sudarsono dalam bukunya Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan

  

Seni Rupa .(1999), memaparkan mengenai berbagai fungsi seni pertunjukan dalam

  kehidupan masyarakat. Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa fungsi seni pertunjukan adalah sebagai sarana ritual, hiburan, pribadi dan sebagai presentasi

  19

  estetik. Lebih lanjut lagi jelaskan seni pertunjukan sebagai komoditi industry pariwisata di Era Globalisasi.Menurut Soedarsono di Negara-negara berkembang fungsi seni pertunjukan sebagai presentasi estetis berkembang dengan pesat adalah seni pertunjukan yang dipresentasikan kepada para wisatawan.

  Soedarsono juga memaparkan konsep-konsep pariwisata dan seni pertunjukan untuk dijual kepada wisatawan. Disebutkan juga dalam buku Soedarsono bahwa seni yang sudah mengalami metamorphosis akan mengalami proses akulturasi. Akulturasi itu terjadi antara selera estetika seniman setempat dengan selera wisatawan. Berdasarkan pada klasifikasi jenis seni pertunjukan di atas, seni lesung merupakan jenis seni pertunjukan tradisional serta seni pertunjukan rakyat yang telah lama hidup, tumbuh dan berkembang pada sebuah masyarakat jawa yang keberadaannya telah menjadi bagian dari aspek kebudayaan masyarakat setempat. Sedangkan apabila dilihat berdasarkan fungsinya, seni lesung merupakan seni yang berfungsi sebagai sarana ritual. Seiring perjalanannya seni Lesung ini mengalami perkembangan dengan adanya perubahan fungsi dari sarana ritual menjadi sarana hiburan pribadi bagi masyarakat yang menikmatinya. Di dalam suatu lingkungan (environment) akan muncul suatu teknologi yang sesuai dengan lingkungannya dan berpengaruh dalam kehidupan sosialnya (social structure). 19 commit to user

  Soedarsono, R.M. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. (Jakarta : Teknologi dilakukan oleh beberapa orang sehingga menimbulkan sebuah interaksi sosial (socio environment).Di sinilah terbentuk sebuah hubungan sosial individu dengan masyarakat lingkungan dalam suatu waktu.Kemudian pada sebuah pesan dilekatkan masyarakat terhadap kesenian kothek lesung. Meskipun kondisi lingkungan tidak mutlak artinya sebuah kesenian atau budaya adalah sebagai implikasi dari sebuah lingkungan.

  Seperti dikatakan oleh Abdul Karim Nafsin dan Mita Lidya Alfiandani dalam bukunya berjudul Perempuan Sutradara Kehidupan, di Tangan Dia Masa

  

Depan Dunia, dijelaskan bahwa di dalam teori ekologi kebudayaan tidak dapat

  meninggalkan hal-hal yang berkenaan dengan ciri dari budaya masyarakatnya, yang berpengaruh pada pemahaman masyarakat terhadap kebudayaan (periperol).

  Di dalam beberapa hal, kesenian yang ada di Jawa selalu dihubungkan dengan keberadaan mitos-mitos, di mana di dalamnya terdapat relasi mitos yang menjadikan sebuah budaya ada.Seperti halnya terdapat mitos-mitos yang menyertai adanya permainan kothek lesung sebagai sebuah bentuk kesenian tradisional masyarakat agraris tersebut. Permainan lesung merupakan sebuah media di mana para perempuan bertemu untuk menumbuk padi beramai-ramai sambil bersendau gurau dan saling curhat, tetapi adanya kothek lesung juga sebuah simbolisasi dari para perempuan yang selamanya dianggap kaum lemah, ternyata punya kekuatan yang mampu menandingi kekuatan kaum pria. Hal ini inipun banyak mitos-mitos yang menyertai sejarah atau cerita mengenai asal-usul tentang lesung tersebut. Selain itu permainan lesung merupakan sebuah simbolisasi yang menunjukkan bahwa perempuan lebih kuat dari laki-laki, yaitu

  

commit to user

  

commit to user

  ketika para perempuan menumbuk padi, maka dengan sekuat tenaga dikerahkan sehingga biji padi benar-benar terpisah dari kulit arinya menjadi beras.

  20 Menurut Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono

  21

  dalam bukunya berjudul

  

Waria dan Tekanan Sosial , yaitu bahwa komunitas Bissu atau lelaki yang

  berpenampilan perempuan tersebut, sebagai manusia yang tergolong dalam kategori:

  1. Kaum transgender yaitu kaum yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki dan perempuan saja. Pengertian ini adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki- laki atau laki-laki yang suka berpenampilan perempuan dan cenderung menyukai sesama jenisnya atau kaum homoseksual atau kaum transeksual.

  Transeksual adalah manusia yang cenderung merubah penampilannya seperti

  lawan jenisnya, baik itu perempuan ataupun laki-laki. Namun kaum homoseksual atau lesbian tidak selalu cenderung merubah penampilannya.

  2. Kaum tranvestitisme adalah sebuah nafsu yang dimiliki oleh manusia untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya atau orang yang hanya akan mendapatkan kepuasan seksualitas, jika memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Jenis ini dibedakan ada dua, yaitu laki-laki tulen atau prempuan tulen, yang mempunyai kepuasan berpakaian dan berdandan seperti perempuan. Kaum tranvestitisme ini juga termasuk kaum heteroseksual, karena dapat berbuat normal sebagai lelaki sehingga ketika tertarik dengan lawan jenisnya dan menikah maka mereka akan mendapatkan keturunannya.

  Penelitian Devung

  22

  (1997) pada Seni Pertunjukan di dataran tinggi Mahakam menjelaskan tentang situasi seni pertunjukan pada masa sekarang dengan melihat factor-faktor apa yang memberi kontribusi terhadap situasi seni pertunjukan tersebut, serta mendiskusikan beberapa isu seni pertunjukan saat ini, dan mengajukan beberapa prospek yang mungkin dan potensial di masa 20 Alfiandani Mita Lidya, Nafsin Abdul Karim. Tiga Jejak Seni Pertunjukan Indonesia.

  (Jakarta: MSPI, 2005). Hal. 39 21 Sugeng Pujileksono. Waria dan Tekanan Sosial, ( 2005). Hal. 9-10

  22 Devung, G. Simon. Seni Pertunjukan Tradisional di Dataran Tinggi Mahakam: Situasi mendatang bagi seni pertunjukan disana. Ia mengaitkannya dengan perkembangan turisme, dan pengaruhnya terhadap konservasi lingkungan di daerah dataran tinggi Mahakam. Seni pertunjukan di kebanyakan kebudayaan biasanya sangat berkaitan dengan musik, tari, drama dan upacara. Fenomena seperti ini dijelaskan pada seni pertunjukan yang terdapat di dataran tinggi M ahakam, seperti hudo’, dangday, belian, atau pertunjukan ngugu tautn. Di masa lalu seni pertunjukan kebanyakan terkait dengan ritual religius local yang terkait dengan agrikultur, siklus kehidupan dan upacara pengobatan. Seiring dengan perubahan yang telah terjadi dalam beberapa aspek ke’tradisionalan’ seni pertunjukan maka ia mengemukakan pertanyaan penelitian apa yang telah terjadi pada seni pertunjukan tradisional sebagai akibat perubahan kepercayaan religius dan pola hidup dalam beberapa dekade ini? Pertanyaan ini diarahkan pada beragam praktek di masa lalu, situasi

  23

  masa kini, dan prospek masa depan dari seni pertunjukan tradisional. Jika dilihat dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan Devung, menurut saya kurang didukung oleh data yang cukup. Dia hanya menulis refleksi singkat tentang beberapa jenis seni pertunjukan di Mahakam dan menggambarkan situasi sekarang dan prospek masa depan. Artinya pembahasannya kurang mendalam, karena ia hanya melihat perubahan seni pertunjukan tersebut dari tampilan luar yang terkait dengan komoditi pariwisata. Padahal jika dikaitkan dengan pertanyaan penelitiannya seharusnya penjelasannya lebih terfukus kepada perubahan religus dan pola hidup.

  

commit to user

23 Devung, G. Simon. Ibid. Hal. 36

  Penelitian yang lain misalnya adalah Hutajulu (2002) yang meneliti

  

Dampak Pariwisata terhadap Upacara Tradisional pada Masyarakat batak

24 Toba . Dalam tulisannya ini (meskipun tidak tersurat) namun dapat difahami

  bahwa yang dia maksud sebagai teks adalah opera batak, yaitu lagu-lagunya yang secara spesifik berkaitan dengan fenomena gender dan perempuan pada masyarakat Batak Toba. Namun isu gender yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah sebatas inspirasi bagi para kaum laki-laki dalam menciptakan lagu-lagu yang dipakai dalam opera tersebut (132 lagu). Lagu-lagu opera sering sekali diciptakan setelah mendengar keluhan dari pemain perempuan opera batak atau penonton/anggota yang mengadukan problema serta pengalaman hidupnya. Namun jika dikaji secara menyeluruh dari lagu-lagu terebut ia menunjukkan fenomena ketidaksetaraan gender dan status perempuan yang subordinate di masa- masa gemilang dimana opera batak berkembang.