BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Angkatan 2008 tentang Stroke

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke

  2.1.1. Definisi

  Menurut World Health Organization (WHO), Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1999).

  Stroke ialah bencana atau gangguan peredaran darah di otak. Dalam bahasa Inggris dinamai juga sebagai Cerebro-vascular Accident. Gangguan peredaran darah ini dapat berupa iskemia dan perdarahan. Iskemia adalah aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagian dearah di otak, manakala perdarahan adalah terjadi karena dinding pembuluh darah robek. Gangguan peredaran darah ini mengakibatkan fungsi otak terganggu, dan bila berat dapat mengakibatkan kematian sebagian sel-sel otak disebut infark (Lumbantobing, 1994).

  2.1.2. Epidemiologi

  Sekitar 0,2% dari populasi Barat terkena stroke setiap tahunnya yang sepertiganya akan meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan hidup dengan kecacatan, dan sepertiga sisanya dapat sembuh kembali seperti semula. Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke sebagai penyebab kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta) dari total 50,5 juta kematian per tahunnya (Hankey, 1999).

  Di Amerika Serikat angka insidens stroke adalah 500.000 per tahunnya, dengan angka kematian sekitar 150.300 dalam tahun 1988. Selanjutnya, dengan adanya kontrol yang baik dalam hal faktor resiko, angka insidens dapat ditekan pada masa tahun berikutnya (Bowler, 1996). menyatakan bahwa terdapat sekitar 80% dari semua stroke adalah suatu jenis iskemik dan 20% sisanya adalah jenis hemoragik. Hasil penelitian ini mirip dengan penelitian Rasmussen dkk. (1992) pada pemeriksaan CT Sken otak terhadap 245 penderita stroke baru sekitar 1-7 hari sesudah serangan stroke dan dirawat di Rumah Sakit Kopenhagen. Dalam masa satu tahun ditemukan 76% pasien jenis iskemik, 11% mengalami pendarahan, sedangkan 13% tidak menunjukkan tanda-tanda lesi akut. Kebanyakan pasien berusia lanjut dengan perbandingan wanita lebih banyak daripada pria. Letak lesi terbanyak di daerah basal ganglia (41,2%), kemudian berturut-turut diikuti di daerah temporal, parietal, dan frontal. Luas lesi terbanyak adalah 2x2x2 cm atau lebih (63,3%) yang terdapat di hemisfer kanan (40,4%) daripada di hemisfer kiri (35%).

  Usia merupakan faktor resiko yang paling penting bagi semua jenis stroke. Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia. Di Oxfordshire, selama tahun 1981 – 1986, tingkat insiden (kasus baru per tahun) stroke pada kelompok usia 45-54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk dibanding 1987 kasus per 100.000 penduduk pada kelompok usia 85 tahun ke atas (Lumbantobing, 2001). Sedangkan di Auckland, Selandia Baru, insiden stroke pada kelompok usia 55 – 64 tahun ialah 20 per 10.000 penduduk. Di Soderhamn, Swedia, insiden stroke pada kelompok usia yang sama 32 per 10.000 penduduk. Pada kelompok usia di atas 85 tahun dijumpai insiden stroke dari 184 per 10.000 di Rochester, Minnesota, dan 397 per 10.000 penduduk di Soderhamn, Swedia (Fieschi, et al, 1998).

  Berdasarkan jenis kelamin, insidens stroke di Amerika Serikat 270 per 100.000 pada pria dan 201 per 100.000 pada wanita. Di Denmark, insidens stroke 270 per 100.000 pada pria dan 189 per 100.000 pada wanita. Di Inggris insidens stroke 174 per 100.000 pada pria dan 233 per 100.000 pada wanita. Di Swedia, insidens stroke 221 per 100.000 pada pria dan 196 per 100.000 pada wanita (Fieschi, et al, 1998). insidens stroke. Di Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun 2010 dirawat inap, ada 365 orang penderita stroke, 40% menderita stroke iskemik dan 18% menderita stroke hemoragik (Departemen/SMF Neurologi FKUSU/RSHAM 2011).

2.1.3. Klasifikasi

  Dikenal bermacam- macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas gambaran klinik, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya (WHO, 1989; Ali, et al, 1996; Misbach, 1999; Widjaja, 1999).

  Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa (Ali, et al, 1996; Misbach, 1999). Adapun klasifikasi tersebut, antara lain : (Misbach, 1999)

  I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

  a) Stroke Iskemik 

  Transient Ischemic Attack (TIA)

  Trombosis serebri 

  Emboli serebri Stroke Hemoragik

   Perdarahan intraserebral

   Perdarahan subarachnoid

  II. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu:

  a. Transient Ischemic Attack (TIA)

  b. Stroke in evolution

  c. Completed Stroke

  III. Berdasarkan sistem pembuluh darah:

  1. Sistem karotis

  2. Sistem vertebrobasiler

  1. Partial Anterior Circulation Infark (PACI)

  2. Total Anterior Circulation Infark (TACI)

  3. Lacunar Infarct (LACI)

  4. Posterior Circulation Infark (POCI) Sedangkan penggunaan klinis yang lebih praktis lagi adalah klasifikas i dari NewYork Neurological Institute, di mana stroke menurut mekanisme terjadinya dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: Stroke Iskemik (85%) yang terdiri dari: thrombosis 75 – 80%, emboli 15 – 20%, lain-lain 5%: vaskulitis, koagulopati, hipoperfusi dan Stroke Hemoragik (10 – 15%) yang terdiri dari: intraserebral (parenchymal) dan subarachnoid (WHO, 1989; Ozer, et al,1994; Iswadi, 1999; Widjaja, 1999; Caplan, 2000).

  Gambar 1. Perbedaan Tempat Stroke Non Hemoragik dan Stroke Hemoragik Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses patologik (kausal): a. Berdasarkan manifestasi klinik: i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)

  Defisit neurologis yang sementara yang disebabkan oleh disfungsi otak fokal, medulla spinalis atau iskemi retina tanpa ada infark akut. ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological

  Deficit (RIND)

  Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu. iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation) Gejala neurologik makin lama makin berat. iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke) Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.

  b. Berdasarkan Kausal: 1) Stroke akibat trombosis serebri

  Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini menyebabakan iskemik (Japardi, 2002). Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal (Caplan, 2000). 2) Emboli serebri

  Selain oklusi trombotik pada tempat aterosklerosis arteri serebral, infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi atheromatus yang terletak pada pembuluh yang lebih distal. Gumpalan- gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi tersumbat, aliran darah fragmen kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari penyebab stroke (Anonim, 2010).

  Klasifikasi Stroke Hemoragik

  Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and

  Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:

  a. Perdarahan Intraserebral (PIS) Perdarahan intraserebral adalah perdarahan dari salah satu arteri otak ke dalam jaringan otak. Lesi ini menyebabkan gejala yang terlihat mirip dengan stroke iskemik. Diagnosis perdarahan intraserebral tergantung pada neuroimaging yang dapat dibedakan dengan stroke iskemik. Stroke ini lebih umum terjadi di negara-negara berkembang daripada negara-negara maju, penyebabnya masih belum jelas namun variasi dalam diet, aktivitas fisik, pengobatan hipertensi, dan predisposisi genetik dapat mempengaruhi penyakit stroke tersebut (WHO, 2005).

  b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) Perdarahan subarachnoid dicirikan oleh perdarahan arteri di ruang antara dua meningen yaitu piameter dan arachnoidea. Gejala yang terlihat jelas penderita tiba-tiba mengalami sakit kepala yang sangat parah dan biasanya terjadi gangguan kesadaran. Gejala yang menyerupai stroke dapat sering terjadi tetapi jarang. Diagnosis dapat dilakukan dengan neuroimaging dan lumbal puncture (WHO, 2005).

2.1.4. Faktor Resiko

  Resiko stroke akan meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya faktor resiko. Data epidemiologi menyebutkan resiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah 30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal. Tekanan darah tinggi dan diabetes masih merupakan faktor resiko jangka panjang terjadi bersamaan, resiko untuk stroke semakin meningkat secara drastik (Gilroy, 2000; Eguchi dkk, 2003; Kelompok Studi Serebrovaskuler Perdossi, 2004; Hu dkk, 2005; Harmsen dkk, 2006; Goldstein, 2006).

  Faktor Resiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat diklasifikasikan berdasarkan pada kemungkinannya untuk dimodifikasi (nonmodifiable,

  

modifiable, or potentially modifiable ) dan bukti yang kuat (well documented or

less well documented ) (Goldstein, 2006).

I. Nonmodifiable risk factors: 1.

  Umur 2. Jenis Kelamin 3. Berat badan lahir rendah 4. Bangsa / ras 5. Keturunan / genetik II.

   Modifiable risk factor: A.

  Well documented and modifiable risk factor 1.

  Penyakit hipertensi 2. Merokok 3. Diabtes Mellitus 4. Atrial fibrillasi 5. Dislipidemia 6.

   Carotid artery stenosis 7.

  Penyakit Sel Sickle 8.

   Postmenopausal hormone therapy 9. Poor Diet 10.

   Inaktivasi fisikal 11. Obesitas dan body fat distribution

   Less well-documented and modifiable risk factor 1.

   Metabolic Syndrome 2.

  Alkoholik 3. Kontrasepsi oral 4.

   Sleep-dirordered breathing 5. Migraine headache 6. Hyperhomocysteinemia 7. Peningkatan lipoprotein (a) 8. Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase 9. Hiperkoagulabilitas 10.

   Inflamasi 11. Infeksi

  Efek faktor resiko pada insidens stroke biasanya bertambah atau berlipat ganda, sehingga dengan adanya beberapa faktor resiko akan menempatkan seseorang pada resiko tinggi.

  Major Risk Factors: 1.

  Hipertensi 2. Merokok 3. Diabetes Mellitus 4. Kelainan Jantung 5. Kolesterol

  Pada penelitian Grau dkk. (2001) didapati secara signifikan (p<0,001) faktor resiko hipertensi (67%), bukan peminum alcohol (48%), hiperkolesterolemia (35%), diabetes mellitus (29%), merokok (28%), aritmia kordis (26%), penyakit jantung koroner (24%) dan daily alcohol comsumed (10%).

  Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah (Mangunsong dan Hadinoto, 1992): Gejala Stroke Non Hemoragik i.

  Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol.

  Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia). vi.

  Gejala-gejala serebelum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo). v.

  Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh. iv.

  Meningkatnya refleks tendon. iii.

  d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar. ii.

  Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia). i. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.

  Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh. iii.

  c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media. ii.

  Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan.

  Buta mendadak (amaurosis fugaks).

  Bisa terjadi kejang-kejang. i.

  Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air. v.

  Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh. iv.

  Gangguan mental. iii.

  b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior. ii.

  Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.

  Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan. i.

  Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan. iii.

  a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna. ii.

  Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien sulit bicara (disatria). lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi). viii. Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata

  (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim). ix. Gangguan pendengaran. x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.

  e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior i. Koma ii. Hemiparesis kontralateral . iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia). iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.

  f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia

  sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain,

  namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walaupun sebagian di antaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak. ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak.

  Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu

  Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat

  membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia. iii. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak. setelah terjadinya kerusakan otak. v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya). vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang. vii. Syndrome Lobus Frontal , ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara. viii.

  Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak. ix. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan.

  Gejala Stroke Hemoragik

  a. Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS) Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali pada siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam) (Mangunsong dan Hadinoto, 1992).

  Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG (Mangunsong dan Hadinoto, 1992).

2.1.6. Diagnosis Diagnosis Stroke Non Hemoragik (Aliah, 2007).

  a.

  Diagnosis didasarkan atas hasil: i. Penemuan Klinis

  Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke. Anamnesis ii.

  Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya. Pemeriksaan Fisik b. i. Pemeriksaan tambahan/Laboratorium

  Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase akut. Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran

  yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila sken tidak jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, seringkali dapat membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik perdarahan intraserebral (PIS) maupun perdarahan subarakhnoid (PSA).

  Pemeriksaan Neuro-Radiologik

  Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila perlu gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit, Doppler, Elektrokardiografi (EKG).

  Diagnosis Stroke Hemoragik

  a. Perdarahan Intraserebral (PIS) Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda-tanda klinis dari hasil pemeriksaan. Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan

  Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), Magnetic Resonance I maging (MRI), Elektrokardiografi (EKG), Elektroensefalografi (EEG), Ultrasonografi (USG), dan Angiografi cerebral.

  b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA) Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan Multislices CT-Angiografi, MR

  Angiografi atau Digital Substraction Angiography (DSA).

  Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit.

  1. Tabel 2.1. Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragi k (Djoenaidi, 1988) Tanda/Gejala Skor

  1. TIA sebelum serangan

  1

  2. Permulaan serangan Sangat mendadak (1-2 menit) 6,5 Mendadak (beberapa menit-1 jam) 6,5 Pelan-pelan (beberapa jam)

  1

  3. Waktu serangan Waktu kerja (aktivitas) 6,5 Waktu istirahat/duduk/tidur

  1 Waktu bangun tidur

  1

  4. Sakit kepala waktu serangan Sangat hebat

  10 Hebat 7,5 Ringan

  1 Tak ada

  5. Muntah Langsung habis serangan

  10 Mendadak (beberapa menit-jam) 7,5 Pelan-pelan (1 hari atau lebih)

  1 Tak ada

  6. Kesadaran Hilang waktu serangan (langsung)

  10 Hilang mendadak (beberapa menit-jam)

  10 Gejala/Tanda Klinis dan Skor 1. Derajat kesadaran 24 jam setelah MRS

  Mengantuk + 7.3 Tak dapat dibangunkan + 14.6 2. Babinski bilateral + 7.1 3. Permulaan serangan

  Sakit kepala dalam 2 jam setelah serangan atau kaku kuduk: + 21.9 4. Tekanan darah diastolik setelah 24 jam + (tekanan darah diastolik x 0.17) 5. Penyakit katub aorta/mitral -4.3 6.

  Gagal jantung - 4.3 7. Kardiomiopati - 4.3 8. Fibrilasi atrial - 4.3 9. Rasio kardio-torasik > 0.5 (pada x-foto toraks) - 4.3 10.

  Infark jantung (dalam 6 bulan) - 4.3 11. Angina, klaudikasio atau diabetes - 3.7 12. TIA atau stroke sebelumnya - 6.7 13. Anemnesis adanya hipertensi - 4.1

  Pembacaan: Skor : < + 25: Infark (stroke non hemoragik)

  > + - 5: Perdarahan (stroke hemoragik)

  • 14: Kemungkinan infark dan perdarahan 1 : 1 < + 4: Kemungkinan perdarahan 10%

  Sensivitas: Untuk stroke hemoragik: 81-88%; stroke non hemoragik (infark) 76- 82%. Ketetapan keseluruhan: 76-82%.

  3. Tabel 2.3. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991)

  Versi orisinal: = (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

  Versi disederhanakan: = (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3 x atheroma) – 12. Kesadaran: Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2 Muntah: tidak = 0 ; ya = 1 Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1 Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1 (anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)

  Pembacaan: Skor > 1: Perdarahan otak

  < -1: Infark otak Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.

  Untuk infark: 93.2%. Ketepatan diagnostik: 90.3%. A) Terapi medik stroke iskemik (Lumbantobing, 1994) Berikut ini ada beberapa macam obat yang digunakan pada stroke iskemik:

  1. Obat untuk sembab otak (edema otak) Pada fase akut stroke dapat terjadi edema di otak. Bila edema ini berat akan mengganggu sirkulasi darah di otak dan dapat juga mengakibatkan keadaan lebih buruk atau dapat juga menyebabkan kematian.

  Obat antiedema otak ialah cairan hiperosmolar (misalnya larutan manitol 20%; larutan gliserol 10%). Membatasi jumlah cairan yang diberikan juga membantu mencegah bertambahnya edema di otak. Obat deksametason, suatu kortikosteroid, dapat digunakan juga.

  2. Obat antiagregasi trombosit Ada obat yang dapat mencegah menggumpalnya trombosit darah dan dengan demikian mencegah terbentuknya trombus (gumpalan darah) yang dapat menyumbat pembuluh darah. Obat sedemikian dapat digunakan pada stroke iskemik, misalnya pada TIA. Obat yang banyak digunakan ialah asetosal (aspirin).

  Dosis asetosal berkisar dari 40 mg sehari sampai 1,3 gram sehari. Akhir-akhir ini juga digunakan obat tiklopidin untuk maksud yang sama, dengan dosis 2 x 250mg atau klopidogrel dengan dosis 1 x 75 mg sehari. Pada TIA, untuk mencegah kambuhnya, atau untuk mencegah terjadinya stroke yang lebih berat, lama pengobatan dengan antiagregasi berlangsung 1-2 tahun, atau lebih.

  Tentu kita harus juga menanggulangi faktor-faktor resiko yang ada dengan baik.

  3. Antikoagulansia Antikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi trombus. Antikoagulansia masih sering digunakan pada penderita stroke dengan kelainan jantung yang dapat menimbulkan embolus. Obat yang digunakan ialah heparin, kumarin dan sintrom.

  Terapi trombolitik pada stroke iskemik didasari anggapan bahwa bila sumbatan oleh trombus dapat segera dihilangkan atau dikurangi (rekanalisasi), maka sel-sel neuron yang sekarat dapat ditolong.

  Penelitian yang cukup besar, yang membuktikan efektivitas penggunaan rt-PA pada stroke iskemik, ialah penelitian NINDS, yang melibatkan 624 penderita dan pengobatan dimulai dalam kurun waktu 3 jam setelah mulainya stroke. Terjadinya perdarahan sebagai akibat pengobatan ini cukp tinggi (6,4% dibanding 0,6% pada kelompok tanpa trombolitik (plasebo)). Namun demikian, pasien yang dapat rt-PA, yaitu 48% dibanding 36% pada plasebo. Terapi trombolitik pada stroke iskemik merupakan terapi yang poten, dan cukup berbahaya bila tidak dilakukan dengan seksama.

  5. Obat atau tindakan lain Berbagai obat dan tindakan telah diteliti dan dilaporkan di kepustakaan dengan tujuan memperbaiki tau mengoptimasi keadaan otak, metabolismenya dan sirkulasinya. Hasilnya masih kontroversial dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

  Obat-obat ini misalnya: kodergokrin mesilat (Hydergin), nimodipin (Nimotop), pentoksifilin (Trental), sitikolin (Nicholin). Tindakan yang perlu penelitian lebih lanjut ialah: hemodilusi, mengencerkan darah. Hal ini dilakukan bila darah kental pada fase akut stroke. Bila darah kental, misalnya hematokrit lebih dari 44-55%, darah dikeluarkan sebanyak 250cc, diganti dengan larutan dekstran-40 atau larutan lainnya. Bila masih kental juga, dapat dikeluarkan lagi 250cc keesokan harinya.

  B) Terapi medik perdarahan subaraknoid (Lumbantobing, 1994) Penatalaksanaan medik perdarahan subaraknoid oleh pecahnya anerisma atau robeknya malformasi arteri-vena belumlah baku. Panatalaksanaan ini mencakup:

  a) tirah baring di ruang tenang, b) mengupayakan agar penderita tidak mengedan, c) menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. dibuktikan bahwa tindakan ini mengurangi perdarahan ulang atau vasospasme (menciutnya pembuluh darah). Namun meningkatnya tekanan intrakranial dan tekanan darah oleh aktivitas fisik atau lonjakan emosional memang dapat dicegah, dan sebaiknya dicegah. Tujuan terapi medik antara lain ialah:

  1. Menurunkan tekanan darah untuk mencegah perdarahan ulang. Pada orang yang dasarnya normotensif (tensi normal) diturunkan sampai sistolik 160mmHg, pada orang yang hipertensif sedikit lebih tinggi.

  2. Penderita harus istirahat total, paling sedikit 4 minggu, agar proliferasi fibroblastik dan penyembuhan luka pembuluh darah lebih baik.

  3. Tekanan dalam rongga tengkorak diturunkan dengan cara :

  a. Meningkatkan posisi kepala 15-30% (satu bantal)

  b. Memberikan obat antiedem

  c. Memberikan obat deksametason, selain sebagai antiedem juga untuk mencegah perlekatan pada arakhnoid yang dapat mengakibatkan hidrosefalus dan peninggian tekanan dalam tengkorak.

  4. Mencegah perdarahan ulang, paling sering terjadi selama 2-4 minggu pertama. Untuk maksud ini dapat diberi obat dari golongan antifibrinolitik misalnya asam traneksamat 4-6 gram intravena selama 2 minggu.

  5. Mencegah spasme arteri, yang sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 10. Untuk maksud ini dapat diberi obat nimodipine, 4 x 30-60 mg sehari selama 2 minggu.

  C) Terapi medik perdarahan intraserebral (dalam jaringan otak) (Lumbantobing, 1994) Tujuan terapi antara lain mencakup:

  1. Mencegah akibat buruk dari meningkatnya tekanan intrakranial

  2. Mencegah komplikasi sekunder sebagai akibat menurunnya kesadaran misalnya gangguan pernafasan, aspirasi, hipoventilasi.

  3. Identifikasi sumber perdarahan yang mungkin dapat diperbaiki dengan tindakan bedah. stroke hemoragik. Namun, pada keadaan tertentu dibutuhkan operasi darurat untuk mengeluarkan bekuan darah dari otak.

  Pada bekuan darah di otak kecil, umumnya dibutuhkan tindakan operasi, mencegah terjadinya tekanan pada batang otak dan terjadinya hidrosefalus.

2.1.8. Pencegahan

  Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu: i. Pencegahan Primordial

  Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat.

  Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard. ii. Pencegahan Primer

  Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain:

  a. Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.

  b. Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.

  c. Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vaskular aterosklerotik lainnya. buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak serta dianjurkan berolah raga secara teratur. iii. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.

  Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah:

  a. Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320 mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi koagulopati yang lain.

  b. Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontraindikasi terhadap asetosal (aspirin).

  c. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak. iv. Pencegahan Tertier

  Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tertier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga.

  Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain.

  b. Rehabilitasi Mental Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi.

  Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis.

  c. Rehabilitasi Sosial Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke menghadapi masalah sosial seperti mengatasi perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan bantuan sosial.

  Prilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang berkaitan. Maka, prilaku manusia merupakan sesuatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Terdapat 2 hal yang dapat mempengaruhi prilaku yaitu faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan konsepsi dasar untuk perkembangan prilaku mahluk hidup itu. Lingkungan adalah kondisi untuk perkembangan prilaku tersebut.

  Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa prilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon). Terdapat 2 jenis respon yaitu:

  a) Respondent respon yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan- rangsangan tertentu. Respon yang timbul umumnya relatif tetap.

  b) Operant respon ialah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsangan tertentu. Perangsangan semacam ini dikenal sebagai

  reinforcing stimuli karena perangsangan-peransangannya memperkuat respon yang telah dilakukan organisme.

  Prilaku kesehatan adalah suatu proses seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan makanan serta lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003) mengajukan klasifikasi prilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) seperti berikut:

  a) Prilaku kesehatan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.

  b) Prilaku sakit ialah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang merasakan sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit.

  c) Prilaku peran sakit yakni segala tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperolehi kesembuhan.

  Bloom (1908) membagi prilaku ke dalam 3 domain tapi tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.

  Pengetahuan secara luas berarti segala sesuatu yang kita ketahui (Balai Pustaka dan Depdiknas, 2005). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek, baik malalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan hasil penggunaan panca indera dan akan menimbulkan kesan dalam pikiran manusia (Soekanto, 2003).

  Menurut Piaget (1999), pengetahuan adalah interaksi yang terus menerus antara individu dan lingkungan. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu proses, bukan suatu ‘barang”. Hutojo menyatakan bahwa pengetahuan adalah tekanan kepada proses psikologi ingatan atau kognitif (Hudojo, 2003 dalam Hasanah, 2007). Benjamin, Bloom, dkk seperti dikutip Sudijono mengemukakan bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan harus mengacu kepada tiga jenis ranah, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik.

  Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu:

  1. Tahu (know) Tahu adalah suatu keadaan di mana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengatahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu,“tahu” ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

  2. Paham (comprehension) Paham diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

  3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

  Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain, misalnya mengelompokkan dan membedakan.

  5. Sintesis (synthesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian- bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

  Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.

  Menurut Notoatmodjo (2005) dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

  1. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan Cara Kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara ini antara lain:

  a. Cara coba-coba (Trial and Error) Melalui cara coba-coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and

  

error ”. Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam

memecahkan masalah dan apabila kemungkinan yang lain.

  b. Cara kekuasaan atau otoritas Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

  Dengan cara mengulanag kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

  d. Melalui jalan pikiran Kemampuan manusia menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia menggunakan jalan pikirannya.

  2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disebut “metode penelitian”, atau lebih popular disebut metodologi penelitian (research methodology). Menurut Deobold van Dalen, mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan pengamatan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati. Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok, yaitu: a) Segala sesuatu yang positif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan pengamatan.

  b) Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan pengamatan.

  c) Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubah pada kondisi-kondisi tertentu.

2.2.2. Sikap

  Menurut Sarwono, sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Sarwono, Sarlito, 2006). Sikap menurut Fishbein dan Ajzen (1975) adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi konsep, atau orang.

  1. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

  2. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

  3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.

  4. Bertanggung Jawab (Responsible) Bertanggung jawab akan segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko.

  Menurut Secord dan Backman (1964) dalam Hasanah N L(2007) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Selanjutnya menurut Azwar struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu:

  1) Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontraversial.

  2) Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah emosional subyektif terhadap suatu obyek. Apabila individu percaya bahwa obyek sikap tersebut membawa dampak yang tidak baik, maka akan terbentuk perasaan tidak suka atau afeksi yang tak

  favorable terhadap obyek sikap tersebut.

  3) Komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. memunculkan suatu sikap tertentu. Dalam kata lain, apabila dihadapkan pada suatu obyek sikap yang sama, maka ketiga komponen tersebut harus mempolakan hal yang sama. Sikap berhubungan dengan seberapa luasnya pengetahuan individu terhadap obyek yang dihadapi. Orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang suatu obyek tidak akan mempunyai sikap positif terhadap obyek tersebut. Hal itu berarti bahwa aspek kognitif yang diwujudkan melalui pengaruh pemikiran dan keyakinan seseorang memerlukan landasan pengetahuan yang relevan menanggapi obyek sikap. Dengan demikian pengetahuan mengenai konsep tentang mikrobiologi diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sikap positif terhadap kesehatan. Demikian juga dengan pendidikan merupakan modal manusia melakukan transformasi sikap terhadap kesehatan.

  Oleh itu, pengertian sikap adalah: Pertama, sikap merupakan kecenderungan bertingkah laku untuk bertindak terhadap obyek, terhadap situasi atau nilai tertentu. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan baik atau buruk, penting atau tidak penting.

2.2.3. Tindakan Sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

  Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain: fasilitas. Di samping fasilitas juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain (Nototmodjo, 2003).

  Menurut Notoadmodjo (2003) tingkat-tingkat praktek sebagai berikut:

  a) Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

  Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua.

  c) Mekanisme ( Mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu kegiatan itu sudah menjadi suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat ketiga.

  d) Adaptasi (Adaptation) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

  Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Angkatan 2008 tentang Stroke

1 50 117

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Angkatan 2008 Terhadap Makanan yang Mengandung Natrium

4 58 63

Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tentang Konsumsi Makanan Cepat Saji

7 53 84

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIVAIDS - Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Mengenai HIV / AIDS

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Singkat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara - Mekanisme Pelayanan Di Bagian Akademik Terhadap Kepuasan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Gambaran Kecanduan Online Game pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 1 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minuman Berenergi - Perbandingan Pengaruh Minuman Berenergi dan Olahraga terhadap Performa Kognitif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2011

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIVAIDS 2.1.1. Definisi - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa dengan Tindakan terhadap HIV/AIDS di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keputihan 2.1.1 Definisi - Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Siswi SMA Hang Kesturi Tentang Keputihan Tahun

1 1 11

Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Angkatan 2008 tentang Stroke

0 0 41