PENYAKIT TUBERKULOSIS el dan id. doc

PENYAKIT TUBERKULOSIS
A. Definisi Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat
menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.
mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran
panjang 1-4 μm.
B. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis
1.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.

2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:

a. Tuberkulosis paru BTA positif.
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
4. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negative
1. Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
2. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:


Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative



Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.




Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.



Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:



TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.




TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin.

Catatan:


Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.



Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi

beberapa tipe pasien, yaitu:


Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).



Kasus kambuh (Relaps)
Adalah

pasien

tuberkulosis

yang

sebelumnya


pernah

mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).


Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.



Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.



Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.



Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.
C. Patogenesis Penyakit Tuberkulosis
TB merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan basil aerob, non-motil, dan tahan terhadap asam, pengeringan serta
alkohol. TB secara klasik dibagi menjadi primer dan sekunder. TB primer terjadi pada

penderita yang sebelumnya belum pernah terpajan dengan M. tuberculosis. TB
sekunder terjadi pada penderita yang sebelumnya pernah tersensitasi oleh M.
tuberculosis.
Seseorang dengan TB paru aktif yang tidak mendapat terapi, dapat
menginfeksi rata-rata 10–15 orang per tahun. Kemungkinan penularan ini bergantung
pada jumlah droplet yang ditransmisikan, durasi pajanan, serta virulensi dari M.
tuberculosis.
1. Patogenesis TB Primer

Setelah pencegahan penularan TB bovin melalui pasteurisasi susu
diterapkan, infeksi TB enterogenik di negara maju hampir tidak ada dan infeksi
TB primer biasanya melalui saluran pernafasan. Infeksi terjadi akibat inhalasi
droplet (2–10μm) yang mengandung basil (1–4μm). Droplet tersebut akan dibawa
oleh silia ke bronkiolus terminalis dan alveoli. Inokulasi terjadi pada area dengan
ventilasi yang paling banyak, biasanya pada segmen anterior lobus superior, lobus
medius, lingula, dan segmen basal dari lobus inferior. Makrofag alveolar akan
menangkap basil. Basil TB tersebut akan bereplikasi di dalam makrofag alveolar.
14 Histiosit epiteloid dan limfosit akan beragregasi membentuk granuloma.
Pada granuloma, limfosit T CD4 akan mensekresi sitokin seperti
interferon-γ yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh basil TB di

dalamnya. Limfosit T CD 8 (limfosit T sitotoksik) juga dapat langsung
membunuh sel yang terinfeksi. Meskipun demikian, basil TB tidak selalu
tereliminasi dari granuloma, namun basil tersebut dapat menjadi dorman.
Granuloma juga dapat mengalami nekrosis di bagian tengahnya.
2. Patogenesis TB Sekunder
TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi
yang terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah
infeksi primer.29 Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks
ini didapatkan melalui penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa
tahun sebelumnya. Segmen apikal dan posterior dari lobus superior serta segmen
apikal lobus inferior merupakan tempat reaktivasi sering terjadi. Hal ini
diakibatkan tekanan oksigen di tempat tersebut merupakan yang paling tinggi
dibandingkan bagian paru lainnya.
Penjelasan lain adalah sistem pengaliran limfatik di daerah tersebut yang
kurang baik. Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang
terjadi setelah infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan

berkonfluens, dan mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga
dapat terjadi akibat reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien
berdomisili di negara-negara maju.

D. Prefalensi Penyakit Tuberculosis di Berbagai Wilayah
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi terutama di negara berkembang. TB merupakan penyebab
kematian utama di seluruh dunia akibat infeksi bakteri. Diperkirakan di seluruh dunia
1,8 milyar orang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, dengan 8-10 juta kasus
baru dan 3 juta kematian per tahun. Hanya sekitar 15 juta orang saja yang memiliki
penyakit aktif. Derajat penyakit ini bervariasi tergantung oleh negara, umur, ras, sex
dan status sosioekonomi. Di Amerika Serikat dijumpai sekitar 15.000 kasus/tahun
dimana > 50% dijumpai pada penduduk dengan sosioekonomi rendah.
Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), daerah dengan
kasus TB baru yang tertinggi pada tahun 2009 adalah di daerah Asia Tenggara yang
merupakan 35% dari insidensi global. Sekitar 1,3 juta populasi meninggal akibat TB
pada tahun 2009.4
Tabel 1. Estimasi insidensi, prevalensi dan mortalitas TB pada tahun 2009

Estimasi insidensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 430.000 kasus dengan mortalitas sebesar
61.000.

Pasien dengan TB paru aktif dapat asimptomatis atau disertai gejala batuk

ringan, namun dapat pula datang dengan gejala seperti demam, lemah, penurunan

berat badan, keringat malam dan batuk berdarah. Jika TB paru dideteksi secara dini
dan diobati secara tuntas maka penderita TB paru dapat cepat menjadi non-infeksius
dan akhirnya sembuh. Oleh karena itu diagnosis memegang peran penting dalam
pengendalian infeksi TB di komunitas.
Diagnosis definitif dari TB hanya dapat ditegakkan melalui kultur
Mycobacterium tuberculosis terhadap spesimen yang diambil dari pasien. Namun
oleh karena kesulitan dalam melakukan kultur kuman yang tumbuh lambat ini, maka
diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain. Pemeriksaan sputum basil tahan asam
(BTA) merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan di hampir semua tempat dan
relatif cepat.
Diagnosis presumtif TB dapat ditegakkan melalui temuan BTA pada sputum
sesuai dengan rekomendasi dari International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)
yang dikeluarkan oleh Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA).
Meskipun demikian, pemeriksaan sputum BTA tidak definitif oleh karena tidak
semua basil tahan asam adalah Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan sputum
BTA juga memiliki kendala pada perolehan spesimen dengan kualitas yang baik.
E. Penanganan Terapi
1. Terapi non Farmakologi

a. Sering berjemur dibawah sinar matahari pagi (pukul 6-8 pagi)
b. Memperbanyak istirahat(bedrest) / istirahat yang cukup
c. Diet sehat (pola makan yang benar), dianjurkan mengkonsumsi banyak
lemak dan vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru dan
meningkatkan sistem imun
d. Menjaga sanitasi/kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal.
e. Menjaga sirkulasi udara di dalam rumah agar selalu berganti dengan udara
yang baru.
f. Berolahraga secara teratur, seperti jalan santai di pagi hari.
g. Minum susu kambing atau susu sapi
h. Menghindari kontak langsung dengan pasien TB
i. Rajin mengontrol gula darah
2. Terapi Farmakologi

a. Obat-obatan yang Digunakan Dalam Terapi Tuberkulosis (golongan
dan obat-obatnya)
Tuberkulostatika di bagi dalam 2 golongan :
1. Obat primer : isoniazid , rifampisin , pirazinamida , etambutol ,
streptomisin (kanamisin , amikasin) . obat-obat ini paling efektif dengan
toksisitas paling rendah , tapi harus di kombinasi untuk mencegah
resistensi .
2.

Obat sekunder : klofazimin , fluorkinolon , sikloserin , rifabutin , dan
PAS. Obat-obat ini mempunyai kegiatan lebih lemah , dan hanya di
gunakan bila terjadi resistensi.

b. Mekanisme kerja/ Farmakologi, Indikasi, Kontraindikasi, dan Efek samping
Contoh Obat Golongan Primer
1. Isoniazid (INH)
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang disingkat dengan INH. Isoniazid
secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan
tuberkulosid (membunuh bakteri). Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek
pada lemak, biosintesis asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah
menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur
penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam
dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh metanol dari
mikobakterium.
Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral.
Kadar puncak diperoleh dalam waktu 1–2 jam setelah pemberian oral. Di hati,
isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini
dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar
obat dalam plasma. Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada efektivitas
dan atau toksisitas isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari.


Dosis Obat

`5-15 mg/kg BB/hari (maks. 300mg)/ hari


Efek samping
Mual, muntah, anoreksia ( kelainan psikis yang diderita seseorang berupa
kekurangan nafsu makan meski sebenarnya lapar dan berselera terhadap
makanan), letih, malaise (perasaan sakit dan kurang enak badan), lemah,
gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer (rasa kesemutan yang amat
sangat), neuritis optikus (peradangan pada ujung saraf optik yang masuk ke dalam
mata), reaksi hipersensitivitas, demam, ruam (gatal-gatal pada kulit), ikterus
(warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin),
diskrasia darah (perdarahan hidung, memar spontan), psikosis (gangguan tilikan
pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan
fantasi dirinya, misalnya gejala halusinasi), kejang, sakit kepala, mengantuk,
pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6, penyakit pellara,
hiperglikemia (peningkatan glukosa darah melebihi batas normal), asidosis
metabolik (keasaman darah yang berlebihan), ginekomastia (pembengkakan pada
jaringan payudara pada laki-laki atau laki-laki, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan hormon estrogen dan testosterone), gejala reumatik, gejala
mirip Systemic Lupus Erythematosus.



Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit dari SSP.



Resistensi
Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan TBC
dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan
cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi terjadi akibat
kurangnya kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup
lama yaitu antara 6–9 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum
obatselama menjalani terapi.

Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati
semua tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga
dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti piridoksin
(vitamin B6).
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis yang bersifat bakterisidal
(membunuh bakteri) dan bekerja dengan mencegah transkripsi RNA dalam proses
sintesis protein dinding sel bakteri.


Dosis Obat
10-20 mg/kg BB/hari (maks. 600 mg/hari).



Efek Samping
Gangguan saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, diare
(dilaporkan terjadi kolitiskarena penggunaan antibiotika), sakit kepala,
drowsiness; gejala berikut terjadi terutama pada terapi intermitten termasuk
gelala mirip influenza (dengan chills, demam, dizziness, nyeri tulang), gejala
pada respirasi (termasuk sesak nafas), kolaps dan shock, anemia hemolitik,
gagal ginjal akut, dan trombositopenia purpura; gangguan fungsi liver,
jaundice(penyakit kuning); flushing, urtikaria dan rash; efek samping lain
dilaporkan : edema, muscular weakness dan myopathy, dermatitis exfoliative,
toxic epidermal necrolysis, reaksi pemphigoid, leucopenia, eosinophilia,
gangguan menstruasi; urin, saliva dan sekresi tubuh yang lain berwarna
orange-merah; tromboflebitis dilaporkan pada penggunaan secara infus pada
periode yang lama.



Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap rifampisin atau komponen lain yang terdapat
dalam sediaan; penggunaan bersama amprenavir, saquinafir/rotonavir
(kemungkinan dengan proease inhibitor), jaundice (penyakit kuning).

3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat
ini tidak larut dalam air. Pirazinamid di dalam tubuh di hidrolisis oleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya
pada media yang bersifat asam. Bersifat bakterisidal dan bekerja dengan
menghambat pembentukan asam lemak yang diperlukan dalam pertumbuhan
bakteri. Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas keseluruh tubuh.
Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.


Dosis Obat
15-30 mg/kg BB/hari (maks. 2g/hari).



Efek Samping
Efek samping pirazinamid paling umum yaitu kelainan hati yang diawali

oleh gangguan fungsi hati berupa peningkatan SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase, yaitu enzim yang dihasilkan sebagian besar oleh otot
jantung dan sebagian kecil oleh otot hati) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic
Transaminase, yaitu enzim yang dihasilkan sebagian besar oleh otot hati dan
sebagian kecil oleh otot jantung). Bila terjadi kerusakan hati, pemberian
pirazinamid harus dihentikan.
Efek samping lain pirazinamid yaitu demam, anoreksia, hepatomegali
(pembesaran organ hati), splenomegali (pembesaran limpa), jaundice (warna
kekuningan yang didapatkan pada kulit dan lapisan mukosa (seperti bagian putih
mata), yang terjadi karena penumpukan zat kimia yang disebut bilirubin), gagal
hati; mual, muntah, urtikaria ( reaksi alergi yang ditandai oleh bilur-bilur
berwarna merah dengan berbagai ukuran di permukaan kulit), artralgia (nyeri
sendi), disuria (perasaan tidak enak berkemih), anemia sideroblastik, ruam dan
kadang-kadang fotosensitivitas.


Kontraindikasi

Porfiria (sekelompok penyakit yang disebabkan oleh kekurangan enzimenzim yang terlibat dalam sintesa heme, yang mengakibatkan warna urin
berubah menjadi merah atau biru gelap), gangguan fungsi hati berat, dan
hipersensitif pirazinamid.
4. Ethambutol
Ethambutol

merupakan

tuberkuloslatik

dengan

mekanisme

keria

menghambat sintesis RNA. Absorbsi setelah pemberian per oral cepat. Eksresi
sebagian besar melalui ginjal, hanya lebih kurang 10% diubah menjadi metabolit
yang inaktif. Ethambutol tidak dapat menembus jaringan otak tetapi pada
penderita meningitis, tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapeutik dalam cairan
serebrospinal.


Dosis Obat
 Dewasa: 15 mg/kg BB PO, untuk pengobatan ulang mulai dengan 25
mg/kg BB/hari selama 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15 mg/kg
BB/hari.
 Anak 6-12 tahun: 10-15 mg/kg BB/hari.



Efek Samping
Neuritis optik, buta warna merah/hijau , neuritis perifer, ruam (jarang
terjadi) , pruritus (gatal-gatal), urtikaria dan trombositopenia (berkurangnya
jumlah sel-sel keping darah (trombosit) di dalam tubuh (darah).



Kontraindikasi
Anak-anak di bawah usia 5 tahun, pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, epilepsi, alkoholisme kronik dan kerusakan hati, neuritis optik,
penderita yang hipersensitif terhadap komponen obat ini.

Contoh Obat Sekunder
1. Streptomisin

Streptomisin merupakan obat antibiotik yang termasuk dalam golongan
aminoglikosida dan dapat membunuh sel mikroba dengan cara menghambat
sintesis protein. Obat ini larut dalam air dan sangat larut dalam alkohol. Obat ini
terdistribusi ke dalam cairan ekstraselular termasuk serum, absces, ascitic,
perikardial, pleural, sinovial, limfatik, dan cairan peritoneal; menembus plasenta;
dalam jumlah yang kecil masuk dalam air susu ibu.


Dosis Obat

15-40 mg/kg BB/hari (maks. 1g/hari).


Efek Samping

Reaksi hipersensitivitas, paraesthesia (kesemutan) pada mulut.



Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap streptomisin atau komponen lain dalam sediaan,

kehamilan, gangguan pendengaran, myasthenia gravis (kelainan immun
bawaan yang cukup langka, biasanya menunjukkan karakteristik yang khas,
yaitu kelemahan pada otot rangka yang biasanya juga disertai nyeri ketika
menggerakkan otot).
c. Interaksi obat