DINAMIKA TATA KELOLA KEBIJAKAN INDUSTRI
DINAMIKA TATA KELOLA KEBIJAKAN INDUSTRI PENYIARAN DAN TELEKOMUNIKASI INDONESIA MENUJU KONVERGENSI THE DYNAMIC OF THE BROADCASTING AND TELECOMMUNICATION POLICY AND GOVERNANCE IN INDONESIA TOWARDS CONVERGENCE
Muhamad Yusuf Magister Electrical Engineering Student
Mercubuana University - Jakarta, Indonesia Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA
Abstrak
Konvergensi antara penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia tidak terhindarkan seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta ketatnya persaingan dalam industri keduanya. Kedua industri telah mengintegrasi TIK sebagai nilai tambah dari layanan ataupun produk yang ditawarkannya. Meski demikian, tata kelola kedua industri ini masih terpisah yakni melalui UU Penyiaran tahun 2002 dan UU Telekomunikasi tahun 1999. Di saat RUU konvergensi telematika belum menemukan titik terang, regulator berupaya merevisi kedua UU tersebut. Studi ini bertujuan untuk memahami relasi kekuasaan serta pandangan para pemangku kebijakan dalam mengatur industri penyiaran dan telekomunikasi di era konvergensi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada narasumber yang dipilih secara purposif yakni Kemkominfo, KPI, BRTI, dan DPR, selama Januari- Februari 2015. Setiap institusi memiliki path dependence yang berbeda antar satu dengan yang lain, sehingga membentuk pola distribusi kekuasan berbeda dalam prosedur pembuatan kebijakan. Proposal revisi UU baik dari Kemkominfo dan KPI tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan konvergensi. Akan tetapi, perebutan otoritas antar kedua institusi tersebut justru menjadi fokus dalam proposal tersebut. Kemkominfo, sebagai inisiator UU Telekomunikasi, berencana untuk mengubah revisi UU tersebut menjadi UU konvergensi.
Kata Kunci : Kebijakan, Pemerintahan, Penyiaran, Telekomunikasi, Konvergensi
Abstract
The convergence between broadcasting and telecommunication in Indonesia is inevitable as the growing information and communication technology and competition within both industries. Nevertheless, the policy governance of these industries remains distinctively separated under the 2002 Broadcasting Law and the 1999 Telecommunication Law. Whilst the regulators failed to enact the convergence bill, the only way is to synergize the revision of both laws.. This study aims to understand the point of views as well as power relation among regulators in regulating the broadcasting and telecommunication towards convergence. The primary data tool is in-depth interview with respondents who are officials of four institutions: the Kemkominfo, KPI, BRTI, and DPR, within January-February 2015. The path dependence of these institutions is differ one to another which determine the power contribution in the policy processes. The emerging proposals of the Broadcasting Law revision are not regulating convergence in detail. Instead, the KPI and Kemkominfo dispute over the authority of broadcasting industry. Kemkominfo is planning to turn the revision of the Telecommunication law into convergence law.
Keywords : Policy, Governance, Broadcasting, Telecommunication, Convergence
PENDAHULUAN
setidaknya terdapat 88,1 juta penduduk Indonesia
atau sekitar 34,9 persen dari total populasi Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi terkoneksi internet. Dari jumlah tersebut, kelompok
dan komunikasi berdampak terhadap konvergensi usia 18-25 tahun masih mendominasi. Penelitian ini antara industri penyiaran dan telekomunikasi atau memberikan perhatian yang lebih kepada penyiaran
dikenal sebagai “konvergensi media” ( media khususnya televisi (TV) karena media ini masih convergence ). Di industri penyiaran, para menjadi media utama masyarakat Indonesia.
pengusaha media menyediakan konten-konten Berdasarkan riset Nielsen 2014, penetrasi TV di penyiaran ke dalam format digital atau aplikasi Indonesia mencapai 95 persen di pulau Jawa dan 97
berbasis mobile seperti e-paper dan online persen di luar pulau Jawa. Kementerian Komunikasi streaming . Tapsell (2014) berpendapat bahwa dan
(Kemkominfo) tengah konvergensi dapat memberikan kesempatan bagi mengupayakan migrasi TV terestrial tak berbayar
Informatika
pengusaha media mengekspansi layanan konten di analog menuju digital dengan target 2018 berbagai platform, baik dalam media tradisional mendatang. Migrasi ini penting karena memiliki maupun media baru atau yang dikenal dengan dampak pada pengembangan teknologi 4G untuk istilah “multiplatform oligopolies”. Konvergensi ini akses broadband , khususnya efisiensi spektrum.
terjadi karena internet tidak saja memberikan Pemerintah Indonesia telah menerapkan saluran bagi pendistribusian konten, tetapi juga sistem deregulasi terhadap industri media
membuka peluang bagi konsumen untuk khususnya penyiaran dan telekomunikasi sejak menciptakan dan mendistribusikan konten atau akhir 1990an. Sejak reformasi, pola kebijakan dikenal dengan istilah “ prosumer ” (Lin, 2013).
pemerintah berubah dari sebelumnya state authority
Di Indonesia, para pengusaha media dan control menjadi public control . Di tahun 1999, telekomunikasi mengadopsi konvergensi agar tetap Undang-Undang
36 tentang bertahan di tengah ketatnya persaingan bisnis. Telekomunikasi disahkan, yang kemudian dibentuk Mengangkat studi kasus Pikiran Rakyat , Resmadi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). dan Yuliar (2014) menemukan bahwa motif bisnis Di tahun 2002, UU Penyiaran No.32 tentang media menjadi basis transisi ke arah konvergensi,
(UU)
No.
Penyiaran disahkan sebagai pengganti UU
“ada kecenderungan jika suatu media massa tidak Penyiaran tahun 1997. Deregulasi ini turut memasuki ranah teknologi digital akan digilas oleh menyumbang pesatnya pertumbuhan baik di
persaingan media massa yang kian cepat 1 ” (p.112). industri media maupun di industri telekomunikasi
Dalam studinya, Tapsell (2014:3) juga menemukan itu sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik faktor penggerak utama konvergensi pada industri 2014,
sektor telekomunikasi media di Indonesia adalah teknologi serta menyumbang sekitar Rp. 292 miliar terhadap GDP
pertumbuhan
pertumbuhan konsumsi media oleh kaum muda nasional tahun 2013. Penetrasi sektor telepon yang tinggal di kota-kota besar. Berdasarkan buku
profil pengguna internet keluaran APJII (Asosiasi 1 Setidaknya, terdapat 12 TV swasta jangkauan siaran Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2014,
nasional; 516 media cetak; dan lebih dari 900 radio memiliki ijin siaran di Indonesia (Haryanto, 2011:105)
Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi
seluler bergerak mendominasi bahkan jumlahnya regulasi penyiaran dan telekomunikasi di era hampir dua kali lipat dari jumlah populasi.
konvergensi.
Selain itu,
studi ini juga
Internet telah mengubah bisnis industri di mendeskripsikan pola interelasi serta distribusi Indonesia. Selain
pengusaha media yang kekuasaan antar regulator dalam pembuatan menyediakan format digital untuk produk- kebijakan. Rumusan masalah penelitian ini adalah produknya, perusahaan telekomunikasi pun sebagai berikut:
mengekspansi bisnisnya dalam layanan penyiaran. Bagaimana tata kelola kebijakan industri
penyiaran dan Sebagai contoh, Telkom meluncurkan produk telekomunikasi di Indonesia menuju
Groovia sebagai televisi protokol internet (IPTV) konvergensi?
pertama di Indonesia pada 4 Juni 2011. Memasuki Tujuan dari studi ini adalah untuk mendeskripsikan
tahun 2008, pemerintah memulai program migrasi secara garis besar perkembangan tata kelola
TV analog ke digital, dengan tujuan untuk kebijakan industri penyiaran dan telekomunikasi
mengefisiensikan penggunaan spektrum yang saat ini serta mendeskripsikan pola interalasi antar
nantinya digunakan
untuk
kepentingan
regulator terkait yang mempengaruhi outcome dari pengembangan pita lebar ( broadband) . Tata kelola
kebijakan baik saat ini maupun konvegrensi yang industri penyiaran di era konvergensi saat ini masih
akan datang. Harapan penulis dari penelitian ini mengacu pada Undang-Undang (UU) No.32 tahun
agar pelaku pembuat kebijakan menjadikan hasil 2002 tentang Penyiaran. Akan tetapi, UU ini belum
penelitian ini sebagai bahan pertimbangan tata memadai untuk mengatur konvergensi. Pada tahun
kelola industri penyiaran di era konvergensi. Selain 2012, Dewan
Perwakilan
Rakyat (DPR)
itu, dapat mendorong penelitian-penelitian yang mengajukan revisi Undang-Undang Penyiaran
berkaitan dengan analisis model tata kelola dengan tujuan untuk restruktrusiasi sistem
konvergensi yang dapat diterapkan di Indonesia. penyiaran dan migrasi TV analog – digital (Fahriyadi, 2012). Hanya saja, diskusi antara DPR
Tinjauan Pustaka
dan pemerintah terkait revisi ini sangat alot
sehingga revisi tersebut belum rampung hingga Dalam literatur, studi mengenai “konvergensi
memasuki tahun 2015. media ” lebih memfokuskan pada perubahan struktur
baik dari sisi bisnis industri – telekomunikasi dan Berdasarkan deskripsi di atas, studi ini penyiaran – serta peraturan ataupun kebijakan. Flew memfokuskan pada 1) tata kelola dan kebijakan
(2002:5) berargumen bahwa isu pokok dari bidang penyiaran dan telekomunikasi saat ini serta
konvergensi mengarah pada perubahan - baik dari memberikan deskripsi isu-isu terkemuka di era
segi peraturan kebijakan maupun industri – dari transisi konvergensi; serta 2) skenario regulator
integrasi secara verikal (silos) menuju integrasi dalam revisi UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi
secara horisontal dari lapisan infrastruktur, akses, untuk menghadapi konvergensi. Signifikansi dari
applikasi, maupun konten. Secara teoretis, kata
penelitian ini adalah memfokuskan pada regulatory
point of views , skenario serta ekspektasi regulator ‘konvergensi’ dipopulerkan oleh Ithiel de Sola Pool pada tahun 1983
(Kemkominfo, KPI, BRTI dan DPR) terhadap –‘convergence of modes’ – yang (Kemkominfo, KPI, BRTI dan DPR) terhadap –‘convergence of modes’ – yang
fundamental
terhadap penggunanya (p.18).
Technological Determinism dan Social Shaping Sehingga, peraturan dengan pendekatan vertikal Theory , yaitu merujuk pada proses pembuatan terpisah (antara industri telekomunikasi dan kebijakan konvergensi dipicu oleh perkembangan penyiaran) tidak cukup mengatur layanan berbasis teknologi dan/atau konstruktivitas kerangka sosial. internet protokol. Thierer (2005:280) berargumen Kedua paradigma, menurut penulis, tercermin bahwa Network Layers model adalah sebuah teknik dalam proses pembuatan kebijakan industri analisis untuk mengkritisi perkembangan model telekomunikasi dan penyiaran di Indonesia. bisnis tradisional ( vertical-silo paradigm ) yang Telekomunikasi, yang diprakarsai oleh pemerintah tidak serta-merta berkembang menjadi paradigma (kemkominfo)
pada regulasi baru. Justru model ini mampu memastikan paradigma technological determinism , kebijakan perkembangan broadband serta membuka peluang disesuaikan dengan perkembangan teknologi. layanan baru sehingga pada akhirnya industripun Sementara penyiaran, diprakarsai oleh parlemen, tumbuh. Argumen Thierer merujuk pada ‘ Net
cenderung
berpengang
cenderung social shaping theory , bahwa kebijakan Neutrality ’ di mana pemilik infrastruktur jaringan harus memperhatikan dampak sosial kepada (perusahaan telko) tidak bersikap diskriminatif masyarakat.
terhadap penyedia konten dan termasuk juga
Beberapa negara telah menerapkan tata kelola pelanggan. konvergensi media, ‘ legislative convergence ’,
sebuah kerangka peraturan yang mengakomodir METODE
peraturan – yang sebelumnya terpisah – bidang Studi ini merupakan studi kualitatif-deskriptif
telekomunikasi, media dan internet ke dalam
kerangka paradigma kerangka peraturan tunggal. Malaysia, sebagai
dengan
berdasarkan
interpertatif, yang contohnya, berhasil menggabungkan
interpretatif.
Paradigma
seringkali dipersepsikan sama dengan paradigma Telecommunications Act 1950 dan Broadcasting
Act 1988 ke dalam
konstruktivis, memiliki asumsi ontologi yakni
Communications and
Multimedia Act tahun 1998 (CMA). Salah satu realitas terbentuk dari interaksi sosial manusia. Oleh pokok 2 penting dari kerangka
Converged sebab itu, penelitian dengan paradigma ini sangat Legislative ini adalah Network Layers Regulatory
bergantung pada persepsi manusia terhadap realitas
3 Model
dunia ataupun realitas studi yang diteliti (Creswell, (Model Peraturan Berbasis Lapisan
2003). Peneliti terarik untuk menggambarkan
2 Pokok penting Converged Legislative, berdasarkan
studi yang dilakukan ACMA pada 2011, adalah: (transmission control layers, IP, network, link interface); 3 Terdapat empat lapisan (layers) dalam kerangka ini
dan Physical (transmission, DSL, WiFi, Satelit, dsb).
yaitu: Application (programs, apps protocols); ACMA : Australian Communication and Content (images, text, voice, music, videos); Logical Media Authority
Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi
interpretasi regulator terhadap realita konvergensi fiksi, melainkan fakta-fakta yang membentuk realita media saat ini di Indonesia. Makna atau persepsi ini (praktik, nilai, konsep) saat ini (Willis, 2007:112). tentu akan mempengaruhi bagaimana kerangka Unsur historis tidak diabaikan dalam studi ini regulasi konvergensi media di masa yang akan seperti proses judicial review terhadap institusi datang. Sementara itu, pendekatan kritis merupakan maupun
tertentu yang dapat upaya untuk mengekspos kekuasaan dominan dalam mempengaruhi keberlangsungan kebijakan industri sebuah interelasi sosial baik individu-individu penyiaran di Indonesia. Dengan demikian, validasi maupun individu dengan kelompok tertentu. studi ini tidak bergantung seberapa objektifnya hasil Dengan pendekatan ini, peneliti dapat memberi temuan. Sebaliknya, bagaimana data yang disajikan kritikan terhadap ideologi, asumsi, atau nilai-nilai mampu menggambarkan realitas majemuk serta yang berkembang. Lebih lanjut, penelitian dengan makna yang terbangun dalam konteks studi dengan pendekatan kritik juga harus memperhatikan cara jelas dan detail ( detailed explications of the kerangka historis yang mempengaruhi sistem saat context ) (Denzin, 1994)
peraturan
ini (Kilgore, 1998 dalam Willis, 2007:82). Metode penelitian yang sejalan dengan
paradigma paradigma ini adalah kualitatif, di mana menurut interpretatif dengan pendekatan kritis – mulai Merriam (2014) dan Barbour (2008), bertujuan untuk pemilihan topik hingga analisis data – bukanlah memahami bagaimana manusia membentuk atau proses yang bebas dari nilai serta kepercayaan dari memberi makna terhadap berbagai hal. Setidaknya ada peneliti (Willis, 2007:86). Proses analisis data empat karakteristik dari penelitian kualitatif, yaitu: 1) penelitian interpretatif bukanlah proses yang fokus penelitian pada pemahaman dan makna; 2) bersifat teknikal atau aplikatif terhadap suatu pre- peneliti merupakan instrumen pengumpulan data dan konsep tertentu, melainkan melalui analisis yang analisis utama; 3) proses penelitian bersifat induktif; mendalam serta refleksi sehingga cenderung serta 4) hasil akhir penelitian bersifat deskriptif subjektif (p.113). Validasi penelitian dengan (Merriam, 2014:14). Metode pengumpulan data paradigma konstruktivis-kritis ini menekankan
Dalam proses
penelitian
digunakan secara wawancara mendalam. Jiwani dan
“… would emphasize socially Krawchenko (2014:57) menilai wawancara mendalam constructed
realities,
local
merupakan teknik yang terbaik dalam penelitian generalisations,
interpretive
resources, stock of knowledge, kebijakan publik serta mampu mengaplikasikan intersubjectivity,
practical
kritis dalam studi reasoning and ordinary talk ” (Denzin, 1994:502)
pendekatan
paradigma
kepemerintahan. Unit analisis penelitian ini dipilih secara purposive, yakni para pemangku kebijakan di
Sementara untuk pendekatan kritis memandang bidang penyiaran yaitu Kementerian Komunikasi dan
pentingnya kekuasaan, budaya, stuktur, dan aksi Informatika (Kominfo), Komisi Penyiaran Indonesia
yang berkembang di masyarakat. Paradigma (KPI) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Teknik
konstruktivis-kritis menekankan pada historisitas sampling purposif dianggap memiliki keuntungan
sebagi aspek penting dalam memahami data.
untuk mendapatkan informan
Historisitas dimaksud bukanlah mitos, legenda, atau Historisitas dimaksud bukanlah mitos, legenda, atau
relevan dengan studi yang dikerjakan (Merriam,
menganalisa proses pembuatan kebijakan di
2009:77). Setidaknya ada empat narasumber dari Indonesia adalah mengidentifikasikan ‘para pemain’
ketiga institusi tersebut di mana tiga diantaranya yang memiliki pengaruhi cukup kuat untuk
dilakukan wawancara tatap muka, sementara satu mengendalikan proses pengambilan keputusan.
wawancara via surat elektronik (e-mail). Keempat Sebagaimana para akademisi menilai bahwa
narasumber tersebut yaitu: kekuasan merupakan sentral dalam studi kebijakan
1. Dr. Judhariksawan, S.H., M.H, Ketua public, Hal Colebatch (2002) berpendapat bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
prosedur pembuatan kebijakan publik jarang dicapai
2. Ir. Anang Achmad Latif, M.Sc, Kasubdit. Pengembangan
Dit. melalui proses yang linear dan runut serta oleh aktor Telekomunikasi Khusus, Penyiaran Publik
Infrastruktur,
tunggal. Melainkan, formulasi kebijakan serta dan Kewajiban Universal, Kementerian
Komunikasi
Informatika pengambilan keputusan ditentukan oleh koneksi dan (Kemkominfo)
dan
jaringan si pembuat kebijakan (dikutip dalam Duric,
3. Syaharuddin, S.T, M.T, Kasubdit Televisi, Dit. Penyiaran, Ditjen Penyelenggaraan Pos 2012:86).
dan Informatika, Kemkominfo. Studi ini menggunakan kerangka teori New
4. Gunawan Hutagalung, Kasubdit Kelayakan Sistem
Telekomunikasi, Ditjen Institutionalism (neo-institusionalisme) untuk Penyelenggaraan Pos dan Informatika,
melihat pola interalasi antar institusi yang terlibat Kemkominfo.
5. Dr. Riant Nugroho, anggota Komissioner dalam pembuatan kebijakan baik penyiaran maupun Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia
telekomunikasi di Indonesia. Teori neo- (BRTI)
6. Tantowi Yahya, anggota Komisi 1 Dewan institusionalisme di dalam teori organisasi dan Perwakilan Rakyat (DPR)
sosiologi, memiliki asumsi dasar bahwa institusi
merupakan variabel yang independen. Lecours Selain wawancara, data sekunder juga digunakan (2005 yang dikutip dalam Duric (2012:88)),
dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut berupa:
berpendapat bahwa institusi memiliki kekuatan
dokumen pemerintah (Peraturan Menteri,
Surat
Keputusan, dan sebagainya), siaran pers, berita, politik yang otonom serta dapat mempengaruhi hasil akhir kebijakan. Politik di sini tidak serta dokumen pendukung yang didapat dari narasumber
yang berfungsi untuk memverifikasi ataupun merta merujuk pada partai politik di parlemen, melainkan praktik kekuasaan dan pengaruh.
memperluas data primer sehingga dapat
memberikan gambaran dinamika tata kelola dan
Bahkan, Kingdon (2003) menekankan bahwa sebuah institusi juga independen terhadap faktor
kebijakan industri penyiaran dan telekomunikasi di ekonomi dan sosial lingkungan eksternalnya.
Indonesia.
Teori Neo-Institusionalisme memiliki
berbagai pendekatan di mana salah satunya adalah
Kerangka Teori: New Institutionalism
institusionalisme historis (
Interelasi antar regulator menjadi penentu
historical
dalam proses pembuatan kebijakan. Nugroho dkk
(2012:70), dalam studinya “mapping media policy
Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi
institutionalism) 5 dan menjadi fokus perhatian studi adalah menjelaskan asumsi bahwa perbedaan ini. Institusionalisme historis secara garis besar kekuasaan dan pengaruh tiap-tiap regulator dalam
menjelaskan bagaimana perkembangan historis sebuah proses kebijakan karena diperngaruhi oleh sebuah institusi dapat membentuk sebuah trajektori historis pembentukan institusi tersebut. atau lintasan yang dependen ( path dependency ).
Trajektori ini tidak saja menjelaskan perkembangan HASIL DAN PEMBAHASAN
institusi secara
juga Interelasi antar Regulator: dari kerangka menggambarkan kekuatan pengaruh institusi yang historis
organisasi,
tetapi
dimaksud dalam sebuah proses pembuatan
Di dalam sistem pemerintahan Indonesia, kebijakan. Hall dan Taylor (1996) berpendapat
terdapat tiga elemen utama regulator yakni: bahwa
Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ketiga elemen mengkombinasikan dua pandangan yang berbeda: negara ini memiliki dua pola yakni: “terpisah satu kalkulus dan kultur artinya bahwa institusi memiliki sama lain, terkait satu sama lain, atau salah satu maknanya sendiri baik berupa tata prosedur formal menjadi bagian dari yang lain baik secara formal dan informal, rutinitas, norma-norma dan perjanjian maupun dalam arti terkooptasi ” (Nugroho, yang melekat pada struktur kepemerintahan, politik 2014:26). Di dalam perumusan kebijakan industri dan ekonomi dari institusi tersebut (yang dikutip penyiaran dan telekomunikasi, ketiga elemen ini dalam
memiliki andil yang sangat besar untuk meloloskan menyarankan
ataupun menggagalkan sebuah kebijakan. Baik UU institusionalisme
UU Telekomunikasi mengidentifikasikan
mencerminkan interalasi antar elemen regulator kondisi yang membentuk pilihan-pilihan yang yang berbeda, terutama antara pemerintah dan mengawali trajektori dependensi tersebut baik
parlemen. Tidak hanya itu, kedua UU ini juga berupa awal terbentuknya lembaga, ataupun proses
mempengaruhi kekuatan pengaruh badan indepenen formulasi kebijakan. Dalam studinya, Greener regulator – yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) (2005:64) mengemukakan kritik terhadap prinsip
dan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia path dependence yang dikemukakan oleh beberapa (BRTI) – dalam proses pembuatan kebijakan. Hal akademis, diantaranya: pertanyaan mengenai ini dapat terlihat dalam diagraf 1, bahwa KPI bagaimana sebuah institusi dapat membebaskan
cenderung berlaku seperti oposisi Kemkominfo dirinya dari path dependence yang telah terbentuk
dalam merumuskan kebijakan penyiaran, sebaliknya secara historis. Penggunaan teori ini untuk studi ini
BRTI menjadi mitra Kemkominfo dalam
5 Lecours (2005a) menemukan tiga pendekatan:
merumuskan kebijakan telekomunikasi.
historical , rational, dan sociological institutionalism. Sementara, Parsons (1995) menyebutkan tiga pendekatan: economical, sociological, dan political institutionalism. Beda halnya, dengan Peters (2000) yang menyebutkan tujuh pendekatan: normative, empirical, institutionalism of interest representation, international institutionalism , historical institutionalism , rational institutionalism, dan
sociological institutionalism .
Gambar.1 Interelasi antar elemen regulator dalam kebijakan penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia
Sumber: wawancara Riant Nugroho, BRTI
” BRTI adalah half part dari Kominfo, seperti pertahanan, hubungan luar negeri, dan jadi sifatnya lebih kepada partnership .
komunikasi dan informatika. Komisi ini memiliki Sementara KPI itu oposisi. Hubungan
Kominfo dan KPI itu Diametral. Kalo ke setidaknya 15 mitra kerja yang terdiri dari BRTI dan Kominfo itu lebih kepada
pemerintah, elemen kongruen, nah hubungan diametral ini
kementerian,
badan
menyebabkan Kominfo dan KPI itu tidak masyarakat. Sejak awal tahun ini, Komisi I DPR pernah sinergi. Kalo Kominfo dan BRTI
dan Kemkominfo menyepakati tiga RUU untuk itu
Riant dibahas dalam program legislasi nasional Nugroho, komisioner BRTI)
kok. ”(wawancara
dengan
(prolegnas) 2015-2019, diantaranya: RUU Revisi
Elemen Legislatif dan Yudikatif UU Penyiaran, RUU TVRI dan RRI, serta RUU
revisi UU Telekomunikasi (Komisi I DPR, 2015).
Kedua elemen, baik Legislatif (Dewan Perlu diketahui bahwa Komisi I DPR memprakarsai Perwakilan
Rakyat/ DPR) dan Yudikatif revisi UU Penyiaran 2002 dan masuk dalam (Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah prolegnas pada periode sebelumnya, 2010-2014.
Konstitusi (MK)), sangat berpengaruh pada Sementara itu, MK dan MA merupakan keberlangsungan sebuah kebijakan baik secara elemen regulator yang bertugas untuk menegakkan hukum maupun secara politik. DPR memiliki tiga sistem hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan fungsi: legislasi, penyusunan anggaran, dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). pengawasan. Dengan fungsi legislasi, DPR Berdasarkan amandemen UUD 1945 (1999-2002), memiliki otoritas untuk menyusun dan membahas MK dan MA memiliki wewenang untuk melakukan rancangan Undang-Undang (RUU) baik yang
judicial review (uji material) terhadap UU dan
diajukan oleh pihaknya, Presiden (melalui menteri peraturan Per-UU, apabila bertentangan dengan
terkait) ataupun dari DPD, serta menetapkan UU itu UU. Setidaknya ada dua alasan kebutuhan uji
sendiri (DPR website, 2015). Dalam
material, yaitu: 1)bagi masyarakat, uji material
mengembankan tugasnya, anggota DPR terbagi ke berfungsi untuk memberikan jaminan perlindungan
dalam beberapa komisi yang menangani isu hukum dari tindakan badan pemerintah, sementara
nasional yang berbeda. Komisi I menangani isu bagi badan pemerintah, uji material tersebut
Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi
berfungsi sebagai batasan sekaligus jaminan untuk kedua badan regulator independen ini dipengaruhi mengeluarkan peraturan kebijakan; 2) setiap oleh historis pembuatan UU Penyiaran dan UU keputusan dalam uji materil dapat menyumbang Telekomunikasi yang asal muasalnya diprakarsai perkembangan ilmu hukum administrasi dan oleh dua instansi berbeda yakni DPR dan menjadi instrument baru dalam penyelenggaraan Kemkominfo
berturut-turut. KPI dibentuk tata pemerintahan (Latief,2005 dalam Nalle,2013:3) berdasarkan amandemen UU Penyiaran 2002. Elemen Eksekutif
Dalam UU tersebut, bahkan, mengatur wewenang
dan KPI untuk bekerja sama dengan pemerintah (dalam telekomunikasi di Indonesia mengalami perubahan hal ini Kemkominfo) untuk mengatur jumlah dari kontrol penuh menuju deregulasi. Demikian lembaga penyiaran baik skala lokal, regional, pula, institusi pemerintah mengalami perubahan maupun nasional; membatasi kepemilikan media; baik secara struktur organisasi maupun orotritas mengeluarkan ijin penyiaran; dan mengatur
Regulasi bidang
penyiaran
yang didelegasikan. Secara historis, kebijakan implementasi Sistem Siaran Jaringan bagi Televisi . penyiaran pada masa Orde Baru sangat Meski demikian, peran KPI sebagai badan regulator dikendalikan oleh pemerintah melalui Departemen di luar pemerintah dilemahkan. Sejak awal Penerangan. Semenjak Reformasi diteggakkan,
pembentukannya, komunitas Pers 7 menilai KPI departemen ini dibubarkan pada tahun 1999 dan berpotensi menyerupai Departemen Penerangan
kemudian berganti struktur (seperti berbentuk seperti jaman Orde Baru yang dapat memberedel lembaga ataupun kementerian negara) sebelum surat kabar karena tidak pro pemerintah. Beberapa akhirnya dibentuk Kementerian Komunikasi dan materi pokok judicial review yang diajukan Informatika (Kemkominfo) pada tahun 2001 oleh pemohon, diantaranya: 1) ihwal KPI sebagai Presiden
bidang Lembaga Negara (pasal 7(2) dan Pasal 62 (1)&(2) telekomunikasi dan penyiaran dipegang oleh UUD Penyiaran No.32/2002); 2) wewenang Direktorat Jenderal Pemberdayaan Pos dan judiciary yang dimiliki KPI (Pasal 55 (1-3) dan Informatika (Ditjen PPI). Secara historis, Ditjen PPI Pasal 34 (5)) dinilai bersifat represif dan bersama dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya mengancam kebebasan ekspresi dan bertentangan Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) dengan pasal 28 (1)&(2) UUD 1945 amandemen; 3) merupakan pecahan dari Direktorat Jenderal Pos Pasal diskriminatif terhadap jangkauan siaran (Pasal dan Telekomunikasi (Postel) berdasarkan penetapan
Megawati.
Kebijakan
14 (1), pasal 15 (1), Pasal 31 (2) dan Pasal 16 (1)) struktur baru Kemkominfo berdasarkan Peraturan (dokumen Putusan MK No 005, p.4-5). Terkait Menteri Kominfo No. 17/2010 (SDPPI, 2015).
Badan Regulator Indepeden Hal ini diamanatkan dalam Pasal 18 (3) & (4), Pasal
29 (2), dan Pasal 31 UU No.32/2002 tentang Penyiaran.
Temuan menarik dalam studi ini adalah 7 Komunitas Pers yang mengajukan permohonan kekuatan pengaruh badan regulator independen - judicial review KPI diantaranya: Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta
KPI dan BRTI - dalam menyusun kebijakan Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan
Perikalanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Siaran
penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia. Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia
(PERSUSI), Komunitas Televisi Indonesia
Perbedaan distribusi pengaruh dan kekuatan dari
(KOMTEVE).
eksistensinya sebagai lembaga negara, MK industri telekomunikasi yang sehat. Karenanya, memutuskan bahwa status lembaga negara yang BRTI tidak saja membantu Kemkominfo untuk diatur tidak bertentangan dengan UUD 1945. Arti membuat kebijakan, tetapi juga menangani kata ‘lembaga negara’ (dengan huruf kecil) manajemen bisnis perusahaan telekomunikasi memiliki makna bahwa KPI dibiayai dan dimiliki seperti
dua perusahaan oleh negara (p.22). Pada tahun 2006, KPI telekomunikasi.
merger
antar
mengajukan permohonan
Meski independen, kedua lembaga ini secara konstitusional kembali Pasal 62 ayat (1) dan (2), operasional dan tata kelola bergantung pada terutama terkait kepastian hukum KPI sebagai anggaran
pengajuan
uji
(APBN). Hal ini lembaga independen serta penolakan KPI terhadap mempengaruhi kredibilitas keduanya di mata penyusunan regulasi industri penyiaran dalam publik. Bahkan, dalam proses perekrutan bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Lembaga negara komisioner kedua institusi ini dipengaruhi baik dari independen, menurut Jimly Asshiddiqie (2003 yang Kemkominfo maupun dari DPR. Pada proses dikutip dalam putusan MK No 031/PUU-IV/2006, seleksi anggota anggota komisioner BRTI, panitia p.8), merupakan organ negara (state organ) yang seleksi berasal dari Kemkominfo dan dilakukan didesain independen dan berada di luar cabang pengumuman secara terbuka melalui website kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, Kemkominfo. Komposisi anggota komisioner ini namun mempunyai fungsi ketiganya. Sementara, PP terdiri dari sembilan orang, yakni: tujuh anggota adalah wewenang lembaga eksekutif. Karenanya, dari publik yang merupakan praktisi dan ahli di MK memutuskan pembatasan wewenang KPI bidang telekomunikasi, TIK, hukum, ekonomi dan menjadi lembaga pengawas konten siaran kebijakan publik; serta dua lainnya merupakan sebagaimana tercatut dalam pasal 8 (2) UU pejabat eselon I di lingkungan Kemkominfo, yakni: Penyiaran tersebut.
pemerintah
Direktur Jenderal (Dirjen) PPI dan SDPPI. Anggota
Tidak sama halnya dengan KPI, BRTI komisioner lolos seleksi dilantik oleh Menteri memiliki peran yang cukup berpengaruh dalam Kominfo. Sementara, perekrutan anggota KPI pembuatan
di dilakukan oleh panitia seleksi yang dipilih oleh Kemkominfo. BRTI dibentuk pada tahun 2013 Komisi I DPR berdasarkan rekomendasi KPI Pusat berdasarkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan (KPI, 2015). DPR juga melakukan fit and proper No. 31/2003. Pasal 4 (2) UU Telekomunikasi dan test terhadap calon komisioner KPI serta melantik pasal 5 KM No.31/2003 menyebutkan BRTI anggota terpilih.
kebijakan
telekomunikasi
memiliki fungsi pengaturan, pengawasan, dan Dari deskripsi ini, tampak jelas path pengendalian penyelenggaraan jaringan dan jasa dependence dari kedua lembaga ini sangat berbeda. telekomunikasi. Di struktur organisasi BRTI, Dampak judicial review MK berpengaruh pada terdapat Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) pembatasan kekuasaan KPI dalam prosedur yang berperan sebagai agen perumus kebijakan di perumusan kebijakan bidang penyiaran, yakni dari Kemkominfo. Key Performance Index KRT ini, regulator menjadi pengawas konten siaran. Bahkan, menurut Riant Nugroho, adalah pertumbuhan
pemilihan anggota KPI dipengaruhi oleh kekuatan
Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi
politik di DPR. Lain halnya dengan BRTI yang terjadinya konvergensi tersebut. Apakah IPTV memiliki pengaruh cukup kuat dalam perumusan diatur seperti konten internet pada umumnya atau kebijakan bidang telekomunikasi. Meski kredibilitas sebagai lembaga penyiaran seperti televisi pada independen sempat diragukan karena adanya dua umumnya. Kominfo mendefinisikan layanan IPTV pejabat tinggi Kemkominfo sebagai anggota KRT, sebagai teknologi layanan konvergen yang mampu akan tetapi proses seleksi anggota dilakukan secara menyalurkan siaran, audio, text, video serta transparan dan terbuka. Pola path seperti ini memberikan
layanan
interaktif kepada
tampaknya akan berlanjut hingga penyusunan pelanggannya . Terkait perizinan, penyedia jasa peraturan konvergensi di masa yang akan datang.
IPTV harus memiliki tiga jenis izin yang diatur
“Kalo kita konvergensi, BRTI harus terpisah di UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi . paling depan. Kita punya kepentingan
Isu mengemuka lainnya dalam industri dalam RUU Konvergensi karena ke
depannya broadcast, telekomunikasi dan penyiaran saat ini adalah migrasi TV terestrial tidak ITE harus menyatu gitu. KPI itu hanya
berbayar ( free to air ). Kominfo telah mengeluarkan mengerjakan konten saja, sementara BRTI itu seperti MCMC Malaysia. ” (Riant sedikitnya 14 Peraturan Menteri untuk mencapai
Nugroho, komisioner BRTI)
Analogue Switch Off yang ditargetkan pada tahun
2018. Kominfo
telah menetapkan sistem
Regulasi Industri Penyiaran
multipleksing (Mux) dengan mengadopsi teknologi Pada sub bagian ini membahas isu-isu
DVB-T2 10 . Satu kanal frekuensi dalam teknologi terkemuka industri penyiaran, yaitu: IPTV dan migrasi TV terestrial analog ke digital, serta multipleksing dapat menampung hingga 12 saluran
standar digital/SDTV (Wibawa dkk, 2010:119). kebijakan yang dikeluarkan regulator saat ini. Pasar
televisi berbasis Internet Protokol (IPTV) di
Indonesia terus berkembang. Selain Telkom yang
meluncurkan Groovia tahun 2011, MNC media
grup juga meluncurkan produk IPTVnya Play
Media tahun 2014 (Gatra, 2014). Pengklasifikasian
layanan IPTV, secara akademis, memicu
perdebatan: apakah layanan ini termasuk ke dalam
jenis distribusi konten tertutup ( wall-garden type )
atau jaringan terbuka bagi publik ( a free web-based 8 Peraturan Menteri Kominfo No. 30/2009, Bab I Pasal
type ) (Lin, 2013:675). Pemahaman mendasar Internet (Internet Protocol Television/IPTV) di 1, tentang Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Indonesia.
mengenai ‘sifat alamiah’ dari teknologi itu sangat
9 Pasal 5 (2) Peraturan Menteri Kominfo No. 15/2010,
penting karena berdampak pada regulasi.
yaitu a) Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal,
Sebagaimana disampaikan oleh Shin (2005), bahwa Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler, atau
Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Tertutup; b) Izin
tantangan pemerintah dalam tata kelola konvergensi Penyelnggaraan Jasa Akses Internet (ISP); c) Izin
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran
adalah mengkonseptualisasikan
atau
Berlangganan Jasa Penyiaran Televisi. 10
mengklasifikasikan hal-hal teknis yang mendukung Diatur dalam Permen Kominfo No.5/2012 tentang
Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap tidak Berbayar (Free to Air)
Gambar 1. Pembagian Zona Layanan Multipleksing
Sumber: Peraturan Menteri No.6/2013, p.12
Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) seperti dari Jerman, serta ada pemancar back up untuk stand by,
Kominfo No. 7/2009, pemerintah telah menetapkan maka itu akan membuat harga sewa
15 zona layanan Mux dalam wilayah kepulauan Mux itu menjadi mahal. Sewa Mux untuk operator itu berbeda-beda. TV-
Indonesia dengan jumlah wilayah layanan serta TV lokal yang analog sekarang
jumlah saluran Mux
kecil-kecil mungkin hanya 500 watt, kalau TV nasional
zonaPemerintah telah menetapkan formula tarif
besar-besar bisa sewa saluran Mux melalui Permen Kominfo No.
pemancarnya
mencapai 60 hingga 80 ribu watt dengan harga miliaran. ” (Buyung 18/2012, yaitu berdasarkan Forward-Looking Run
Syaharuddin, interview 9 Februari Incremental Cost Plus (FL-LRIC+). Formula ini 2015).
Sebagai ilustrasi, PT. Visi Media Tbk (VIVA), memperhitungkan beban investasi pengembangan
sebuah media grup yang memiliki dua TV swasta teknologi multipleksing baik secara langsung
nasional – TV One dan ANTV – harus maupun tidak langsung serta perhitungan margin
menginventasikan sedikitnya 300 miliar rupiah
yang dapat diperoleh oleh perusahaan berbasis a
untuk memangun infrastruktur multipleksing di
fair cost . Kominfo tidak menetapkan biaya sewa enam propinsi (Riska, 2014). Berdasarkan analisis
maksimum. Meski demikian, setiap pemegang cost-benefit , sebuah penyelenggara multipleksing
lisensi Mux wajib melaporkan perhitungan biaya sedikitnya harus menyewakan satu saluran
sewa saluran Mux kepada pemerintah untuk multiplesingnya dengan tarif dasar minimal sebesar
dievaluasi. Pemerintah mengakui adanya resistensi Rp. 33.497.766 per Mbyte per bulan kepada
khususnya dari TV-TV siaran lokal terhadap penyelenggara konten siaran. Satu penyelenggara
formula ini. konten siaran harus menyewa minimal 4 Mbyte
“Kekhawatiran pada TV Lokal adalah keharusan untuk menyewa saluran Mux
sehingga biaya yang dikeluarkan setidaknya Rp. yang dirasa mahal. Itu semua kembali
120 juta per bulan untuk menyelenggarakan siaran tergantung pada si [penyelenggara]
Mux ini membuat konfigurasi jaringan digital (Azmi, 2013:273). Anang Latif, kepala sub dia. Jika dia membeli pemancar mahal
direktorat pembangunan infrastruktur Kominfo,
Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi
mengungkapkan adanya alasan non teknis yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh penyelenggara membuat TV-TV siaran lokal enggan untuk konten siaran padat modal saja. Hal ini dapat bermigrasi ke digital. Diantaranya hilangnya mengancam upaya untuk mencapai keberagaman kemampuan untuk mendistribusi konten siarannya konten. Sementara dari segi layanan, model bisnis secara mandiri karena harus diserahkan kepada ini tidak memperhatikan komponen bisnis di luar pihak ketiga yakni pemegang lisensi infrastruktur penyelenggara konten dan multiplekser semisal Mux.
pihak penyedia layanan tambahan seperti electronic
Dengan penerapan sistem multipleksing ini, programme guide ataupun yang mendukung model bisnis industri penyiaran digital terestrial pun layanan interaktif (p.274).
berubah dari struktur vertikal menuju struktur Absennya peraturan dengan kekuatan legal horisontal. Dalam siaran analog, sebuah perusahaan yang tinggi seperti UU diyakini menjadi televisi menguasai mata rantai bisnis dan aset- penghambat migrasi tersebut. Regulasi berbentuk asetnya termasuk hak siar. Sementara dalam siaran peraturan Menteri tidak cukup kuat untuk mengatur digital, struktur horisontal yakni berbasis layanan industri TV digital kelak, bahkan rawan dibatalkan dimana penyelenggara siaran terbagi menjadi dua oleh yudikatif. Hal ini terjadi pada Peraturan yaitu lembaga penyiaran penyelenggara program Menteri No. 22/2011 yang dijudicial review dan multipleksing (LPPPM) dan lembaga penyiaran dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2013. penyelenggara
program
siaran
(LPPPS) Meskipun demikian di tahun yang sama, Kominfo
(berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) No. mengeluarkan Permen No.32/2013 . Pembatalan 22/2011 Bab III pasal 3). LPPPM merupakan tersebut diakibatkan karena istilah LPPPM dan penyedia infrastruktur multipleksing termasuk alat LPPPS bertentangan dengan UU Penyiaran 2002. pemancar, menara dan teknologi multiplexer. Dalam peraturan terbaru, kedua istilah tersebut Sementara, LPPPS merupakan penyedia konten dihilangkan serta ditegaskan kembali bahwa siaran. Keuntungan dari pemisahan antara lembaga penyiaran televisi swasta dan lembaga penyelenggara konten dan infrastruktur adalah: 1) penyiaran publik (TVRI) dapat menyelenggarakan penyelenggara konten dapat memfokuskan pada penyiaran multipleksing (pasal 3). Dalam Permen
peningkatan 12 kualitas konten siaran tanpa Kominfo No. 28/2013 , setiap lembaga penyiaran memikirkan sarana dan prasarana pemancar dan pemegang ijin siaran program diwajibkan untuk
jaringan transmisi; 2) efisiensi biaya operasional menyewa saluran siaran multipleksing dan diantaranya mendorong penggunaan menara pemegang lisensi penyelenggara multipleksing bersama, pengurangan biaya manajemen dan SDM diwajibkan menyewakan enam dari sembilan (Hutabarat, 2014:492). Meski demikian, model saluran Mux-nya untuk penyelenggara program bisnis digital saat ini masih memiliki titik kritis
terutama dari sisi finansial, layanan dan regulasi 11 Permen No. 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
sehingga memerlukan peraturan yang rinci dan Penyiaran Televisi secara Digital dan Penyiaran
Multipleksing melalui Sistem Terestrial.
detail (Azmi, 2013:276). Dari sisi finansial, 12 Permen No.28/2013 tentang tata cara dan persyaratan
misalnya, tarif dasar sewa saluran Mux cenderung
perizinan penyelengaraan penyiaran jasa penyiaran televisi secara digital melalui sistem terestrial.
siaran . Permen No. 32/2013 kembali digugat oleh masyarakat …” Lebih lanjut, dalam batang tubuh
kalangan komunitas jurnalistik dan penyiaran
UU tersebut pasal 13, tidak dikenal istilah lembaga
karena dianggap tidak mendukung demokratisasi penyiaran multipleksing, melainkan hanya empat penyiaran 14 . Judhariksawan, Ketua KPI,
tipe lembaga penyiaran yakni: lembaga penyiaran
berpendapat bahwa sistem multipleksing tidak
publik, swasta, komunitas dan berlangganan.
dikenal dalam UU Penyiaran 2002.
“Migrasi terrestrial dari analog ke
Skenario Revisi UU Penyiaran
digital, itu tidak ada dasar hukumnya. Terdapat perbedaan pendapat yang signifikan
Karena sebenarnya dia tidak masalah dalam UU jika sekadar mengubah,
antara DPR, Kominfo dan KPI terkait Rancangan maksudnya, jika RCTI ada di frekuensi
Undang-Undang (RUU) revisi UU Penyiaran 20 MHz, ketika digital RCTI tinggal
ganti pemancarnya.
No.32/2002, terutama terkait otoritas KPI dan masalahnya kementerian yang kemarin
Tetapi,
Kominfo dalam regulasi industri penyiaran. Dalam menyusun konsep multiplekser, satu
entitas baru yang tidak dikenal dengan draf RUU revisi UU Penyiaran usulan pemerintah, UU
Kominfo memiliki otoritas dalam membina industri Penyiaran itu tidak visioner terhadap
perkembangan teknologi yang cepat, penyiaran yaitu: menetapkan kebijakan (perumusan walaupun dalam definisi penyiaran ada
strategis dan perencanaan dasar teknis penyiaran kata-kata
‘gelombang
alat
elektromagnetik lainnya ’, tetapi di nasional), pengaturan (pengeluaran ijin lembaga dalam batang tubuh UU sendiri sulit
penyiaran), pengawasan dan pengendalian. Lebih kita menggunakan pasal-pasal yang
ada untuk menjangkau perkembangan jauh, Kominfo meniadakan lembaga KPI dan teknologi yang ada seperti IPTV,
menggantikannya dengan ‘Komisi Pengawas Isi OTT,Konvergensi, sekarang digital
terrestrial. Itu sulit. ” (Judhariksawan, Siaran ’ (KPIS) dengan struktur kelembagaan yang ketua KPI, interview pada tanggal 28
sama dengan sebelumnya 15 . KPIS, dalam pasal 101 Januari 2015)
Definsi ‘Penyiaran’, Bab 1 Pasal 1 (2) UU draf RUU revisi UU Penyiaran versi pemerintah,
Penyiaran 2002, adalah “kegiatan pemancarluasan memiliki wewenang diantaranya: Menyusun dan
siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana menetapkan Standar Program Siaran (SPS);
transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan keleluasan untuk memberi sanki administrasi
menggunakan spektrum frekuensi radio … untuk terhadap pelanggaran SPS, serta merekomendasi
dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh pencabutan Izin Penyelenggara Penyiaran kepada
Menteri atas pelanggaran SPS yang dilakukan oleh Berdasarkan Permen No.32/2013 Bab III bagian ketiga pasal V (2), setiap penyelenggara Mux tidak
lembaga penyiaran.
diperbolehkan untuk menggunakan seluruh jumlah
Draf RUU revisi UU Penyiaran versi
saluran Mux untuk kepentingan sendiri dan afiliasinya,
melainkan hanya tiga saluran Mux yang dapat
pemerintah berbanding terbalik dengan draf versi
dipergunakan. Lebih lanjut, pemegang lisensi penyelenggara Mux harus menerapkan prinsip “open
KPI. Dalam draf RUU versi KPI, peran KPI
access ” dan “non-discriminatory” terhadap TV-TV lain
untuk dapat menyewa saluran Mux tersebut. dipulihkan sebagai lembaga independen berskala
14 Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam siaran
persnya, menyebutkan bahwa Permen Kominfo Mo.
32/2013 emmiliki substansi dengan Permen No. 22/2011 15 Secara struktural, KPI terdiri dari satu KPI pusat dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yangt yang berkantor di Jakarta serta 33 KPI daerah di
idak terdapat dalam UU penyiaran.
masing-masing propinsi.
Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi
nasional yang
berwenang
mengatur menampung aspirasi masyarakat dan mewakili
penyelenggaraan penyiaran
dan
mewakili kepentingan publik dalam hal penyiaran ” (p.48).
kepentingan dan kebutuhan masyarakat akan Lebih lanjut,
penyiaran. Hal ini berarti KPI memiliki otoritas Terkait konvergensi, baik draf RUU revisi
untuk mengeluarkan
izin
penyelenggaraan UU Penyiaran versi pemerintah maupun versi KPI
penyiaran. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak tidak secara tegas mengatur konvergensi di industri
menjadi wewenang KPI yaitu pembagian alokasi penyiaran seperti model bisnis atau mengadopsi
frekuensi untuk kebutuhan penyiaran, yang model regulasi dari negara lain. Draf versi KPI
merupakan domain wewenang Kominfo. mengusulkan perubahan definisi penyiaran dengan
“Neg ara ini sesungguhnya tidak menambahkan penggunaan kata “kegiatan menjalankan UU Penyiaran. Kenapa?
pemancarluasan menggunakan multimedia Karena KPI tidak diletakkan pada
posisi yang independen. Dari sisi
(internet) ”
postur anggaran,
diletakknya dibawah Sekjen [Kominfo] “[definisi penyiaran] harus mengacu
sangat
kecil,
pada regulasi internasional, regulasi yang pasti memiliki visi dan misi yang ITU mengatakan [penyiaran] harus berbeda,
tupoksi
berbeda
Tetapi ketika ya..kedudukan
misalnya kita menyalurkan sesuatu di jelas. ” (Judhariksawan, ketua KPI, interview pada tanggal 28 Januari
internet, apakah itu tujuannya untuk penerimaan langsung kepada publik?
2015) Mekanisme penyalurannya [sarana
transmisi darat, laut atau antariksa] ,
UU Penyiaran No 32/2002 dengan
tegas
tetapi sifat penerimaannya langsung mengamandemenkan peran KPI sebagai regulator
kepada publik dan serentak dan 16 serempak.
itu masuknya penyelenggaraan penyiaran di Indonesia . Meski penyiaran. ” (Judhariksawan, ketua
Nah,
demikian, peran KPI dalam mengatur regulasi
KPI, interview pada tanggal 28
bidang industri semakin terbatas semenjak
Januari 2015)
judicial
review terhadap lembaga ini pada tahun 2003.
Dengan adanya revisi UU Penyiaran 2002
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
tampaknya upaya untuk mewujudkan sebuah UU
No.031/PUU-IV/2006, disebutkan bahwa Pasal 7(2) konvergensi akan sulit direalisasikan dalam waktu